• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERKEMBANGAN DAN ANALISIS EKONOMI REGIONAL

2.2. INDIKATOR KESEJAHTERAAN

tukar rupiah terhadap dollar AS sedikit banyak berpengaruh terhadap nilai ekspor. Hal ini karena dapat mengganggu nilai jual produk yang diekspor, dimana, jika rupiah menguat maka nilai ekspor dalam mata uang dolar AS menjadi lebih murah. Nilai total Ekspor DIY selama tahun 2019 (Januari-Desember) tercatat US$403,9 juta, turun dibanding tahun 2018 yang mencapai US$424,8 juta. Dari sisi nilai impor, total nilai impor DIY selama tahun 2019 tercatat US$95,4 juta. Nilai ini juga lebih rendah dibanding tahun lalu yang sebesar US$102,0 juta. Sehingga Neraca perdagangan DIY 2019 tercatat surplus US$308,5 juta. Nilai tersebut lebih rendah dibanding tahun 2018 yang sebesar US$322,8 Juta.

2.2. INDIKATOR KESEJAHTERAAN

2.2.1. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) /Human Development Index (HDI)

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) merupakan indikator komposit yang cukup representatif untuk menggambarkan capaian kualitas pembangunan manusia antar wilayah di Indonesia. Dalam perkembangannya IPM telah beberapa kali mengalami penyempurnaan terkait metode penghitungan maupun indikator penyusunnya. Secara umum, IPM disusun dari empat indikator yang menggambarkan tiga dimensi pembangunan manusia yang paling mendasar, yaitu: umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life) yang diukur dari Umur Harapan Hidup (UHH), pengetahuan (knowledge) yang diukur dari Angka Harapan Lama Sekolah (HLS) dan Rata-rata Lama Sekolah penduduk berusia kerja (RLS), dan standar hidup layak (decent standard of living) yang diukur dari pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan dengan daya beli (Purchasing

Power Parity/PPP) diwilayah yang bersangkutan.6 Pada tahun 2019, IPM di DIY mencapai 79,99 berada pada kategori IPM tinggi ( 70 ≤ IPM ≤ 80 ). Capaian ini meningkat sebesar 0,58 berbasis poin dibanding tahun lalu yang sebesar 79,53 Capaian tersebut lebih tinggi jika dibanding dengan IPM nasional yang tercatat sebesar 71,92. Di tingkat nasional, posisi IPM DIY kembali menempati tertinggi ke-2 setelah DKI Jakarta (80,76).

6Indeks Pembangunan Manusia DIY 2018, BPS DIY

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

23

Capaian IPM selama kurun waktu 2015-2019 mengalami pertumbuhan rata-rata 0,74 persen per tahun. Peningkatan capaian tersebut tidak terlepas dari peningkatan tiap komponen perhitungan IPM, terutama pengeluaran riil per kapita disesuaikan.

Tabel 2.4

Indeks Pembangunan Manusia DIY Menurut Komponen Tahun 2014-2019

Komponen 2015 2016 2017 2018 2019

Umur Harapan Hidup (UHH) 74,68 74,71 74,74 74,82 74,92 Harapan Lama Sekolah (HLS) 15,03 15,23 15,42 15,56 15,58 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) 9,00 9,12 9,19 9,32 9,38 Pengeluaran Riil Per Kapita Setahun (Juta Rp) 12,684 13,229 13,521 13,946 14,394

IPM 77,59 78,38 78,83 79,53 79,99

Pertumbuhan IPM (%) 1,02 0,65 0,65 0,81 0,58

Sumber : BPS Provinsi DIY, BPS RI

Dalam kurun waktu 2015-2019, UHH penduduk DIY telah meningkat sebesar 0,24 tahun (0,32 persen), yaitu dari 74,68 di tahun 2015 menjadi 74,92 di tahun 2019, angka Harapan Lama Sekolah (HLS) di DIY tercatat meningkat sebesar 0,55 tahun (3,66 persen) dan Rata-rata Lama Sekolah (RLS) meningkat sebesar 0,38 tahun (4,22 persen). Dalam kurun waktu selama 5 tahun (2015-2019), berdasarkan hasil penghitungan yang dilakukan, didapatkan hasil bahwa belanja fungsi pendidikan dan fungsi kesehatan mempunyai korelasi atau hubungan yang positif yang kuat dengan IPM di DIY, yang berarti bahwa peningkatan belanja pendidikan dan kesehatan mempunyai peranan sangat besar dan signifikan terhadap peningkatan angka IPM di DIY. Peningkatan belanja kesehatan mendorong meningkatnya UHH melalui kebijakan pemerintah dalam hal penyediaan infrastruktur kesehatan dan layanan kesehatan dasar yang murah, berkualitas dan terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, peningkatan

pengetahuan kesehatan, pembinaan pelayanan kesehatan primer, pembinaan

kesehatan keluarga, pembinaan gizi masyarakat dan lain-lain, sehingga berpengaruh terhadap berkurangnya kasus kejadian kematian bayi dan balita di

Grafik 2.16

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

24

DIY. Sedangkan peningkatan belanja pendidikan selama periode tersebut mendorong kenaikan angka HLS dan ALS melalui kebijakan belanja pemerintah terkait ketersediaan infrastruktur pendidikan tingkat menengah dan tinggi yang representatif, berkualitas, dan mudah diakses oleh seluruh lapisan penduduk, serta peningkatan level kesejahteraan penduduk cukup berpengaruh terhadap peningkatan kualitas pendidikan di DIY. Sementara itu, dari dimensi Standar Hidup Layak kenaikan tercatat sebesar Rp448 ribu (3,32 persen). Tingkat harga komoditas barang dan jasa, terutama bahan makanan, yang relatif lebih murah dibandingkan dengan daerah lain merupakan salah satu faktor yang mendorong daya beli penduduk DIY lebih tinggi dibanding daerah lain, yang berarti nilai nominal uang yang sama akan menjadi lebih tinggi ketika dibelanjakan untuk komoditas yang sama di DIY.

Capaian IPM pada level Kabupaten/Kota di DIY menunjukkan variasi yang berbeda. Kota Yogyakarta mencapai IPM tertinggi diantara seluruh

kabupaten/kota di DIY, bahkan nasional yaitu 86,65 (sangat tinggi/IPM≥80).

Demikian pula halnya dengan Kabupaten Sleman yang mencapai 83,85 (sangat

tinggi). Yang menarik, di tahun 2019 Kabupaten Bantul mengalami kenaikan

status IPM menjadi sangat tinggi dengan indeks 80,01, dibanding tahun 2018 yang sebesar 79,45 (status IPM tinggi). Sedangkan IPM Kabupaten Kulonprogo

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

25

Gunungkidul (69,96) masing menyandang status pembangunan manusia

“sedang”(60≤IPM<70)

Dari sisi pertumbuhannya, dalam waktu 2015-2019 Kabupaten Gunungkidul dan Kulonprogo yang secara level berada di posisi terbawah justru mencatat pertumbuhan IPM per tahun paling cepat, masing-masing sebesar 0,93 persen dan 1,01 persen. Sementara itu, kemajuan IPM di Kabupaten Bantul (0,64 persen/tahun) tercatat paling lambat di DIY, berada di bawah kecepatan pertumbuhan DIY yang sebesar 0,76 persen per tahun.

2.2.2. Tingkat Kemiskinan

Metode pengukuran kemiskinan di Indonesia masih menggunakan pendekatan ekonomi, yaitu diukur dengan pendekatan pengeluaran atau pendekatan kebutuhan dasar minimum (basic needs approach). Dengan pendekatan ini, kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non makanan (pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya) yang diukur dari sisi pengeluaran.

Pada periode September 2019, Garis Kemiskinan (GK) DIY tercatat sebesar Rp449.485,- per kapita per bulan, meningkat sebesar 4,04 persen bila dibanding Maret 2019 yang sebesar Rp432.026 per kapita/bulan. Berdasarkan komponen penyusunnya, komoditas makanan masih mendominasi dalam pembentukan GK,

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

26

yaitu sebesar Rp322.999,- per kapita/bulan (71,86 persen), sedangkan Non Makanan sebesar Rp126.486,- per kapita/bulan (28,14 persen).

Dalam kurun waktu tahun 2015-2019, meski berpola fluktuatif, namun perkembangan jumlah penduduk miskin (Head Count atau disingkat HC) maupun persentasenya (Head Count Index/HCI) di DIY cenderung menurun. Pada periode September 2014 jumlah penduduk miskin masih sebanyak 532,59 ribu jiwa, terus menurun hingga menjadi 440,89 ribu jiwa (11,44 persen) di bulan September 2019.

Menurut tipe daerah, jumlah penduduk miskin di Perdesaan lebih rendah dibanding Perkotaan. Pada periode September 2019, di desa tercatat sebanyak 142,15 ribu jiwa, sedangkan di Kota sebanyak 298,74 ribu jiwa. Namun, secara persentase, jumlah penduduk miskin di desa (13,67 persen) lebih besar dibanding kota (10,62 persen).

Dalam skala nasional,

persentase penduduk miskin DIY tercatat selalu lebih tinggi jika

dibandingkan rata-rata

persentase nasional. Persentase penduduk miskin di DIY yang

sebesar 11,44 persen per

September 2019, berada pada posisi 12 dari 34 provinsi di

Indonesia. Persentase tertinggi adalah provinsi Papua (26,55 persen), sedangkan yang terendah adalah DKI Jakarta (3,42 persen). Dibandingkan dengan provinsi lain di Pulau Jawa, DIY menjadi provinsi termiskin di Jawa.

Persoalan kemiskinan tidak hanya mencakup urusan jumlah dan persentase penduduk miskin, namun perlu diperhatikan pula Indeks Kedalaman Kemiskinan

(P1) dan indeks keparahan kemiskinan (P2). Secara sederhana, P1 adalah

kesenjangan/jarak antara rata-rata pengeluaran penduduk miskin terhadap garis

kemiskinan. Semakin tinggi P1 maka semakin jauh rata-rata pengeluaran

penduduk miskin dari garis kemiskinan. Sedangkan Indeks Keparahan

Kemiskinan (P2) merupakan indikator untuk mengukur kesenjangan/sebaran

pengeluaran di antara penduduk miskin. Semakin tinggi nilai indeks P2

3.47 6.91 10.8 11.7 10.37 5.09 3.42 6.82 10.58 11.44 10.2 4.94 0 3 6 9 12

DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah DI Yogyakarta Jawa Timur Banten Sumber : BPS RI Grafik 2.17

Persentase Penduduk Miskin di Pulau Jawa Tahun 2019

Mar-19 Sep-19

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

27

menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar diantara penduduk miskin itu sendiri.

Tabel 2.5

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) D.I Yogyakarta Periode September 2015 – September 2019

Tahun DIY

Kota Desa K+D

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1)

- Maret 2018 1,910 2,484 2,065

- September 2018 1,577 1,846 1,650

- Maret 2019 1,725 1,783 1,741

- September 2019 1,488 1,697 1,545

Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)

- Maret 2018 0,471 0,593 0,504

- September 2018 0,353 0,337 0,349

- Maret 2019 0,408 0,317 0,384

- September 2019 0,310 0,277 0,301

Sumber : BPS Provinsi DIY

Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) DIY cenderung menurun meski pada Maret

2019 tercatat mengalami peningkatan. Sama halnya dengan indeks Keparahan Kemiskinan (P2). Nilai P1 dan P2 DIY periode September 2019 masing-masing sebesar 1,545 dan 0,301. Dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya,

nilai P1 mengalami penurunan, hal ini menunjukkan bahwa secara rata-rata

pengeluaran penduduk miskin semakin mendekati garis kemiskinan. Sejalan

dengan perkembangan indeks P1, indeks P2 juga menunjukkan penurunan. Indeks

P2 pada September 2019 sebesar 0,301, turun dibanding periode yang sama tahun

sebelumnya (0,349) dan periode Maret 2019 (0,384). Kondisi ini menggambarkan bahwa kesenjangan antara penduduk miskin semakin menyempit (tingkat pengeluaran diantara penduduk miskin semakin homogen).

Berdasarkan wilayah, indeks P1 perdesaan terlihat lebih tinggi dibanding

perkotaan. Namun tren penurunan P1 di desa menunjukkan penurunan yang lebih

konsisten. Hal ini mengindikasikan bahwa upaya pengentasan kemiskinan di desa

sudah on track. Demikian halnya dengan indeks P2. Meski di desa juga cenderung

lebih tinggi dibanding di kota, namun penurunan indeks P2 di desa juga

menunjukkan konsistensi. Pada periode September 2019, indeks P2 turun cukup

signifikan dibanding September 2018 maupun Maret 2019. Secara umum, tingginya angka indeks Kedalaman Kemiskinan dan Keparahan Kemiskinan di desa dibanding kota merefleksikan persoalan kemiskinan di desa lebih kompleks dibandingkan kota.

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

28

2.2.3. Ketimpangan (Gini Ratio)

Indeks Gini atau Koefisien Gini merupakan indikator yang menunjukkan tingkat ketidakmerataan distribusi pendapatan penduduk suatu wilayah, dengan skala nilai antara 0 hingga 1. Nilai 0 menunjukkan pemerataan sempurna, sedangkan 1 menunjukkan ketimpangan paling parah. Indeks Gini di DIY periode September 2019 tercatat 0,428, berada diatas rata-rata Nasional yang sebesar 0,384.

Capaian sebesar 0,428 tersebut menempatkan DIY sebagai provinsi dengan tingkat ketimpangan tertinggi di Indonesia. Angka gini rasio dalam kurun waktu 5

tahun terakhir (2015-2019) di DIY memiliki tren fluktuatif. Indeks tertinggi terjadi pada periode Maret 2018 (0,441), yang kemudian menurun menjadi 0,423 (Maret 2019), namun pada periode September 2019 kembali meningkat menjadi 0,428. Peningkatan ini mengindikasikan adanya peningkatan ketimpangan penduduk.

Berdasarkan daerah tempat tinggal, ketimpangan nampak lebih jelas di daerah perkotaan. Fenomena ini terjadi karena alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan industri dan permukiman/real estate sedang marak di DIY beberapa tahun ini, terutama daerah perkotaan (Sleman dan Yogyakarta). Masyarakat di kawasan perdesaan DIY yang sebagian besar bermata-pencaharian bertani yang tidak memiliki kompetensi yang memadai untuk bisa bersaing dalam mendapatkan pekerjaan di sektor industri. Hal tersebut mengakibatkan ketimpangan kesejahteraan antar kelas di masyarakat dan antar kawasan perkotaan dan perdesaan di Yogyakarta semakin melebar.

Selain Indeks Gini, BPS juga menggunakan ukuran Bank Dunia untuk menghitung tingkat ketimpangan dengan kategori dikatakan “tinggi” jika persentase pengeluaran kelompok penduduk 40 persen terbawah angkanya dibawah 12 persen, dikatakan “sedang” jika angkanya berkisar antara 12-17 persen dan dikatakan “rendah” jika diatas 17 persen.

0.443 0.428 0.423 0.423 0.435 0.447 0.442 0.421 0.424 0.43 0.334 0.332 0.344 0.343 0.34 0.317 0.35 0.326 0.328 0.326 0.438 0.42 0.42 0.425 0.432 0.44 0.441 0.422 0.423 0.428 0.1 0.3 0.5

Mar 2015 Sept 2015 Mar 2016 Sept 2016 Mar 2017 Sept 2017 Mar 2018 Sept 2018 Mar 2019 Sept 2019

SUMBER : BPS DIY

Grafik 2.18

Perkembangan Indeks Gini Menurut Daerah tempat tinggal di DIY Tahun 2014-2019

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

29

Tabel 2.6

Distribusi Pengeluaran Penduduk di DIY Tahun 2018-2019 (Persentase)

Daerah Periode Kelompok Penduduk 40% (Berpengeluaran Rendah) 40% (Berpengeluaran Menengah) 20% (Berpengeluaran Tinggi) Rasio Kuznet Perkotaan Maret 2018 14,32 35,63 50,05 3,5 September 2018 14,80 37,36 47,48 3,2 Maret 2019 15,00 36,81 48,19 3,2 September 2019 14,57 36,44 48,99 3,4 Perdesaan Maret 2018 19,47 37,84 42,69 2,2 September 2018 20,66 39,07 40,26 1,9 Maret 2019 19,73 39,82 40,45 2,1 September 2019 19,88 39,64 40,48 2,0 Perkotaan dan Perdesaan Maret 2018 14,83 34,38 50,79 3,4 September 2018 15,65 35,03 49,32 3,2 Maret 2019 15,36 35,76 48,88 3,2 September 2019 15,22 35,18 49,60 3,3

Sumber : BPS DIY; 2020 (Diolah)

Dengan melihat data pada tabel diatas, tingkat ketimpangan di DIY tahun 2019 menurut ukuran Bank Dunia masih tergolong kategori “sedang”. Pada kondisi September 2019, 40 persen kelompok pengeluaran rendah di DIY memiliki share 15,22 persen dari total pengeluaran penduduk. Angka tersebut menunjukkan penurunan sebesar 0,43 poin dibandingkan September 2018 yang sebesar 15,65 persen. Sementara 40 persen penduduk pengeluaran menengah dan 20 persen penduduk pengeluaran tinggi menerima tambahan sebesar masing-masing 0,15 dan 0,28 poin. Jika dihitung menggunakan rasio Kuznet, maka rasio 20 persen penduduk pengeluaran tinggi besarnya 3,3 kali lipat pengeluaran 40 persen penduduk pengeluaran rendah. Rasio Kuznet bulan September 2019 menunjukkan peningkatan dibanding September 2018. Kondisi ini menunjukkan ketimpangan pengeluaran penduduk DIY yang semakin melebar.

2.2.4. Kondisi Ketenagakerjaan dan Tingkat Pengangguran

2.2.4.1. Angkatan Kerja dan Penduduk Bekerja

Jumlah penduduk usia kerja (15 tahun keatas) di DIY pada Agustus 2019 sebanyak 3,021 juta orang. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2,204 juta orang merupakan angkatan kerja. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) merupakan persentase antara jumlah penduduk tergolong angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja TPAK di DIY pada bulan Agustus 2019 sebesar 72,94 . Angka ini lebih rendah sebesar 0,43 persen jika dibandingkan keadaan pada Agustus 2018 yang mencapai 73,37 persen.

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

30

Struktur penduduk bekerja menurut lapangan pekerjaan pada kondisi Agustus 2019 pasar tenaga kerja di DIY masih didominasi oleh tiga besar lapangan usaha utama yaitu Pertanian, Kehutanan dan Perikanan (19,01 persen), Perdagangan (18,96 persen), dan Industri Pengolahan (17,05 persen). Besarnya penyerapan tenaga kerja pada ketiga lapangan usaha tersebut menunjukkan bahwa sektor tradisional masih mendominasi struktur lapangan kerja utama di DIY. Berdasarkan status pekerjaan utama, pada Agustus 2019 separuh lebih penduduk DIY bekerja pada sektor informal (51,66 persen), dan 48,34 persen sisanya bekerja di sektor formal,

dimana dalam sektor ini sebagian besar adalah kelompok

Buruh/Karyawan/Pegawai yang mencapai 44,26 persen dan kelompok Berusaha

dibantu Buruh Tetap sebesar 15,27 persen.

Meski masih didominasi oleh penduduk bekerja berpendidikan rendah (SD ke bawah) sebanyak 28,04 persen, namun perbaikan kualitas penduduk bekerja ditunjukkan oleh meningkatnya penduduk bekerja berpendidikan tinggi (Universitas). Hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya angka 11,49 persen pada Agustus 2018 menjadi 12,87 persen pada Agustus 2019.

2.2.4.2. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

TPT DIY kondisi Agustus 2019 sebesar 3,14 persen, menurun 0,21 persen dibanding TPT Agustus 2018. Angka ini lebih rendah dari TPT Nasional kondisi Agustus 2019 (5,34 persen). Namun demikian, capaian sebesar 3,35 persen ini masih dibawah target tingkat pengangguran yang ditetapkan dalam KUPA DIY 2019 yang sebesar 4,8-5,2% persen.

Tabel 2.7

TPT Menurut Wilayah DIY Agustus 2017-Agustus 2019

Periode Perkotaan Perdesaan TPT DIYTPT DIY Perkotaan TPT Nasional Perdesaan TPT Nasional

Agustus 2017 3,61 1,66 3,02 6,79 4,01 5,50 Agustus 2018 4,07 1,60 3,35 6,45 4,04 5,34 Agustus 2019 3,78 1,52 3,14 6,31 3,99 5,28 31.4 2 16.8 9 15.6 1 2 0 .3 4 4.65 11.0 9 28.7 6 17.3 2 15.7 6 22.2 4.47 11.4 9 28.0 4 1 6 .7 4 17.2 5 20.7 8 4.32 12.8 7 S D K E B A W A H S M P S M A S M K D I / D I I / D I I I U N I V E R S I T A S / D I V Sumber : BPS DIY G r a f i k 2 . 1 9 P e r s e n t a s e P e n d u d u k B e k e r j a M e n u r u t P e n d i d i k a n T e r t i n g g i Y a n g D i t a m a t k a n D i D I Y A g u s t u s 2 0 1 7 - A g u s t u s 2 0 1 9 ( D a l a m P e r s e n )

Kajian Fiskal Regional Tahunan 2019 Tingkat Wilayah DIY

31

Sumber : BPS Provinsi DIY

Berdasarkan tempat tinggal, TPT Perkotaan nampak selalu cenderung lebih tinggi dibanding daerah perdesaan. Pada Agustus 2019, TPT perkotaan tercatat sebesar 3,78 persen sedangkan TPT Perdesaan sebesar 1,52 persen. Hal ini terjadi karena wilayah perkotaan memiliki sektor formal yang lebih sulit dimasuki oleh angkatan kerja karena membutuhkan keahlian atau syarat-syarat tertentu dibanding sektor informal. Sedangkan lapangan usaha di perdesaan didominasi oleh pertanian, dimana sektor ini memang lebih banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu, penduduk di daerah perdesaan cenderung tidak terlalu selektif dalam memilih lapangan kerja di banding penduduk perkotaan. Penduduk desa yang yang telah berpendidikan tinggi sebagian besar memilih merantau ke kota untuk mencari pekerjaa. Selain itu, angkatan kerja baru di perkotaan juga cenderung lebih selektif dalam memilih lapangan usaha yang sesuai dengan keahlian dan upah yang diharapkan.

Secara spasial, di tahun 2019 wilayah dengan TPT tertinggi adalah Kota

Yogyakarta (4,80 persen), disusul

Kabupaten Sleman (3,93 persen) dan Kabupaten Bantul (3,06 persen). Kondisi

ini menunjukkan bahwa semakin maju suatu wilayah perkotaan, lapangan kerja yang tersedia lebih banyak berasal dari sektor formal yang membutuhkan ijazah atau keahlian tertentu, sehingga lebih sulit untuk memasuki pasar kerja di wilayah perkotaan.

2.3. EFEKTIVITAS KEBIJAKAN MAKRO EKONOMI DAN PEMBANGUNAN