• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDUSTRI RAMAH LINGKUNGAN Pariwisata

4.8 Implikasi Pengelolaan

Dalam konteks perencanaan pemanfaatan ruang yang diamanatkan oleh UUTR dan UU PWP-PPK, hasil analisis pola pemanfaatan ruang GPK yang diperoleh akan mengkoreksi kondisi eksisting pemanfaatan ruang di GPK. Dari hasil interpretasi citra dan update overlay peta tematik berbagai sumber yang terbaru serta survei lapangan pad a waktu penelitian, diperoleh kondisi lahan saat ini di GPK meliputi (terhadap luas deliniasi wilayah studi = 21 272.87 Ha): hutan seluas 2 272.85 Ha (10.68%), kebun seluas 5 317.52 Ha (25.00%), permukiman seluas 279.79 Ha (1. 32%), mangrove seluas 1 249.43 Ha (5.87%), pasir seluas 5 231.01 Ha (24.59%), batuan karang seluas 3 583.54 Ha (16.85%), dan terumbu karang seluas 3 338.72 Ha (15.69%).

Hasil analisis direkomendasikan kawasan lindung di wilayah perairan meliputi sebagian kawasan terumbu karang dan kaw asan mangrove serta daerah yang tidak sesuai untuk budidaya laut, dan atau pariwisata pantai, dan atau pariwisata bahari yang luasnya sebesar 3 321.08 Ha (15.61% luas GPK). Jika dibandingkan hasil deliniasi pada kondisi sekarang, kawasan lindung dimaksud adalah kawasan terumbu karang, termasuk zona perlindungan TNKW, yang luasnya mencapai 4 588.16 Ha (21.57% luas GPK), maka sekitar 6% dari luas GPK diwilayah perairan berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai kawasan pemanfaatan di wilayah perairan. Kawasan itu meliputi perairan sebelah barat Pulau Hoga, wilayah perairan Desa Sombano, wilayah perairan wilayah perairan Desa Horuo, wilayah perairan Desa Tampara, sebelah timur wilayah perairan Desa Darawa dan sebelah timur wilayah perairan Desa Lentea.

Kawasan lindung di wilayah daratan meliputi kawasan hutan yang luasnya mencapai 2 272.86 Ha (10.68% dari Luas GPK). Dari hasil analisis diperoleh bahwa kawasan lindung di wilayah daratan meliputi kawasan hutan dan daerah yang tidak sesuai untuk permukima n dan atau budidaya pertanian yang luasnya mencapai 4 371.86 Ha (20.55% luas GPK). Sehingga sekitar 9.8% dari luas GPK diwilayah daratan diupayakan menjadi kawasan lindung diwilayah daratan. Kawasan yang dapat diperuntukkan sebagai kawasan lindung diwilayah daratan umumnya adalah wilayah kebun dan wilayah sekitar sumber mata air serta lahan yang kemiringannya cukup terjal dengan tingkat kemiringan diatas 45%. Wilayah dimaksud tersebar merata di wilayah tengah Pulau Kaledupa, Pulau Lentea dan Pulau Darawa.

Kawasan budidaya di wilayah perairan meliputi bukan kawasan terumbu karang khususnya kawasan dengan material dasar perairan adalah pasir atau batuan karang yang luasnya mencapai 8 814.55 Ha (41.44% dari luas GPK). Dari hasil analisis diperoleh bahwa k awasan budidaya di wilayah perairan meliputi bukan kawasan terumbu karang dan sesuai untuk budidaya laut, dan atau pariwisata pantai, dan atau pariwisata bahari yang luasnya mencapai 8 813.74 Ha (41.43% dari luas GPK). Terlihat bahwa luasan wilayah yang ada sekarang tidak jauh berbeda dengan rekomendasi hasil analisis. Lokasi kawasan pemanfaatan eksisting dan rekomendasi arahan pola pemanfaatan yang sesuai umumnya menempati ruang wilayah perairan sebelah timur GPK.

Kawasan budidaya di wilayah daratan meliputi kawasan kebun dan permukiman yang luasnya mencapai 5 597.31 Ha (26.31% dari Luas GPK). Dari hasil analisis diperoleh bahwa kawasan budidaya di wilayah daratan meliputi bukan kawasan hutan dan daerah yang sesuai untuk permukiman dan atau budidaya pertanian yang luasnya mencapai 4 766.19 Ha (22.41% dari luas GPK). Terlihat bahwa sekitar 3.9% dari luas GPK diwilayah daratan diupayakan menjadi kawasan lindung diwilayah daratan. Kawasan itu meliputi ujung utara kearah timur wilayah Desa Sombano dan wilayah perbukitan dengan kelerengan terjal di wilayah Desa Tanomeha, Desa Kasuari, dan antara Desa Buranga dan Desa Balasuna. Secara ringkas perbandingan pola pemanfaatan pada kondisi dan hasil analisis dapat dilihat pada Tabel 20.

Nilai-nilai luasan di atas menjelaskan bahwa dari sudut pandang kawasan lindung perairan, masih terdapat peluang 6% dari luas GPK yang dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya. Namun dari sudut pandang kawasan budidaya perairan, telah maksimal luasan yang ada untuk dimanfaatkan sebagai kawasan budidaya. Sehingga peluang 6% dari luas GPK di perairan lebih tepat diperuntukkan sebagai kawasan penyangga atau kawasan yang mendukung pemanfaatan/perlindungan kawasan GPK misalnya sebagai jalur transportasi, wisata kawasan konservasi (ekowisata mangrove), a tau lokasi upacara adat, ritual agama, situs sejarah dan budaya.

Peruntukkan 6% luas GPK di wilayah perairan untuk kawasan penyangga atau kawasan yang mendukung pemanfaatan/perlindungan kawasan GPK telah sejalan dengan arahan UU TR. Pada pasal 17 angka (1) UUTR menyatakan bahwa “muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang”. Luasan tersebut telah mengalokasikan jalur

aksesibilitas, khususnya jalur transportasi dan perdagangan di GPK, sebagai wujud penggambaran struktur r uang terutama terhadap sistem pusat -pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana ( pasal 17 angka 2 UUTR). Selain itu, areal dimaksud difungsikan sebagai media untuk membangun keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan ( pasal 17 angka 6 UUTR).

Tabel 20 Perbandingan pola pemanfaatan ruang Pola Pemanfaatan Wilayah Persentase luas kondisi sekarang terhadap luas GPK (%) Persentase luas hasil analisis terhadap luas GPK (%) perairan 21.57 15.61 Kawasan lindung daratan 10.68 20.55 perairan 41.44 41.43 Kawasan budidaya daratan 26.31 22.41

Jalur transportasi dan perdagangan sebagai sebagai media untuk membangun keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan baik lintas desa di GPK maupun lintas pulau di Wakatobi atau luar Wakatobi diperankan melalui pelabuhan dan pusat permukiman disekitarnya. Lokasi di tersebut meliputi Ambeua, Buranga, Tampara, dan Lentea yang hingga kini masih terus dimanfaatkan untuk mendukung kebutuhan aksesibilitas w ilayah GPK. Namun pada pelabuhan ambeua cukup sulit dimasuki karena padatnya ruang perairan yang digunakan untuk budidaya rumput laut di sekitar pelabuhan, sehingga perlu dipertimbangkan untuk pengendalian usaha budidaya rumput yang ada mengingat lokasi am beua merupakan ibukota Kecamatan Kaledupa (Orde I) yang sekaligus pusat lalu lintas pertama yang menghubungkan wilayah GPK dengan sekitarnya.

Pemanfaatan ruang seperti kegiatan rekreasi, menyelam, dan snorkling relatif lebih terkendali karena jumlah peng unjung belum tinggi serta lokasi tujuan tidak berpindah yakni titik-titik yang telah ditetapkan sebagai lokasi penyelaman oleh Dinas Pariwisata Kab. Wakatobi dan Operation Wallacea . Sehingga dalam konteks pemanfaatan ruang yang ada telah sesuai, namun pada beberapa titik penyelaman perlu dikendalikan/dipantau atau mungkin lebih baik ditetapkan dalam Rencana Detail Ruang sebagaimana arahan RTRW mengingat kegiatan

perikanan tangkap tradisional dan budidaya rumput laut berlangsung dibeberapa titik dimaksud. Ruang wilayah yang dimaksud meliputi wilayah perairan utara ke timur pulau Hoga, dan perairan sebelah timur GPK .

Berdasarkan wawancara yang dilakukan sebuah LSM lokal di GPK, FORKANI, bahwa diperkirakan nelayan penangkap ikan di GPK berjumlah 3.360 orang dengan teknik penangkapan ikan yang cukup kompleks baik yang dilakukan pada tempat yang berbeda dan dalam waktu yang berbeda pula. Tempat dan areal menangkap ikan sangat tergantung pada musim dengan alat tangkap yang beragam, yaitu: pancing, panah ikan (speargun), polo (bubu),bala (sero), rambisi (jaring insang), jaring lamba, henga-hengaro/surabi, dan hekatonda. Selain itu ada beberapa penangkapan ikan yang bersifat komersial yang digolongkan masih bersifat tradisional seper ti, pancing gurita, ikan hidup (kerapu), lobster, teripang dan beberapa jenis invertebrata lainnya yang dikeringkan kemudian dijual. Penangkapan ikan yang dilakukan umumnya untuk memenuhi kebutuhan pangan dan sangat sedikit nelayan tradisional di GPK melakukannya untuk komersial. Kegiat an pemanfaatan ruang perairan di GPK untuk tujuan komersial oleh penduduk GPK hanyalah usaha budidaya rumput laut. Namun kegiatan budidaya ini perlu dipertimbangkan karena ruang yang digunakan terus meningkat setiap tahunnya serta keberadaan dan pengaruhny a dapat mengganggu kegiatan pemanfaatan lainnya seperti alur pelayaran depan pelabuhan ambeua dan lokasi penyelaman disekitar Hoga. Oleh karena itu alternatif mata pencaharian dengan memanfaatkan wilayah perairan untuk kegiatan komersil perlu dilakukan unt uk mendiversifikasikan usaha nelayan misalnya pengembangan usaha kepiting bakau dengan memanfaatkan sekaligus melestarikan fungsi mangrove di pesisir Desa Laulua, Desa Sandi, Desa Tanomeha, Desa Lentea, Desa Horuo, dan Desa Tampara. Kegiatan budidaya perikanan lain yang juga dapat dilakukan adalah dengan mengoptimalkan areal pemanfaatan sero/bala/rumpon melalui pembesaran/budidaya perikanan dengan metode keramba jaring apung, atau kegiatan budidaya perikanan lainnya yang ramah lingkungan.

Sementara itu di wilayah daratan, dari sudut pandang kawasan lindung daratan, perlu upaya untuk menjadikan 9,8% dari luas GPK menjadi kawasan lindung di wilayah daratan. Upaya dimaksud dapat ditempuh dengan mengembalikan fungsi hutan pada areal yang masih berstatus hutan y ang telah dibuka untuk kebun melalui penanaman tanaman kehutanan. Selain itu juga

dapat memfungsikan kebun masyarakat menjadi kawasan hutan produksi. Hal ini sangat dimungkinkan karena sejak dulu kebun masyarakat selain digunakan untuk menanam tanaman pangan seperti ubi, jagung, opa, kano, dan tanaman umbi-umbian lain, juga ditanami tanaman berkayu keras untuk bahan baku bangunan dan perahu seperti Kayu Wola, Kayu Roombalu, Kayu Tolie, Kayu Bayam, Kayu Ponto, Kayu Baniha. Hal ini dilakukan mengingat sulit mendatangkan kayu dari luar GPK untuk keperluan bangunan maupun perahu kalaupun dapat didatangkan harganya cukup mahal tidak seperti mendatangkan keperluan untuk pangan masyarakat GPK. Selain itu dengan peningkatan status wilayah dan meningkatnya penduduk, kebutuhan fisik sarana publik dan pemerintahan memerlukan bahan bangunan yang dekat dengan wilayah yang akan dibangun namun jumlah kayunya yang dibutuhkan tidak terlalu besar sehingga jika mendatangkannya dari luar GPK akan tidak efisien. Untuk melakukan cara dimaksud tentunya tidaklah mudah mengingat pertumbuhan penduduk dari waktu ke waktu senantiasa diiringi dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan pangan dan pembukaan kawasan permukiman baru. Pada kondis i sekarang, kebutuhan pangan penduduk GPK selain dipenuhi dari kawasan GPK sendiri juga di supply dari wilayah sekitarnya baik itu dari gugus pulau Wakatobi maupun dari daratan Pulau Buton dan Maluku . Namun seperti yang telah dikemukakan sebelumnya masalah air tawar menjadi pembatas diwilayah GPK sehingga untuk memenuhi kebutuhan mendasar akan air tawar diperlukan kawasan hutan yang dapat berfungsi sebagai penangkap air dengan jumlah tangkapan sesuai deangan kebutuhan penduduk GPK. Dengan kata lain upaya untuk meningkatkan kawasan lindung sebesar 9.8% dimaksudkan untuk mengembalikan fungsi hutan sebagai resapan air yang dapat memenuhi kebutuhan penduduk GPK. Namun jika hal ini sulit dilakukan maka kawasan lindung yang ada sekarang seyogyanya dipertahankan dan fungsinya ditingkatkan bergantung pada jenis tanaman hutan ada. Olehkarenanya perhitungan hidrologi kawasan hutan di PPK perlu diteliti lebih jauh sebagai tindak lanjut penyataan diatas.

Pada uraian sebelumnya telah digambarkan bahwa dengan mempertimbangkan kebutuhan air dan ketersediaan ruang daratan bagi tempat permukiman dan berlangsungnya aktifitas masyarakat maka pemanfaatan ruang di GPK saat ini tidak sesuai dengan daya dukung yang ada . Oleh karena itu untuk menjamin keberlangsungan pemanfaatan maka pola pemanfaatan

disesuaikan dengan daya dukung kegiatannya sehingga hasil perbandingan perhitungan kondisi sekarang dengan hasil analisis sebagai rencana pola pemanfaatan ruang direkomendasikan sekitar 6% dari luas GPK diwilayah kawasan lindung perairan dapat dimanfaatkan untuk kawasan budidaya dalam bentuk penyangga atau konservasi. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkannya menjadi jalur transportasi atau lokasi upacara budaya dan wisata kawasan konservas/ekowisata mangrove. Sementara itu diwilayah daratan direkomedasikan perlu upaya untuk menjadikan 9. 8% dari luas GPK menjadi kawasan lindung diwilayah daratan. Upaya dimaksud dapat ditempuh dengan mengembalikan fungsi hutan termasuk mangrove (5.87% luas GPK) dan pada areal yang masih berstatus hutan yang telah dibuka untuk kebun melalui penanaman tanaman kehutanan 836.02 Ha (sekitar 3.93% luas GPK). Terlihat bahwa wilayah mangrove merupakan wilayah yang berubah pola pemanfaatannya dari kawasan lindung namun realitasnya dimanfaatkan untuk berbagai peruntukkan seperti tempat pembuangan sampah dan tempat perahu/kapal disimpan (tambatan kapal), menjadi kawasan budidaya yang direkomendasikan khusus untuk kegiatan ekowisata(konservasi).

Pola pemanfaatan ruang seperti yang digambarkan di atas diharapkan akan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini tentunya deng an asumsi bahwa jumlah penduduk saat ini yang dijadikan acuan perhitungan kebutuhan akan air tawar dan kebutuhan ruang . Namun jika pertumbuhan penduduk di jadikan variabel peubah bagi penyusunan pola pemanfaatan ruang di GPK maka kebutuhan ruang untuk permukiman dan pemanfaatan ruang daratan untuk budidaya pertanian akan terus meningkat. Oleh karena itu kebijakan yang sangat penting adalah meningkatkan fungsi hutan yang ada saat ini sebagai wilayah tangkapan air dengan mengendalikan /membatasi pembukaan lahan yaitu untuk permukiman maksimum seluas 4 249.72 Ha dan budidaya pertanian maksimum seluas 506.84 Ha.

Berdasarkan data BPS Kab upaten Wakatobi tahun 2007, jumlah penduduk GPK pada tahun 2002 sebesar 15 419 jiwa dan pada tahun 2006 sebesar 17 549 jiwa. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk mengikuti persamaan logaritmik, maka rata -rata perkembangan penduduk (r) GPK sebesar 3.29%. Hal ini berarti penduduk GPK 5 tahun kemudian (2011) mencapai 20 630 jiwa atau penduduk GPK 2 0 tahun kemudian (2026) mencapai 33 515 jiwa. Jika daya dukung maksimum penduduk GPK sebesar 57 548 jiwa

(asumsi: ketersediaan air tawar sebesar 25% jumlah tangkapan terhadap curah hujan tahunan dan luas budidaya pertanian 506.84 Ha), maka peluang penambahan penduduk khususnya pengunjung pada tahun 2011 sebesar 36 918 atau pada tahun 2026 sebesar 24 033 jiwa. Pada kondisi dimana ketersediaan air tawar dibawah 25% jumlah tangkapan terhadap curah hujan tahunan, maka jumlah peluang penambahan penduduk yang dapat didukung oleh ketersediaan air tawar di GPK akan mengalami penurunan. Dari hasil perhitungan diperoleh bahwa jika potensi air tawar yang dihasilkan maksimal hanya mencapai 23% jumlah tangkapan terhadap curah hujan tahunan, maka kebutuhan air tawar penduduk GPK hanya dapat dipenuhi hingga tahun 2011. Untuk memenuhi kebutuhan air tawar penduduk GPK hingga 2026 diperlukan minimal 24% jumlah tangkapan terhadap curah hujan tahunan . Nilai potensi resapan tersebut sangat dipengaruhi p erubahan pola pemanfaatan ruang, jika luas pemanfaatan ruang untuk permukiman dan atau budidaya pertanian melebihi nilai maksimal yang telah ditetapkan diatas, maka kebutuhan terhadap air tawar akan mengalami perubahan. Oleh karena itu penetapan pola pemanfaatan ruang diperlukan untuk jangka waktu tertentu dan didasarkan pada daya dukung yang telah ditetapkan, dalam hal ini daya dukung GPK atau PPK lainnya adalah ketersediaan air tawar dan kebutuhan ruang.