• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP

E. Hal mengenai pendidikan anak

Pada umumnya suami istri pasangan perkawinan campur setelah menikah dan mempunyai anak, wajib memelihara dan mendidik anaknya sampai anak itu kawin. Mereka umumnya memberikan kebebasan bagi an ak-anaknya dalam memilih agama dan melaksanakan kebudayaannya. Dalam hal ini peran orang tua hanya mengarahkan anaknya ke hal-hal yang positif dan pemilihan itu tergantung pada anaknya.

Sistim pendidikan bagi kedua orang tua beda adat dan kebudayaan yang diterapkan kepada anak-anaknya lebih bersifat terbuka, para orang tua sudah tidak lagi didominasi oleh faktor pengaruh adat dan kebudayaan yang berbeda, tetapi mereka

justru menerapkan pendidikan kepada anaknya bagaimana cara menghargai dan menerima perbeda an kebudayaan itu untuk dipadu menjadi suatu persamaan di dalam lingkungan keluarga, agar di dalam lingkungan keluarga tersebut tidak ada suatu perbedaan lagi. Para orang tua juga tidak mengharuskan bahwa anaknya harus dididik secara Tionghoa atau bahkan dididik secara Jawa. Semuanya itu mereka serahkan seutuhnya kepada kebijakan si anak sendiri di dalam menjalani hidup.

Dalam melaksanakan upacara-upacara kebesaran seperti tahun baru Imlek, upacara sekatennan, dan hari-hari besar lainnya yang menyangkut keb udayaan Jawa dan Tionghoa, umumnya para orang tua membebaskan anaknya untuk mengikuti semua perayaan tersebut baik dari sisi adat Jawa maupun Tionghoa. Para orang tua wajib memperkenalkan kedua kebudayaan tersebut bukan menjadi ssuatu perbedaan melainkan suatu persamaan yang harus mereka jalani dalam kehidupan sehari -hari.

Dalam hal memilih tempat sekolah, para orang tua juga membebaskan anaknya bersekolah di tempat sekolah yang mereka inginkan. Tidak ada sekolah khusus untuk anak-anak mereka. Di dalam pergaulan dengan keluarga maupun sesamanya, orang tua juga tidak membatasi harus dengan siapa anaknya bergaul. Justru bagi sebagian besar Tionghoa peranakan yang sifatnya lebih terbuka dalam menerima kebudayaan, mereka umumnya lebih pandai bersosialisasi dan p andai bergaul dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan sekitarnya.

77 BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dan pribumi yang terjadi pasca 1965 umumnya sudah tidak sepert i yang terjadi pada masa kolonial. Perkawinan campur yang terjadi pada masa kolonial itu pelaksanaannya tidak sah. Dikatakan tidak sah karena proses perkawinan biasanya tidak diakui oleh pemerintah, hukum, dan agama . Karena pada waktu itu, pemerintah Belanda tidak setuju kalau etnik Tionghoa menikah dengan pribumi. Padahal, segala macam aturan dan hukum pada waktu itu masih berada di bawah kekuasaan Belanda. Sedangkan perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dan pribumi pasca 1965 pelaksanannya sah dan sudah diakui oleh pemerintah, hukum, dan agama, karena sudah tidak ada campur tangan lagi dari pihak kolonial, dan dengan diberlakukannya UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang hukum adat dan hukum agama semakin membuka kesempatan luas bagi mereka yang aka n melakukan perkawinan campur beda etnik dan kebudayaan, terutama etnik Tionghoa dan pribumi.

Setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, akibat hukum dari perkawinan menurut pandangan masyarakat sekitar pada umumnya dan masyarakat Cilacap pada khususnya terhadap perkawinan campur, mendapat pengaruh yang positif dan keberadaan mereka sangat di terima dalam masyarakat karena telah memenuhi syarat sahnya perkawinan yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang mengatur tentang

perkawinan. Dan perkawinan mereka juga telah mendapatkan akta perkawinan yang sah dari Kantor Catatan Sipil.

Pada umumnya hambatan terbesar yang sering terjadi bagi sepasang calon suami istri yang akan melakukan perkawinan campur adalah faktor dari keluarga kedua pihak. Hal ini disebabkan karena masing -masing keluarga kedua pihak sangat menentang keras jika anak-anak mereka melakukan perkawinan campur beda etnik. Alasan etnik Tionghoa menentang adanya perkawinan campur bagi anak -anaknya karena, mereka menganggap bahwa orang-orang Jawa biasanya hidupnya malas dan tidak mau bekerja keras. Selain itu juga mereka menganggap bahwa orang Jawa identik dengan poligami dan hanya memanfaatkan harta kekayaannya saja. Sedangkan alasan bagi orang Jawa menentang perkawinan campur, karena orang Jawa yang hidupnya masih mempertahankan prinsip bibit, bebet, dan bobot merasa takut kalau anaknya melakukan perkawinan campur maka status sosialnya menjadi tidak jelas.

Tetapi, bagi sebagian besar mereka yang akan melakukan perkawinan campur, hambatan tersebut bukan merupakan sebagai penghalang untuk mereka melangkah ke jenjang pernikahan. Karena bagi mereka faktor pendorong yang terpenting untuk melaksanakan perkawinanannya yaitu untuk hidup bersama dan mempunyai keturunan yang sah. Selain itu juga karena rasa saling mencintai sudah cukup bagi mereka untuk melangsungkan perkawinannya.

Proses berlangsungnya perkawinan campur bagi etnik Tionghoa dan pribumi khususnya di Cilacap pada umumnya dalam memilih adat mana yang akan dipakai untuk pelaksanaan upacara adat tidak terlalu sulit, karena masing-masing pihak mempunyai

79

kebijakan sendiri dalam menentukan adat mana yang akan dipakai. Bagi sebagian besar etnik Tionghoa dan Jawa yang masih mementingkan adat leluhurnya maka, mereka akan melangsungkan pro sesi adat asal dari masing-masing pihak yang bersangkutan. Tetapi, bagi mereka yang tidak terlalu mementingkan adat leluhurnya maka, biasanya mereka hanya menggunakan adat dari salah satu pihak, bahkan tak jarang bagi mereka ada yang sama sekali tidak menggunakan adat manapun atau mereka melangsungkan pernikahannya hanya dengan upacara pemberkatan di gereja saja.

Hasil dari perkawinan campur yang sering disebut dengan Tionghoa peranakan mempunyai karakter berbeda dengan Tionghoa totok dan pribumi. Mereka umumnya mempunyai sikap yang lebih terbuka dan fleksibel dalam hal menerima pengaruh kebudayaan, agama, dan adat setempat. Pada umumnya Tionghoa peranakan hidupnya mendapat simpati yang positif bagi kalangan pribumi dibandingkan kelompok Tionghoa totok.

Kehidupan sehari -hari mereka yang telah melangsungkan perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi khususnya di Cilacap, pada umumnya sudah tidak lagi didominasi oleh adat masing -masing pihak, melainkan mereka dapat dikatakan sebagai hasil dari sebu ah sintesa (akulturasi) dari dua budaya yang berbeda menjadi satu budaya yang baru.

B. Saran.

Sebuah penelitian sangat penting untuk menjaga agar sumber -sumber sejarah tidak hilang. Untuk itu saya berharap agar pihak yang terkait seperti Pemerintah Daerah

Cilacap dapat membantu para peneliti yang berminat melakukan penelitian guna mengumpulkan bukti -bukti sejarah Cilacap. Hal ini agar para peneliti merasa mendapat dukungan.

Di Cilacap masih terdapat tempat-tempat bersejarah dan berbagai bentuk kebudayaan yang belum terungkap dan diteliti. Hal ini sudah sepantasnya menjadi perhatian semua pihak karena tempat-tempat bersejarah tersebut merupakan peninggalan masa lalu yang berharga. Semua itu dapat memperkaya khasanah sejarah lokal dan sejarah Nasional. Jika dibiarkan maka hal ini akan sangat disayangkan karena seiring dengan berjalannya waktu tidak mungkin semua itu dapat hilang. Mengingat pentingnya semua itu maka penulis menyarankan kepada masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat Cilacap pada khususnya:

Saran kepada seluruh lapisan masyarakat pribumi pada umumnya dan masyarakat Cilacap pada khususnya agar tidak ada lagi diskriminasi terhadap kaum minoritas seperti etnik Tionghoa. Semoga dengan adanya perkawinan campur dapat mempererat hubungan dan hidup berdampingan dengan damai antar berbagai etnik khususnya etnik Tionghoa dan pribumi di Cilacap.

81