• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata cara perkawinan bagi perkawinan campur etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap

TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP

4. Tata cara perkawinan bagi perkawinan campur etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap

Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa khususnya di Cilacap yang terjadi pada periode kira-kira tahun 1971-an merupakan perkawinan yang sangat langka karena pada tahun tersebut hanya sedikit orang yang melakukan perkawinan campur. Hal ini terjadi karena faktor adat dan kebudayaan yang dipegang oleh masyarakat Jawa di Cilacap pada jaman dahulu masih sangat kuat. Maka, bagi sebagian besar orang Jawa yang masih mementingkan kebudayaan adat mengharuskan mereka yang akan melakukan perkawinan campur beda etnik, proses pelaksanaan upacara pernikahan harus menggunakan adat Jawa50. Kebijakan ini juga sama pula dengan sebagian besar etnik Tionghoa yang sangat mementingkan kebudayaan leluhurnya, mereka juga mengharapkan perkawinan tersebut harus menggunakan adat Tionghoa. Oleh karena itu, maka biasanya pelaksanaan perkawinan dil aksanakan dengan menggunakan dua adat di tempat yang terpisah, yaitu di rumah pihak etnik Jawa dan di rumah pihak etnik Tionghoa. Tetapi pelaksanaannya bergantian. Biasanya yang pertama kali mendapat giliran yaitu di rumah pihak mempelai putri barulah kemu dian di rumah pihak laki-laki51.

Upacara perkawinan mempunyai maksud dan tujuan untuk menyatukan dua insan dalam satu keluarga yang disahkan oleh lembaga perkawinan secara sah. Upacara perkawinan merupakan pengumuman kepada khalayak masyarakat, sekaligus menjalani

50 Wawancara dengan Ibu Purwani, 17 Juni 2006, di Cilacap.

53

upacara pasangan tersebut menapak ke jenjang kedewasaan berumah tangga. Sehingga dengan demikian pasangan tersebut telah layak memasuki gerbang rumah tangga sekaligus memasuki komunitas masyarakat dengan status telah berkel uarga52.

Untuk menuju ke proses upacara perkawinan, terlebih dahulu diadakan upacara pertunangan dan lamaran. Upacara pertunangan dimaksudkan sebagai tanda pengikat sementara sebelum diresmikan dalam suatu perkawinan antara seorang pria dan wanita yang ditandai dengan melakukan tukar cincin sebagai tanda pengikat. Sedangkan upacara lamaran dimaksudkan untuk menanyakan apakah si gadis tersebut sudah di lamar orang lain atau belum, bila belum, keluarga laki -laki mengajukan permohonan supaya gadis yang telah menjadi pi lihan anaknya diijinkan oleh pihak perempuan untuk dilamar. Setelah pihak perempuan mengijinkan anaknya untuk dilamar oleh laki -laki pilihannya, barulah pihak laki -laki melakukan kunjungan ke rumah perempuan untuk melamar. Setelah itu barulah kemudian memb uat suatu kesepakatan mengenai hari pernikahan.

Sesudah adanya kesepakatan bersama mengenai hari pernikahan, maka diadakan peresmian hubungan antara pemuda dan si gadis dengan diadakannya upacara perkawinan. Dalam penggunaan adat atau agama tergantung dari apa agama yang dianut oleh kedua mempelai dan menurut tata cara adat setempat. Upacara perkawinan diadakan dengan memakai kedua adat menurut tata cara Tionghoa dan Jawa atau bahkan hanya memakai salah satu di antara kedua adat tersebut. Karena masing-masing di antara mereka ada yang tidak mempermasalahkan tentang adat mana yang mau dipakai dalam

52 H. Ramli Nawawi, Budaya Masyarakat Suku Bangsa Jawa di Kabupaten Wonosobo Propinsi Jawa Tengah, Balai Kajian Sejarah:Yogyakarta, 2002. hlm. 73.

tata cara proses perkawinan campur. Menurut mereka adat manapun yang akan dipakai semua sama saja yang terpenting dalam hal ini adalah maknanya dan nilainya. Biasa nya mereka melakukan akad nikah atau ijab kabul di depan penghulu atau pemberkatan perkawinan di Gereja, dan kemudian pencatatan perkawinan di lakukan di Catatan Sipil karena secara hukum agama, negara maupun adat hubungan keduanya telah sah53.

Demikianlah proses tata cara perkawinan menurut adat Jawa dan adat Tionghoa, bahwa dalam hal pelaksanaan upacara perkawinan campur beda adat dan suku bangsa ini, tidak begitu sulit menentukan adat mana yang akan dipakai dalam tata upacara perkawinan yang akan berlangsung. Karena dengan kebijakan kedua pihak, mereka sama-sama melaksanakan dua adat tanpa ada paksaan dan hambatan dari luar. Dan semuanya tidak ada permasalahan dan perbedaan.

Proses perkawinan campur yang berlangsung dengan menggunakan adat yang berbeda inipun umumnya berjalan dengan sukses dan sempurna. Para kerabat kedua pihak yang berlainan etnis ini dalam merayakan pernikahan kerabatnya itu, umumnya membaur akrab dan hubungan persaudaraan pun terjalin dengan sangat harmonis.

Pada umumnya kedua mempelai pelaku perkawinan campur beda etnik yang sudah resmi menjadi suami istri, mereka akan membuat sebuah kebudayaan baru dalam menjalani kehidupan rumah tangganya. Dan sifatnya menjadi lebih terbuka dalam hal menerima kebudayaan. Membuat sebuah keb udayaan baru, karena setelah menikah mereka sudah mulai meninggalkan tata cara adat yang berasal dari kedua pihak (Jawa

53 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat Hukum Agama, Mandar Maju: Bandung, 2003. hlm. 97-99

55

dan Tionghoa), tetapi mereka menggabungkan kedua unsur kebudayaan tersebut menjadi satu tanpa ada suatu perbedaaan. Biasanya ini dilakuk an dalam hal mendidik anak dan dalam merayakan hari-hari besar keagamaan atau yang lainnya.

Selain itu suami dan istri mempunyai kedudukan yang sama dalam perkawinan, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan bermasyarakat. Kedudukan yang seimbang ini dibarengi dengan adanya hak dan kewajiban yang sama pula untuk membina dan menegakkan rumah tangga dengan dasar saling mencintai, menghormati, setia, dan memberi bantuan lahir batin.

Setelah berlakunya UU No. 1 Tahun 1974, akibat hukum dari perkawinan campur beda etnik dan kebudayaan terhadap kedudukan suami istri adalah sama rata dan tidak ada perbedaan, karena perkawinan yang mereka lakukan menurut negara telah dianggap sah karena telah memenuhi syarat sahnya perkawinan menurut Pasal 2 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974. dan perkawinan mereka juga telah mendapatkan akta perkawinan yang sah dari Kantor Catatan Sipil. Walaupun mereka telah menikah dengan latar belakang etnik yang berbeda, tetapi mereka tetap hidup berdampingan secara rukun dan damai di dalam lingkungan masyarakat sekitar. Dan oleh masyarakat sekitar, keberadaan perkawinan mereka umumnya juga telah diakui secara sah. Jadi, tidak ada suatu permasalahan yang rumit bagi para pelaku perkawinan campur dimata negara dan masyarakat sekitar.

56 A. Adat Menetap Sesudah Kawin

Pada umumnya orang Jawa tidak mempersoalkan tempat menetap seseorang sesudah ia kawin. Seseorang bebas menentukan apakah ia menetap di sekitar tempat kediaman kerabat sendiri atau kerabat istrinya atau tempat tinggal yang baru yang terpisah dari kerabat kedua belah pihak.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pemilihan tempat tinggal sesudah perkawinan. Di antaranya adalah umur pasangan, keadaan ekonomi orang tua, tempat bekerja suami/istri. Dan pengharapan dari orang tua kedua belah pihak54.

Apabila keadaan ekonomi pasangan itu belum kuat, sedang keadaan ekonomi orang tua salah satu anggota pasangan lebih kuat daripada yang lain, serta mereka tidak bekerja pada suatu tempat yang mengharuskan mereka berpisah dengan tempat asal mereka sendiri atau tempat asal pasangannya, maka biasanya mereka akan tinggal bersama atau berdekatan dengan orang tua salah satu pihak yang keadaan ekonominya lebih kuat.

Menurut beberapa informan mengatakan bahwa pasangan suami istri di daerah Cilacap yang baru menikah selalu memilih tempat tinggalnya di rumah orang tua istri. Hal ini disebabkan kemungkinan orang tua gadis mengharapkan anak menantu laki

54 DEPDIKBUD, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Jawa Tengah, Jakarta, 1978/1979. hlm. 86.

57

lakinya tinggal bersama atau berdekatan dengan dia, sehingga banyak waktu yang dapat diberikan untuk membantu pekerjaa nnya atau bebas biaya hidupnya. Kemungkinan yang lain adalah permintaan si istri. Si istri dengan bertempat tinggal bersama atau berdekatan dengan orang tuanya sendiri, akan merasa lebih banyak mendapat perlindungan yang lebih mudah atau bebas di dalam men gatur rumah tangga atau bekerja untuk kepentingan rumah tangga. Bila dibandingkan dengan mereka tinggal bersama atau berdekatan dengan mertua perempuan. Ia akan terus menerus diawasi dan senantiasa hidupnya selalu terus diatur dan tidak bebas55.

Pada kalangan bangsawan keraton, pola menetap sesudah kawin mula -mula adalah patrilokal, ialah mendiami satu rumah keluarga pihak l aki-laki, sampai mempunyai anak satu atau dua, dan selanjutnya pindah untuk bertempat tinggal sendiri atau neolokal56. Hal seperti ini juga biasa terjadi bagi kalangan orang-orang yang mengerti akan tanggungjawabnya sebagai lelaki. Pada umumnya sesudah perkawinannya, pihak lelaki menginginkan istrinya untuk sementara memilih tempat tinggal bersama atau berdekatan dengan orang tua pihak lelaki. Menurutnya, ini disebabkan karena pihal lelaki menyadari bahwa sudah seharusnyalah pihak lelaki yang bertanggung jawab akan kesejahteraan keluarganya.

Pasangan suami istri sesudah perkawinanya, sebagian besar memilih tempat tinggalnya untuk beberapa tahun sebelum bisa memiliki rumah sendiri, tinggal dilingkungan dekat kelu arga pihak istri. Ini mengakibatkan keluarga pihak istri lebih

55 Wawancara dengan sdr. Diah, Pada tanggal 28 Agustus 2006, di Cilacap. 56DEPDIKBUD, Op.cit, hlm.87.

banyak mengawasi, mengatur dan juga memberi andil dalam pertumbuhan yang baru itu. Akibatnya walaupun suami yang menjadi kepala keluarga tetapi si istri mempunyai pengaruh yang lebih besar.

Menurut para antropolog, ada beberapa paling sedikit tujuh kemungkinan adat menetap sesudah nikah, yaitu:

1. Adat utrolokal, yang memberi kemerdekaan kepada tiap pengantin baru untuk menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami atau di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri;

2. Adat virilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami;

3. Adat uxorilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru menetap sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri;

4. Adat bilokal, yang menentukan bahwa pengantin baru harus tinggal berganti -ganti, pada suatu masa tertentu sekitar pusat kediaman kerabat suami, pada lain masa tertentu sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri;

5. Adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tin ggal sendiri di tempat kediaman yang baru, tidak mengelompok sekitar tempat kediaman kaum kerabat suami maupun istri;

6. Adat avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal menetap sekitar tempat kediaman saudara laki-laki ibu dari suami;

7. Adat natolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru tinggal terpisah, suami tinggal sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri, dan si istri tinggal di sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri pula57.

Adat menetap sesudah nikah antara lain mempengaruhi pergaulan kekerabatan dalam suatu masyarakat. Kalau misalnya dalam suatu masyarakat ada adat virilokal, dengan sendirinya di tempat -tempat, desa-desa, atau daerah-daerah lokal akan mengelompok menjadi suatu keluarga yang terikat oleh suatu hubungan kekerabatan yang dapat diperhitungkan melalui garis orang laki -laki. Dalam tiap keluarga batih dalam suatu masyarakat serupa itu anak-anak akan terutama bergaul dengan kaum kerabat dari pihak ayahnya, sedangkan kaum kerabat dari pihak ibu yang semuanya

59

tinggal di tempat-tempat, desa-desa, atau daerah-daerah lain, kurang mereka kenal. Demikian tiap adat menetap sesudah nikah menentukan dengan kaum kera bat manakah orang akan banyak bergaul58.

Bagi etnik Tionghoa dalam hal mem ilih tempat tinggal setelah kawin, pada umumnya tidak berbeda jauh seperti yang telah terjadi pada masyarakat Jawa di daerah Cilacap. Hanya saja bagi sebagian etnik Tionghoa yang masih memperhatikan adat dan kebudayaan leluhurnya, biasanya mereka mengingin kan anaknya yang telah menikah campur dengan orang Jawa, mengharuskan mereka untuk memilih tempat tinggal berdekatan dengan anggota lingkungan keluarga Tionghoa. Hal ini disebabkan karena kekhawatiran pihak keluarga etnik Tionghoa akan hilangnya status ana knya sebagai orang keturunan Tionghoa dan kekhawatiran akan pudarnya budaya dan tradisi ketionghoaannya. Maka bagi sebagian besar pasangan yang telah melakukan perkawinan campur yang belum memiliki tempat tinggal pribadi, mereka lebih memilih untuk tinggal bersama salah satu pihak dari keluarga Tionghoa.

Tetapi, para pelaku kawin campur beda etnik yang ada di Cilacap, umumnya setelah kawin mereka memilih tempat tinggal sementara yaitu mengikuti pihak suami dan tinggal menetap bersama suami dalam lingkungan kerabat suami, entah itu yang laki-laki (Jawa maupun Tionghoa). Karena menurutnya, sudah sewajarnyalah pihak istri (Jawa maupun Tionghoa) harus mengikuti jejak langkah sang suami. Bagi yang sudah mempunyai tempat tinggal pribadi, mereka umumnya lebih memil ih lokasi jauh dengan

lingkungan dari keluarga pihak istri maupun suami, tetapi masih di dalam kota yang sama59.

B. Hubungan Suami dan Istri Serta Suami Istri dan Kerabat