• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.4. Pembahasan Penelitian Tahap Dua

4.4.1.4. Indeks fagositosis

Indeks fagositosis pada penelitian tahap dua, untuk perlakuan pakan berkromium berkisar 6.33-24.67%, sedangkan pada kontrol (K0) berkisar 6.67-13.67%. Pada hari ke-14 hingga 21, semua perlakuan pemberian pakan berkromium mengalami peningkatan nilai prosentase indeks fagositosis. Pengaruh utama konsentrasi kromium pada nilai prosentase indeks fagositosis tanpa melihat pengaruh suhu berdasarkan uji Duncan, menunjukkan bahwa pada hari ke-14 nilai prosentase indeks fagositosis tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan berkromium 2 ppm (K2). Pada hari ke-21 dan 28 nilai tertinggi diperoleh pada perlakuan pakan berkromium 1.5 dan 2.0 ppm (K1 dan K2). Pengaruh utama suhu pada nilai prosentase indeks fagositosis tanpa melihat pengaruh konsentrasi kromium berdasarkan uji Duncan menunjukkan bahwa pada hari ke-21 nilai

114

indeks fagositosis tertinggi diperoleh pada suhu 25±2 oC (Tii). Pada kontrol hingga hari ke 28, peningkatan nilai indeks fagositosis relatif kecil.

Berdasarkan data yang telah diuraikan diatas terlihat bahwa pemberian pakan berkromium dengan konsentrasi yang tepat (pada periode sebelum infeksi virus) dapat meningkatkan nilai indeks fagositosis hingga nilai optimal baik pada suhu 20 maupun 25±2 oC. Seperti halnya (data total leukosit dan limfosit pada penelitian tahap 2) bahwa tingkat pemanfaatan kromium pada suhu 25±2 oC diduga lebih efisien sehingga untuk mencapai respon terbaik hanya membutuhkan level konsentrasi kromium 1.5 ppm, dan aplikasi kromium pada konsentrasi 2.0 dan 2.5 ppm pengaruh kromium bersifat negatif.

Setelah infeksi (hari ke-36), semua perlakuan pemberian pakan berkromium dan kontrol mengalami penurunan nilai prosentase indeks fagositosis namun pada hari ke-43 terjadi peningkatan kembali pada perlakuan pemberian pakan berkromium 1.5 dan 2.0 ppm dengan suhu 20±2 oC (K1.Ti, K2.Ti) dan kromium 1,5 ppm dengan suhu 25±2 oC (K1.Tii) . Respon nilai tertinggi pada hari ke-43 dan 57 dicapai oleh pola interaksi perlakuan pakan berkromium dengan konsentrasi 1.5 ppm dengan suhu 25±2 oC (K1.Tii).

Pada periode setelah infeksi virus pemberian pakan berkromium pada konsentrasi yang tepat baik pada suhu 20 maupun 25±2 oC mampu memberikan respon nilai indeks fagositosis yang lebih tinggi selama kejadian infeksi. Data peningkatan nilai indeks fagositosis yang terjadi pada hari ke-43 diperkuat oleh data peningkatan nilai monosit (butir pembahasan monosit penelitian tahap dua). Peningkatan nilai indeks fagositosis pada perlakuan pakan berkromium menggambarkan bahwa kromium trivalensi dalam pakan berpengaruh nyata untuk mempertahankan respon imunitas selama infeksi pada suhu rentan KHV (20 dan 25±2 oC).

Serangan virus pada suhu rentan KHV merupakan stresor yang kuat pada ikan mas (Schreck 1996; Gillad et al. 2003; Perelberg et al. 2005). Stres menggambarkan kondisi terganggunya homeostasis hingga berada di luar batas normalnya serta proses-proses pemulihan untuk memperbaikinya (Wedemeyer dan McLeay 1981). Dalam kondisi stres terjadi realokasi energi metabolik dari aktivitas investasi (pertumbuhan) menjadi aktivitas untuk memperbaiki

homeostasis, seperti respirasi, pergerakan, regulasi hidro mineral dan perbaikan jaringan (Schreck 1996). Akibatnya pemanfaatan energi pakan untuk pertumbuhan ikan termasuk sintesis berbagai komponen sistem imunitas terkurangi.

Pelepasan hormon kortisol dan katekolamin merupakan respon fisiologi yang khas pada kondisi stres (Schreck 1996). Naiknya kadar hormon kortisol dalam darah akibat stres akan memobilisasi glukosa dan cadangan yang disimpan oleh tubuh ke dalam darah, sehingga glukosa dalam darah mengalami kenaikan (Hastuti 2004). Glukosa darah merupakan sumber bahan bakar utama dan substrat esensial untuk metabolisme sel (Steward (1991) dalam Hastuti 2004). Naiknya kadar glukosa darah pada kondisi stres dibutuhkan untuk proses memperbaiki homeostasis selama stres (Schreck 1996). Kebutuhan energi dari glukosa tersebut akan dapat terpenuhi apabila glukosa dalam darah dapat segera masuk ke dalam sel. Masuknya glukosa ke dalam sel bergantung kepada kinerja insulin (Mowat 2006). Efektivitas kinerja insulin dapat ditingkatkan oleh kromium trivalensi, yang diketahui sebagai trace mineral essential (Mowat 2006).

Suplementasi kromium pada konsentrasi optimum diduga mampu mendukung upaya mobilisasi kromium selama kondisi stres (Hastuti 2004). Kromium trivalensi yang memadai akan meningkatkan aktivitas kerja insulin untuk mempercepat masuknya glukosa ke dalam sel, untuk segera dirubah menjadi sejumlah energi yang diperlukan untuk keperluan homeostasis selama stres (Vincent 2000). Efektivitas kerja insulin menjamin ketersediaan energi selama proses homeostasis, sehingga proses homeostasis berjalan lebih baik; kebutuhan energi maintenance masih menyisakan sejumlah energi untuk pertumbuhan, termasuk sintesis berbagai komponen sistem imunitas yang sangat diperlukan dalam mengatasi infeksi. Secara singkat bahwa tingkat homeostasis yang lebih baik selama stres akan menghasilkan respon imunitas yang lebih baik, ditandai oleh respon nilai indeks fagositosis yang memadai untuk mengimbangi infeksi virus.

Perolehan nilai indeks fagositosis pada penelitian tahap dua ini mendukung hasil penelitian sebelumnya (Gatta et al. 2001). Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa pemberian kromium-ragi pada ikan rainbow trout

116

(Onnchorhynchus mykiss) pada konsentrasi 2340 ppb mampu meningkatkan respon imunitas berupa peningkatan aktivitas fagositosis dan respiratory burst. 4.4.2. Respon Ikan yang Diberi Pakan Berkromium terhadap Infeksi KHV 4.4.2.1. Prosentase Kematian Ikan

Nilai rataan prosentasi infeksi mematikan pada perlakuan pakan berkromium berkisar antara 22.22-44.44%, sedangkan pada kontrol berkisar antara 51.11-66.66%. Respon nilai prosentase infeksi mematikan yang terendah, dicapai oleh pola interaksi pakan berkromium 1.5 ppm dengan suhu 25±2 oC (K1.Tii) sebesar 22.22%, diikuti oleh pakan berkromium 2.0 ppm dengan suhu 20±2 oC (K2.Ti) sebesar 31.00%. Sedangkan respon kematian tertinggi pada perlakuan pakan berkromium terdapat pada pakan berkromium 2.5 ppm dengan suhu 25±2 oC (K3.Tii) 40% namun nilainya masih lebih baik dibanding kontrol (51.11-66.66%) (Gambar 23).

Uraian data diatas menunjukkan bahwa pemberian pakan berkromium dengan konsentrasi yang tepat meningkatkan kemampuan ikan dalam mengurangi serangan infeksi virus baik pada suhu 20 maupun 25±2 oC. Kemampuan ikan dalam mengatasi/mengimbangi virulensi virus ini tergambar dari kemampuan ikan dalam mempertahankan beberapa parameter imunitas yang telah diuraikan sebelumnya berupa: nilai hematokrit, nilai total leukosit, nilai prosentase (limfosit, monosit) dan nilai indeks fagositosis.

Seperti halnya telah diuraikan sebelumnya bahwa tingkat pemanfaatan kromium pada suhu 25±2 oC diduga lebih efisien sehingga untuk mencapai respon terbaik hanya membutuhkan level konsentrasi kromium 1.5 ppm, dan aplikasi kromium pada konsentrasi 2 dan 2.5 ppm pengaruh kromium bersifat negatif. 4.4.2.2. Gejala Klinis dan Pola Kematian Ikan

Pengamatan harian yang dilakukan setelah infeksi virus menunjukkan bahwa awal terjadinya gejala klinis pada ikan yang terinfeksi adalah berbeda (Gambar 24). Secara umum penginfeksian virus pada suhu Tii (25±2 oC) menyebabkan awal gejala klinis yang lebih cepat dibandingkan dengan infeksi pada suhu Ti (20±2 oC). Gejala klinis pada ikan kontrol (K0: kromium 0 ppm ) dengan suhu 25±2 oC, mulai teramati pada hari ke-33 dan 34 (4-5 hari setelah

infeksi virus) dan mulai mengalami kematian pada hari ke-36 (7 hari setelah infeksi virus). Iniasiasi gejala klinis yang lebih cepat pada suhu 25±2 oC, menggambarkan tingkat replikasi virus yang lebih mantap pada suhu optimum ini, sehingga lebih cepat menghasilkan infeksi yang produktif.

Pada perlakuan pemberian pakan berkromium 2.0 dan 2.5 ppm dengan suhu 25±2 oC (K2.Tii dan K3.Tii) awal gejala klinis baru terjadi antara hari ke-36 dan 37 (7-8 hari setelah infeksi virus), dan ikan mulai mengalami kematian pada hari ke-39 dan 40 (10-11 hari setelah infeksi virus). Sedangkan pada perlakuan pakan berkromium 1.5 ppm dengan suhu 25±2 oC (K1.Tii), awal gejala klinis baru teramati pada hari ke-38 dan 39 (9-10 hari setelah infeksi virus) dan kematian ikan baru terjadi pada hari ke-42, 43 (13, 14. hari setelah infeksi virus). Inisiasi gejala klinis maupun kematian pada pemberian pakan berkromium konsentrasi 1.5 ppm dengan suhu 25±2 oC (K1.Tii) terjadi lebih lambat dibanding (K2.Tii dan K3.Tii), fenomena ini sejalan dengan data respon imunitas (butir 4.4.1) dan nilai rataan kematian yang lebih rendah pula (butir 4.4.2.1). Dengan demikian respon gejala klinis dan kematian yang lebih lambat disebabkan adanya respon imunitas ikan yang lebih ampuh dalam menghadapi/mengurangi virulensi virus sehingga tingkat kematian karena serangan virus lebih rendah.

Pengamatan pada suhu 20±2 oC (Ti), menunjukkan bahwa awal gejala klinis pada ikan kontrol (K0.Ti), mengalami awal infeksi yang lebih cepat dibandingkan dengan kelompok ikan yang diberi pakan berkromium dengan suhu 20±2 oC (K1.Ti, K2.Ti dan K3.Ti). Ikan kontrol mengalami awal infeksi pada hari ke-36, 37 (7-8 hari setelah infeksi virus), dan mulai mengalami kematian pada hari ke-40, 41 (11, 12 hari setelah infeksi virus). Sedangkan ikan yang diberi pakan berkromium mengalami awal infeksi pada hari ke-38, 39 (9, 10 hari setelah infeksi virus) dan mulai mengalami kematian pada hari ke-43 dan 45 (14 , 16 hari setelah infeksi virus).

Inisiasi gejala klinis dan kematian pada pemberian pakan berkromium dengan suhu 20±2 oC secara umum terjadi lebih lambat dibanding kontrol (kromium nol) pada suhu 20±2 oC (K0.Ti). Seperti halnya pada suhu 25±2 oC, fenomena ini sejalan dengan data respon imunitas (butir 4.4.1) dan nilai rataan kematian (butir 4.4.2.1). Dengan demikian respon gejala klinis dan kematian

118

yang lebih lambat pada ikan yang diberi pakan berkromium dengan suhu 20±2 oC, disebabkan karena peran respon imunitas yang lebih ampuh dalam menghadapi/mengurangi virulensi virus sehingga tingkat kematian karena serangan virus lebih rendah. Tercatat pula bahwa perlakuan pakan berkromium 2 ppm pada suhu 20±2 oC (K2.Ti) menghasilkan respon kematian paling rendah. 4.4.3. Kualitas Air pada Penelitian Tahap Dua

Kisaran kualitas air hasil pengukuran dan atau pengamatan selama penelitian tahap dua (tertera pada Tabel 20.), menunjukkan bahwa media pemeliharaan (kecuali suhu air) selama penelitian berada pada kisaran yang optimal dan mendukung bagi kehidupan ikan mas. Khusus untuk parameter suhu air kisaran suhu yang tercatat telah sesuai dengan perlakuan yang telah dirancang yaitu: Ti (suhu 20±2 oC) dan Tii (suhu 25 ±2 oC).

Menurut Wedemeyer (1996) perairan yang ideal bagi perikanan adalah perairan yang mempunyai nilai pH berkisar 6-9, sedangkan parameter amoniak untuk mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup ikan tidak melebihi kisaran 1-2 mg/l masih Boyd (1982).

Faktor lingkungan lainnya yang mendukung kehidupan ikan adalah kandungan oksigen. Pada budidaya ikan mas kandungan oksigen tidak boleh kurang dari 3 mg/l (Huisman 1974 dalam Zonneveld dkk. 1991).

5.1. Kesimpulan

Suhu 20 dan 25±2 oC lebih dominan mendukung replikasi virus selama kejadian infeksi; dan aktivasi berbagai parameter respon imunitas seluler selama infeksi tidak mampu mengimbangi virulensi virus. Konsentrasi optimal kromium -ragi (Cr3+) pada suhu 20 dan 25±2oC masing-masing adalah 2.0 ppm dan 1.5 ppm. Pada kombinasi ini respon imunitas non spesifik ikan mas maksimal sehingga mampu mengurangi tingkat virulensi virus Herpes.

5.2. Saran

Perlu pengujian lebih lanjut untuk mengevaluasi efektifitas penambahan kromium (Cr3+)-ragi dalam pakan pada skala lapang (dalam sistem budidaya di alam), dengan memperhatikan pula periode pemberiannya. Sebelum aplikasi untuk kegiatan budidaya, perlu adanya uji lanjut yang lebih teliti untuk mengevaluasi kemungkinan pengaruh toksik dari bahan kromium yang digunakan terkait dengan periode pemakaiannya.

Dokumen terkait