• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkawinan campur antar etnik Tionghoa dan pribumi pasca 1965 : studi kasus orang Tionghoa dan Jawa di Cilacap - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Perkawinan campur antar etnik Tionghoa dan pribumi pasca 1965 : studi kasus orang Tionghoa dan Jawa di Cilacap - USD Repository"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

i Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma

Skripsi

Oleh LINA WIDIATI

014314006

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

(2)

ii

(3)
(4)

iv

HALAMAN MOTTO

Kebahagiaan

Adalah untuk mereka yang menangis

Mereka yang tersakiti

Mereka yang lebih mencari

Dan mereka yang telah mencoba

Karena merekalah yang bisa menghargai

Betapa pentingnya orang

Yang telah menyentuh kehidupan mereka



(penulis)

Hargailah cita-cita dan impianmu, karena

kedua hal ini adalah anak jiwamu

dan cetak biru prestasi puncakmu

(Napoleon Hill)

”Kalian masih muda. Jangan sia-siakan usia itu.

Terus bekerja dan bekerja. Kalau sudah tua, kalian

Tidak bisa apa-apa lagi selain hanya menanti panggilan

Kubur”

(Pramoedya Ananta Toer)

(5)

HALAMAN PERSEMBAHAN



Terimakasih Tuhan Yesus atas segala kebaikanmu

dan keajaibanmu sehingga skripsi ini dapat

terselesaikan



Sebuah persembahan untuk :

Perjalanan hidupku...

papa, mama tercinta di Cilacap yang selalu memberikan aku cinta, kasih sayang, doa dan dukungan.

For my lovely ”Pupus” (mas X-na) yang selalu ada dalam setiap hari -hariku, setia menemaniku yang selalu memberikan masukan, diskusi, serta

motivasi, doa, cinta, ketulusan dan pengorbanan. Untuk kedua kakakku dan kakak ipar, kedua adikku, dan kedua

keponakanku, serta Uwa dan Eyang putri.

Dan semua keluargaku di Cilacap, serta untuk semua teman baikku, sahabat sejatiku, dan orang -orang tersayang yang telah memberikan dorongan dan semangat dan menjadi kekuatanku, yang telah membuatku

tertawa ataupun sedih, kehadiran kalian sangat berarti bagiku dalam menentukan sikap dan membantuku lebih dewasa, aku percaya kalian

memang diberikan Tuhan Yesus u ntukku. 

(6)

vi

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih yang tak terhingga kepada Tuhan Yang Maha Besar karena atas berkat, rahmat dan kuasanya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana sastra pada Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum tentu berhasil jika tanpa bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. H. Hery Santosa M. Hum., selaku Ketua Prodi Jurusan Ilmu Sejarah, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menulis materi skripsi ini. Terima kasih atas masukan-masukan, nasihat serta bimbingan yang Bapak berikan kepada penulis selama penyu sunan skripsi ini.

2. Bapak Drs. Silverio, R. L. A. Sampurno M. Hum., selaku pembimbing skripsi yang dengan penuh kesabaran memberikan dorongan, bimbingan, koreksi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini hingga selesai.

3. Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dr. Baskara T. Wardaya, Drs. G. Moedjanto, Drs. H. Purwanta, MA., serta seluruh staf pengajar Program Studi Ilmu Sejarah yang telah memberikan ilmu selama penulis merampungkan studi di Sanata Dharma ini.

(8)

viii

4. Seluruh staf kesekretariatan Sastra khususnya Mas Tri, yang telah memberikan kemudahan dalam membuatkan surat izin penelitian sehingga dapat membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini.

5. Seluruh staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, staf Perpustakaan Daerah di Cilacap, staf Badan Pusat Statistik di Cilacap, yang telah memberikan pelayanan peminjaman dan izin menggunakan buku -buku yang telah dibutuhkan penulis dalam menyusun skripsi ini.

6. Semua pihak yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk menjadi responden dalam penyu sunan skripsi ini.

7. Kedua orang tuaku papa dan mama tercinta, terima kasih atas segala usaha, kerja keras, dan air mata serta doa yang kalian berikan. Tidak akan pernah aku lupakan jerih payah kalian sampai sepanjang hayat.

8. Kekasih sekaligus kakak yang terbaik untukku Mas Krisna ”pupus” terima kasih atas segala perhatian, dorongan, dan semangatnya, serta atas pengorbanan, kesetiaan, kasih sayang, cinta dan ketulusan yang menjadikan sebuah kekuatanku untuk selalu terus maju dalam belajar dan berkarya.

9. Devid terima kasih telah mengajariku arti dari sebuah hidup, kedewasaan dan cinta. Percayalah Tuhan pasti akan memberikan segala sesuatunya yang indah kepada kita tepat pada waktunya.

10. Semua keluargaku di Cilacap, Eyang putri, Uwa, Mbak Ria + Mas Hendro, Mbak Wiwik + Mas Dhani, Dek Andre, Dek Enno, si kecil Agung n Ayu, terima

(9)

kasih karena kalian yang selama ini telah menjadi inspirasiku dan kekuatanku sampai skripsi ini selesai.

11. Sahabatku Dwi Anita Septiani di Psikologi ”02 UGM, dweek...terima kasih atas segala kebaikkanmu, perhatianmu dan diskusinya, serta kesediaanmu menemaniku di saat aku takut, mendengarkanku di saat aku curhat, membantuku di saat aku sedang terpuruk, terima kasih dweek semoga kamu selalu sukses dalam meraih impianmu. Amien.

12. Sahabatku Yuli, Diach, Mei (di Cilacap), serta teman-temanku eks kost lampar 38 especially to: Martina, k. Dian, k. Wuyi, Y. Erna Sari, Lucy, Nita, Iin. Dan teman-temanku Villa n Gagak, Nanang n Retno, I never forget you all and thanks for everythings.

13. Teman-teman semua yang di Ilmu Sejarah angkatan 2001, Erna, Ajeng, Riska, Tholo, Thaji, Hendrik, Tatto, Enno, Lazarus, Krisna ”gedhe”, Krisna ”Pupus”, Bertha, Eka ”gundhul”, Edi, pak Eko, dan Gus Adhit, terima kasih untuk semuanya, kalian adalah teman -temanku yang selama ini telah menjadikan suatu kenangan tersendiri dalam hidupku selama di kota Jogjakarta ini.

14. Waah, temen-temen baruku nech, yang telah memberikan aku semangat dan warna baru dalam kehidupanku, yang bisa memberi aku pengertian tentang arti dari sebuah persahabatan yang sesungguhnya ( Dewi, Anis, Purna, Suprex, Arex, Enthong, Susi, Andre, Wisnu, Heri, Nur, Edi, Ipul, Catur, Eka, Rahayu) I will always remember you. Terimakasih atas semuanya muaaaahhhhh……

(10)

x

15. Jogjakarta yang sudah membuat aku dewasa dan menemukan kesederhanaan, ketulusan, kesetiaan, kebahagiaan yang hakiki……terus dan tetaplah menjadi Jogja yang indah dan berhati nyaman.

Penulis menyadari se penuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu penulis dengan senang hati bersedia menerima sumbangan baik pikiran, kritik, maupun saran yang membangun guna penyempurnaan. Semoga skripsi ini berguna bagi siapa pun khususnya bagi masya rakat yang mencintai sejarah dan kebudayaan. Amien.

Yogjakarta, 08 Maret 2006 PENULIS

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PENGESAHAN ... i

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

KATA PENGANTAR... vii

DAFTAR ISI ... xi

ABSTRAK... xiv

ABSTRACT ... xv

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang Masalah ... 1

1.2. Rumusan Permasalahan ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.4. Tinjauan Pustaka ... 5

1.5. Landasan Teori... 7

1.6. Metodologi Penelitian... 12

1.7. Sistematika Penulisan ... 13

BAB II ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP PASCA 1965 ... ... 15

2.1. Latar Belakang Masuknya Etnik Tionghoa di Cilacap ... 15

2.2. Sekitar Pasca 1965... 19

(12)

xii

2.4. Interaksi Etnik Tionghoa dan Etnik Jawa di Cilacap ... 31

BAB III TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK ETNIK JAWA DI CILACAP... 36

3.2. Perkawinan campur etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap ... 45

3.2.1. Tujuan perkawinan menurut adat... 45

BAB IV DAMPAK PERKAWINAN CAMPUR SETELAH MENIKAH... 58

(13)

BAB V PENUTUP... 80 5.1. Simpulan... 80

5.2. Saran... 82 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(14)

xiv

ABSTRAK

Penelitian ini berjudul Perkawinan Campur Antara Etnik Tionghoa Dan Pribumi Pasca 1965, Studi Kasus Orang Tionghoa dan Jawa di Cilacap. Dalam skripsi ini menampilkan tiga permasalahan; Pertama, mengu raikan dan mendeskripsikan tentang etnik Tionghoa dan etnik Jawa di Cilacap pasca 1965 . Kedua, untuk mengetahui tradisi perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap. Ketiga, menguraikan dampak dari perkawinan campur setelah menikah.

Skripsi ini menggunakan pendekatan sosiologi antropologi. Hal ini dimaksudkan untuk menganalisa permasalahan dengan melihat perubahan yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat terutama pada etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap. Metode penelitian yang digunakan adalah metode studi literatur dan metode wawancara. Dalam skripsi ini pula menggunakan metodologi penelitian kepustakaan. Dan dari penelitian ini diketahui bahwa terjadinya perkawinan campur an tara etnik Tionghoa dan pribumi yang ada di Cilacap dikarenakan adanya suatu pembauran dan hubungan interaksi yang cukup erat diantara kedua etnik tersebut sehingga menimbulkan adanya suatu ketergantungan atau adanya saling membutuhkan satu sama lain. Maka hal seperti itulah yang menimbulkan terjadinya suatu perkawinan campur diantara kedua etnik tersebut. Selain itu perkawinan campur terjadi juga karena adanya keinginan dari etnik Tionghoa untuk mendapatkan pengakuan dan status yang jelas tentang identitas nya sebagai Warga Negara Indonesia agar dapat diterima menjadi bagian dari masyarakat Indonesia khususnya di wilayah Cilacap.

Perkawinan campur sudah ada sejak pada masa pemerintahan Belanda di Cilacap, namun pada saat itu perkawinan campur yang di lakukan oleh para pelaku perkawinan campur mendapat pertentangan dari pihak Belanda, karena pemerintah Belanda tidak menyetujui kalau etnik Tionghoa menikah dengan pribumi, akhirnya mereka yang akan melakukan perkawinan campur, menikah tanpa ada peresmian dari pemerintah maupun agama, sehingga perkawinannya tidak di akui oleh masyarakat karena tidak sah menurut hukum agama dan undang-undang. Tetapi sejak terhapusnya pemerintahan Belanda di Indonesia, walaupun etnik Tionghoa selalu mendapat berbagai macam kecaman dari pihak Indonesia, namun masalah perkawinan campur tidak menjadi hambatan bagi mereka. Bahkan pemerintah Cilacap telah membuat kebijakan yang adil terhadap pelaku perkawinan campur, dan keberadaan perkawinan campur pun sudah di akui oleh hukum, agama, dan masyarakat.

(15)

ABSTRACT

This mini -thesis entitled Cross Marriage Between Tionghoa Ethnic and Indigenous Ethnic Post 1965, Case Study of Tionghoa and Javanese People in Cilacap. In this mini-thesis it revealed three cases: First, analysis about the Tionghoa ethnic and Javanese ethnic in Cilacap post 1965. Second is to know about the tradition of cross marriage between Tionghoa ethnic with Javanese ethnic in Cilacap. Third, analysis the post-marriage impact of cross marriage. assimilation and the closely relations of mutual interaction between those two ethnics. Thus, it emerged the existence of interdependence of mutual needs. Such conditions emerged the existence of cross marriage between those two ethnics. Besides, cross marriage is happened because by the willingness of Tionghoa ethnic to get the confession and clear status about their identity as Indonesia inhabitants in order could be received as the part of Indonesian community, especially in Cilacap regions.

Cross marriage has been held since Nederland government was in Cilacap. However in that time, the cross marriage has been conducted by the doers of cross marriage got contradicted from the part of Nederland government, because Nederland government did not agree if Tionghoa ethnic marry with indigenous. Finally thos e would hold cross marriage, married without any legalization of either from the government and religion. Thus their marriage was not confessed by the community because it perceived illegal from the perception of religions and laws. However, after the elimination of Nederland government from Indonesia, although Tionghoa ethnic always get various lampooning from Indonesian government, however the problems of cross marriage were barriers to them. Even tough, the Cilacap government has established fair policie s toward the doer of cross marriage, and the existence of cross marriage has been confessed by laws, religions and society.

(16)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejarah sebagai ilmu telah mengalami perkembangan yang cukup pes at, terutama setelah ilmu-ilmu lain banyak berkembang . Penulisan sejarah tidak lagi didominasi oleh masalah politik, tetapi juga menjangkau berbagai aspek kehidupan manusia.1 Tentu saja aspek kehidupan manusia yang dibicarakan dalam kajian sejarah

sangat luas. Salah satu dari aspek kehidupan itu adalah perkawinan campur, yaitu perkawinan campur antara dua etnik yang berbeda atau yang berbeda agama atau kepercayaan.

Dalam penelitian tentang perkawinan campur a ntara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap ini penulis bermaksud untuk menggambarkan bagian dari masyarakat Indonesia yaitu masyarakat Tionghoa sebagai pendatang yang hidup dan menetap di Cilacap. Masyarakat Tionghoa di Cilacap ini, mempunyai beragam kebudayaan yang sangat khas serta kecerdikannya di dalam bidang perekonomian khususnya perdagangan yang perkembangannya sangat maju pesat, yang sampai saat ini menjadi panutan bagi masyarakat Cilacap. Kehidupan etnik Tionghoa sebagai etnik minoritas di Cilacap walaupun banyak mendapat pertentangan dan perlawanan khususnya dalam bidang kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1965-an, tetapi keberadaanya sebagai etnik

1 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Gramedia: Jakarta,

(17)

minoritas masih terus dipertahan kan dan kebudayaannya juga masih terus dikembangkan sampai saat ini. Yang paling menarik perhatian untuk penulis kembangkan dalam penulisan mengenai etnik Tionghoa ini, yaitu kehidupan perkawinan campurnya yang mereka lakukan dengan pribumi yang sampai saa t ini masih terus dilakukan oleh kedua etnik tersebut. Perkawinan campur ini menghasilkan etnik Tionghoa peranakan. Hal ini membuktikan bahwa komunitas Tionghoa di Cilacap kebanyakan adalah hasil dari perkawinan campur dari pada pendatang aslinya. Ini dibu ktikan dengan adanya jumlah Tionghoa peranakan yang jumlahnya lebih besar dibanding dengan Tionghoa totok di Cilacap. Dan adanya perkawinan campur ini juga yang menyebabkan lunturnya kebudayaan leluhur asli etnik Tionghoa. Dalam hal ini penulis juga akan m engambil latar belakang waktu pasca 1965 sampai pada kira-kira kurun waktu sepuluh tahun kedepan atau sampai pembatasan tahun 1974.

(18)

3

adanya suatu simbiosis mutualisme bagi kedua etnik tersebut yang akhirnya menyebabkan adanya suatu perkawinan campur di antara kedua etnik itu.

Perkawinan campur yang terjadi di Cilacap, pelaksanaannya sudah tidak lagi didominasi oleh faktor -faktor perbedaan suku, ras, etnik, agama, politik, kebudayaan, dan lain sebagainya, karena pemerintah di Cilacap sudah membuat suatu kebijakan yang adil terhadap pelaku perkawinan campur, dan keberadaan perkawinan campur pun sudah di akui oleh hukum, agama, dan masyarakat luas.

Pada umumnya para pelaku perkawinan campur ini setelah menikah mereka akan membuat suatu kebudayaan baru dalam kehidupan sehari -hari mereka, baik dalam hal mendidik a nak maupun di dalam berbagai hal. Hasil dari perkawinan campur yang biasa di sebut dengan Tionghoa Peranakan biasanya mereka lebih terbuka dalam menerima kebudayaan baru, dan mereka juga lebih pandai berbaur dengan orang -orang pribumi bila di banding denga n orang Tionghoa Totok yang sulit untuk berinteraksi atau bersosialisasi dengan lingkungan sekitarnya.

(19)

berbaurnya berbagai macam etn ik yang terdiri dari etnik Menado, Sunda, Arab, Tionghoa, dan lain-lain. Dari sekian banyak etnik tersebut , ternyata etnik Tionghoa adalah etnik yang mempunyai jumlah dan perkembangan yang sangat pesat bila dibanding dengan etnik -etnik lain dan umumnya mereka telah banyak berbaur dengan pribumi.

B. Rumusan Masalah

1. Apa latar belakang terjadinya perkawinan campur di Cilacap?

2. Bagaimana proses terjadinya perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa di kota Cilacap?

3. Bagaimana dampak dari perkawinan campur setelah menikah bagi kedua pihak?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Tujuan dari penulisan ini adalah:

Mengetahui tentang kehidupan dari orang -orang etnik Tionghoa dari segi sosial budaya, ekonomi, dan politik terutama mengenai perkawinan campuran yang terjadi di dalam masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Cilacap pada khususnya.

Manfaat dari penulisan ini adalah:

(20)

5

2. Secara praktis hasil dari penulisan ini diharapkan dapat memberikan gambaran kepada semua lapisan masyarakat dalam hidup bermasyarakat di Indonesia y ang berasal dari beragam etnis.

D. Tinjauan Pustaka

Buku-buku yang membahas tulisan khusus tentang kebudayaan perkawinan campur antara etnik sudah cukup banyak. Buku itu antara lain Kultur Cina dan Jawa Pemahaman Menuju Asimilas i kultural yang ditulis oleh P. Hariyono yang berisi tentang stereotipe-stereotipe yang melekat kuat di antara etnik Tionghoa dan Jawa di Yogyakarta. Masalah asimilasi atau pembauran antara kelompok pribumi (suku Jawa) yang mayoritas, Suku Jawa memiliki pengaruh luas dalam percaturan pembauran ini, dengan minoritas Tionghoa lebih menonjol dibandingkan dengan kelompok minoritas lainnya seperti Arab, India bahkan Belanda dan Jepang yang pernah menjajah Indonesia secara langsung. Dalam buku ini juga membahas tentang perkawinan campuran etnik Tionghoa dan pribumi studi kasus etnik Tionghoa di Yogyakarta.

Selain itu buku yang berjudul Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia

(21)
(22)

7

E. Landasan Teori dan Batasan Permasalahan 1. Landasan Teori

Skripsi atau penelitian ini berjudul “ Perkawinan Campuran Antara Etnik Tionghoa dan Pribumi Pasca 1965 (studi kasus etnik Jawa dan Tionghoa di Cilacap)”. Untuk dapat memberikan penjelasan yang mendalam tentang pembahasan tersebut maka dibutuhkan beberapa konsep yang dianggap mampu untuk membantu menjelas kan tentang pembahasan tersebut.

Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi di Cilacap terjadi karena antara etnik Tionghoa dan pribumi sama-sama mau berinteraksi dan mau berbaur satu sama lain sehingga hal i ni menimbulkan suatu hubungan yang cukup baik di antara keduanya. Mereka sama-sama saling membutuhkan baik dalam hubungan perekonomian maupun dalam pergaulan sehari -hari. Dengan keeratan yang mereka jalin tidak jarang menimbulkan terjadinya perkawinan camp ur di antara kedua etnik tersebut, buktinya di Cilacap banyak sekali yang telah melakukan perkawinan campur antar etnik terutama etnik Tionghoa dengan pribumi.

Interaksi di dalam suatu masyarakat sangat perlu dan harus dilakukan karena tanpa interaksi akan sulit untuk melakukan suatu hubungan di antara satu dengan yang lainnya. Selain itu juga pasti akan sulit untuk masuk ke dalam suatu budaya yang sudah melekat di masyarakat.

(23)

menyesuaikan diri dengan b entuk kebudayaan setempat dan sesuai dengan kepribadian masyarakat setempat2. Dari teori ini dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa sebuah

kebudayaan asing agar dapat diterima oleh masyarakat setempat maka harus dapat bekerjasama dengan kebudayaan asli, sehingga terjadi apa yang disebut asimilasi yaitu percampuran dua buah kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat proses asimilasi terjadi apabila ada : (i) golongan-golongan manusia dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda, (ii) saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, dan yang terakhir (iii) kebudayaan golongan -golongan tadi masing -masing berubah sifatnya yang khas, dan juga unsur-unsurnya masing -masing berubah wujudnya menjadi unsur -unsur kebudayaan campuran3.

Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan etnik Jawa di Cilacap merupakan sebagai salah satu bukti adanya suatu integrasi yang terjadi di dalam masyarakat Cilacap. Para pelaku perkawinan campur agar mereka dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Cilacap, maka mereka harus dapat menyesuaikan diri dengan budaya asli dan l ingkungan masyarakat Cilacap. Teori inilah yang akhirnya menjawab suatu permasalahan tentang terjadinya perkawinan campur beda etnik yaitu etnik Tionghoa dan pribumi yang ada di Cilacap.

2 Parsons, Mitla Town Of The Souls, Chicago: University of Chicago Press, 1963. hlm. 536

(24)

9

3. Batasan Permasalahan

Perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 adalah suatu peristiwa yang sakral bagi seorang pria dan wanita karena perkawinan merupakan tanda penyatuan hati antara mereka atas dasar cinta. Meskipun sebenarnya cinta tidak cukup sebagai dasar seseorang untuk melakukan pernikahan, karena berh asil tidaknya suatu perkawinan tidak hanya ditentukan atas dasar cinta tapi masih ada dasar yang lain yaitu kesiapan dari kedua pihak yang akan menikah, baik itu secara fisik maupun secara mental4.

Perkawinan campuran dapat diartikan sebagai peristiwa bertemunya sepasang (calon) suami istri yang berlainan etnis yang sama-sama bermaksud untuk membentuk suatu rumah tangga (keluarga) yang berdasarkan kasih sayang, yang disahkan secara resmi dengan upacara tertentu.5 Dalam hal ini maka perlu adanya

suatu pembahasan mengenai etnis. Untuk itu ada baiknya dipahami terlebih dahulu tentang etnis.

Etnis berasal dari bahasa Yunani, “ethnos” yang berarti rakyat atau bangsa yang menunjukkan suatu kelompok dengan perasaan etnisitas bersama sebagai etnik. Dalam buku Ensiklopedia Indonesia dikatakan bahwa etnik berkaitan dengan suatu

4 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat

Hukum Agama, Mandar Maju: Bandung, 2003. hlm. 7

5 P. Hariyono, Kultur Cina Jawa Pemahaman Menuju Asimilasi Kultural, Pustaka Sinar Harapan

(25)

kelompok sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena adat, agama, bahasa, dan sebagainya.6

Kelompok etnik adalah “suatu bentuk kelompok baik kelompok ras maupun yang bukan kelompok ras, yang secara sosial dianggap berada dan telah mengembangkan strukturalnya sendiri”.

Kelompok etnik: sejumlah orang yang memiliki persamaan ras dan warisan budaya yang membedakan mereka dengan kelompok lainnya. Dengan kata lain, suatu kelompok etnik adalah kelompok yang diakui oleh masyarakat dan oleh kelompok etnik itu sendiri sebagai suatu kelompok yang tersendiri. Walaupun perbedaan kelompok dikaitkan dengan nenek moyang tertentu, namu n ciri-ciri pengenalnya dapat berupa bahasa, agama, wilayah, kediaman, bentuk fisik, atau gabungan dari beberapa ciri tersebut.7

Perkawinan menurut etnik Tionghoa adalah suatu bentuk untuk melanjutkan hidup klan, sehingga pemilihan jodoh lebih banyak melibatkan keluarga besarnya. Dalam memilih pasangan hidupnya biasanya baik, laki -laki maupun perempuan membuat suatu persyaratan yang tidak sama bagi semua bangsa di dunia. Secara umum biasanya masing -masing pihak akan menelusuri latar belakang hidup pihak yang bersangkutan dengan cara melihat Shio, She atau Marga si calon atau dengan cara meramal calon pasangannya ala orang Tionghoa, jika mereka tid ak mempunyai

6 Hasan Shadily, Ensiklopedia Indonesia, Ichtiar Baru: Jakarta, 1980. hlm. 301.

(26)

11

Shio, She, atau Marga yang sama, maka dilakukan pertukaran Men Hu Die, artinya kesepakatan persyaratan dari kedua belah pihak.

Sedangkan perkawinan menurut etnik Jawa dimaksudkan untuk membentuk suatu rumah tangga yang berdiri sendiri. Pemilih an calon pasangan merupakan urusan pribadi, keluarga besar memang memegang peranan penting dalam pemilihan calon pasangan. Hanya saja keluarga besar menyarankan agar pemilihan pasangan harus benar-benar memperhatikan prinsip bibit yang berarti asal -usul si calon, bebet yang berarti kelakuan/baik tidaknya watak dan sikap si calon, dan bobot yang berarti kekayaan dan pekerjaannya. Hal itu dilakukan karena keluarga hanya ingin mengetahui asal-usul dan status sosial si calon

(27)

F. Metodologi Penelitian.

a. Metode pengumpulan data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data tertulis dan data lisan, maka pengumpulan data yang digunakan dalam penel itian ini adalah metode studi literatur, yakni metode pengumpulan data dengan cara memanfaatkan sumber -sumber tertulis yang ada.

Karena periode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah periode kontemporer, maka mau tidak mau, penggunaan metode wawancara harus dipergunakan dalam penelitian ini.

b. Analisis Data

Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data8. Dari pengertian di atas

dapat dinyatakan bahwa sebuah analisis merupakan bagian dari suatu penelitian dan proses ini merupakan proses yang penting. Di dalam proses analisis juga terdapat proses verivikasi, dimana data yang sudah diperoleh di lapangan dipil ah-pilah kembali atau dengan kata lain dilakukan pengorganisasian untuk menentukan mana data yang sekiranya relevan dengan tujuan penulisan dan mana yang tidak. Hal ini dilakukan agar tujuan penulisan dapat tercapai dengan baik dan tulisan yang disajikan t idak keluar dari jalur.

8 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya CV, 1989.

(28)

13

Data-data yang diperoleh dari penelitian kepustakaa n dan lapangan diolah dan dianalisis secara kualitatif, artinya semua data yang diperoleh akan dianalisis berdasarkan pada apa yang telah dinyatakan oleh responden dan nara sumbe r secara tertulis dan nyata serta mempelajari gejala dan masalah yang timbul dalam praktek sebagai suatu yang utuh. Setelah data dianalisis, selanjutnya akan ditarik kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif yaitu suatu pola pikir yang berdasarkan pada hal-hal yang bersifat umum, kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

c. Historiografi atau penulisan

Historiografi adalah proses mengkisahkan kembali peristiwa yang sudah ada berdasarkan data-data yang ada. Dalam proses historiografi dilakukan interpretasi. Interpretasi adalah penafsiran terhadap sumber -sumber yang ada yang telah diyakini kebenarannya untuk memperoleh hasil yang maksimal dan mendekati kebenaran dari suatu peristiwa. Proses ini dilakukan untuk menghindari unsur subye ktivitas. Bentuk penulisan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis. Di mana dalam penulisan ini peristiwa-peristiwa yang ada tidak hanya diceritakan secara kronologis tetapi juga mengandung analisis.

G. Sistematika Penulisan

(29)

Bab 1 merupakan pendahuluan yang berisi lata r belakang dan permasalahan, tujuan penulisan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, kerangka teori dan pendekatan, metode penelitian dan penggu naan sumber serta sistematika penulis.

Bab II mendeskripsikan latar belakang terjadinya perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan etnik Jawa di Cilacap.

Bab III berisi tentang proses perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi pasca 1965. Bagian ini merupakan bagian yang s ecara rinci mengemukakan tentang praktik perkawinan pasca 1965, pengertian dan tujuan perkawinan, syarat syahnya perkawinan, dan tata cara perkawinan menurut adat yang dipakai dalam prosesi pernikahan yang dilaksanakan.

Bab IV berisi tentang bagaimana proses setelah be rlangsungnya perkawinan, yang menyangkut tentang adat menetap sesudah perkawinan, hubungan antara suami dan istri dan antara suami istri dengan kerabatnya, hal perceraian, hukum waris, dan hal pendidikan anak -anaknya.

(30)

15

BAB II

ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP

PASCA 1965

A. Latar belakang masuknya etnik Tionghoa di Cilacap

Berdiamnya etnik Tionghoa di Cilacap adalah akibat migrasi, karena adanya suatu perdagangan yang mereka lakukan dengan berbagai pedagang -pedagang lain di Nusantara kurang lebih sejak tahun 413 M, perdagangan yang dilakukan dengan perlahan meninggalkan beberapa kelompok etnik Tionghoa di pelabuhan -pelabuhan Nusantara. Jumlah ini tentu makin meningkat, mengingat kekayaan Nusantara yang luar biasa itu. Walaupun agak perlahan dan bertahap, kemudian terjadilah perkawinan campur antara etnik Tionghoa Totok dengan pribumi. Hubungan tersebut melahirkan kelompok Tionghoa Peranakan. Pada tahap ini menurut Hans J. Daeng, para generasi-generasi awal Tionghoa Peranakan itu pasti ditarik ke dalam lingkungan pergaulan dengan golongan Tionghoa Totok, mereka dididik menjadi Tionghoa Totok9.

Sejak abad ke-17 hingga 20, posisi etnik Tionghoa di Cilacap makin diperkuat lantaran mereka dibutuhkan Belanda sebagai pedagang -antara. Mereka diharapkan menjadi penghubung dalam bidang perdagangan antara pribumi dengan Belanda yang memiliki jaringan perdagangan yang jauh lebih luas. Kasarnya, Tionghoa menguasai

9 Hans. J. Daeng, Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan, Pustaka Pelajar: Yogyakarta,

(31)

pasar-pasar desa sampai ke pelabuhan-pelabuhan besar. Semuanya terpelihara dalam sistem jaringan pekerjaan yang saling m enguntungkan.

Etnik Tionghoa yang ada di Cilacap, sebenarnya berasal dari beberapa kelompok dari berbagai daerah dan beberapa propinsi di negara Cina, di antaranya yaitu

Fukien dan Kwangtung, yang sangat terpencar daerah-daerahnya. Setiap imigran yang datang ke Cilacap menggunakan bahasa Hokkien, Toechiu, Hakka, dan Kanton yang demikian besar perbedaannya, sehingga pembicaraan dari bahasa yang satu tak dapat dimengerti pembicara dari yang lain10. Walaupun etnik Tionghoa perantau itu, terdiri

dari paling sedikit empat suku -bangsa, namun dalam pandangan masyarakat Cilacap pada umumnya hanya terbagi ke dalam dua golongan yaitu Peranakan dan Totok11.

Masyarakat Tionghoa di Cilacap bukan merupakan masyarakat minoritas homogen. Dari sudut kebudayaan, etnik Tionghoa terbagi menjadi dua golongan yaitu golongan Peranakan dan golongan Totok. Golongan Peranakan adalah etnik Tionghoa yang sudah lama tinggal di Cilacap atau hasil dari perkawinan campur dengan pribumi dan umumnya sudah berbaur. Mereka berbahasa Indonesia sebagai bahasa sehari -hari dan bertingkah laku seperti pribumi. Golongan Totok adalah etnik Tionghoa yang sulit beradaptasi dan tidak pernah berbaur dengan masyarakat pribumi, umumnya mereka membuat komunitas sendiri yang mereka lakukan bersama dengan sesama orang Tionghoa Totok. Namun dengan berhentinya migrasi dari Tiongkok, jumlah Totok sudah

10 Kontjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan: Jakarta, 2002. hlm.

351

(32)

17

menurun dan keturunan Totok pun telah mengalami pembauran. Karena itu, generasi muda Tionghoa di Cilacap sebetulnya sudah mengalami Peranakan12.

Penggolongan tersebut bukan hanya berdasarkan kelahiran saja, artinya: golongan Peranakan itu, bukan hanya etnik Tionghoa yang lahir di Cilacap atau hasil perkawinan campuran antara etnik Tionghoa dengan pribumi, sedangkan golongan

Totok bukan hanya etnik Tionghoa yang lahir di negara Tionghoa. Penggolongan tersebut juga menyangkut soal derajat penyesuaian atau akulturasi dari para perantau Tionghoa itu terhadap kebudayaan Indonesia yang berada di sekita rnya, sedangkan derajat akulturasi itu tergantung kepada jumlah generasi para perantau itu yang telah berada di Cilacap dan kepada intensitas perkawinan campuran yang telah terjadi diantara para perantau itu dengan etnik Jawa di Cilacap.

Salah satu hal yang perlu diterangkan mengenai soal identifikasi etnik Tionghoa, ialah soal kewarganegaraan yang merupakan suatu hal yang rumit. Dalam zaman kolonial semua etnik Tionghoa yang ada di Indonesia, secara yuridis diperlukan sebagai satu golongan yang dikenakan sistem hukum perdata yang berbeda dengan orang pribumi, ialah hukum untuk orang Timur Asing. Dalam negara Cina, yang menetapkan ke-dwinegaraan bagi etnik Tionghoa di Indonesia, agar mereka dapat dikenakan aturan-aturan hukum Hindia-Belanda. Keadaan ini diwa risi oleh negara kita, waktu Belanda menyerahkan kedaulatannya kepada kita, pada tahun 1949. pada waktu itu semua etnik Tionghoa di Indonesia mempunyai ke -dwinegaraan, yaitu menjadi warga negara Cina sekaligus merangkap menjadi warga negara Indonesia.

12 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa Kasus Indonesia, Pustaka LP3ES Indonesia:

(33)

Sistem kekerabatan etnik Tionghoa di Cilacap sangat kuat. Seperti yang terlihat dalam hubungan yang terjalin antara lapisan buruh dan lapisan majikan, mereka hidup bersama tanpa ada suatu perbedaan yang mencolok. Hal ini disebabkan karena ikatan kekeluargaan yang terjalin diantara mereka sangat harmonis, sehingga perbedaan diantara lapisan buruh dan lapisan majikan pun hampir tidak kentara.

Pada umumnya etnik Tionghoa di Cilacap mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang. Mereka umumnya para pedagang yang dapat membina hubungan baik dengan para penguasa pribumi. Mula-mula di Banten, tetapi kemudian di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Para usahawan Tionghoa ini berfungsi sebagai penghubung antara Indonesia dengan dunia luar, terutama antara Indonesia dengan Tiongkok.

Mengenai agama, di Cilacap umumnya orang menganggap bahwa etnik Tionghoa itu memeluk agama Buddha. Memang di negara Cina sebagian besar rakyatnya memeluk agama Buddha, tetapi di Cilacap etnik Tionghoa adalah pemeluk agama Buddha, Kungfu-tse, Tao, Protestan, Katholik, atau Islam. Mengenai agama Buddha, Kungfu-tse, dan Tao ketiga-tiganya dipuja bersama-sama oleh suatu unit perkumpulan yang bernama perkumpulan Sam Kauw Hwee atau yang lebih terkenal dengan sebutan perkumpulan tiga agama.

(34)

19

filsafat yang mengajarkan kebijakan tertentu. Pernyataan ini tertuang dalam surat Menteri Agama kepada Menteri Dalam Negeri pada tanggal 28 Desember 1979.

B. Sekitar Pasca 1965

Pasca 1965 merupakan suatu peralihan dari demokrasi terpimpin menuju ke pemerintah Orde Baru. Pada zaman demokrasi terpimpin (1959 -1965), kebijakan integrasi dan asimilasi mulai dilaksanakan secara bertahap. Mula -mula warga negara Indonesia keturunan Tionghoa tidak diperbolehkan mendirikan sekolah -sekolah Tionghoa, aktivitas etnik Tionghoa asing pun mulai dibatasi. Namun, kebijakan asimilasi secara total baru diberlakukan sejak lahirnya Orde Baru (1965-1998). Seluruh peraturan yang ada pada masa demokrasi terpimpin dan masa-masa sebelumnya telah dihapus secara total. Peraturan ganti nama mulai di umumkan pada pemerintahan Orde Baru. Warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dihimbau mengganti nama Tionghoanya menjadi nama yang berbau ”Indonesia” 13.

Dalam bidang budaya, pemerintah Orde Baru rupanya ingin mengikis habis kebudayaan Tionghoa. Pada pemerintah ini mu ncul peraturan pemerintah No. 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat istiadat Tionghoa yang menyatakan pelarangan tradisi dan adat istiadat Tionghoa mulai diberlakukan. Peraturan -peraturan pelarangan itu misalnya tidak boleh merayakan tahun baru Imlek dan Cap gomeh, tidak boleh main barongsai, semua kelenteng harus diubah menjadi Vihara, agama Konghucu tidak diakui, belajar ketionghoaan tidak diperbolehkan, koran dan publikasi bahasa

(35)

Tinghoa tidak diizinkan, hanya sebuah koran setengah tionghoa y ang diasuh oleh militer yang boleh terbit, dan koran ini dikenal dikalangan masyarakat Tionghoa sebagai koran iklan14.

Akan tetapi tidak semua kebijakan bersifat asimilasi, peratura n diskriminasi terus dijalankan sehingga minoritas Tionghoa merasa dirinya berbeda dengan kelompok pribumi. Misalnya Kartu Tanda Penduduk (KTP) etnis Tionghoa dibedakan. Perbedaannya terletak pada penulisan agama dan kewarganegaraannya, misalnya bagi etnik Tionghoa yang beragama Konghucu di dalam KTP tidak dapat ditulis dan harus menuliskan agama lainnya dan perbedaan tulisan WNI/WNA. Dan perubahan pemakaian nama Tionghoa harus diubah menjadi nama yang berbau Indonesia, jika mereka menginginkan pembuatan KT P yang sah untuk menjadi Warga Negara Indonesia (WNI). Sejak saat itu, makin lama makin banyak orang Tionghoa WNI yang terpelajar memberikan nama Jawa atau nama Indonesia lainnya kepada anak -anak mereka yang baru dilahirkan, sebagian besar dari mereka meng harapkan bahwa keberadaan akan status mereka sebagai warga minoritas harus benar-benar diterima sebagai warga setanah air yang sungguh-sungguh oleh warga negara lainnya15.

C. Penduduk dan Lingkungan Sosio Kultural 1. Data Demografis

Jumlah penduduk Kabupaten Cilacap setiap tahun terus bertambah, menurut hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 1974 mencapai 1.187. 495 jiwa yang terdiri

14Ibid

15 Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pem binaan Kesatuan

(36)

21

dari lakilaki 591.088 jiwa dan perempuan 596.407 jiwa. Selama 5 tahun terakhir rata -rata penduduk per tahun sebesar 0,87 persen. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin menunjukkan penduduk laki -laki lebih sedikit dari perempuan , yang diindikasikan pula oleh angka sex ratio sebesar 999 persen. Sementara itu dari distribusi penduduk menurut kecamatan, memperlihatkan kecamatan Kawunganten adalah yang paling banyak penduduknya yaitu sebesar 106.149 jiwa diikuti kecamatan Sidareja sebesar 96.843 jiwa kemudian kecamatan Kedungreja sebesar 95.429 jiwa. Sedangkan yang berpenduduk paling kecil adalah kecamatan Dayeuhluhur, yaitu sebesar 35.076 jiwa. Sementara itu bila dilihat dari latar belakang etnis dari suku, mayoritas penduduknya bere tnis Jawa. Sedangkan para imigran yang berasal dari etnis lain adalah Tionghoa, Arab, Sunda, dan lain sebagainya, dan etnis Tionghoa menempati jumlah terbanyak diantara etnis pendatang lainnya di wilayah Cilacap.

(37)

Para imigran dari negeri Tiongkok ini bukan berasal dari satu kelompok suku bangsa, melainkan terdiri dari berbagai suku bangsa dan daerah yang saling terpisah. Setiap imigran Tionghoa yang masuk membawa muatan unsur -unsur kebudayaan. Tetapi tidak semua beban kebudayaa n negeri leluhur, mereka terapkan di tempat baru. Unsur-unsur kebudayaan yang dirasakan menghambat kelangsungan hidup mereka di tempat baru, sudah tentu mereka lepaskan.

Secara kuantitas etnik Tionghoa tergolong minoritas, namun dalam waktu yang relatif singkat mereka berhasil menduduki posisi dominan pada sektor ekonomi di wilayah Cilacap. Maka tidaklah heran jika dalam waktu yang singkat mereka berhasil mengubah nasib dan menaikkan tingkat kehidupan sosial mereka. Faktor sistem sosial dan kultural dari etnik Tionghoa sangat berperan penting dalam membantu sesama Tionghoa, yaitu dengan cara bekerja sama dalam sebuah kongsi dagang yang mereka dirikan sendiri untuk membantu keberhasilan usaha mereka. Dengan cara ini akumulasi modal akan terjaga dan hanya berputar di lingkungan mereka.

2. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya me ningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemerintah Cilacap dalam memperhatikan upaya tersebut antara lain dengan mewujudkan penyediaan sarana/prasarana pendidikan dan peningkatan kualitas tenaga pengajar. Perhatian pemerintah tersebut sesungguhnya tidaklah cukup tanpa disertai partisipasi aktif masyarakat.

(38)

23

131.092 anak atau menurun sebesar 3 persen dibandingkan tahun1 970 yang tercatat 138.283 murid.

Hal yang sama juga terjadi pada murid SLTP/sederajat, yang mengalami penurunan dari 84.973 murid pada tahun 1970 menjadi 82.865 murid pada tahun1974. sedangkan jumlah murid SLTA/sederajat mengalami peningkatan dari 38.501 m urid pada tahun 1970 menjadi 39.181 murid pada tahun 1974.

Sistem pendidikan di Cilacap umumnya mempunyai kualitas yang baik. Tidak ada pendidikan yang membeda -bedakan suku, ras, dan kebudayaan. Para migran Tiongkok ini pun telah menyekolahkan anak -anak mereka bukan ditempatkan pada sekolah khusus pendidikan Tionghoa saja, melainkan mereka membebaskan anak -anak mereka dalam memilih sekolah dan membebaskan mereka berbaur bersama orang -orang pribumi. Hal tersebut biasanya dilakukan oleh para imigran keluarga Tionghoa peranakan. Tetapi berbeda pula bagi keluarga Tionghoa totok yang sangat memperhatikan pendidikan budaya leluhur, sehingga mereka lebih suka memasukkan sekolah anak-anak mereka ke sekolah khusus Tionghoa. Karena, mereka mengharapkan anak-anak mereka tidak akan terpengaruh oleh kebudayaan luar dan tetap mengembangkan kebudayaan asli leluhur mereka. Menurutnya, jika hal tersebut terjadi maka akan mempengaruhi perkembangan keturunannya, terutama dalam mempertahankan budaya dan sifat -sifat keaslian mereka. Selain itu, Tionghoa totok yang kolot sangat mengutamakan kedekatan dengan sesama golongan puritan, sebab mereka merasa aman jika tetap berada dalam kelompok yang sama16.

(39)

Ada pandangan bahwa pendidikan dapat mengangkat status sosial seseorang atau keluarga. Pandangan ini dapat berakibat bagi seseorang yang tidak berpendidikan, mereka akan merasa minder atau rendah terhadap teman-temannya yang berpendidikan. Di lain hal kesadaran dari pihak-pihak yang mempunyai pendidikan tinggi untuk membangun masyarakat, khususnya Cilacap dapat di lihat dari terbentuknya berbagai organisasi keremajaan seperti remaja masjid, perkumpulan kelompok pemuda, karangtaruna dan kelompok remaja lainnya. Melalui organisasi ini mereka berbaur bersama untuk mewujudkan pembangunan di daerahnya. Hal ini dicapai dengan peningkatan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Cilacap tersebut. Berbeda dari Tionghoa totok yang sulit berbaur atau beradaptasi dengan pribumi, kehidupan kaum peranakan yang sifatnya lebih terbuka dan lebih mudah beradaptasi atau berbaur dengan pribumi, selalu memperhatikan keaktifan dalam setiap kegiatan organisasi ataupun lainnya. Oleh karena itu, tidak sedikit dari etnik Tionghoa golon gan peranakan mau mengikuti setiap perkumpulan yang diadakan di wilayahnya.

3. Bahasa

Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Tiap masyarakat yang ada di Indonesia mempunyai suatu kepribadian dan bahasa. Kepribadian dan bahasa ini tercermin dalam kebudayaannya. Dengan kata lain, tiap-tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri, begitu pula dalam hal bahasa, di tiap masyarakat pasti juga mempunyai suatu bahasa sendiri yang perbedaannya sangat khas17.

17 Drs. Mahjunir, Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan, Bhratara: Jakarta,

(40)

25

Bahasa sebagai sistem simbol untuk berkomunikasi akan benar -benar berfungsi apabila pikiran, gagasan, dan konsep yang diacu atau diungkapkan lewat kesatuan dan hubungan yang bervariasi dari sistem simbol itu dimiliki bersama oleh penutur dan penanggap tutur18.

Bahasa Jawa dalam arti sebenarnya dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disebut orang Jawa apabila yang bersangkutan memiliki bahasa ibu bahasa Jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa19. Sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain agar

tidak terjadi konflik atau pertentangan adalah ”tata krama” dan ”unggah-ungguh”, yaitu suatu bentuk interaksi langsung yang menyangkut perilaku dan tutur kata. Bahasa Jawa mempunyai tingkatan yaitu bahasa ”ngoko”, ”kromo”, dan ”kromo inggil”20.

(41)

atau kelas menengah ke atas21. Bahasa Jawa Kromo inggil merupakan bahasa yang halus

sekali, bahasa untuk menghormat orang yang mereka hormati. Sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari -hari yang dipergunakan di sekolah -sekolah, perusahaan-perusahaan, dan kantor-kantor sipil maupun non sipil dan juga bagi keluarga-keluarga yang status perekonomiannya lebih tinggi.

Warga Cilacap pada umumnya dalam pergaulan sehari -hari mempergunakan bahasa Jawa dan juga bahasa Indonesia. Bahasa Jawa pada jaman dahulu sering dipergunakan bagi mereka yang status perekonomiannya rendah atau menengah ke bawah, namun sekarang pengguanaann ya sudah menyeluruh, sedangkan bahasa Indonesia dipergunakan oleh mereka yang status perekonomiannya menengah ke atas.

Keragaman suku bangsa di Cilacap ini memunculkan beberapa bahasa yang berlainan. Maka dalam interaksi sosialnya, sukar bagi mereka untuk dapat saling berkomunikasi satu sama lain. Tetapi dengan berjalannya waktu mereka dituntut harus bisa menggunakan bahasa yang dipergunakan pribumi demi untuk melaksanakan fungsinya sebagai pedagang, mempertahankan mata pencaharian, dan memperoleh perlindun gan keamanan dari masyarakat setempat demi kelangsungan hidup sebagai warga Cilacap. Satu hal yang lazim pada semua masyarakat minoritas untuk melakukan hal seperti itu. Selain itu, dalam interaksi sosial ekonomi mereka menggunakan bahasa Melayu Tionghoa untuk berkomunikasi. Dialek Tionghoa sendiri dipertahankan oleh keluarga-keluarga Tionghoa totok yang menghendaki kemurnian adat dan tradisi mereka sebagai bahasa komunikasi dalam keluarga dan diantara mereka yang satu suku bangsa.

21 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Djambatan: Yogyakarta, 1971.

(42)

27

Faktor lain yang ikut mendorong hilangnya bahasa asli adalah proses perkawinan campur yang dilakukan dengan orang -orang setempat yang selanjutnya akan melahirkan generasi peranakan. Hal itu semakin diperkuat ketika generasi Tionghoa peranakan mendapat pendidikan Barat, yang membua t mereka cenderung menggunakan bahasa Belanda atau Melayu untuk berkomunikasi dan mulai melupakan bahasa asli leluhur mereka. Sedangkan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat pribumi, mereka menggunakan bahasa setempat karena tuntutan untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat setempat22.

4. Agama dan Adat Istiadat

Pada masa koloni Belanda di Cilacap, keberadaan etnik Tionghoa tetap mempertahankan orientasinya sebagai orang Indonesia yang tetap mempertahankan kebudayaan Tionghoa. Pada hakekatnya etnik Tionghoa yang tinggal dan menetap di Cilacap mampu beradaptasi dengan budaya Cilacap. Apalagi etnik Tionghoa yang sudah lama tinggal di Cilacap dan sudah merasa menjadi bagian dari masyarakat Cilacap meskipun secara etnik (ras) mereka berbeda. Etnik Tionghoa yang mempunyai pemikiran seperti tersebut di atas dinamakan inklusif yaitu mampu menyesuaikan dan menerima budaya khususnya budaya di mana ia ting gal. Tetapi masih banyak juga dari etnik Tionghoa yang mempunyai pemikiran sebaliknya, yaitu etnik Tionghoa yang masih condong pada pola pemikiran dan budaya Tionghoa. Hal ini sering dilakukan oleh anggota kelompok Tionghoa yang masih kolot dan hanya mempe rhatikan kebudayaan

22 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta, 2002.

(43)

leluhurnya saja atau yang sering disebut dengan Tionghoa kongkoan. Mereka selalu tampil eksklusif dalam berkelompok namun tetap berorientasi pada budaya Tionghoa.

Golongan Tionghoa terutama Tionghoa peranakan yang lebih terbuka dalam hal menerima pengaruh kebudayaan, agama, dan kepercayaan setempat mendapat simpati positif dari kalangan pribumi dibandingkan kelompok Tionghoa totok yang kehidupannya lebih cenderung tertutup. Hal tersebut terjadi karena kelompok Tionghoa peranakan tidak terlalu fanatik memegang ajaran leluhur. Akibatnya lambat laun dan secara tidak disadari, mereka telah melahirkan sebuah kebudayaan baru yang memadukan unsur kebudayaan Tionghoa dengan pribumi maupun unsur kebudayaan asing lain yang pada akhirnya membuat ide ntitas mereka berbeda sendiri, suatu identitas sebagai orang peranakan pribumi, tetapi juga tidak asing. Meskipun demikian, golongan peranakan sebenarnya bukan merupakan golongan ras, seperti orang Tionghoa totok. Bahkan di Jawa yang menganut sistem patria kal, peranakan Tionghoa dari ayah pribumi digolongkan sebagai pribumi. Maka jelas bahwa golongan Tionghoa peranakan merupakan golongan tersendiri yang didasarkan atas penggunaan nama keluarga, kebudayaan khas yang mereka wujudkan, dan atas dasar identitas diri23.

Kebudayaan dan acara-acara keagamaan Tionghoa juga sering dilaksanakan di Cilacap, seperti misalnya dalam upacara tahun baru Imlek dan cap gomeh. Dalam pelaksanaan upacara tersebut biasanya mereka mengadakan atraksi barongsai dengan berjalan mengelilingi kota Cilacap. Warga yang melihat pun sangat antusias dan

23 Noordjanah, Andjarwati, Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900 -1946, Mesiass: Semarang,

(44)

29

menghormati jalannya upacara -upacara yang biasa di lakukan oleh masy arakat Tionghoa di Cilacap. Kebudayaan Tionghoa yang ada di Cilacap sampai sekarang masih terus dikembangkan dan masih tetap dipertahankan walau pada masa pasca Orde Baru banyak mendapat pertentangan dan pelarangan.

5. Mata Pencaharian

Masyarakat Cilacap khususnya yang bermukim di perkotaan memiliki tingkat pendidikan yang berbeda, sehingga dalam hal mata pencahariannya pun dapat dikatakan heterogen. Sebagian besar penduduk kota Cilacap memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang, sehingga sebagi an besar dari mereka mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai tingkat atas (SMU) saja. Bagi mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi umumnya mereka bekerja sebagai pegawai negeri sipil, perangkat desa, guru, POLRI24.

Sejak awal golongan Tionghoa sudah dikenal sebagai pedagang, baik pedagang hasil bumi maupun pedagang barang -barang dari negeri mereka sendiri. Dalam hal pekerjaan khususnya dalam hal berdagang, etnik Tionghoa te rkenal sangat ulet dan teliti sehingga tidak heran bila perdagangan yang dilakukan oleh etnik Tion ghoa cepat berhasil dan bisa maju pesat perkembangannya. Namun pada akhirnya mereka lebih dikenal sebagai pedagang perantara. Pada masa -masa selanjutnya aktivitas ekonomi mereka tidak bisa lepas dari situasi politik yang diperankan oleh penguasa Belanda yang akhirnya lebih banyak membatasi gerak mereka. Namun memasuki abad

(45)

ke-20, terjadi perkembangan yang sangat pesat terhadap aktivitas perekonomian etnik Tionghoa ini25.

Kedudukan ekonomi etnik Tionghoa pada masa sekarang adalah warisan sejarah kolonial. Karena politik Belanda, etnik Tionghoa menjadi orang tengah (middlemen) antara Belanda dan pribumi. Di pulau Jawa mereka dibatasi pada perdagangan. Hal ini bisa terlihat p ada etnik Tionghoa yang berada di Cilacap bahwa derajat sosial etnik Tionghoa ditinjau dari sudut ekonomi dalam masyarakat lebih tinggi atau menempati strata atas dilihat dari pola hidup mereka yang sudah sangat baik.

Masyarakat Tionghoa di Cilacap sebagia n besar mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang. Diantara mereka yang sukses sebagai pedagang besar mereka lebih banyak menempati perkampungan pecinan di sepanjang jl. A. Yani atau sebelah selatan alun-alun Cilacap. Selain itu juga di daerah sepanjang jl. LE. Martadinata atau di depan Pasar Gede Cilacap. Pada umumnya mereka berdagang sembako, elektronik, sepatu dan tas, fashion, dan lain sebagainya. Selain sebagai pedagang, banyak dari etnik Tionghoa juga berprofesi sebagai nelayan. Pada umumnya mereka adalah nelayan yang kaya raya karena sebagian besar dari mereka mempunyai perlengkapan -perlengkapan alat-alat nelayan yang sangat komplit seperti perahu bahkan tak jarang yang mempunyai kapal, jaring, mesin perahu, dan yang lainnya. Mereka umumnya menyebar dan bermukim di sepanjang pantai Teluk Penyu Cilacap.

Dengan keadaan etnik Tionghoa yang dianggap sebagai etnik pendatang yang sukses di wilayah Cilacap, maka tak sedikit warga Cilacap yang berguru atau meniru

25 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan: Jakarta, 2002.

(46)

31

kesuksesan etnik Tionghoa tersebut seperti misalnya kepandaian dan keuletan dalam berdagang.

D. Interaksi Etnik Tionghoa dan Etnik Jawa di Cilacap

Masyarakat Tionghoa di Cilacap merupakan kaum minoritas homogen (berasal dari beberapa ras dan kebudayaan. Dilihat dari pola interaksi etnik Tionghoa dengan orang pribumi, interaksi etnik Tionghoa dengan pribumi sangat erat. Ditinjau dari kedudukan sosial (social position) orang etnik Tionghoa berada sejajar dengan pribumi di Cilacap, bila ditinjau dari faktor ekonomi etnik Tionghoa mem ang lebih makmur di bandingkan orang pribumi26. Dengan adanya faktor tersebut, etnik Tionghoa cenderung

berada di atas orang pribumi dalam pola interaksinya. Orang pribumi di Cilacap l ebih banyak bekerja mengadu nasib kepada etnik Tionghoa yang tergolong sangat mampu ekonominya sebagai kuli angkut, penjaga gudang, tukang pukul dan pembantu rumah tangga. Selain itu hubungan interaksi etnik Tionghoa dengan pribumi dalam kehidupan sehari-hari juga sangat harmonis dan penuh dengan kekeluargaan.

Pada hakekatnya etnik Tionghoa yang tinggal dan menetap di Cilacap mampu beradaptasi dengan budaya setempat. Apalagi orang Tionghoa yang sudah lama menetap dan tinggal di Cilacap dan sudah merasa menj adi bagian dari masyarakat Cilacap meskipun secara etnik (ras) mereka berbeda. Biasanya etnik Tionghoa yang mampu melakukan adaptasi dengan budaya setempat atau melakukan suatu pembauran adalah kelompok Tionghoa peranakan karena mereka lebih bisa terbuka d alam hal menerima

(47)

pengaruh dari kebudayaan luar. Sedangkan kelompok Tionghoa totok adalah mereka yang sulit untuk beradaptasi dan tidak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Kelompok ini cenderung lebih tertutup dan tidak pandai berbaur dengan masy arakat sekitar27.

Orang Tionghoa yang ada di Cilacap merupakan orang Tionghoa yang berasal dari beragam asal-usul. Ada Tionghoa Hokian yang pandai berdagang, Tionghoa Hong Fu yang ahli pertukangan dan mebel, Tionghoa Heng Hua yang ahli mesin dan Tionghoa Hu Pei yang ahli gigi. Meski mereka beragam suku atau fam-nya, namun dimanapun berada mereka tetap mengedepankan sikap persaudaraan. Termasuk di Cilacap, meski terdapat perbedaan adat-istiadat yang berlaku, dalam posisi di perantauan mereka selalu mengutamakan rasa kekeluargaan. Dalam berdagangpun mereka jarang memandang pedagang Tionghoa lainnya sebagai pesaing. Dari semangat bersatu dan bersaudara inilah mereka jadi besar dan eksis.

Selain semangat kekeluargaan tersebut, masyarakat etnik Tionghoa di Cilacap juga memiliki sikap toleransi yang cukup tinggi bahkan sikap yang dimiliki oleh orang Tionghoa inilah yang banyak menguntungkan mereka karena dalam bidang perdagangannya mereka bisa menjangkau masyarakat luas28.

Interaksi atau pembauran yang terjadi antara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap adalah sangat erat, dan memiliki rasa persaudaraan yang begitu tinggi. Mereka juga sama-sama mempunyai sikap sali ng menghormati dan bekerjasama dengan baik,

27 Wawancara dengan Bpk. Wahyudi, 17 Juni 2006, di Cilacap

(48)

33

karena mereka sama-sama saling membutuhkan satu sama lain. Sehingga tidak heran banyak di antara mereka telah melakukan perkawinan campur29.

Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dengan Jawa di Cilacap umumnya dilakukan oleh etnik Tionghoa peranakan. Karena Tionghoa peranakan yang lebih terbuka dalam hal menerima pengaruh kebudayaan setempat yang kemudian juga bisa menerima adanya suatu perkawinan campur. Terjadinya perkawinan campur karena masing-masing pihak saling membutuhkan. Karena di satu sisi orang pribumi sangat tergantung dengan kesuksesan etnik Tionghoa dalam hal perekonomiannya, sedangkan disisi lain etnik Tionghoa jug a sangat membutuhkan pribumi untuk melindungi sebagai masyarakat minoritas dan juga untuk mendapatkan pengakuan yang sah tentang keberadaan status kewarganegaraannya agar dapat diakui oleh masyarakat sekitar dimana mereka tinggal30.

Selain itu, perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa terjadi karena, ada alasan dari orang Tionghoa yaitu bahwa mereka mau melakukan perkawinan campur dengan etnik Jawa karena pada umumnya orang Tionghoa yang ada di Cilacap tidak mau bahkan malu dipanggil dengan sebutan ”Cina” karena menurutnya ada suatu pendiskriditan komunitas yang menjadikan masyarakat Tionghoa enggan disebut Cina. Maka dari itu, orang Tionghoa mau melakukan perkawinan campur dengan pribumi agar mendapat keturunan dari pribumi dan mendapat status pengakuan sebagai warga

29 Wawancara dengan Ibu Bhe Lian Fang, 16 Juni 2006, di Cilacap.

(49)

Indonesia. Karena menurutnya jika orang Tionghoa memiliki status sebagai keturunan orang Indonesia maka lama-kelamaan status sebagai orang Cina nya akan berkurang31.

Perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan Jawa di Cilacap umumnya sudah dapat diterima oleh masyarakat sekitar karena perkawinan yang mereka lakukan sudah sah menurut hukum dan agama. Setelah menikah, masing -masing pelaku perkawinan campur juga lebih bisa terbuka dalam hal me nerima pengaruh kebudayaan. Mereka biasanya membuat suatu kebudayaan baru di dalam kehidupan sehari -hari mereka terutama dalam hal mendidik anak dan dalam kehidupan sehari -hari mereka. Membuat suatu kebudayaan baru di dalam mendidik anak biasanya, cara mer eka mendidik anak sifatnya lebih terbuka dan bebas dalam hal apapun. Dalam penggunaan bahasa untuk berkomunikasi sehari -hari mereka di rumah, biasanya mereka mendidik anak-anak mereka dengan memakai bahasa Indonesia dan bahasa Cina hanya sebagai formalitas saja atau bahkan mereka membebaskan anak -anaknya untuk memilih bahasa apapun yang akan mereka pergunakan dalam berkomunikasi. Sedangkan, pada saat hari -hari besar keagamaan maupun -hari--hari besar lainnya mereka merayakan bersama -sama tanpa saling membedak an, namun ada juga di antara mereka yang tidak pernah merayakan kedua-duanya. Tetapi walaupun demikian, mereka dapat saling menghormati dan hidup rukun di dalam suatu lingkungan masyarakat dan rumah tangga yang harmonis32.

31 Ibid

(50)

35

BAB III

TRADISI PERKAWINAN CAMPUR ETNIK TIONGHOA DAN

ETNIK JAWA DI CILACAP

A. Tinjauan umum tentang perkawinan di Cilacap 1. Praktik upacara perkawinan pasca 1965 - 1974-an

Perkawinan merupakan sumbu tempat berputarnya seluruh hidup kemasyarakatan, dan merupakan saat peralihan dari masa remaja ke masa dewasa dan sampai pada masa berkeluarga. Oleh sebab itu perkawinan merupakan masalah yang sangat penting dalam hidup setiap manusia di kalangan masyarakat Jawa di daerah Cilacap. Biasanya upacara perkawinan ini merupakan upacara yang terbesar dan paling meriah bila dibandingkan dengan upacara inisiasi yang lain. Dalam pelaksanaan upacara perkawinan menurut adat Jawa, berbagai unsur adat Jawa saling bertemu, diantaranya unsur religi. Perkawinan ini merupakan fa se penting pada proses pengintegrasian manusia di dalam tata alam yang sakral. Dikatakan orang, bahwa perkawinan adalah menutupi taraf hidup lama dan membuka taraf hidup baru.

(51)

kelompok sosial. Adat adalah kebiasaan yang normatif, adat juga berasal dari laku perbuatan dan kebiasaan masyarakat. Adat tidak boleh diubah oleh siapapun, hanya interpertasinya saja yang boleh disesuaikan dengan perkembangan jaman.

Sebagai orang Jawa, masyarakat Cilacap yang masih mengikuti tradisi yang serba perlambang, sebagai bentuk ungkapan iman dan tauhid nya yang mengikuti ajaran Islam. Tradisi Jawa yang banyak mengandung lambang, tidak harus dianggap sebagai menyekutukan Tuhan. Lambang -lambang dan tradisi itu merupakan ciri khas orang Jawa. Penggunaan lambang-lambang dan tradisi ini diikuti oleh sebagian masyarakat Jawa yang masih mempercayainya, baik itu yang berasal dari agama Islam maupun Kristen.

Pada periode ini upacara selamatan perkawinan banyak mengalami perubahan. Perubahan ini terjadi lebih ditunjang oleh keadaan ekonomi masyarakat di Cilacap pad a masa itu. Kehidupan ekonomi masyarakat di Cilacap yang rendah berdampak pula dalam pelaksanaan upacara selamatan perkawinan. Sebelum tahun 1965, upacara selamatan perkawinan menurut tradisi Jawa tidak terlepas dengan berbagai menu makanan yang disediakan , baik itu menu makanan untuk prosesi adat bagi pengantin maupun untuk para tamu undangan. Dalam upacara midodareni sampai pada upacara

panggih (ketemunya pengantin) di pelaminan. Apabila kedua pengantin telah duduk di pelaminan dengan baik, maka dimulaila h acara-acara berikutnya, yaitu acara makan nasi

(52)

37

pengantin masing -masing memegang paha ayam yang sudah di panggang kiri dan kanan, kemudian kedua pengantin tersebut sama -sama menarik sampai ayam tersebut terbelah menjadi dua dan kemudian pengantin saling menyuapkan ayam yan g sudah terbelah menjadi dua itu. Setelah selesai, para tamu yang menghadiri upacara perkawinan itu kemudian makan bersama dengan menu makanan yang sederhana dan pulang dengan dibawakan sebungkus ”jajanan pasaran” seperti jenang, wajik, lemper,dan lain -lain. Sebagai ciri khas masyarakat Jawa di Cilacap. Selain disuguhkan berbagai macam menu makanan, pada waktu itu juga disuguhkan makanan nasi rames yang dianggap dapat menambah tingginya ”prestise” keluarga33.

Setelah tahun 1965 sudah mengalami perubahan. Menu makanan pada upacara selamatan perkawinan, baik itu untuk acara dulangan pengantin maupun untuk para tamu undangan. Setelah tahun 1965, menu makanan untuk acara dulangan pengantin sudah lebih modern, biasanya mereka menggunakan nasi kuning dengan lauk pauknya yang istimewa, bahkan tidak jarang mereka menggunakan roti pengantin yang sangat mewah. Sedangkan acara penarikan ayam panggang sudah mulai dihilangkan seiring dengan perubahan jaman yang lebih modern dewasa ini. Dan untuk para tamu undangan, menu makanan lebih diistimewakan, tak jarang bagi mereka menjamu tamunya dengan berbagai lauk pauk seperti daging, ayam, buahbuahan, roti, berbagai kue lapis, dan lain -lain.

Praktik upacara perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Cilacap juga dilaksanakan oleh para pelaku perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi di

33 DEPDIKBUD, Tradisi dan Kebiasaan Makan Pada Masyarakat Tradisional di Jawa Tengah,

(53)

Cilacap, walaupun pada pasca 1965 sampai pada tahun 1974 yang melaksanakan perkawinan campur jumlahnya tidak sebanyak perkawinan biasa pada umumnya seperti perkawinan (Jawa dengan Jawa, Cina dengan Cina,dll) tetapi, praktik upacara perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi pasca 19 65 pelaksanaannya lebih meriah dan lebih mendapat simpati positif dari kalangan masyarakat Cilacap bila di banding dengan perkawinan biasa pada umumnya, karena pelaksanaan praktik perkawinan campur dilakukan dengan sangat unik yaitu melibatkan dua adat dan kebudayaan masing -masing pihak dalam proses pelaksanaan upacara perkawinannya 34.

Jumlah perkawinan campur etnik Tionghoa dan pribumi di Cilacap dari tahun 1964 sampai dengan tahun 1974 menurut data yang diperoleh dari Kantor Kependudukan Catatan Sipil Cilacap menerangkan bahwa jumlah perkawinan campur antara etnik Tionghoa dan pribumi sekian diantara jumlah perkawinan Tionghoa dengan Tionghoa. Berikut ini adalah data perkawinan Tionghoa dengan pribumi dan Tionghoa dengan Tionghoa beserta prosentasenya35.

34 Wawancara dengan Bapak Wahyudi, 17 Juni 2006, di Cilacap.

(54)

39

TAHUN CINA-PRIBUMI CINA-CINA PROSENTASE

1964 5 11 45,45%

1965 8 15 53,33%

1966 6 20 30%

1967 10 25 40%

1968 11 28 39,29%

1969 6 20 30%

1970 7 32 21,88%

1971 8 24 33,33%

1972 6 25 24%

1973 5 15 33,33%

1974 10 16 62,5%

Dari data di atas dapat kita lihat bahwa pada tahun 1967, 1968 dan tahun 1974 mengalami peningkatan perkawinan campur. Tetapi jika kita lihat dan bandingkan dari besarnya prosentase perkawinan orang Cina dengan orang Cina maka pada tahun 1974 lah yang mempunyai prosentase yang paling tinggi.

(55)

perkawinan campur. Apalagi setelah tahun 1974 sudah ada Undang -undang yang mengatur tentang perkawinan campur.

2. Tujuan Perkawinan Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974

Tujuan perkawinan menurut Undang -undang No. 1 Tahun 1974 adalah untuk membentuk keluarga (rumah-tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya, membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material. Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan, di mana pe meliharaan dan pendidikan anak -anak menjadi hak dan kewajiban orang tua. Dengan demikian yang menjadi tujuan perkawinan menurut perundangan adalah untuk kebahagiaan suami istri, untuk mendapatkan keturunan dan menegakkan keagamaan, dalam kesatuan keluarga yang bersifat parental (keorangtuaan).36

3. Syarat sahnya perkawinan menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Di Indonesia perkawinan akan dianggap sah apabila telah memenuhi ketentuan

dalam pasal 2 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa: “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hu kum

masing-masing agama dan kepercayaannya itu”.

36 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan Hukum Adat

Referensi

Dokumen terkait

Dalam konteks Balai Arkeologi Ambon, rekam studi yang dilakukan selama lebih dari dua dekade telah memberikan suatu kerangka pengetahuan terkait kepurbakalaan dan sejarah

Tarip adalah sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan kegiatan Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit yang dibebankan kepada masyarakat sebagai imbalan atas jasa pelayanan

Pembayaran Retribusi Daerah adalah besarnya kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib Retribusi sesuai dengan SKRD dan STRD ke Kas Daerah atau ketempat lain yang ditunjuk dengan

Tidak hanya pemerintahan Indonesia dan Korea Selatan yang bekerjasama dalam bidang kepariwisataan, pemerintahan provinsi yang didukung oleh pemerintahan negara

Gambaran SWOT yang dimiliki oleh Hotel Pangeran Pekanbaru tersebut menunjukkan bahwa Hotel Pangeran Pekanbaru memiliki persaingan yang ketat dalam industri

Fantoni Gloria Kursi Direktur dengan design unik dilapisi Kulit Asli dilengkapi dengan Hydraulic , Mekanisme Rocking , Tilting Control dengan kaki serta tangan kayu. Buah

Objek laring yang tampil berbentuk 3D terdapat teks yang menentukan bagian dari laring. Kemudian pada marker terdapat virtualbutton play dan stop, ketika menekan

Menurunnya kepatuhan pasien dislipidemia dapat meningkatkan faktor risiko terjadinya komplikasi, maka perlu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui kepatuhan penggunaan