• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP PASCA 1965

A. Latar belakang masuknya etnik Tionghoa di Cilacap

Berdiamnya etnik Tionghoa di Cilacap adalah akibat migrasi, karena adanya suatu perdagangan yang mereka lakukan dengan berbagai pedagang -pedagang lain di Nusantara kurang lebih sejak tahun 413 M, perdagangan yang dilakukan dengan perlahan meninggalkan beberapa kelompok etnik Tionghoa di pelabuhan -pelabuhan Nusantara. Jumlah ini tentu makin meningkat, mengingat kekayaan Nusantara yang luar biasa itu. Walaupun agak perlahan dan bertahap, kemudian terjadilah perkawinan campur antara etnik Tionghoa Totok dengan pribumi. Hubungan tersebut melahirkan kelompok Tionghoa Peranakan. Pada tahap ini menurut Hans J. Daeng, para generasi-generasi awal Tionghoa Peranakan itu pasti ditarik ke dalam lingkungan pergaulan dengan golongan Tionghoa Totok, mereka dididik menjadi Tionghoa Totok9.

Sejak abad ke-17 hingga 20, posisi etnik Tionghoa di Cilacap makin diperkuat lantaran mereka dibutuhkan Belanda sebagai pedagang -antara. Mereka diharapkan menjadi penghubung dalam bidang perdagangan antara pribumi dengan Belanda yang memiliki jaringan perdagangan yang jauh lebih luas. Kasarnya, Tionghoa menguasai

9 Hans. J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta, 2002. hlm. 275.

pasar-pasar desa sampai ke pelabuhan-pelabuhan besar. Semuanya terpelihara dalam sistem jaringan pekerjaan yang saling m enguntungkan.

Etnik Tionghoa yang ada di Cilacap, sebenarnya berasal dari beberapa kelompok dari berbagai daerah dan beberapa propinsi di negara Cina, di antaranya yaitu

Fukien dan Kwangtung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran yang datang ke Cilacap menggunakan bahasa Hokkien, Toechiu, Hakka, dan Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicaraan dari bahasa yang satu tak dapat dimengerti pembicara dari yang lain10. Walaupun etnik Tionghoa perantau itu, terdiri dari paling sedikit empat suku -bangsa, namun dalam pandangan masyarakat Cilacap pada umumnya hanya terbagi ke dalam dua golongan yaitu Peranakan dan Totok11.

Masyarakat Tionghoa di Cilacap bukan merupakan masyarakat minoritas homogen. Dari sudut kebudayaan, etnik Tionghoa terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan Peranakan dan golongan Totok. Golongan Peranakan adalah etnik Tionghoa yang sudah lama tinggal di Cilacap atau hasil dari perkawinan campur dengan pribumi dan umumnya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari -hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Golongan Totok adalah etnik Tionghoa yang sulit beradaptasi dan tidak pernah berbaur dengan masyarakat pribumi, umumnya mereka membuat komunitas sendiri yang mereka lakukan bersama dengan sesama orang Tionghoa Totok. Namun dengan berhentinya migrasi dari Tiongkok, jumlah Totok sudah

10 Kontjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan: Jakarta, 2002. hlm. 351

17

menurun dan keturunan Totok pun telah mengalami pembauran. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Cilacap sebetulnya sudah mengalami Peranakan12.

Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan kelahiran saja, artinya: golongan Peranakan itu, bukan hanya etnik Tionghoa yang lahir di Cilacap atau hasil perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dengan pribumi, sedangkan golongan

Totok bukan hanya etnik Tionghoa yang lahir di negara Tionghoa. Penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian atau akulturasi dari para perantau Tionghoa itu terhadap kebudayaan Indonesia yang berada di sekita rnya, sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau itu yang telah berada di Cilacap dan kepada intensitas perkawinan campuran yang telah terjadi diantara para perantau itu dengan etnik Jawa di Cilacap.

Salah satu hal yang perlu diterangkan mengenai soal identifikasi etnik Tionghoa, ialah soal kewarganegaraan yang merupakan suatu hal yang rumit. Dalam zaman kolonial semua etnik Tionghoa yang ada di Indonesia, secara yuridis diperlukan sebagai satu golongan yang dikenakan sistem hukum perdata yang berbeda dengan orang pribumi, ialah hukum untuk orang Timur Asing. Dalam negara Cina, yang menetapkan ke-dwinegaraan bagi etnik Tionghoa di Indonesia, agar mereka dapat dikenakan aturan-aturan hukum Hindia-Belanda. Keadaan ini diwa risi oleh negara kita, waktu Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada kita, pada tahun 1949. pada waktu itu semua etnik Tionghoa di Indonesia mempunyai ke -dwinegaraan, yaitu menjadi warga negara Cina sekaligus merangkap menjadi warga negara Indonesia.

12 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta, 2002. hlm. 17.

Sistem kekerabatan etnik Tionghoa di Cilacap sangat kuat. Seperti yang terlihat dalam hubungan yang terjalin antara lapisan buruh dan lapisan majikan, mereka hidup bersama tanpa ada suatu perbedaan yang mencolok. Hal ini disebabkan karena ikatan kekeluargaan yang terjalin diantara mereka sangat harmonis, sehingga perbedaan diantara lapisan buruh dan lapisan majikan pun hampir tidak kentara.

Pada umumnya etnik Tionghoa di Cilacap mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang. Mereka umumnya para pedagang yang dapat membina hubungan baik dengan para penguasa pribumi. Mula-mula di Banten, tetapi kemudian di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para usahawan Tionghoa ini berfungsi sebagai penghubung antara Indonesia dengan dunia luar, terutama antara Indonesia dengan Tiongkok.

Mengenai agama, di Cilacap umumnya orang menganggap bahwa etnik Tionghoa itu memeluk agama Buddha. Memang di negara Cina sebagian besar rakyatnya memeluk agama Buddha, tetapi di Cilacap etnik Tionghoa adalah pemeluk agama Buddha, Kungfu-tse, Tao, Protestan, Katholik, atau Islam. Mengenai agama Buddha, Kungfu-tse, dan Tao ketiga-tiganya dipuja bersama-sama oleh suatu unit perkumpulan yang bernama perkumpulan Sam Kauw Hwee atau yang lebih terkenal dengan sebutan perkumpulan tiga agama.

Pada masa Orde Lama di Indonesia dikenal ada enam agama yang diakui oleh pemerintah, hal ini tercantum dalam UU No. 1/PNPS/1965 yang menyatakan bahwa pemerintah mengakui agama Islam, Protestan, Katholik Roma, Buddha, Hindhu dan Konghucu. Tapi dalam perkembangannya agama Konghuc u sejak zaman Orde Baru tidak lagi diakui sebagai agama di Indonesia, melainkan sebagai ajaran etika atau bentuk

19

filsafat yang mengajarkan kebijakan tertentu. Pernyataan ini tertuang dalam surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri pada tanggal 28 Desember 1979.