• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan ideal dan pembatasan jodoh menurut etnik Tionghoa dan Jawa

TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP

2. Perkawinan ideal dan pembatasan jodoh menurut etnik Tionghoa dan Jawa

Semua masyarakat di dunia mempunyai larangan -larangan terhadap pemilihan jodoh bagi anggota -anggota keluarganya, termasuk juga bagi masyarakat di Jawa khususnya di Cilacap. Di dalam masyarakat orang jawa yang berasal dari lapisan berpendidikan di kota -kota misalnya, hampir tidak ada pembatasan asal saja mereka ingat bahwa mereka tidak boleh memilih jodohnya yang mempunyai ikatan darah atau saudara kandung, karena menurut sebagian besar kepercayaan orang Jawa bahwa menikah dengan saudara kandung atau yang masih mempunyai ikatan darah sangat diharamkan, selain itu dalam perundangan juga di larang.

Untuk melaksanakan tujuan perkawinan seperti tersebut di atas, mereka khususnya yang akan melakukan perkawinan campur (etnik Tionghoa dengan pribumi) mempunyai bermacam -macam penilaian terhadap penentuan pasangannya dalam perkawinan. Mereka mengetahui bahwa perkawinan mana yang tidak disukai, yang diperbolehkan dan perkawinan yang diharapkan. Faktor-faktor yang biasanya dipakai untuk penilaian adalah hubungan kerabat, latar belakang sosial ekonomi, dan usia.

45

Dahulu faktor agama juga diperhitungkan. Mereka mengharap, kawin dengan orang yang mempunyai persamaan agama sangatlah lebih baik dari pada yang beda agama. Tetapi, unsur ini sudah mulai sedikit peminatnya .

Pada umumnya seseorang yang telah melakukan perkawinan campur beda etnik khususnya etnik Tionghoa dan Jawa, mereka mengatakan perkawinan itu ideal atau perkawinan itu adalah kurang baik, adalah adat dan hukum agama. Tetapi dari hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan bahwa , pertimbangan itu tidak terletak pada adat dan hukum agama, melainkan pada logika. Apa yang dikatakan adat bahkan tidak berlaku sama sekali dalam pasanga n perkawinan campur beda etnik dan beda kebudayaan ini. Di bawah ini akan di uraikan mengenai fak tor-faktor penghambat dan pendorong yang biasanya dipakai sebagai bahan pertimbangan, untuk pembatasan jodoh perkawinan campur beda etnik.

Umur anak dianggap masak untuk kawin. Karena periode yang

dipergunakan dalam penelitian ini pada kurun waktu 1971 -an maka orang-orang yang diwawancaraipun adalah orang-orang yang telah melakukan perkawinan campur kira-kira pada tahun tersebut. Maka mengenai umur dalam suatu perkawinan, rata-rata mereka menikah pada usia 15 tahun bagi seorang perempuan dan 16/17 tahun bagi seorang laki-laki. Hal ini biasa terjadi pada masyarakat Jawa jaman dahulu karena pada umumnya mereka masih bersifat k olot.42 Menurut etnik Tionghoa faktor usia juga tidak dipermasalahkan. Bagi mereka, jika mereka mempunyai anak perempuan asalkan sudah dinilai dewasa dan mereka sudah menstruasi mereka diperboleh kan menikah dengan

syarat seorang laki-laki yang akan menikahinya harus sudah mapan dan siap secara lahir-batin. Hal ini dilakukan demi untuk kebahagiaan sang putrinya. Dan begitu juga sebaliknya bagi orang etnik Tionghoa yang mempunyai anak laki -laki biasanya anak laki-laki tersebut harus sudah mempunyai pekerjaan tetap dahulu baru bisa menikah. 43

Faktor agama dan adat sebagai penentu suatu perkawinan . Masyarakat Indonesia yang bersifat majemuk khususnya dalam perspektif agama. Sebagian besar memeluk agama Islam, dan kira-kira tiga persen dari rakyat Indonesia memeluk agama Kristen katolik. Hubungan antara orang-orang Islam dan orang-orang Katolik tidaklah selalu mulus, walaupun c ukup jarang terjadi konfrontasi langsung antara para pemeluk kedua agama besar tersebut. Salah satu penyebab dari keadaan itu kiranya adalah kurangnya pengetahuan yang benar tentang pandangan agama lain. Oleh karenanya, hubungan antara mereka sering kali lebih didasari oleh berbagai prasangka atau bahkan salah sangka. Begitu juga dengan adat istiadat yang berbeda-beda di negara kita yang harus kita patuhi dan kita hormati.

Dalam suatu perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa yang harus dilaksanakan dengan perbedaan agama dan adat mereka (suami/istri) mengaku bahwa perbedaan agama dan adat tidak merupakan sebagai penghalang atau kendala yang besar untuk melangsungkan suatu pernikahan. Yang terpenting bagi mereka adalah cinta dan kebersamaan yang terjalin untuk bisa sukses dalam mengarungi bahtera rumah tangganya. Mereka adalah sepasang suami/istri yang beragama Islam dan Katolik. Dalam upacara perkawinannya mereka melangsungkan pemberkatan perkawinan di

47

Gereja dengan cara Katolik. Tetapi setelah 14 tahun usia perkawinan sang suami yang orang etnik Jawa dan beragama Islam memutuskan untuk di baptis dan menjadi Katolik. Begitu juga dengan pasangan yang lainnya, mereka juga mengakui hal yang sam a bahwa perbedaan agama dan adat tidak pernah menjadi suatu kendala bagi mereka untuk melangsungkan suatu perkawinan. Tetapi kebanyakan dari mereka yang sudah resmi menjadi suami/istri telah pada akhirnya memeluk agama Kristen/Katolik.

Dalam pandangan keluarga kedua belah pihak, sebenarnya mereka sangat menentang keras perkawinan beda agama dan beda adat. Menurut salah seorang dari keluarga etnik Tionghoa, mereka memang tidak pernah merestui keturunannya menikah dengan Orang Jawa apalagi bagi keluarga Tionghoa yang mempunyai anak perempuan tidak akan pernah diperbolehkan menikah dengan orang Jawa dengan alasan bahwa Orang Jawa sering melakukan poligami dan tidak tekun dalam mencari nafkah dan pasti hidupnya akan miskin. Selain itu etnik Tionghoa juga mengan ggap jika didalam satu keluarga ada yang menikah campur antara kewarganegaraan maka keturunan didalam lingkungan keluarga She/marga tidak akan jelas.44 Begitu juga sebaliknya bagi sebagian orang Jawa yang masih memperhitungkan bibit, bebet, bobot45. Mereka tidak akan pernah setuju untuk merestui anaknya melakukan perkawinan dengan beda adat dan agama dengan alasan itu semua demi untuk kebahagiaan anak -anaknya.46

44 Wawancara dengan Ibu Elisabet Ragawati (Bhe Lian Fang), 19 Juni 2006, di Cilacap. 45Bibit adalah asal-usul si calon, bisa di lihat dari sifat, latar belakang pendidikan, dan penyakit yang ada pada si calon harus benar-benar di teliti dengan baik. Bebet adalah asal-usul keluarga atau ketuunannya, apakah si calon berasal dari keluarga baik-baik, terhormat, atau sebaliknya. Sedangkan

Bobot adalah yang berarti kekayaan, dan pekerjaannya.

Tetapi hal seperti itu tidak mempengaruhi atau menjadi suatu halangan bagi laki-laki dan perempuan yang akan melakukan perkawinan campur, karena menurut mereka cinta dan janji setia sehidup semati adalah hal yang paling penting dibandingkan yang lainnya dalam melangsungkan suatu perkawinan.

Latar belakang ekonomi dan sosial. Pada umumnya orang lebih suka memilih pasangan perkawinan dengan orang yang mempunyai tingkat derajat sosial yang setingkat. Mereka pada umumnya mengatakan bahwa perbedaan latar belakang sosial ekonomi seringkali dapat menjadikan sumber ketegangan. Keteganga n akibat perbedaan latar belakang ekonomi dan sosial ini dapat dihilangkan karena salah satu dari pasangan yang keadaan ekonominya lemah dapat menutupnya dengan kelebihan di dalam bidang yang lain, misalnya karena menunjukkan kerja yang rajin dan tekun. Kejadian ini umum terjadi di kalangan petani. Bagi sebagian masyarakat Jawa yang masih mempunyai keturunan dari keluarga bangsawan yang masih berusaha memelihara gelar kebangsawanannya, membatasi pekawinan anaknya dengan orang -orang yang tidak mempunyai gela r kebangsawanan. Dan bagi orang Jawa golongan biasa dan bukan merupakan keturunan keluarga bangsawan pada umumnya mereka juga mempunyai prinsip yang sama hanya perbedaannya bukan gelar keba ngsawanan yang dipertahankan tetapi adalah derajat kepandaiaian atau keberhasilan si pemuda di dalam bidang usaha. 47

Dalam hal ini orang Jawa baik yang berasal dari keluarga keturunan bangsawan sampai keturunan orang biasa sekalipun , mereka pada umumnya masih mempertahankan prinsip

bibit, bebet, bobot bahwa mereka mengharapkan anaknya menikah dengan orang yang

47DEPDIKBUD, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah, Jakarta, 1978/1979. hlm. 50-51.

49

berasal dari keluarga baik-baik (misalnya bukan dari keluarga pencuri dan pembunuh, dan lain-lain.), selain itu mereka juga meng harapkan anaknya menikah dengan orang yang sudah mempunyai pekerjaan tetap dan sudah mempunyai tempat tinggal pribadi. Hal ini terjadi karena pada jaman dahulu pada umumny a istri tidak bekerja. Supaya kebutuhan rumah tangga tercukupi, maka suami harus mempunyai pangkat yang tinggi atau pandai mencari nafkah.

Bagi etnik Tionghoa mengenai latar belakang ekonomi dan sosial dalam pemilihan calon pasangan anaknya, mereka juga pa da umumnya hampir mempunyai prinsip yang sama dengan orang Jawa yaitu ingin memberikan sesuatu yang terbaik untuk anaknya. Hanya saja dalam hal ini orang etnik Tionghoa sangat memperhatikan keturunan dari She/Marga bahwa kelak dikemudian hari mereka mengha rapkaan anaknya menikah dengan orang yang masih mempunyai keturunan she/marga yang sama agar semakin terjalin erat antara She/Marga yang satu dengan yang lainnya. Selain itu, orang etnik Tionghoa juga mengharapkan anaknya menikah dengan orang yang lebih kaya dan mempunyai status sosial yang lebih tinggi dibandingkan dirinya. Ini dikarenakan orang Tionghoa tidak ingin setelah anaknya menikah hidupnya akan sengsara dan selalu bergantung dengan usaha kedua orang tuanya.

Tetapi hal demikian bukan merupakan sua tu ukuran bagi pasangan yang telah melakukan perkawinan campur. Hal yang terpenting bagi mereka adalah apabila sudah siap untuk menikah berarti bagi seorang suami harus dapat menjadi pelindung bagi keluarganya. Bahwa ia harus dapat melindungi keluarga terh adap rintangan atau kesukaran apapun baik moril maupun material. Dia adalah tempat berlindung dan

bergantung dari seluruh anggota keluarganya dan selalu membuat keluarga tenang dan tenteram. Selain itu juga harus sudah siap secara lahir batin menafkahi ist ri dan anggota keluarga yang lain. Jadi suami harus dapat memenuhi ekonomi rumah tangganya.

3. Syarat sahnya suatu perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa Orang melakukan perkawinan dengan tujuan untuk hidup bersama dan juga untuk mempunyai keturunan yang s ah menurut hukum dan agama yang berlaku, artinya mendapat pengesahan hukum dan pengakuan masyarakat. O leh karena itu suatu perkawinan bukan hanya kepentingan dua orang anggota pasangan saja , tetapi juga melibatkan dua keluarga asal dan masyarakat. Karena itu orang yang akan melakukan perkawinan dikenakan kepadanya syarat -syarat itu antara lain adalah.

Umur. Bagi seorang perempuan diharapkan sesudah menstruasi dan si pria sesudah mencapai umur dewasa dan sudah pandai di dalam bekerja. Dan sudah mempunyai pekerjaan sendiri, karena sesudah perkawinan diharapkan kepada pasangan itu untuk hidup berumah tangga sendiri artinya mampu mencukupi kebutuhan hidup sendiri. Tetapi kadang-kadang syarat tersebut tidak di pandang terlalu penting bagi mereka yang mempunyai keluarga yang kaya raya, karena jika salah seorang dari pasangan tersebut berasal dari keluarga orang kaya maka setelah menikah mereka akan tinggal serumah dengan keluarga tersebut dan kehidupan rumah tangga mereka pun sudah terjamin.

Mas kawin. Mas kawin adalah sejumlah harta kekayaan yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada pihak perempuan sebelum upacara perkawinan berlangsung.

51

Wujudnya kadang-kadang berupa sejumlah uang atau barang, binatang atau bahan makanan48. Sekarang orang lebih suka menempuh jalan yang mudah, ialah keseluruhannya diwujudkan dalam bentuk uang. Begitu juga yang telah dilakukan oleh sebagian besar pasangan yang melakukan perkawinan campur ini. Mereka lebih suka mas kawinnya berbentuk uang karena menurut mereka uang tidak terlalu banyak merepotkan mereka.

Besar kecilnya mas kawin (bride-price) itu tentu berbeda-beda pada berbagai suku bangsa di duni a. Kadang-kadang besar kecilnya mas kawin harus ditetapkan secara bermusyawarah antara kedua pihak yang bersangkutan, dan sesuai dengan kedudukan, kepandaian, kecantikan, umur, dan sebagainya.

Mengenai siapakah yang sebenarnya harus membayar mas kawin itu , dan kepada siapakah mas kawin harus diberikan biasanya ada tiga kemungkinan, berikut penjelasannya:

a) Mas kawin diberikan kepada kaum kerabat gadis dengan atau tidak dengan diterangkan lebih lanjut siapakah diantara kaum keluarga si gadis yang menjadi o rang penerima mas kawinnya. b) Mas kawin diberikan kepada si gadis sendiri

c) Mas kawin untuk sebagian diberikan kepada gadis, dan sebagian kepada kaum kerabat si gadis. Fungsinya yaitu tentu u ntuk memperkuat hubungan baik antara kedua kelompok kerabat. Disini menjadi lebih jelas bahwa dalam suatu perkawinan itu bukan hanya terjadi pada dua orang individu saja melainkan semata-mata soal dari seluruh kedua kelompok kekerabatan49.

48 Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, P.T. Dian Rakyat:Jakarta, 1974. hlm. 99.

4. Tata cara perkawinan bagi perkawinan campur etnik Tionghoa dan Jawa