• Tidak ada hasil yang ditemukan

ETNIK TIONGHOA DAN ETNIK JAWA DI CILACAP PASCA 1965

C. Penduduk dan Lingkungan Sosio Kultural 1. Data Demografis

Jumlah penduduk Kabupaten Cilacap setiap tahun terus bertambah, menurut hasil registrasi penduduk pada akhir tahun 1974 mencapai 1.187. 495 jiwa yang terdiri

14Ibid

15 Mely G. Tan, Golongan Etnis Tionghoa di Indonesia Suatu Masalah Pem binaan Kesatuan Bangsa, Gramedia: Jakarta, 1981. hlm.25

21

dari lakilaki 591.088 jiwa dan perempuan 596.407 jiwa. Selama 5 tahun terakhir rata -rata penduduk per tahun sebesar 0,87 persen. Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin menunjukkan penduduk laki -laki lebih sedikit dari perempuan , yang diindikasikan pula oleh angka sex ratio sebesar 999 persen. Sementara itu dari distribusi penduduk menurut kecamatan, memperlihatkan kecamatan Kawunganten adalah yang paling banyak penduduknya yaitu sebesar 106.149 jiwa diikuti kecamatan Sidareja sebesar 96.843 jiwa kemudian kecamatan Kedungreja sebesar 95.429 jiwa. Sedangkan yang berpenduduk paling kecil adalah kecamatan Dayeuhluhur, yaitu sebesar 35.076 jiwa. Sementara itu bila dilihat dari latar belakang etnis dari suku, mayoritas penduduknya bere tnis Jawa. Sedangkan para imigran yang berasal dari etnis lain adalah Tionghoa, Arab, Sunda, dan lain sebagainya, dan etnis Tionghoa menempati jumlah terbanyak diantara etnis pendatang lainnya di wilayah Cilacap.

Etnik Tionghoa mulai tinggal dan menetap di Cilacap kira-kira pada abad ke – 20, imigran Tionghoa yang masuk ke Cilacap menjadi semakin beragam. Mereka tidak lagi didominasi oleh pedagang kelas menengah atau saudagar kaya, namun dari berbagai lapisan sosial, seperti tukang -tukang, pedagang kecil, dan buruh. Perubahan ini tentu saja ada pengaruhnya terhadap proses penyesuaian mereka dalam membentuk sistem dan struktur sosial komunitas Tionghoa di lingkungan yang mereka tempati. Jumlah etnik Tionghoa pada saat mereka datang dan menetap di Cilacap menc apai kira-kira kurang dari 67.884 jiwa, tetapi pada akhir tahun 1974 jumlahnya meningkat drastis kira -kira mencapai lebih dari 67.884 jiwa. Mereka hidup dengan tidak mengelompok tetapi terpisah-pisah dan menyebar di setiap sudut kota cilacap.

Para imigran dari negeri Tiongkok ini bukan berasal dari satu kelompok suku bangsa, melainkan terdiri dari berbagai suku bangsa dan daerah yang saling terpisah. Setiap imigran Tionghoa yang masuk membawa muatan unsur -unsur kebudayaan. Tetapi tidak semua beban kebudayaa n negeri leluhur, mereka terapkan di tempat baru. Unsur-unsur kebudayaan yang dirasakan menghambat kelangsungan hidup mereka di tempat baru, sudah tentu mereka lepaskan.

Secara kuantitas etnik Tionghoa tergolong minoritas, namun dalam waktu yang relatif singkat mereka berhasil menduduki posisi dominan pada sektor ekonomi di wilayah Cilacap. Maka tidaklah heran jika dalam waktu yang singkat mereka berhasil mengubah nasib dan menaikkan tingkat kehidupan sosial mereka. Faktor sistem sosial dan kultural dari etnik Tionghoa sangat berperan penting dalam membantu sesama Tionghoa, yaitu dengan cara bekerja sama dalam sebuah kongsi dagang yang mereka dirikan sendiri untuk membantu keberhasilan usaha mereka. Dengan cara ini akumulasi modal akan terjaga dan hanya berputar di lingkungan mereka.

2. Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu aspek penting dalam upaya me ningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemerintah Cilacap dalam memperhatikan upaya tersebut antara lain dengan mewujudkan penyediaan sarana/prasarana pendidikan dan peningkatan kualitas tenaga pengajar. Perhatian pemerintah tersebut sesungguhnya tidaklah cukup tanpa disertai partisipasi aktif masyarakat.

Berdasarkan data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan kantor Departemen Agama Kabupaten Cilacap, jumlah murid SD dan MI tahun 1974 sebanyak

23

131.092 anak atau menurun sebesar 3 persen dibandingkan tahun1 970 yang tercatat 138.283 murid.

Hal yang sama juga terjadi pada murid SLTP/sederajat, yang mengalami penurunan dari 84.973 murid pada tahun 1970 menjadi 82.865 murid pada tahun1974. sedangkan jumlah murid SLTA/sederajat mengalami peningkatan dari 38.501 m urid pada tahun 1970 menjadi 39.181 murid pada tahun 1974.

Sistem pendidikan di Cilacap umumnya mempunyai kualitas yang baik. Tidak ada pendidikan yang membeda -bedakan suku, ras, dan kebudayaan. Para migran Tiongkok ini pun telah menyekolahkan anak -anak mereka bukan ditempatkan pada sekolah khusus pendidikan Tionghoa saja, melainkan mereka membebaskan anak -anak mereka dalam memilih sekolah dan membebaskan mereka berbaur bersama orang -orang pribumi. Hal tersebut biasanya dilakukan oleh para imigran keluarga Tionghoa peranakan. Tetapi berbeda pula bagi keluarga Tionghoa totok yang sangat memperhatikan pendidikan budaya leluhur, sehingga mereka lebih suka memasukkan sekolah anak-anak mereka ke sekolah khusus Tionghoa. Karena, mereka mengharapkan anak-anak mereka tidak akan terpengaruh oleh kebudayaan luar dan tetap mengembangkan kebudayaan asli leluhur mereka. Menurutnya, jika hal tersebut terjadi maka akan mempengaruhi perkembangan keturunannya, terutama dalam mempertahankan budaya dan sifat -sifat keaslian mereka. Selain itu, Tionghoa totok yang kolot sangat mengutamakan kedekatan dengan sesama golongan puritan, sebab mereka merasa aman jika tetap berada dalam kelompok yang sama16.

Ada pandangan bahwa pendidikan dapat mengangkat status sosial seseorang atau keluarga. Pandangan ini dapat berakibat bagi seseorang yang tidak berpendidikan, mereka akan merasa minder atau rendah terhadap teman-temannya yang berpendidikan. Di lain hal kesadaran dari pihak-pihak yang mempunyai pendidikan tinggi untuk membangun masyarakat, khususnya Cilacap dapat di lihat dari terbentuknya berbagai organisasi keremajaan seperti remaja masjid, perkumpulan kelompok pemuda, karangtaruna dan kelompok remaja lainnya. Melalui organisasi ini mereka berbaur bersama untuk mewujudkan pembangunan di daerahnya. Hal ini dicapai dengan peningkatan potensi yang dimiliki oleh masyarakat Cilacap tersebut. Berbeda dari Tionghoa totok yang sulit berbaur atau beradaptasi dengan pribumi, kehidupan kaum peranakan yang sifatnya lebih terbuka dan lebih mudah beradaptasi atau berbaur dengan pribumi, selalu memperhatikan keaktifan dalam setiap kegiatan organisasi ataupun lainnya. Oleh karena itu, tidak sedikit dari etnik Tionghoa golon gan peranakan mau mengikuti setiap perkumpulan yang diadakan di wilayahnya.

3. Bahasa

Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Tiap masyarakat yang ada di Indonesia mempunyai suatu kepribadian dan bahasa. Kepribadian dan bahasa ini tercermin dalam kebudayaannya. Dengan kata lain, tiap-tiap masyarakat mempunyai kebudayaan sendiri, begitu pula dalam hal bahasa, di tiap masyarakat pasti juga mempunyai suatu bahasa sendiri yang perbedaannya sangat khas17.

17 Drs. Mahjunir, Mengenal Pokok-Pokok Antropologi dan Kebudayaan, Bhratara: Jakarta, 1976. hlm 74

25

Bahasa sebagai sistem simbol untuk berkomunikasi akan benar -benar berfungsi apabila pikiran, gagasan, dan konsep yang diacu atau diungkapkan lewat kesatuan dan hubungan yang bervariasi dari sistem simbol itu dimiliki bersama oleh penutur dan penanggap tutur18.

Bahasa Jawa dalam arti sebenarnya dijumpai di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disebut orang Jawa apabila yang bersangkutan memiliki bahasa ibu bahasa Jawa yang sebenarnya. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa yang berbahasa Jawa19. Sarana utama untuk berkomunikasi dengan orang lain agar tidak terjadi konflik atau pertentangan adalah ”tata krama” dan ”unggah-ungguh”, yaitu suatu bentuk interaksi langsung yang menyangkut perilaku dan tutur kata. Bahasa Jawa mempunyai tingkatan yaitu bahasa ”ngoko”, ”kromo”, dan ”kromo inggil20.

Dalam pergaulan hidup sehari-hari maupun hubungan sosial hidup sehari -hari, mereka berbahasa Jawa dan berbahasa Indonesia. Bahasa Jawa ditinjau dari kriteria tingkatannya, ada tiga macam, yaitu bahasa Jawa ngoko, bahasa Jawa kromo, dan bahasa Jawa kromo inggil. Bahasa Jawa ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya, serta lebih rendah derajat dan status perekonomiannya atau kelas menengah ke bawah. Bahasa Jawa kromo dipergunakan untuk berbicara dengan yang belum d ikenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun derajatnya, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi derajat perekonomiannya

18Chaedar Alwasilah, Sosiologi Bahasa, Angkasa: Bandung, 1985. hlm. 81

19 Franz Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, Gramedia: Jakarta, 1984. hlm.11.

atau kelas menengah ke atas21. Bahasa Jawa Kromo inggil merupakan bahasa yang halus sekali, bahasa untuk menghormat orang yang mereka hormati. Sedangkan bahasa Indonesia merupakan bahasa sehari -hari yang dipergunakan di sekolah -sekolah, perusahaan-perusahaan, dan kantor-kantor sipil maupun non sipil dan juga bagi keluarga-keluarga yang status perekonomiannya lebih tinggi.

Warga Cilacap pada umumnya dalam pergaulan sehari -hari mempergunakan bahasa Jawa dan juga bahasa Indonesia. Bahasa Jawa pada jaman dahulu sering dipergunakan bagi mereka yang status perekonomiannya rendah atau menengah ke bawah, namun sekarang pengguanaann ya sudah menyeluruh, sedangkan bahasa Indonesia dipergunakan oleh mereka yang status perekonomiannya menengah ke atas.

Keragaman suku bangsa di Cilacap ini memunculkan beberapa bahasa yang berlainan. Maka dalam interaksi sosialnya, sukar bagi mereka untuk dapat saling berkomunikasi satu sama lain. Tetapi dengan berjalannya waktu mereka dituntut harus bisa menggunakan bahasa yang dipergunakan pribumi demi untuk melaksanakan fungsinya sebagai pedagang, mempertahankan mata pencaharian, dan memperoleh perlindun gan keamanan dari masyarakat setempat demi kelangsungan hidup sebagai warga Cilacap. Satu hal yang lazim pada semua masyarakat minoritas untuk melakukan hal seperti itu. Selain itu, dalam interaksi sosial ekonomi mereka menggunakan bahasa Melayu Tionghoa untuk berkomunikasi. Dialek Tionghoa sendiri dipertahankan oleh keluarga-keluarga Tionghoa totok yang menghendaki kemurnian adat dan tradisi mereka sebagai bahasa komunikasi dalam keluarga dan diantara mereka yang satu suku bangsa.

21 Koentjaraningrat, Manusia Dan Kebudayaan Di Indonesia, Djambatan: Yogyakarta, 1971. hlm.327

27

Faktor lain yang ikut mendorong hilangnya bahasa asli adalah proses perkawinan campur yang dilakukan dengan orang -orang setempat yang selanjutnya akan melahirkan generasi peranakan. Hal itu semakin diperkuat ketika generasi Tionghoa peranakan mendapat pendidikan Barat, yang membua t mereka cenderung menggunakan bahasa Belanda atau Melayu untuk berkomunikasi dan mulai melupakan bahasa asli leluhur mereka. Sedangkan untuk menjalin hubungan dengan masyarakat pribumi, mereka menggunakan bahasa setempat karena tuntutan untuk dapat berkomunikasi dengan masyarakat setempat22.

4. Agama dan Adat Istiadat

Pada masa koloni Belanda di Cilacap, keberadaan etnik Tionghoa tetap mempertahankan orientasinya sebagai orang Indonesia yang tetap mempertahankan kebudayaan Tionghoa. Pada hakekatnya etnik Tionghoa yang tinggal dan menetap di Cilacap mampu beradaptasi dengan budaya Cilacap. Apalagi etnik Tionghoa yang sudah lama tinggal di Cilacap dan sudah merasa menjadi bagian dari masyarakat Cilacap meskipun secara etnik (ras) mereka berbeda. Etnik Tionghoa yang mempunyai pemikiran seperti tersebut di atas dinamakan inklusif yaitu mampu menyesuaikan dan menerima budaya khususnya budaya di mana ia ting gal. Tetapi masih banyak juga dari etnik Tionghoa yang mempunyai pemikiran sebaliknya, yaitu etnik Tionghoa yang masih condong pada pola pemikiran dan budaya Tionghoa. Hal ini sering dilakukan oleh anggota kelompok Tionghoa yang masih kolot dan hanya mempe rhatikan kebudayaan

22 Leo Suryadinata, Negara dan Etnis Tionghoa, Pustaka LP3ES Indonesia: Jakarta, 2002. hlm.34.

leluhurnya saja atau yang sering disebut dengan Tionghoa kongkoan. Mereka selalu tampil eksklusif dalam berkelompok namun tetap berorientasi pada budaya Tionghoa.

Golongan Tionghoa terutama Tionghoa peranakan yang lebih terbuka dalam hal menerima pengaruh kebudayaan, agama, dan kepercayaan setempat mendapat simpati positif dari kalangan pribumi dibandingkan kelompok Tionghoa totok yang kehidupannya lebih cenderung tertutup. Hal tersebut terjadi karena kelompok Tionghoa peranakan tidak terlalu fanatik memegang ajaran leluhur. Akibatnya lambat laun dan secara tidak disadari, mereka telah melahirkan sebuah kebudayaan baru yang memadukan unsur kebudayaan Tionghoa dengan pribumi maupun unsur kebudayaan asing lain yang pada akhirnya membuat ide ntitas mereka berbeda sendiri, suatu identitas sebagai orang peranakan pribumi, tetapi juga tidak asing. Meskipun demikian, golongan peranakan sebenarnya bukan merupakan golongan ras, seperti orang Tionghoa totok. Bahkan di Jawa yang menganut sistem patria kal, peranakan Tionghoa dari ayah pribumi digolongkan sebagai pribumi. Maka jelas bahwa golongan Tionghoa peranakan merupakan golongan tersendiri yang didasarkan atas penggunaan nama keluarga, kebudayaan khas yang mereka wujudkan, dan atas dasar identitas diri23.

Kebudayaan dan acara-acara keagamaan Tionghoa juga sering dilaksanakan di Cilacap, seperti misalnya dalam upacara tahun baru Imlek dan cap gomeh. Dalam pelaksanaan upacara tersebut biasanya mereka mengadakan atraksi barongsai dengan berjalan mengelilingi kota Cilacap. Warga yang melihat pun sangat antusias dan

23 Noordjanah, Andjarwati, Komunitas Tionghoa di Surabaya 1900 -1946, Mesiass: Semarang, 2004. hlm. 44-45

29

menghormati jalannya upacara -upacara yang biasa di lakukan oleh masy arakat Tionghoa di Cilacap. Kebudayaan Tionghoa yang ada di Cilacap sampai sekarang masih terus dikembangkan dan masih tetap dipertahankan walau pada masa pasca Orde Baru banyak mendapat pertentangan dan pelarangan.

5. Mata Pencaharian

Masyarakat Cilacap khususnya yang bermukim di perkotaan memiliki tingkat pendidikan yang berbeda, sehingga dalam hal mata pencahariannya pun dapat dikatakan heterogen. Sebagian besar penduduk kota Cilacap memiliki mata pencaharian sebagai nelayan dan pedagang, sehingga sebagi an besar dari mereka mempunyai tingkat pendidikan hanya sampai tingkat atas (SMU) saja. Bagi mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi umumnya mereka bekerja sebagai pegawai negeri sipil, perangkat desa, guru, POLRI24.

Sejak awal golongan Tionghoa sudah dikenal sebagai pedagang, baik pedagang hasil bumi maupun pedagang barang -barang dari negeri mereka sendiri. Dalam hal pekerjaan khususnya dalam hal berdagang, etnik Tionghoa te rkenal sangat ulet dan teliti sehingga tidak heran bila perdagangan yang dilakukan oleh etnik Tion ghoa cepat berhasil dan bisa maju pesat perkembangannya. Namun pada akhirnya mereka lebih dikenal sebagai pedagang perantara. Pada masa -masa selanjutnya aktivitas ekonomi mereka tidak bisa lepas dari situasi politik yang diperankan oleh penguasa Belanda yang akhirnya lebih banyak membatasi gerak mereka. Namun memasuki abad

ke-20, terjadi perkembangan yang sangat pesat terhadap aktivitas perekonomian etnik Tionghoa ini25.

Kedudukan ekonomi etnik Tionghoa pada masa sekarang adalah warisan sejarah kolonial. Karena politik Belanda, etnik Tionghoa menjadi orang tengah (middlemen) antara Belanda dan pribumi. Di pulau Jawa mereka dibatasi pada perdagangan. Hal ini bisa terlihat p ada etnik Tionghoa yang berada di Cilacap bahwa derajat sosial etnik Tionghoa ditinjau dari sudut ekonomi dalam masyarakat lebih tinggi atau menempati strata atas dilihat dari pola hidup mereka yang sudah sangat baik.

Masyarakat Tionghoa di Cilacap sebagia n besar mempunyai mata pencaharian sebagai pedagang. Diantara mereka yang sukses sebagai pedagang besar mereka lebih banyak menempati perkampungan pecinan di sepanjang jl. A. Yani atau sebelah selatan alun-alun Cilacap. Selain itu juga di daerah sepanjang jl. LE. Martadinata atau di depan Pasar Gede Cilacap. Pada umumnya mereka berdagang sembako, elektronik, sepatu dan tas, fashion, dan lain sebagainya. Selain sebagai pedagang, banyak dari etnik Tionghoa juga berprofesi sebagai nelayan. Pada umumnya mereka adalah nelayan yang kaya raya karena sebagian besar dari mereka mempunyai perlengkapan -perlengkapan alat-alat nelayan yang sangat komplit seperti perahu bahkan tak jarang yang mempunyai kapal, jaring, mesin perahu, dan yang lainnya. Mereka umumnya menyebar dan bermukim di sepanjang pantai Teluk Penyu Cilacap.

Dengan keadaan etnik Tionghoa yang dianggap sebagai etnik pendatang yang sukses di wilayah Cilacap, maka tak sedikit warga Cilacap yang berguru atau meniru

25 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, Djambatan: Jakarta, 2002. hlm.367

31

kesuksesan etnik Tionghoa tersebut seperti misalnya kepandaian dan keuletan dalam berdagang.