• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDUSTRI RAMAH LINGKUNGAN Pariwisata

4.2 Pemanfaatan Ruang Gugus Pulau Kaledupa

GPK merupakan salah satu gugus pulau di Kepulauan Tukang Besi yang sejak tahun 2003 menjadi Kabupaten Wakatobi. Hasil deliniasi batas wilayah studi (Lampiran 2) diperoleh luas GPK 21 272.87 Ha (212.73 km2) meliputi wilayah daratan GPK seluas 9 119.60 Ha (91.2 km2) dan wilayah perairannya seluas 12 153.27 Ha (121.53 km2).

Sumber mata air di GPK umumnya berasal dari air tanah (ground water) dan gua-gua karst. Pada saat ini telah terjadi intrusi air laut dihampir seluruh daerah pesisir karena vegetasi yang ada khususnya diwilay ah permukiman telah mulai secara perlahan dirambah untuk membuka permukiman baru. Dari hasil survei dan wawancara dengan pengelola air bersih (PDAM) di Kaledupa dan Kabupaten Wakatobi, sumber air di GPK berjumlah enam titik ( Lampiran 3) dengan total debit sebesar 70 lt/det. Daratan Pulau Ka ledupa berbukit-bukit yang memanjang dari arah Barat Laut menuju ke Tenggara. Secara umum lanskap tanahnya bergelombang, berombak, berbukit, dan bagian lapangan yang landai hanya di sekitar pantai, namun tidak begitu luas .

Stasiun pengukuran kualitas perairan dilakukan di lokasi pengamatan pengamatan kualitas perairan saat COREMAP I dilakukan pada tahun 2001. Pengamatan COREMAP I dilakukan pada bulan Desember tahun 2001 pada 15 (lima belas) stasiun pengamatan. Selanjutnya dalam penelitian ini dilakukan pengamatan pada bulan Mei 2007 di 15 stasiun tersebut. Dari hasil pengukuran pada kedua waktu tersebut, diketahui bahwa nilai DO rata-rata berkisar antara 6.22–6.24 mg/lt, nilai pH rata-rata berkisar antara 8.24–8.28, nilai salinitas rata- rata berkisar antara 34.87–35.00 o/oo, nilai nitrat rata-rata berkisar antara 2.34–3.48 ppb, nilai fosfat rata-rata berkisar antara 3.98–5.06 ppb. Sedangkan nilai BOD, TSS dan SPL yang diukur pada tahun 2007 diperoleh nilai berkisar antara 0.50–3.82 mg/lt untuk BOD, nilai berkisar antara 10.55 –32.33 mg/lt untuk TSS, nilai berkisar antara 26.59–28.58 oC untuk SPL. Dalam laporan tersebut disebutkan kecepatan arus di Pulau Kaledupa pada kedalaman 13 m, 20 m dan 50 m, berturut-turut sekitar 36 cm/det, 34 cm/det dan 31 cm/det. Secara umum nilai kualitas perairan di GPK masih baik dan cocok (sesuai) jika diperuntukkan untuk pariwisata (pantai dan bahari) maupun budidaya laut. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan nilai hasil pengukuran kual itas perairan di GPK dengan kualitas perairan laut untuk wisata dan biota laut menurut Kepmen LH No. 51/ 2004 tentang Baku Mutu Air Laut (Lampiran 4) .

Mengacu dari laporan BPS Kab upaten Wakatobi yahun 2007, penggunaan tanah di GPK dapat dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok pemanfaatan yaitu (1) lahan yang digunakan untuk budidaya pertanian seperti kegiatan tanaman pangan, penggembalaan ter nak, dan kebun rakyat seluas 74.21 % dari luas daratan GPK; (2) lahan yang digunakan untuk lokasi bangunan, pemukiman, pekarangan rumah dan lahan yang tidak diusahakan seperti lapangan, jalan, pelabuhan dan lainnya seluas 14.66 % dari luas daratan GPK; dan (3) Hutan seluas 11,13% dari luas daratan GPK . Dari hasil interpretasi citra dan overlay peta tematik berbagai sumber yang terbaru dengan survei lapangan pada waktu penelitian, diperoleh kondisi penggunaan lahan di GPK (Gambar 12) meliputi: hutan 2 272.85 Ha (10.68%), kebun 5 317.52 Ha (25.00%), permukiman 279.79 Ha (1.32%), mangrove 1 249.43 Ha (5.87%), pasir 5 231.01 Ha (24.59%), batuan karang 3 583.54 Ha (16.85%), dan terumbu karang 3 338.72 Ha (15.69%). Dari luas deliniasi wilayah daratan sebesar 9 119 Ha, wilayah kebun masyarakat yang digunakan untuk pemenuhan pangan d an kebutuhan lainnya mencapai 5 317 Ha. Jenis tanaman pangan yang banyak ditanam adalah ubi, jagung, opa, kano, dan tanaman umbi-umbian lain. Selain itu pada beberapa luasan tertentu ditanami tanaman berkayu keras untuk bahan baku bangunan dan perahu seperti Kayu Wola, Kayu Roombalu, Kayu Tolie, Kayu Bayam, Kayu Ponto, Kayu Baniha. Sementara itu dari luas delini asi wilayah perairan sebesar 12 153 Ha, wilayah budidaya rumput laut hingga kini baru mencapai 180 Ha, selebihnya luas perairan ini dimanfaat kan sebagai wilayah penangkapan tradisional, seperti: pancing, panah ikan (speargun) , polo (bubu), bala (sero), rambisi (jaring insang), jaring lamba, henga-hengaro/surabi, dan hekatonda. Selain itu juga ada beberapa penangkap an ikan yang bersifat komersial, tetapi jumlah yang melakukannya sangat sedikit dan cara melakukannya masih dapat digolongkan bersifat tradisional, seperti: pancing gurita, ikan hidup (kerapu), lobster, dan teripang.

Dari hasil penelusuran data dan wawancara saat survei diperoleh berberapa masalah pemanfaatan sumberdaya di atas ruang GPK adalah: 1. Permukiman

Menurut laporan BPS Kabupaten Buton bahwa pada tahun 1990, sebelum adanya aktivitas pariwisata bahari, jumlah penduduk di GPK tercatat 13 878 jiwa. Setelah Wakatobi menjadi Taman Nasional pada tahun 1996, kegiatan penelitian dan kunjungan wisata di Kaledupa mulai meningkat.

Peningkatan ini membuka peluang usaha ekonomi baru sehingga mendorong orang untuk tetap tinggal atau berusaha di Kaledupa. Keadaan demikian terus berlangsung bahkan meningkat t atkala wilayah Wakatobi menjadi daerah otonom kabupaten. Kebutuhan ruang wilayah untuk pelaksanaan pembangunan menjadi sangat penting karena keterbatasan luas wilayah. Jumlah penduduk pun meningkat pesat dari tahun 2002 yang baru mencapai 15 419 jiwa menjadi 17 549 jiwa pada akhir tahun 2006. Pertambahan penduduk tentunya akan m eningkatkan kebutuhan penduduk, antara lain pembukaan lahan pemukiman baru yang umumnya mulai mencapai wilayah tangkapan air atau wilayah sempadan pantai. Selain itu kegiatan memanfaatkan sumberdaya yang tidak ramah lingkungan masih sering terjadi, seperti: pengambilan mangrove untuk kayu bakar, pembuangan sampah ke hutan bakau, dan pengambilan pasir untuk bangunan. Kondisi ini hampir semua terjadi diwilayah GPK.

2. Pelabuhan dan transportasi

Pelabuhan laut (dermaga) di Kaledupa tersebar di beberapa desa sepanjang pusat pemukiman lama sebanyak 7 buah yaitu di Desa Horuo ( terbuat dari batu), Kelurahan Ambeua (terbuat dari semen), Kelurahan Buranga ( terbuat dari beton), Desa Kasuwari ( terbuat dari semen), Desa Lentea ( terbuat dari semen) dan Desa Darawa (terbuat dari batu).

Umumnya dalam upaya pelebaran dan pengelolaan pelabuhan (dermaga) yang dilakukan masih memanfaatkan kawasan mangrove sebagai tempat pembuangan sampah dan tempat perah u/kapal disimpan (tambatan kapal). Selain itu masih ditemukan adanya penggunaan karang sebagai penyangga kapal/perahu yang dilabuhkan di pantai dan sebagian kecil perahu rakyat (sope-sope) masih menggunakan karang untuk jangkar perahu. Ancaman lain adalah tumpahan minyak dan sampah di sekitar dermaga dan jalur lewatnya perahu/kapal ke arah dan keluar dermaga. Hal ini hampir semua terjadi di wilayah pelabuhan GPK.

3. Perikanan Tangkap

Umumnya nelayan penangkap ikan di Kaledupa umumnya masih semi tradisional seperti helemba, bala, bubu, bagan, memancing, menyelam

(menembak ikan). Permasalahan utama yang terdapat di Kaledupa terkait dengan kegiatan perikanan tangkap adalah :

- Penangkapan ikan dengan menggunakan bom dan racun cyanida (NaCN atau KCN). Cara penangkapan yang tidak bijaksana ini dapat menghancurkan terumbu karang serta biota laut lainnya.

- Penangkapan/pemungutan biota laut yang dilindungi, seperti karang hias, penyu, ikan napoleon, kima,kukure,kempa, dll.

4. Perikanan budidaya

Kegiatan perikanan budidaya di Kaledupa umumnya dengan pembesaran dan budidaya. Masalah yang banyak ditemui adalah konflik lokasi budidaya dengan alur transportasi laut dan masih ditemui sampah kegiatan budidaya yang dibuang langsung di sekitar lokasi budidaya.

5. Pertanian

Tipe pemanfaatan lahan untuk produk pangan di Kaledupa relatif sama dengan pulau-pulau lainnya yakni dengan sistem polikultur (budidaya campuran) di lahan kebun/ladang yang memadukan umbi -umbian dan hortikultura secara terbatas. Permasalah yang ada adalah sedimentasi di musim penghujan karena kegiatan kebun/ ladang dilakukan di wilayah pesisir dan berbukit. Walaupun jumlah sedimen yang tergerus relatif sedikit namun jika terus berlangsung setiap musim penghujan akan menjadi masalah. 6. Pariwisata

Kegiatan pariwisata di Kaledupa berlangsung di hampir semua pantai berpasir namun yang paling tinggi dan berkembang adalah di Pulau Hoga (pulau sangat kecil di depan Kaledupa) karena telah dimanfaatkan secara rutin olehOperation Wallaceasebagai lokasi wisata dan penelitian. Selain itu masyarakat lokal dan pemerintah daerah menjadikannya sebagai lokasi rekreasi dan wisata bahari utamanya terjadi pada hari libur, bulan Agustus (perayaan kemerdekaan RI) dan Hari Raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Permasalahannya adalah lim bah yang dihasilkan melalui kegiatan rekreasi dan wisata tersebut.

7. Sosial budaya

Kearifan lokal yang ada di Kaledupa seperti kaombo/limbo serta tata cara (aturan) pengelolaan sumberdaya masih dikenal dan dipraktekkan di beberapa desa. Masalah yang timbul adalah ketidakharmonisan pengaturan yang ada khususnya penzonasian taman nasional dan tata ruang wilayah,

dimana pola perencanaan yang ada masih relatif sangat top down tanpa mengadopsi nilai yang ada dan masih berlaku. Akibatnya, juga berkontribusi terhadap terdegradasinya tatanan adat dan dapat memunculkan “ketidakpengakuan” terhadap norrma / aturan adat.

Uraian di atas menunjukkan bahwa masalah yang ada merupakan kombinasi dari sisi ekologi (lingkungan), ekonomi dan sosial yang terjadi di atas ruang wilayah dan dapat berujung pada ancaman degradasi sumberdaya yang jika tidak dikelola dengan tepat akan mengancam hilangnya sumberdaya dan jasa lingkungan sebagai sistem penunjang kehidupan di GPK . Oleh karena itu untuk mengeliminir resiko dan upaya pengelola an yang optimal maka kegiatan pemanfaatan seyogyanya ditempatkan pada lahan yang sesuai dan pemanfaatannya di batasi oleh daya dukung yang ada.

4.3 Analisis Kesesuaian