• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DI KELURAHAN

E. Perbedaan Hak Anak Angkat dan Anak Kandung Dari Orang Tua

dijelaskan mengenai hak-hak anak, yakni terdapat dalam pasal berikut:

1. Pasal 4

“Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.”

2. Pasal 5

“Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.”

105 Wawancara dengan ibu Ade Rachmawati, Orang Tua Kandung, Via VoiceNote Whatsapp, Dubai, Pada hari Minggu, 17 Oktober 2021, Pukul 15.30 WIB.

69 3. Pasal 6

“Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.”

4. Pasal 7

“Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.”

5. Pasal 8

“Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.”

6. Pasal 9

“Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.”

7. Pasal 10

“Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.”

8. Pasal 11

“Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.”

9. Pasal 12

“Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial”

10. Pasal 13

“Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual,

70

penelantraan, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya.”

11. Pasal 14

“Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.”

12. Pasal 15

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan.”

13. Pasal 16

(1) “Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.”

(2) “Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.”106

Selain hak anak yang terdapat dalam Undang-undang juga di jelaskan dalam Al-Quran surat An-nisa ayat 11:

106 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

71

Artinya: “Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana.”107

Dapat disimpulkan bahwa Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Tetapi hak waris bagi anak angkat berbeda dengan anak kandung yang mana dijelaskan dalam Pasal 209 Ayat 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) bahwa terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

107 Al-Quran Surah An-Nisa Ayat 11

72 BAB IV

POLA PENGANGKATAN ANAK DAN IMPLIKASINYA TERHADAP HUBUNGAN KELUARGA

A. Ketentuan Pengangkatan Anak Menurut Perundang-undangan di Indonesia

Dasar hukum pengangkatan anak menurut sistem hukum nasional Indonesia antara lain:

Pasal 21 Konvensi Hak-Hak Anak:108

1. UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 2. UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan

3. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia

4. Peraturan Menteri Sosial RI No.110/HUK/2009 yang mengatur tentang persyaratan pengangkatan anak

5. Peraturan Menteri Sosial RI No.37/HUK/2010 tentang Pertimbangan Perijinan Pengangkatan Anak Pusat (PIPA).

Menurut ketentuan hukum nasional anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, terrnasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya (dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia). Salah satu haknya adalah hak pengasuhan. Menurut Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus.

108 Raissa Lestari, “Implementasi Konvensi Internasional Tentang Hak Anak (Convention on The Rights of The Child) Di Indonesia (Studi Kasus: Pelanggaran Terhadap Hak Anak Di Provinsi Kepulauan Riau 2010-2015),” Jurnal JOM FISIP 4, no. 2 (2017), h. 5.

73

Anak adalah anugrah dari Tuhan yang Maha Esa yang memiliki hak seperti halnya orang-orang dewasa. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya sebagaimana tercantum dalam, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak asasi manusia anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Pelaksanaan perlindungan anak menurut hukum nasional Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

1. Non-diskriminasi;

2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;

3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan dan;

4. Penghargaan terhadap pendapat anak.

Pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anaktersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat. sehingga dalam pengangkatan anak juga harus senantiasa di dasarkan pada upaya perlindungan anak. Kepentingan terbaik anak dan kesejahteraan anak yang bersangkutan merupakan pertimbangan paling utama, di sahkan oleh pejabat yang berwenang dan sesuai dengan hukum dan prosedur yang beraku yang didasarkan pada informasi yang terkait dan layak dipercaya.109

109 Arya Pradana Putra, Perbandingan Prosedur Pengangkatan Anak Menurut Hukum Positif Indonesia Dengan Hukum Islam, (Skripsi S-1 Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa), h.

150.

74

1. Prosedur Pengangkatan Anak dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pengaturan mengenai Proses pengangkatan anak di Indonesia diatur juga dalam dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dalam pengaturan Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orangtua kandungnya. Mengenai hak dan kewajiban secara umum adalah hak dan kewajiban yang ada antara anak dan orangtua baik secara agama, moral maupun kesusilaan. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yaitu diatur dalam pasal 39, 40 dan pasal 41.110

2. Prosedur Pengangkatan Anak dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

Pengaturan mengenai Prosedur lebih lengkapnya tentang permohonan pengangkatan anak berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yaitu dijelaskan dalam Pedoman Pelaksanaan Pengangkatan Anak terbitan Departemen Sosial Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Direktorat Bina Pelayanan Sosial Anak sebagai berikut:

1. Permohonan pengangkatan anak diajukan kepada instansi sosial kabupaten/kota dengan melampirkan:

a. Surat penyerahan anak dari orang tua/walinya kepada instansi sosial;

b. Surat penyerahan anak dari instansi sosial provinsi/kab/kota kepada organisasi sosial (orsos);

c. Surat penyerahan anak dari orsos kepada calon orang tua angkat;

d. Surat keterangan persetujuan pengangkatan anak dari keluarga suami-istri calon orang tua angkat;

e. Fotokopi surat tanda lahir calon orang tua angkat;

110 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

75

f. Fotokopi surat nikah calon orang tua angkat;

g. Surat keterangan sehat jasmani berdasarkan keterangan dari dokter pemerintah;

h. Surat keterangan sehat secara mental berdasarkan keterangan dokter psikiater;

i. Surat keterangan penghasilan dari tempat calon orang tua angkat bekerja.

2. Permohonan izin pengangkatan anak diajukan pemohon kepada kepala dinas sosial/ instansi sosial provinsi/kab/kota dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Ditulis tangan sendiri oleh pemohon di atas kertas bermaterai cukup;

b. Ditandatangani sendiri oleh pemohon (suami-isteri);

c. Mencantumkan nama anak dan asal usul anak yang akan diangkat.

3. Dalam hal calon anak angkat tersebut sudah berada dalam asuhan keluarga calon orang tua angkat dan tidak berada dalam asuhan organisasi sosial, maka calon orang tua angkat harus dapat membuktikan kelengkapan suratsurat mengenai penyerahan anak dan orang tua/wali keluarganya yang sah kepada calon orang tua angkat yang disahkan oleh instansi sosial tingkat kabupaten/kota setempat, termasuk surat keterangan kepolisian dalam hal latar belakang dan data anak yang diragukan (domisili anak berasal).

4. Proses penelitian kelayakan

5. Siding tim pertimbangan izin pengangkatan anak (PIPA) daerah

6. Surat keputusan kepala dinas sosial/instansi sosial provinsi/kab/kota bahwa calon orang tua angkat dapat diajukan ke pengadilan negeri untuk mendapatkan ketetapan sebagai orang tua angkat

7. Penetapan pengadilan

8. Penyerahan surat penetapan pengadilan.

76

Menurut Fitzgerald, teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.111

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tangerang Selatan yakni Ibu Hesty selaku Kepala Seksi Perubahan Status Anak Kewarganegaraan dan Kematian sependapat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, bahwa legalitas status pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan itu tidak ada dan harus melalui prosedur penetapan dipengadilan sehingga dapat dicatatkan di Dukcapil sesuai Pasal 47 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil, bahwa Pencatatan pengangkatan anak di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus memenuhi persyaratan: 112

a. salinan penetapan pengadilan;

b. kutipan akta kelahiran anak;

c. KK orang tua angkat; dan d. KTP-e1; atau

e. Dokumen Perjalanan bagi orang tua angkat Orang Asing.

Menurut Ibu Hesty selaku Kepala Seksi Perubahan Status Anak Kewarganegaraan dan Kematian bahwa Pasal 47 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 96 Tahun 2018 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil merupakan syarat mutlak yang harus ditaati oleh setiap orang yang ingin melegalkan status pengangkatan

111 Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000), h. 53.

112 Wawancara dengan ibu Hesty, Kepala Seksi Perubahan Status Anak Kewarganegaraan dan Kematian, di kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Tangerang Selatan, Serpong, Pada hari Kamis, 23 Desember 2021, Pukul 09.35 WIB.

77

seorang anak, bahwa apabila salah satu syarat mutlak tersebut tidak terpenuhi terhadap kasus pengangkatan anak yang ingin di legalkan di Dukcapil maka, pihak Dukcapil berhak menolak permohonan tersebut karena tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan Bapak Hari Setiadi Subkoordinator Pengangkatan Anak Kementrian Sosial Republik Indonesia bahwa pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan itu diperbolehkan berdasarkan peraturan pemerintah maupun juga menurut hukum adat.

Menurut beliau, pengangkatan anak melalui hukum adat sah tetapi tidak memiliki kekuatan hukum, yang mana hal tersebut sesuai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat kebiasaan setempat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a, yaitu pengangkatan anak yang dilakukan dalam satu komunitas yang nyata-nyata masih melakukan adat dan kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat113. Beliau mengatakan bahwa banyak contoh pengangkatan anak yang menggunakan hukum adat, seperti dalam adat Bali, adat Jawa, adat Padang. Yang dikatakan hukum adat menurut beliau adalah hukum adat yang benar-benar melekat dengan masyarakat tersebut dan harus dilakukan oleh pemangku adat setempat, yang mana nantinya pemangku adat tersebut bisa memunculkan surat pengantar bahwa pengangkatan anak tersebut sudah dilakukan sesuai dengan hukum adat yang berlaku, setelah itu surat yang di luncurkan dari pemangku adat bisa diproses lebih lanjut ke pengadilan untuk mendapatkan legalitas dari pengangkatan anak yang sebelumnya sudah dilaksanakan menurut hukum adat setempat.114

113 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

114 Wawancara dengan bapak Hari Setiadi, Subkoordinator Pengangkatan Anak, di kantor Kementrian Sosial Republik Indonesia, Jakarta, Pada hari Selasa, 4 Januari 2022, Pukul 10.19 WIB.

78

B. Kebiasaan-kebiasaan dan Faktor-faktor Pengangkatan Anak Yang Terjadi di Masyarakat Betawi Ciputat Tangerang Selatan

Pengangkatan anak yang biasanya dilakukan oleh masyarakat adat Betawi di kecamatan Ciputat ini masih banyak yang menggunakan hukum adat, dimana mereka beranggapan kemudahan dan tidak banyaknya biaya yang dikeluarkan. Ketika seseorang menggunakan hukum adat ini dalam proses tersebut, mereka hanya melibatkan tokoh masyarakat adat setempat serta RT, RW, dan keluarga inti baik dari orang tua kandung maupun calon orang tua angkat tersebut untuk menyaksikan proses serah terima anak angkat kepada calon orang tua angkat yang kemudian dilanjutkan dengan acara syukuran atau selamatan dengan tujuan untuk memberikan keselamatan bagi calon anak angkat dan calon orang tua angkat.115

Ada dua faktor yang sangat mendasar mengapa suatu keluarga melakukan pengangkatan anak jika disimpulkan, (1) faktor biologis (2) faktor belas kasihan, faktor biologis yaitu sebuah pernyataan prediksi dari seorang dokter bahwa tidak atau susah mendapatkan anak (keturunan), jadi sebuah tabiyat/

naluriyah sebuah keluarga disini maksudnya suami atau istri untuk mendidik, mengasuh dan menjaga anak, oleh karena itu diangkatlah seorang anak, bahkan lebih dari satu. Faktor belas kasihan yaitu sebuah motif pengangkatan anak didasari rasa iba, mengingat orang tua kandung tidak mampu atau sudah meninggal dunia, oleh karena itupun diangkatlah seeseorang anak untuk dididik, disekolahkan dan dijaga.

Secara garis bersarnya makna/ esensi secara filosofisnya adalah karena sifat dari masyarakat adat Betawi yang memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi terhadap salah seorang anggota keluarganya ataupun yang bukan anggota keluarganya (orang lain) untuk menolongnya karena ketidak

115 Syahdan El Hayat, Hak Anak Angkat Pada Masyarakat Adat Betawi Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Kasus Kecamatan Cilandak), Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Hukum Keluarga, h. 70.

79

sanggupan orang tua kandungnya sebab alasan tertentu seperti ekonomi, ketidak sanggupan mengurus anak, salah satu orang tuanya meninggal dunia, atau hal lain yang dapat menelantarkan anak tersebut. Terkadang ada pula yang memang sengaja untuk mengadopsinya dengan harapan mereka dapat memiliki keturunan dengan mengangkat atau adopsi anak tersebut.

Pengangkatan anak yang terjadi pada masyarakat Betawi ini diambil dari kekerabat atau saudara terdekat dimana anak yang diangkat ini merupakan anak dari saudara dekat atau masih memiliki hubungan kekeluargaan, yang bertujuan antara lain agar dapat saling membantu dalam hal meningkatkan kesejahteraan antar sanak saudara dan mempermudah orang tua kandung untuk sama-sama mengawasi proses tumbuh kembang si anak. Terkadang pula hal lain yang menyebabkan pengangkatan dari kekerabatan ini karena faktor anak angkat bukanlah mahram, sehingga jika anak angkat itu laki-laki maka wajib bagi ibu angkatnya maupun anak-anak perempuan kandungnya untuk memakai hijab yang menutupi aurat di depan anak angkat tersebut, sebagaimana seharusnya Ketika mereka di depan orang lain yang bukan mahram.116

Fakta sosial yang terjadi dalam masyarakat Ciputat berdasarkan hasil wawancara peneliti terhadap orang tua kandung, bahwa pengangkatan anak yang terjadi dikarenakan keterbatasan yang dialami oleh orang tua kandung dalam segi ekonomi dan kondisi yang tidak memungkinkan untuk merawat empat orang anak tanpa suami, maka dari itu orang tua kandung tersebut berusaha merelakan hak asuh tersebut dengan alih memberikan tanggung jawab untuk membantu merawat dan mendidik secara penuh baik jasmani maupun rohani. Walaupun secara batiniah seorang ibu kandung tersebut merasa tidak sanggup untuk merelakan anaknya dirawat oleh orang lain.117

116 Syahdan El Hayat, Hak Anak Angkat Pada Masyarakat Adat Betawi Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif (Studi Kasus Kecamatan Cilandak), Skripsi S1, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum, Hukum Keluarga, h. 69.

117 Wawancara dengan ibu Ade Rachmawati, Orang Tua Kandung, Via VoiceNote Whatsapp, Dubai, Pada hari Minggu, 17 Oktober 2021, Pukul 15.30 WIB.

80

Sementara itu, berdasarkan hasil wawancara dari orang tua angkat yakni Ibu Hani dan Bapak Erwin bahwa pengangkatan anak yang dilakukan oleh orang tua angkat didasarkan karena faktor biologis, yang mana pasangan tersebut tidak mempunyai seorang anak dikarnakan pasangan tersebut pernah mengalami keguguran pada kandungan yang pertama, dari hal tersebut pasangan itu mengalami trauma yang mendalam untuk mempunyai seorang anak kandung dari rahim sang ibu.

Selanjutnya faktor pengangkatan tersebut juga didasari oleh faktor belas kasihan, dengan alih melihat kondisi ekonomi dan rasa empati terhadap wafatnya suami dari Ibu Ade selaku orang tua dari anak tersebut yang mana keadaannya seorang ibu bekerja seorang diri untuk menghidupkan 4 orang anaknya, dari hal tersebut Bapak Erwin dan Ibu Hani beritikad untuk membantu meringankan beban dari orang tua kandung tersebut dengan niat ingin mengasuh salah satu anaknya. Keterbatasan ekonomi orang tua kandung dan besarnya tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga akibat wafatnya seorang suami menjadikan Ibu Ade (Ibu Kandung) merelakan hak asuh anak kandungnya yang Bernama Alif kepada Ibu Hani dan Bapak Erwin sebagai orang tua sambung.118

Faktor pengangkatan anak yang dilakukan Bapak Erwin dan Ibu Hani dengan beritikad untuk membantu meringankan beban dari orang tua kandung tersebut sesuai dengan pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, bahwa pasangan Bapak Erwin dan Ibu Hani sebagai orang tua angkat telah memenuhi syarat sebagaimana dalam pasal tersebut bahwa mereka sehat jasmani dan rohani;

berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun; beragama sama dengan agama calon anak angkat; berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan; berstatus

118 Wawancara dengan bapak Erwin dan ibu Hani, Orang Tua Angkat, Dirumah orang tua angkat, Ciputat, Pada hari Sabtu, 16 Oktober 2021, Pukul 18.38 WIB.

81

menikah paling singkat 5 (lima) tahun; tidak merupakan pasangan sejenis;

tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak;

dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial; dan memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali anak.119

Menurut penjelasan Bapak Erwin, bahwa sebenarnya dalam islam pengangkatan anak itu tidak ada, namun karena beliau merasa iba terhadap orang tua kandung Alif dan melihat kondisi ekonomi beliau, maka Bapak Erwin dan Ibu Hani bersedia untuk membantu mengadopsi Alif sebagai anak angkat secara lahir dan batin, serta memenuhi kebutuhan pendidikan dan kebutuhan lainnya.120 Keputusan ini berakhir dengan hasil musyawarah dan mufakat dari keluarga besar kedua belah pihak baik dari orang tua kandung yakni Ibu Ade (keponakan orang tua angkat) maupun dari orang tua yang mengasuh anak tersebut yakni Ibu Hani dan Bapak Erwin (Bibi dan Paman).

Menurut Bapak Hari Setiadi Subkoordinator Pengangkatan Anak Kementrian Sosial Republik Indonesia bahwa mayoritas faktor pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat adalah kurangnya pengetahuan hukum mengenai prosedur pengangkatan anak dan sulitnya proses administrasi pengangkatan anak yang terlalu lama di Kementerian Sosial Republik Indonesia yakni waktu prosesnya minimal 9 bulan dan maximal 1 tahun, sehingga hal tersebut menyebabkan masyarakat tidak taat pada prosedur hukum yang ada yakni sesuai dengan Peraturan Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak bahwa tahapan proses pengurusan perizinan pengangkatan anak harus melalui:

1. Konsultasi

2. Melengkapi Dokumen

3. Izin Proses Pengangkatan Anak 4. Home Visit I

119 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

120 Wawancara dengan bapak Erwin, Orang Tua Angkat, Dirumah orang tua angkat, Ciputat, Pada hari Sabtu, 16 Oktober 2021, Pukul 18.38 WIB.

82

5. Laporan Sosial Calon Orangtua Angkat 6. Surat Izin Pengasuhan Anak

7. Home Visit II

8. Laporan Perkembangan Anak 9. Sidang Tim PIPA

10. Laporan Hasil Sidang

11. Surat Izin Pengangkatan Anak

C. Implikasi Hukum Anak Yang di Adopsi Tanpa Penetapan Pengadilan Terhadap Warisan Orang Tua Angkat

1. Hak Untuk Mendapat Warisan

Hak anak dalam memiliki harta benda (hak waris), demi kelangsungan harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa yang besar.” (QS. An-Nissa [4]:

(2))

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni: