• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Dari permasalahan yang telah dipaparkan di atas, ada beberapa tujuan peneliti yang hendak dicapai antara lain:

1. Untuk mengetahui etentuan pengangkatan anak menurut perundang-undangan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui kebiasaan-kebiasaan dan faktor-faktor pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat Betawi Ciputat tangerang selatan.

3. Untuk mengetahui implikasi hukum anak yang di adopsi tanpa penetapan pengadilan terhadap warisan orang tua angkat.

11 D. Kajian Terdahulu

Pada penulisan skripsi ini, peneliti telah melakukan telaah kepustakaan yang bersumber pada buku dan skripsi-skripsi tentang masalah Hak Asuh Anak. Maka dari itu penulis akan mencoba mereview studi terdahulu terkait dengan permasalahan hukum antara lain:

Evy (2005)20, dalam judul “Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus)” mengatakan bahwa pada dasarnya prinsip pengangkatan anak bertujuan agar seorang anak angkat tidak sampai terlantar menderita dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dini (2016)21, dalam judul “Relevansi Pengangkatan Dan Pemberdayaan Anak Angkat Dalam Hukum Islam” mengatakan bahwa kedudukan anak angkat dalam hukum Islam dapat disamakan dengan anak asuh atau dengan anak yang memperoleh tunjangan sosial ekonomi dari orang tua yang mengangkatnya. Mungkin pula anak angkat itu ikut dengan orang tua yang mengangkatnya walaupun tidak mendapat tunjangan sosial ekonomi tetapi dia membantu dengan tenaganya pada orang tua yang mengangkatnya. Dalam hal ini orangtua angkat dan anak angkat tersebut menerapkan satu doktrin dalam Islam yang dinamakan ta’awun.

Ini merupakan salah satu bentuk amal shalih dalam ajaran Islam. Darwan (2003)22, dalam judul “Hukum Anak Indonesia” mengemukakan syarat dalam pengangkatan anak yaitu antara dua orang tua angkat dengan anak angkatnya minimal harus terdapat selisih umur 25 tahun dan maksimal 45 tahun. Untuk itu setiap orang dewasa dapat mengangkat anak.

Apabila calon orang tua dalam perkawinan, maka usia perkawinan orang tua angkat minimal telah berlangsung selama (lima) tahun, sehingga ada selisih antara usia perkawinan calon orang tua angkat dengan usia calon anak angkat minimal lima tahun.

20 Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus), (Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negri Semarang), h. 53.

21 Dini Noordiany Hamka, Relevansi Pengangkatan Dan Pemberdayaan Anak Angkat Dalam Hukum Islam, (Skripsi S-1, Fakultas Syariah dan Hukum, Jurusan Peradilan Agama, Universitas Islam Negri Alauddin Makassar), h. 9.

22 Darwan Prints, “Hukum Anak Indonesia”, (T: Citra Aditya 2003) h. 95

12

Evy (2005)23, mengatakan bahwa pengangkatan anak melalui putusan pengadilan memiliki tujuan yaitu sebagai alat bukti tertulis yang dapat menjadi pegangan bagi anak angkat dan orang tua angkat untuk memenuhi kewajiban serta menuntut haknya. selain itu, Penetapan pengesahan yang diberikan oleh pengadilan negeri mempunyai nilai kepastian hukum terhadap pengangkatan anak itu sendiri, juga sebagai bukti untuk melaksanakan segala sesuatu yang terkandung di dalamnya sebagai akibat hukum dari pengangkatan anak tersebut, yang antara lain adalah hak dan kewajiban yang ada hubungannya dengan pemeliharaan, pendidikan dan harta peninggalan.

Sedangkan proses pengangkatan anak diluar pengadilan salah satunya dilihat dari aspek hukum adat sebagaimana dikutip dari Pratiwi (2016)24, dalam judul “Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan” yang mengatakan bahwa dengan masuknya anak angkat kedalam suatu keluarga yang mengangkatnya maka putuslah hubungan keluarga kandung dengan anak angkat tersebut. Hanya saja terdapat perbedaan dengan adopsi menurut hukum barat, perbedaannya adalah dalam hukum adat pengangakatan anak disyaratkan dengan suatu imbalan sebagai pengganti kepada orang tua kandung si anak angkat, biasanya merupakan benda-benda yang dikramatkan atau dipandang memiliki kekuatan magis. Dilihat dari segi motivasi dalam melakukan pengangkatan anak, pengangkatan anak dalam hukum adat lebih menekankan pada kekhawatiran pada calon orangtua angkat akan kepunahan, maka calon orangtua angkat akan mengambil anak dari lingkungan kekuasaan kekerabatannya yang dilakukan secara kekerabatan, maka anak itu akan menduduki seluruh kedudukan anak kandung ibu dan bapak yang mengangkatnya dan ia akan terlepas dari golongan sanak saudaranya semula.

Berdasarkan pernyataan tersebut Partiwi (2016)25, menambahkan bahwasannya proses pengangkatan anak tersebut telah melalui proses yang salah yaitu melakukan

23 Evy Khristiana, Status Anak Angkat Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Kasus Tentang Pengesahan Anak Angkat dan Pembagian Harta Warisan di Pengadilan Negeri Kudus), (Skripsi S-1, Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negri Semarang), h. 38.

24 Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya), h. 18.

25 Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya), h. 19.

13

pengangkatan anak tetapi tidak melalui penetapan pengadilan. Kasyful (2020)26, dalam judul “Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan” mengatakan bahwa pengangkatan anak yang dilakukan dengan tata cara dan motivasi yang salah dari orang tua angkat yang minim pengetahuan tentang pengangkatan anak akan menimbulkan akibat hukum yang dapat mempengaruhi kehidupan antara anak angkat dan orang tua angkat. Dalam pengangkatan anak berarti adanya orang lain yang masuk ke dalam anggota keluarga orang tua angkat, yang apabila dilakukan dengan motivasi yang salah akan menimbulkan permusuhan antar keturunan dalam keluarga tersebut, salah satu contohnya yaitu dalam hal kewarisan, yang seharusnya anak angkat tidak mendapatkan warisan tetapi masuk kedalam anggota ahli waris, sehingga anggota ahli waris yang seharusnya mendapat warisan akan menutup bagian ahli waris yang seharusnya.

Pratiwi (2016)27, menjelaskan akibat-akibat hukum yang dapat timbul dengan adanya pengangakatan anak tanpa melalui proses yang benar yaitu (1) Dapat mengakibatkan terjadinya kesalah pahaman antara yang halal dan yang haram. Misalnya dengan masuk nya anak angkat menjadikan ia sebagai mahram yang mana ia tidak boleh menikah dengan orang yang seharusnya dapat atau boleh dinikahi, dan juga ia dapat melihat aurat orang lain yang seharunya haram dilihatnya. (2) Terganggunya hubungan keluarga beserta hak-haknya. Ini memungkinkan akan terganggunya hak dan kewajiban keluarga yang telah ditetapkan dalam Islam. Akibat hukum yang mengakibatkan hubungan hukum antara anak dan orangtua biologis putus sama sekali dan timbul hubungan hukum yang baru dengan orangtua agkatnya, dalam hal perwalian misalnya untuk anak angkat perempuan yang beragama islam bila ia akan menikah maka yang bisa menjadi wali nikahnya hanya lah orangtua kandungnya atau saudara sedarahnya, dan orangtua angkat tidak dibenarkan menjadi wali nikahnya. (3) Dengan masuknya anak angkat ke dalam keluarga orangtua angkat dapat menimbulkan permusuhan antara satu keturunan dalam keluarga itu. Misalnya dalam hal warisan, yang seharusnya anak angkat

26 Muhammad Kasyful Anwar Budi, Pengangkatan Anak Tanpa Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-1, Fakultas Hukum, Program Studi Hukum Keluarga, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta), h. 21.

27 Ika Putri Pratiwi, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Yang Tidak Melalui Penetapan Pengadilan, (Skripsi S-2, Fakultas Hukum, Magister Kenotariatan, Universitas Brawijaya), h. 21.

14

tidak mendapatkan warisan malah menjadi ahli waris yang dapat menutup bagian yang seharusnya diterima oleh ahli waris yang lain yang berhak menerimanya. Surjanti (2015)28, dalam judul “Akibat Hukum dan Sanksi Pidana Pengangkatan Anak Secara Illegal” menambahkan sesuai dengan pasal 11 stb 1917 bahwa pengangkatan anak membawa akibat demi hukum orang yang diangkat, jika ia mempunyai nama keturunan lain, berganti menjadi nama keturunan orang yang mengangkatnya sebagai ganti dari nama keturunan orang yang diangkat secara serta merta menjadi anak kandung orang tua kandung yang mengangkatnya atau ibu angkatnya, dan secara otomatis terputus hubungan nasab dengan orang tua kandung. Akibatnya anak angkat harus memperoleh hak-hak sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak kandung orang tua angkat, maka anak angkat memiliki hak waris seperti hak waris anak kandung secara penuh yang dapat menutup hak waris saudara kandung dan juga orang tua kandung orang tua angkat.

Ahmad (2018)29, dalam judul “Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan, dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Angkat”

menyatakan bahwa perlindungan hukum bagi anak angkat tidak dapat diberikan karena tidak terdapat penetapan pengadilan yang menjadi dasar bahwa pengangkatan anak telah dilakukan dan sah menurut hukum. Maka penting adanya penetapan dari pengadilan, karena dengan begitu anak angkat akan mendapatkan dokumen hukum berupa penetapan pengadilan yang akan menguatkan serta untuk mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah apabila suatu saat terjadi masalah hukum.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian ini menggunakan metode pendekatan yang mana penelitian ini membahas lebih mendalam mengenai pengangkatan anak adopsi diluar penetapan pengadilan yang mengerucut kepada legalitas hukum terhadap status anak yang di alihasuhkan, kesadaran hukum masyarakat serta implikasi hukum yang diterima oleh orang tua asuh yang melakukan

28 Surjanti, (Akibat Hukum dan Sanksi Pidana Pengangkatan Anak Secara Illegal), Jurnal, h. 74.

29 Ahmad Royani, “Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan, dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak Sebagai Perlindungan Hukum Terhadap Hak Anak Angkat”, Fakultas Hukum Universitas Islam Lamongan, Vol. 2018. 6, h. 145.

15

adopsi tanpa melalui penetapan pengadilan. Sumber masalah yang diambil berasal dari praktik masyarakat langsung dengan mendasar kepada Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Kompilasi Hukum Islam (KHI), Hukum Islam dan Hukum Adat. Sedangkan penelitian sebelumnya mengkaji pemenuhan hak dan kewajiban orang tua angkat terhadap anak angkat serta mengkaji secara mendasar mengenai prosedur, syarat, faktor penyebab, sanksi pidana bagi pelaku pengangkatan anak secara illegal, perlindungan hukum serta harta warisan yang mana hal tersebut sudah tercantum jelas dalam undang-undang yang sebelumnya sudah ada.

E. Kerangka Konseptual

Dalam penelitian ini, digunakan beberapa istilah berdasarkan dengan peraturan perundang-undangan dan konsep-konsep terkait istilah yang digunakan sebagai landasan konseptual untuk menghindari perbedaan penafsiran kata dalam pengertian serta istilah yang digunakan dalam penelitian berdasarkan pada Pasal 1 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Kompilasi Hukum Islam, Hukum Islam adalah sebagai berikut:

1. Anak menurut Undang-undang nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Anak menurut Pasal 99 Kompilasi Hukum Islam anak yang sah: a. anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah, b. hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.

2. Perlindungan anak menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

16

3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.

Keluarga dalam islam adalah merupakan rumah tangga yang dibangun dari suatu pernikahan antara seorang pria dan wanita yang dilaksanakan sesuai syariat agama islam yang memenuhi syarat pernikahan dan rukun nikah yang ada. Pernikahan juga awal membangun rumah tangga islam dan keluarga Sakinah, mawaddah dan warahmah.

4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.

Orang tua menurut Islam ada 3 kelompok yang disebut orang tua dalam ajaran islam: 1) Bapak ibu yang melahirkan, yaitu bapak ibu kandung. 2) Bapak ibu yang mengawinkan, yaitu bapak ibu mertua. 3) Bapak ibu yang mengajarkan, yaitu bapak ibu guru.

5. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.

Anak Angkat dalam pasal 171 huruh (h) Kompilasi Hukum Islam memberikan pengertian anak angkat sebagai anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.

F. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

Penelitian normatif adalah metode penelitian yang mendasarkan dan memandang hukum sebagai sistem peraturan-peraturan yang abstrak, atau suatu

17

institusi sosial yang otonom.30 Pendekatan tersebut merujuk pada masalah-masalah hukum yang ada di masyarakat.

Penelitian empiris adalah suatu kajian yang memandang hukum sabagai suatu kenyataan, mencakup kenyataan sosial, kenyataan kultur dan lain-lain.31 Pendekatan tersebut merujuk pada fakta-fakta sosial yang ada di masyarakat.

2. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif, yaitu menjabarkan data secara relevan dalam bentuk kalimat yang teratur, runtun, logis, tidak tumpang tindih, dan efektif, sehingga memudahkan peneliti dalam menginterpretasikan data dan memahami hasil analisis.

Peneliti pun juga menggunakan metode penelitian hukum empiris. Penelitian empiris adalah mendasarkan diri atas berbagai segi pengalaman, dan biasanya merujuk kepada pengalaman panca indera.32 yang artinya bahwa penelitian ini memandang hukum sebagai suatu fakta yang dapat dikonstatasi atau diamati dan bebas nilai.33 Oleh karena itu, penelitian yang ingin dibahas kali ini tentang pemahaman yang bersifat dinamis.

3. Data Penelitian

Data penelitian adalah satuan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab masalah penelitian. Maka, oleh karena itu data yang peneliti gunakan untuk menjawab semua permasalahan yang ada dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer yang penulis peroleh menggunakan hasil interview pihak terkait yang dihasilkan sendiri secara langsung seperti: wawancara via online dan offline.

30 Fahmi Muhammad dan Jenal Aripin, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cet. Pertama, 2010), h. 10.

31 Achmad Ali dan Wiwie Heryani, Menjelajahi Kajian Empiris terhadap Hukum, (Jakarta:

Perenada Media Group, Cet. Pertama, 2012), h. 2.

32 Bambang Sugiono, Metodologi Penelitian Hukum: Suatu Pengantar, (Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada, 2003, Cet. Keenam), h. 18.

33 Bahder Johan, Metodologi Penelitian Ilmu Hukum, … h. 81.

18

b. Bahan hukum sekunder diperoleh penulis dari semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi seperti: buku-buku terkait Hukum Perlindungan Anak di Indonesia khususnya mengenai pengangkatan anak serta jurnal hukum.

c. Bahan non-hukum adalah bahan diluar bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang dipandang perlu, seperti buku-buku mengenai perkawinan, perlindungan anak, jurnal perlindungan anak atau laporan-laporan penelitian non-hukum sepanjang mempunyai relevansi dengan topik penelitian. Bahan-bahan non-hukum dimaksudkan untuk memperkaya dan memperluas wawasan peneliti.

4. Sumber Data

Dalam penelitian ini data-datanya adalah data sekunder dan primer, yaitu:

a. Data Sekunder

Dalam penelitian ini yang termasuk sebagai data sekunder ialah:

1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

4) Peraturan Menteri Kesehatan Sosial Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak

b. Data Primer

Data primer diperoleh melalui hasil dari pengumpulan fakta-fakta sosial/fakta hukum, yaitu meliputi hasil interview pihak terkait, berupa daftar pertanyaan tertulis, yang narasumbernya yakni sebagai berikut:

1) Interview terhadap Staff dari Kementrian Sosial Republik Indonesia.

2) Interview terhadap Staff dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

3) Interview terhadap orang tua kandung 4) Interview terhadap orang tua angkat.

c. Data Tersier

19

Berupa sumber-sumber yang digunakan sebagai pelengkap dari bahan primer dan bahan sekunder, seperti jurnal internasional, ensiklopedia, dan sumber-sumber lainnya yang diakses melalui internet.

5. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini, yakni:

a. Penlusuran Kepustakaan yaitu cara memperoleh data dengan menelusuri Peraturan-peraturan yang terkait dengan objek penelitian. Adapun Peraturan-peraturan yang terkait yaitu baik berupa:

1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 2) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak 3) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007

tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak

4) Peraturan Menteri Kesehatan Sosial Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2009 tentang Persyaratan Pengangkatan Anak

b. Wawancara. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan interview secara personal langsung kepada pihak terkait dalam penelitian ini. Adapun pihak yang diwawancarai adalah pihak orang tua kandung sendiri yang dalam hal ini adalah (nama orang tua), Staff dari Kementrian Sosial Republik Indonesia, orang tua angkat, dan Staff dari Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil.

6. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Dalam penelitian ini, penulis mempergunakan analisis secara deskriptif kualitatif. Analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisa data yang mengelompakan dan menyeleksi data yang diperoleh dari berbagai sumber kepustakaan dan peristiwa konkrit yang menjadi objek penelitian, kemudian dianalisa secara interpretative menggunakan teori maupun hukum positif yang telah dituangkan, kemudian secara induktif ditarik kesimpulan untuk menjawab permasalahan yang ada. Setelah itu, bahan-bahan hukum tersebut akan dihubungkan datanya (korelasional) untuk mengetahui bahan hukum yang satu,

20

yaitu perarturan perundang-undangan (Das Sollen) sesuai atau tidak sesuai dengan fakta sosial yang ada (Das Sein).

7. Pedoman Penelitian

Pedoman yang digunakan oleh peneliti dalam menyusun skripsi ini mengacu pada kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017”.

G. Sistematika Pembahasan

Sistematika penulisan skripsi terdiri atas lima bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab guna memperjelas cakupan permasalahan yang menjadi objek penelitian.

Urutan masing-masing bab dijabarkan sebagai berikut.

Bab Satu mengenai Pendahuluan. Pada bab ini membahas mengenai latar belakang penelitian, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, kerangka konseptual, metodologi penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab Dua mengenai Perlindungan Hukum Hak Anak Angkat Dalam Keluarga. Pada bab ini, akan dibahas tiga jenis kajian pustaka, yakni pengangkatan anak, hukum pengangkatan anak dan hak-hak anak. Pada kajian pustaka ini membahas mengenai istilah dan ketentuan hukum yang muncul pada penelitian ini agar tidak terjadi kerancuan pemahaman terhadap istilah dan ketentuan tersebut, lalu juga kajian teoritis yang mana membahas teori-teori yang berkaitan dengan pembahasan terkait penelitian ini.

Bab Tiga mengenai Gambaran Umum Lokasi Penelitian di Kelurahan Cipayung, Kecamatan Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Pada bab ini menjelaskan bahwa, peneliti akan membahas dan menguraikan beberapa data yang berhubungan erat dengan apa yang menjadi titik fokus pembahasan dalam penelitian ini, yakni penulis akan menjabarkan sejarah dan letak geografis kecamatan ciputat, profil kelurahan cipayung kecamatan ciputat kota Tangerang selatan, sejarah masyarakat betawi serta membahas profil masyarakat ciputat yang melakukan pengangkatan anak tanpa penetapan pengadilan.

21

Bab Empat mengenai ketentuan hukum pengangkatan anak, kebiasaan dan faktor pengangkatan anak dan Implikasinya terhadap hak wairsan anak angkat. Pada bab ini peneliti membahas dan menjawab permasalahan yang ada pada penelitian ini diantaranya menjelaskan dan menganalisis serta menjawab permasalahan hukum mengenai ketentuan hukum pengangkatan anak, kebiasaan dan faktor pengangkatan anak yang terjadi di masyarakat betawi ciputat dan implikasi hukum anak yang di adopsi tanpa penetapan pengadilan terhadap warisan orang tua angkatnya. Sedangkan bab terakhir adalah bab Lima mengenai Penutup. Pada bab ini berisikan tentang kesimpulan dari hasil penelitian dari peneliti dan saran. Kesimpulan merupakan penyederhanaan dari hasil analisis data dan dapat ditarik dari hasil pembuktian atau dari uraian yang telah dideskripsikan pada bab sebelumnya yang saling erat dengan pokok masalah.

22 BAB II

PERLINDUNGAN HUKUM HAK ANAK ANGKAT DALAM KELUARGA

A. Kerangka Teori

1. Perlindungan Hukum

Menurut Fitzgerald, Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak.34

Menurut Satijipto Raharjo, Perlindungan hukum adalah memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.35

Tujuan hukum pada hakikatnya menciptakan ketertiban dan memberikan rasa aman antar anggota masyarakat. Begitu pula dalam kedudukan hukum terhadap status anak menurut peraturan perundang-undangan. Kedudukan hukum yang dimaksud Menurut Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad mengenai kedudukan hukum menyampaikan bahwa:36 Perilaku masyarakat merupakan tanggapan atau reaksi yang terwujud dalam gerakan (sikap), tetapi juga gerakan badan atau ucapan di dalam masyarakat. Perilaku itu apakah, sesuai dengan status dan perannya. Status, yaitu mengenai posisi yang di duduki, sedangkan peran adalah perilaku yang diharapkan karena kedudukan kita. Hukum dikonsepsikan sebagai bentuk kesesuaian antara kedudukan dan peranan yang dibawakan seseorang dalam masyarakat.

Tujuan hukum pada hakikatnya menciptakan ketertiban dan memberikan rasa aman antar anggota masyarakat. Begitu pula dalam kedudukan hukum terhadap status anak menurut peraturan perundang-undangan. Kedudukan hukum yang dimaksud Menurut Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad mengenai kedudukan hukum menyampaikan bahwa:36 Perilaku masyarakat merupakan tanggapan atau reaksi yang terwujud dalam gerakan (sikap), tetapi juga gerakan badan atau ucapan di dalam masyarakat. Perilaku itu apakah, sesuai dengan status dan perannya. Status, yaitu mengenai posisi yang di duduki, sedangkan peran adalah perilaku yang diharapkan karena kedudukan kita. Hukum dikonsepsikan sebagai bentuk kesesuaian antara kedudukan dan peranan yang dibawakan seseorang dalam masyarakat.