• Tidak ada hasil yang ditemukan

Internal Sense (Reflexion)

Dalam dokumen PERSEPSI BENTUK Dan Edisi Pertama (Halaman 98-109)

BENTUK DAN WUJUD

D. Relevansi pola dengan desain.

2. Internal Sense (Reflexion)

Pengalaman batin didapatkan setelah mendapatkan pengalaman lahir yang diproses ke dalam dunia jiwa dan menghasilkan “ide yang kompleks.”

Pengalaman batin dapat dikatakan merupakan aktivitas batin seperti: mengingat, menggabungkan, membandingkan, menhendaki, mengevaluasi, memutuskan dsb.

B. Ide

Pada dasarnya di dalam suatu ide terdapat struktur yang menghubungkan antara suatu ide dengan ide yang lain. Khususnya di dalam suatu bidang seni rupa. Struktur tersbut dapat dijadikan elemen bentuk.Struktur atau elemen bentuk seni rupa antara lain warna, garis, bidang, tekstur yang menghasilkan objek dalam karya seni tersebut. Selanjutnya gagasan atau ide yang membangun terciptanya sebuah karya seni atau desain, sebenarnya ada empat macam. Struktur ide tersebut antara lain Citra, Metafora, Simbol, dan Mitos.

1. Citra

Citra menurut kajian psikologis berarti “reproduksi mental, suatu ingatan masa lalu yang bersifat indrawi dan berdasarkan persepsi serta tidak bersifat visual.” Sedangkan menurut pendekatan semiotika atau ilmu tentang tanda, citra adalah “sesuatu yang tampak oleh indra, tetapi tidak memiliki eksistensi substansial.” Citra terbentuk melalui suara (verbal) dan gambar (visual). Tetapi menurut teoritikus sastra Ezra Pound, menerangkan bahwa “citra bukan gambaran fisik, melainkan sebagai sesuatu yang dalam bentuk dapat menampilkan kaitan pikiran dengan emosi yang rumit.” Pencitraan visual merupakan penginderaan atau persepsi, sekaligus mewakili pada sesuatu yang tampak, sesuatu yang berada di dalam.”

Di dalam seni rupa, yang muncul adalah citra yang ditimbulkan oleh indra penglihatan. Penglihatan terhadap

karya seni tersebut diproses ke otak melalui saraf, sehingga terjadilah suatu rasa dalam melihat karya tersebut.” Ketika seniman atau desainer mencipta sebuah karya seni atau desain dengan berbagai macam bentuk, maka secara tidak langsung seniman (desainer) tersebut menciptakan citra dalam karya tersebut.

Jika diterapkan, citra dalam karya seni atau lukisan berlaku pada semua jenis aliran. Sebagai contoh “ketika kita melihat jenis lukisan pemandangan atau mooi indie yang menebarkan rasa kedamaian melalui objek gunung, pegunungan, sawah, laut, lembah yang teduh, ngarai dan sungai-sungai yang jernih. Sehingga citra yang dimunculkan dari karya jenis ini, adalah citra yang nyaman, tenang, dan eksotik.” Dalam suatu pejelasan tentang citra, Thomas W.J.Michael mengusulkan “tipologi citra” dengan membedakan beberapa kelas citra sebagai berikut.

a. Citra Grafis (lukisan, gambar, patung, desain) b. Citra Optikal (cermin, proyeksi)

c. Citra Perseptual (sense data,spesies, penampakan) d. Citra Mental (metafora,deskripsi).

Dalam dunia desain, citra visual atau citra grafis merupakan bagian dari ide, sadar atau tidak seniman (desainer) menciptakan citra visual. Melalui bentuk, garis, warna, bidang, tekstur dan komposisi, terciptalah sebuah objek dan munculah citra visual.” Edmund Burke Feldman menjelaskan cara kerja citra visual “seorang melihat citra (images) bukan benda (things) melalui sensasi cahaya yang jatuh pada retina ditransmisikan sebagai impuls energi pada otak yang secara simultan menerjemahkan kedalam entitas bermakna yang disebut citra. Tidak saja ada sebuah gambar, sebuah proyeksi optis, didalam didalam otak sendiri. Perseptik terjadi dimata tentunya, akan tetapi persepsi merupakan fungsi dari otak. Kita tidak dapat mengalami sensasi tanpa menguraikan cirinya dengan cara tertentu,

memberinya labels, memuatinya dengan makna.” Dengan demikian, citra dapat didefenisikan merupakan “hasil pemuatan sensasi optis dengan makna”

2. Metafora (Metaphor)

Dalam pengertiannya metafora adalah “pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan persamaan atau perbandingan, dalam kalimat.” Namun metafora merupakan “sebuah model interaksi tanda, yang didalamya sebuah tanda dari sebuah sistem digunakan untuk menjelaskan makna untuk sebuah sistem lainnya. Atau dengan kata lain meminjam bentuk, tulisan, atau verbal untuk menghasilkan makna baru melalui wujud yang lain.” Metafora secara tradisional ditandai dengan tiga pilar:

- Metafora merupakan sesuatu yang dikenakan pada benda maka untuk berabad-abad lamanya, metafora hanya diberikan dengan benda saja.

- Metafora didefinisikan dalam konteks gerakan. Metafora dalam konteks ini dikenal dengan istilah Ephipora, adalah semacam perpindahan atau gerakan “dari…ke…”dalam konteks ini metafora berlaku untuk segala bentuk transposisi.

- Metafora merupakan transposisi sebuah nama yang asing, yakni nama yang sebetulnya milik sesuatu yang lain.

Berdasarkan penjelasan tersebut, metafora meliputi bentuk (visual, gerak atau kinetik) dan ucapan (verbal), sehingga metafora memakai media-media tersebut untuk menghasilkan makna baru dari suatu bentuk atau komposisi. Tetapi menurut Paul Ricouer (1977), mengungkapkan bahwa metafora “yang sebenarnya tidak pada kata (verbal) tidak pada kalimat bahkan tidak pada wacana melainkan pada kopula kata”. “Kopula kata” mengandung pengertian “adalah seperti” dan sekaligus “adalah bukan”. Seperti pada kalimat “manusia adalah seekor babi” tentu bila kita berbicara metafora bukan berarti manusia itu sosok babi, disini metafora bekerja

“adalah seperti” babi, yang mempunyai makna bahwa manusia itu berkelakuan kotor dan pemalas seperti babi. Sehingga dalam konteks ini metafora berlaku dalam “disiplin linguistik.”

Kopula kata yang dijelaskan Paul Ricouer yang menempatkan metafora tidak pada kata, kalimat, atau benda (visual) maka kehadiran benda, kata, kalimat hanya sebagai sebuah presentasi dari fakta atau sistem. Dalam konteks seni rupa dan desain, metafora “merupakan bagian yang cukup penting dalam melukiskan, menggambarkan atau membuat makna baru dalam sebuah karya seni. Karena dalam konteks seni rupa intinya sama dengan konteks linnguistik (verbal), hanya medianya yang berbeda yaitu dengan bentuk visual atau gambar.” Dalam seni rupa dan desain metafora “bekerja melalui peminjaman bentuk atau objek untuk menghasilkan sebuah makna.”

Fungsi metafora dalam seni rupadan desain, bekerja pada “pengaburan makna” yang ekstrim, negatif atau sebagainya. Seperti dicontohkan dalam sebuah karya seni lukis, “dilukiskan seekor tikus dengan bentuk menyerupai manusia sedang membawa brankas uang atau kantong uang. Sehingga dalam lukisan tersebut dapat diartikan seorang manusia yang rakus akan uang atau duniawi.”

3. Simbol (Symbol)

Simbol dalam pengertian sederhananya merupakan “lambing”. Istilah simbol hadir dalam ”konteks yang sangat beragam dan digunakan untuk bebagai tujuan.” Simbol dapat dapat hadir dalam beberapa disiplin ilmu seperti logika, matematika, semantik, kimia, seni rupa dan seni lainnya.

Pengertian simbol adalah ”sebuah tanda konvesional yang disetujui bersama oleh suatu kelompok atau komunitas tertentu.” Jadi dapat disimpulkan bahwa sebuah simbol telah dikontruksi oleh sistem atau kelompok masyarakat dalam suatu wilayah. Simbol dalam kajian semiotika dapat diartikan sebagai ”tanda yang berhubungan penanda dan petandanya

bersifat arbiter(sewenang-wenang).” Sewenang – wenang artinya tidak ada hubungan alamiah antara bentuk atau penanda dengan makna atau petanda.” simbol dapat dicontohkan melalui kata gelas, adalah sebuah tempat air untuk minum, bukan untuk tidur. Maka dari sistem pertandaan tersebut, simbol telah dikontruksi oleh sistem sosial masyarakat sebagai tempat minum.

Maka dapat dikatakan suatu bentuk simbol yang sama akan berbeda makna apabila berada di territorial yang berbeda. Seperti dicontohkan ular disuatu tempat menyimbolkan kejahatan atau setan, tetapi di tempat lain ular dapat berkonotasi sebagai keberanian atau sifat dewa.

Penggunaan simbol dalam seni rupa hampir sama dengan konteks linguistik, hanya saja dalam seni rupa yang bekerja adalah unsur visual bukan verbal. Dalam konteks seni rupa, simbol dapat dikontruksi sedemikian rupa oleh kreator (seniman atau desainer). Kreator dapat menciptakan simbol melalui karya seni lukis, grafis, patung dan sebagainya.

Pemakaian simbol dalam seni rupa bertujuan untuk meyampaikan pesan yang terkandung dalam sebuah karya. Ketika seorang pelukis menggambarkan seekor ular, mungkin itu sebagai simbol kejahatan atau kelicikan. Tetapi “bahasa visual tidak bebas, seperti bahasa verbal, artinya bahasa visual itu terbatas. Dapat dicontohkan melalui seorang seniman ingin mengungkapkan makna melalui simbol, tetapi simbol tersebut tidak terkonvensi di suatu kelompok dimana seniman itu hidup. Sehingga seniman dituntut kreativitasnya untuk menciptakan simbol baru untuk menciptakan makna baru, maka dari itu simbol dapat bersifat personal.”

Sehingga dalam konteks simbolisasi ini, telah terjadi dekontruksi pertandaan yang bersifat sewenang-wenang, menjadi permainan bebas tanda. Mengacu pada pemikirin Jaques Derrida, tokoh poststrukturalis, yaitu tentang dekonstruksi tanda untuk menghasilkan makna baru. Menurut Derrida, “bahwa

petanda(makna) tidak harus diterima sebagai konvensi, ia harus dibongkar dan didekonstruksi. Selanjutnya hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat simetris atau baku, akan tetapi terbuka bagi permainan bebas tanda, sebuah permainan yang akan membawa pembaharuan.”

Dapat dikatakan, dalam konteks seni rupa dan desain. Kreator (seniman atau desainer) diberi ”kebebasan penuh untuk melukiskan simbol – simbol baru. Dengan adanya pola pikir yang berbeda diharapkan seorang kreator dapat menciptakan simbol – simbol baru melalui karyanya. Sehingga dari tersebut akan “lebih kaya dengan bentuk atau objek visual yang baru. nilai simbolik dalam karya seni dapat berubah, tidak hanya terbatas pada nilai konvensional masyarakat.”

4. Mitos

Mitos dapat dartikan “merupakan cerita suatu bangsa tentang dewa dan pahlawan zaman dahulu, mengandung penafsiran tentangt asal – usul semesta alam, manusia, dan bangsa dan mengandung arti mendalam yang diungkapkan dengan cara gaib”. Mitos terkadang identik dengan “cerita bohong” atau “khayalan.” Istilah mitos terkadang mengacu dalam bidang agama, antroplogi, sosiologi, psikologi dan seni rupa.

Pengertian mitos adalah “khayalan atau sacara ilmiah adalah sejarah yang tidak benar.” Dalam keberadaannya, mitos telah menempati posisi yang penting dalam kehidupan manusia, hal ini dapat ditelusuri keberadaan mitos sejak zaman kuno. Dalam kehidupan masyarakat primitif, mitos digunakan untuk menandai sesuatu yang sakral atau suci. Nilai substansial (inti) dari mitos itu telah dikonstruksi untuk “mengalihkan atau mengaburkan makna.”

Pemakaian mitos memiliki fungsi untuk “mengalihkan makna pada suatu tempat atau bentuk, tetapi secara substansial dalam mitos itu tersimpan makna sebenarnya.” Dicontohkan dalam cerita rakyat yang memitoskan bahwa didalam gua ada seekor ular besar yang akan memangsa manusia yang berbuat

merusak dan jahat. Mitos tersebut yang tampak adalah makna tersurat, tetapi nilai substansial dari mitos tersebut adalah sebagai peringatan manusia supaya tidak melakukan tindakan merusak alam.

Sedangkan menurut kajian semiotika, mitos merupakan ”sisi lain dari bahasa.” Menurut Roland Barthes, mitos adalah “pengkodean makna dan nilai sosial (yang sebetulnya arbiter atau konotatif), sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.” kembali menurut Roland Barthes, mitos adalah ”nilai sosial dalam khidupan manusia, ketika kita berbicara kehidupan sosial kita, maka pada hari itu menjadi mitos.” Dapat disimpulkan, bahwa mitos ”merupakan bahasa simbolik yang tidak baku, namun merupakan bahasa yang dapat menggairahkan dan sekaligus menyatukan nilai – nilai budaya.” Suatu budaya yang lenyap dapat diartikan sebagai mitos yang lenyap, maka dari itu substansi dari mitos adalah pola permainan bahasa untuk menghasilkan makna.

Mitos dalam seni rupa merupakan ”bahasa ungkap” dan ”maksud” dari seorang seniman atau desainer. Jika seorang seniman menyatakan perlunya menyatu dengan masyarakat, memerlukan legitimasi dan pengajuan status sebagai seniman yang berfungsi di masyarakat. Peran mitos menjadi sarana “pencarian sudut pandang dalam pencapaian tujuan tertentu. Dan tentunya penyampaian makna dalam sebuah karya seni.”

Dengan mempelajari dan mengetahui tentang citra, metafora, simbol dan mitos dalam seni rupa yang pada masa lalu dianggap sebagai “dekorasi” dan “retorika.” Maka wacana tersebut dapat member fungsi mendalam tentang menguak karya seni rupa.

Dengan adanya ide tentang citra, metafora, simbol dan mitos, dapat “membantu dalam mencari makna, tanda dan pengkodean dalam karya seni rupa. Dengan adanya ide tersebut sekaligus memperkaya wujud, konsep, dan objek dalam seni rupa. Dan ide tersebut membebaskan dari sistem yang sudah ada

dan terkungkung pada wacana yang sudah berlalu. Muatan-muatan ide melalui keempat istilah tersebut menjembatani pambagian dan pengkajian karya seni rupa, atas komponen bentuk dan teknik yang dirasa sudah biasa, kehadiran dan keberadaannya memberi kekayaan visual dan sekaligus keberagaman makna.”

Pertemuan 12

Tanda Dan Makna

Abstract

Tanda dan makna terkadang terdapat pada suatu bentuk. tanda dapat menjadi suatu acuan dalam menghadirkan suatu bentuk dan makna dapat

memberikan arti dari suatu bentuk.

A. Pendahuluan

Dalam komunikasi sebuah bentuk, pemakaian “tanda” memeliki peran yang cukup besar. Dengan demikian, kemampuan untuk menyusun dan membaca tanda dapat menjadi faktor keberhasilan sebuah penyampaian pesan (komunikasi) secara visual. Hadirnya “Tanda” dapat menjadi suatu petunjuk dalam menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan visual. Oleh karena itu dapat disimpulkan adanya ‘tanda” akan berhubungan dengan suatu komunikasi visual.

Berdasarkan sifatnya, “komunikasi visual” seringkali menimbulkan interpretasi (pendapat) yang berlainan antar individu penerimanya. Maka dalam melakukan komunikasi visual diperlukan referensi yang sama dan sebuah konvensi (kesepakatan). Suatu ”komunikasi visual dibangun dengan dan di atas “tanda”.”

B. Tanda

Dalam mendalami atau memahami ”tanda” diperlukan ”ilmu tanda” atau ”semiotika”. Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani ”semeion”, yang berarti ”tanda”. Pengertian “tanda” sendiri adalah “sesuatu yang mewakili sesuatu” (signs are things which stand for other things). Namun dalam pernyataannya Raymond Firth (1973) menjelaskan bahwa “tanda merupakan bagian dari bahasa yang sangat penting bagi pengoperasian yang efisien sehingga pembuat dan penafsir menggunakan kode yang sama”. Berdasarkan penjelasan tersebut maka dalam suatu tanda harus ada kesepakatan antara manusia

dengan manusia lain yang tidak tertulis tentang kejelasan suatu tanda. Sehingga tidak akan terjadi perbedaan pandangan antara manusia tersebut. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Susan Vihma (2009) tentang tanda merupakan “…pelbagai objek, tindakan, hubungan, formasi linguistic yang berlaku secara ambigu multiplisitas makna, membangkitkan emosi, dan mendorong orang untuk bertindak”.

Berdaasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penggunaan “tanda” telah ada sejak dahulu kala. Semenjak manusia mulai mengenal gambar dan tanda dan penggunaannya dapat dilihat di lukisan gua.

Dalam perkembangannya saat ini, Susan Vihma (2009) menjelaskan terdapat empat “klasifikasi ekstrim” tentang ilmu tanda (semiotika) yang diciptakan oleh Thomas A Sebeok dan Eero Tarasti yang merupakan professor musikologi University Of Helsinki yaitu terdiri dari :

- “Semiotika Filosofis” dengan tokohnya John Locke, Charles Sanders Peirce.

- “Semiotika Empiris” yang mengarah kepada ilmu kedokteran Yunani. Dengan tokohnya Thuren Von Pexkull.

- “Semiotika Linguistik” dengan tokohnya Ferdinand De Saussure

- ”Semiotika Budaya” dengan tokohnya Yuri Lotman.

Dari keempat klasifikasi tersebut. Setiap aliran menggunakan struktur dan terminologi yang berbeda dalam pemikiran masing – masing. Jika semiotika filosofis mendefinisikan ”tanda sebagai suatu kesatuan triadik”. Maka semiotika linguistik ”mengandalkan dikotomi (pembagian atas dua kelompok yang saling bertentangan)”. Sedangkan untuk semiotika budaya ”memasukkan semua budaya manusia dan mempelajari pelbagai fenomena termasuk sebagai bahasa, berkaitan dengan hubungan antara ekspresi artistik dan ilusi tentang realitas”.

Dalam sebuah tanda terdapat dua hal yang berhubungan dengan tanda yaitu: ”symbol (simbol) dan signal (sinyal/ tanda). Sebuah simbol, menurut perspektif Saussure, adalah ”sebuah tanda yang hubungan antara penanda dan petanda hanya seperempat rancu.” Simbol sendiri adalah ”tanda yang mewakili tanda”. Menurut Saussure: salah satu sifat dari simbol adalah ”tidak sepenuhnya rancu / membingungkan, namun ada hubungan asli yang tidak bisa serta merta tergantikan antara penanda dan petanda itu sendiri.” Dapat dilihat dari contoh simbol dari keadilan adalah ” penggunaan sebuah neraca, yang mana tidak bisa seenaknya diganti dengan roda kereta misalnya. Simbol keadilan yang berupa neraca menjadi simbol keadilan yang terkuat secara universal. Terdapat sebuah hubungan yang logis antara sebuah neraca dan konsep keadilan.” Namun dalam perkembangannya, tetap harus mempelajari tentang hubungan antara neraca dan keadilan. Meskipun begitu ketika kita melihat sebuah neraca kita tidak serta merta berpikir mengenai dan menghubungkannya dengan keadilan. Dalam hal ini masalah konteks menjadi sungguh penting.

Simbol adalah ”sesuatu tanda yang penuh arti secara mendalam, sehingga dalam memahami sebuah simbol seringkali tergantung dari apa latar belakang yang mereka bawa dari kebudayaan mereka kepada kebudayaan kita dan sebaliknya. Jadi dalam hal ini masalah referensi atau latar belakang pengalaman juga penting dalam memahami sebuah simbol.”

Sebuah sinyal adalah ”sebuah tanda yang secara umum dipakai untuk mendapatkan respon dari penerimanya. Misalnya kibaran bendera checkers untuk memulai sebuah lomba balap mobil atau lampu lalu-lintas yang berwarna merah yang ‘memerintahkan’ para pengendara untuk menghentikan kendaraannya. Jadi tanda bisa berupa sebuah simbol atau sebuah sinyal.”

Semiotika merupakan suatu cara pendekatan yang di dalamnya ”sesuatu menyerupai sesuatu” dan memiliki objek

material yang berdiri sendiridan dapat dipahami dalam konteks yang ”menggunakan pengetahuan sebelumnya tentang objek yang berkaitan.” Dalam semiotika, objek yang menjadi kerangka suatu desain yang dapat mendukung seorang desainer dalam menciptakan suatu yang indah. Dan dalam semiotika terdapat suatu bahasa yang dikatakan dengan tanda visual yang dapat dipahami oleh setiap manusia yang membacanya.

Dalam dokumen PERSEPSI BENTUK Dan Edisi Pertama (Halaman 98-109)

Dokumen terkait