• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP PASCA 1965

D. Interaksi Etnik Tionghoa dan Etnik Jawa di Cilacap

Masyarakat Tionghoa di Cilacap merupakan kaum minoritas homogen (berasal dari beberapa ras dan kebudayaan. Dilihat dari pola interaksi etnik Tionghoa dengan orang pribumi, interaksi etnik Tionghoa dengan pribumi sangat erat. Ditinjau dari kedudukan sosial (social position) orang etnik Tionghoa berada sejajar dengan pribumi di Cilacap, bila ditinjau dari faktor ekonomi etnik Tionghoa mem ang lebih makmur di bandingkan orang pribumi26. Dengan adanya faktor tersebut, etnik Tionghoa cenderung berada di atas orang pribumi dalam pola interaksinya. Orang pribumi di Cilacap l ebih banyak bekerja mengadu nasib kepada etnik Tionghoa yang tergolong sangat mampu ekonominya sebagai kuli angkut, penjaga gudang, tukang pukul dan pembantu rumah tangga. Selain itu hubungan interaksi etnik Tionghoa dengan pribumi dalam kehidupan sehari-hari juga sangat harmonis dan penuh dengan kekeluargaan.

Pada hakekatnya etnik Tionghoa yang tinggal dan menetap di Cilacap mampu beradaptasi dengan budaya setempat. Apalagi orang Tionghoa yang sudah lama menetap dan tinggal di Cilacap dan sudah merasa menj adi bagian dari masyarakat Cilacap meskipun secara etnik (ras) mereka berbeda. Biasanya etnik Tionghoa yang mampu melakukan adaptasi dengan budaya setempat atau melakukan suatu pembauran adalah kelompok Tionghoa peranakan karena mereka lebih bisa terbuka d alam hal menerima

pengaruh dari kebudayaan luar. Sedangkan kelompok Tionghoa totok adalah mereka yang sulit untuk beradaptasi dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kelompok ini cenderung lebih tertutup dan tidak pandai berbaur dengan masy arakat sekitar27.

Orang Tionghoa yang ada di Cilacap merupakan orang Tionghoa yang berasal dari beragam asal-usul. Ada Tionghoa Hokian yang pandai berdagang, Tionghoa Hong Fu yang ahli pertukangan dan mebel, Tionghoa Heng Hua yang ahli mesin dan Tionghoa Hu Pei yang ahli gigi. Meski mereka beragam suku atau fam-nya, namun dimanapun berada mereka tetap mengedepankan sikap persaudaraan. Termasuk di Cilacap, meski terdapat perbedaan adat-istiadat yang berlaku, dalam posisi di perantauan mereka selalu mengutamakan rasa kekeluargaan. Dalam berdagangpun mereka jarang memandang pedagang Tionghoa lainnya sebagai pesaing. Dari semangat bersatu dan bersaudara inilah mereka jadi besar dan eksis.

Selain semangat kekeluargaan tersebut, masyarakat etnik Tionghoa di Cilacap juga memiliki sikap toleransi yang cukup tinggi bahkan sikap yang dimiliki oleh orang Tionghoa inilah yang banyak menguntungkan mereka karena dalam bidang perdagangannya mereka bisa menjangkau masyarakat luas28.

Interaksi atau pembauran yang terjadi antara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap adalah sangat erat, dan memiliki rasa persaudaraan yang begitu tinggi. Mereka juga sama-sama mempunyai sikap sali ng menghormati dan bekerjasama dengan baik,

27 Wawancara dengan Bpk. Wahyudi, 17 Juni 2006, di Cilacap 28 Ibid

33

karena mereka sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga tidak heran banyak di antara mereka telah melakukan perkawinan campur29.

Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dengan Jawa di Cilacap umumnya dilakukan oleh etnik Tionghoa peranakan. Karena Tionghoa peranakan yang lebih terbuka dalam hal menerima pengaruh kebudayaan setempat yang kemudian juga bisa menerima adanya suatu perkawinan campur. Terjadinya perkawinan campur karena masing-masing pihak saling membutuhkan. Karena di satu sisi orang pribumi sangat tergantung dengan kesuksesan etnik Tionghoa dalam hal perekonomiannya, sedangkan disisi lain etnik Tionghoa jug a sangat membutuhkan pribumi untuk melindungi sebagai masyarakat minoritas dan juga untuk mendapatkan pengakuan yang sah tentang keberadaan status kewarganegaraannya agar dapat diakui oleh masyarakat sekitar dimana mereka tinggal30.

Selain itu, perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa terjadi karena, ada alasan dari orang Tionghoa yaitu bahwa mereka mau melakukan perkawinan campur dengan etnik Jawa karena pada umumnya orang Tionghoa yang ada di Cilacap tidak mau bahkan malu dipanggil dengan sebutan ”Cina” karena menurutnya ada suatu pendiskriditan komunitas yang menjadikan masyarakat Tionghoa enggan disebut Cina. Maka dari itu, orang Tionghoa mau melakukan perkawinan campur dengan pribumi agar mendapat keturunan dari pribumi dan mendapat status pengakuan sebagai warga

29 Wawancara dengan Ibu Bhe Lian Fang, 16 Juni 2006, di Cilacap. 30 Ibid

Indonesia. Karena menurutnya jika orang Tionghoa memiliki status sebagai keturunan orang Indonesia maka lama-kelamaan status sebagai orang Cina nya akan berkurang31.

Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap umumnya sudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar karena perkawinan yang mereka lakukan sudah sah menurut hukum dan agama. Setelah menikah, masing -masing pelaku perkawinan campur juga lebih bisa terbuka dalam hal me nerima pengaruh kebudayaan. Mereka biasanya membuat suatu kebudayaan baru di dalam kehidupan sehari -hari mereka terutama dalam hal mendidik anak dan dalam kehidupan sehari -hari mereka. Membuat suatu kebudayaan baru di dalam mendidik anak biasanya, cara mer eka mendidik anak sifatnya lebih terbuka dan bebas dalam hal apapun. Dalam penggunaan bahasa untuk berkomunikasi sehari -hari mereka di rumah, biasanya mereka mendidik anak-anak mereka dengan memakai bahasa Indonesia dan bahasa Cina hanya sebagai formalitas saja atau bahkan mereka membebaskan anak -anaknya untuk memilih bahasa apapun yang akan mereka pergunakan dalam berkomunikasi. Sedangkan, pada saat hari -hari besar keagamaan maupun -hari--hari besar lainnya mereka merayakan bersama -sama tanpa saling membedak an, namun ada juga di antara mereka yang tidak pernah merayakan kedua-duanya. Tetapi walaupun demikian, mereka dapat saling menghormati dan hidup rukun di dalam suatu lingkungan masyarakat dan rumah tangga yang harmonis32.

31 Ibid 32 Ibid

35

BAB III

TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN