• Tidak ada hasil yang ditemukan

TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP

C. Adat Perceraian

Pada umumnya aturan tentang perkawinan dan perceraian di dalam hukum adat dipengaruhi oleh agama yang dianut masyarakat adat yang bersangkutan. Jadi anggota-anggota masyarakat adat yang menganut agama Islam dipengaruhi oleh hukum perkawinan dan perceraian Islam, yang menganut agama Kristen/Katolik dipengaruhi oleh hukum Kristen/Katolik, yang menganut agama Hindhu/Buddha dipengaruhi hukum Hindhu/Buddha. Sejauh mana pengaruh hukum agama itu terhadap anggota -anggota

71

masyarakat adat tidak sama, dikarenakan sendi adat dan lingkungan masyarakat yang berbeda-beda, walaupun dalam satu daerah lingkungan adat yang sama.

Bagi masyarakat Indonesia, yang sebagian besar mayoritas penduduknya beragama Islam, pengaturan persoalan perceraian banyak dipengaruhi oleh hukum Islam. Walaupun demikian di dalam pelaksanaannya hukum adat setempat masih banyak berpengaruh. Misalnya pada masyarakat Jawa Tengah yang sistim kekerabatannya

bilateral, nampak ada kecenderungan, bahwa perceraian berdasarkan kata sepakat dari suami dan istri. Sedangkan menurut hukum Islam adalah tidak demikian. Alasan untuk putusnya hubungan perkawinan atau perceraian menurut hukum Islam yang untuk sebagian besar diikuti oleh sebagian masyarakat Jawa Tengah, adalah: karena meninggalnya salah seorang dari pasangan, yang disebut cerai mati dan ada karena cerai hidup67.

Perceraian yang disebabkan karena matinya salah seorang anggota pasangan, tidak banyak menimbulkan suatu persoalan yang mengakibatkan retaknya hubungan, justru masing-masing anggota asal pasangan tersebut turut bersimpati dan ikut membantu meringankan beban penderitaan akibat matinya salah satu pasangan. Persoalan yang menyangkut perceraian mati ini baru timbul, jika pasangan tersebut tidak mempunyai keturunan, sedangkan karena sesuatu hal perlu diadakan pembagian warisan. Dan mengenai cerai hidup, ini bisa terjadi karena adanya beberapa sebab yaitu

67 DEPDIKBUD, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah, Jakarta, 1978/1978. hlm. 92

talaq-taklid, riddah atau murtad, syiqoq, Li’an, Chulk, fasch, yang kesemuanya diatur dalam hukum perceraian menurut agama Islam68.

Selain itu faktor-faktor penyebab adanya perceraian yang lainnya adalah, akibat perselingkuhan yang dilakukan oleh pihak suami maupun istri, padahal mereka masih terikat hubungan perkawinan yang sah. Dan penyebab lainnya adalah faktor -faktor kebutuhan ekonomi yang seringkali menyebabkan ketegangan dan sikap yang kaku dan permusuhan yang tak kunjung padam.

Di dalam agama Katolik putusnya perkawinan dikarenakan perceraian (cerai hidup) pada dasarnya tidak boleh terjadi. Agama Katolik adalah satu-satunya agama yang menolak perceraian69. Hal ini dikarenakan bahwa perceraian di kalangan ummat Katolik tidak bisa terjadi, ada kemungkinan orang Katolik melakukan percer aian di Kantor Catatan Sipil dan tidak ada halangan dari pihak agama. Tetapi jika hal itu terjadi berarti yang bersangkutan melakukan perceraian sipil dan belum memperoleh perceraian Gerejani, sehingga ia tidak boleh melakukan perkawinan keagamaan Katolik 70.

Sesungguhnya dalam agama Katolik ada perkawinan yang tak terceraikan dan ada yng boleh diceraikan. Hal mana dapat dilihat dari sifat sakramental perkawinan itu. Perkawinan yang disebut Ratum et consummatum (perkawinannya sah dan kedua suami istri sudah bersetubuh) tidak dapat diputuskan oleh kuasa manusiawi manapun juga dan

68 Ibid, hlm. 92.

69 J. Konigsmann, Pedomam Hukum Perkawinan Geredja Katolik, Nusa Indah Ende Flores, 1989. hlm. 99.

70 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju: Bandung, 2003. hlm.166.

73

atas alasan apapun selain oleh kemati an71. Sedangkan perkawinan Ratum (perkawinan yang sah tetapi kedua suami istri belum bersetubuh) atau perkawinan antara orang yang telah dibaptis atau antara orang yang dibaptis dan tidak dibaptis, dapat diputusk an oleh Sri Paus atas alasan yang wajar berdasarkan permintaan keduanya atau salah seorang dari mereka, meskipun pihak yang lain tidak menyetujuinya 72.

Menurut UU no. 1-1974 pasal 38 mengatakan bahwa perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian dan atas keputusan pengadilan. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian har us ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri (pasal 29 [1 -3] ) gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan. Tata cara mengajukan gugatan tersebut diatur dalam peraturan perundangan tersendiri (pasal 40 [1-2] )73.

Menurut pasal 19 PP no. 9-1974 dikatakan bahwa perceraian dapat terjadi karena alasan-alasan sebagai berikut:

a) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

b) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut -turut tanpa izin pihak lain dan tanpa ada alasan yang s ah atau karena hal lain di luar kemampuannya.

71 Kitab Hukum Kanonik 1141 72 Kitab Hukum Kanonik 1142

c) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.

d) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.

e) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri.

f) Antara suami dan istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga74.

Di dalam kasus perkawinan campur beda etnik yang terjadi khususnya di daerah Cilacap, setelah peneliti melakukan penelitian, peneliti tidak menemukan adanya perceraian di dalam rumah tangga mereka. Mereka umumnya hidup rukun dan damai. Karena, selain mereka hidup rukun dan damai, mereka juga penganut agama Katolik yang pantang bagi mereka untuk melakukan perceraian.