• Tidak ada hasil yang ditemukan

Invensi Paradigma Agama Dunia: Melanggengkan Konstruksi Barat Menurut para sarjana yang kritis terhadap studi agama, seperti yang

Dalam dokumen Buku Riset Kebijakan Agama (Halaman 34-41)

Samsul Maarif

2. Pendeinisian agama di barat 1 “Agama” adalah Konstruksi Barat

2.2. Invensi Paradigma Agama Dunia: Melanggengkan Konstruksi Barat Menurut para sarjana yang kritis terhadap studi agama, seperti yang

disebutkan sebelumnya, deinisi-deinisi agama yang berpengaruh dalam studi agama umumnya terperangkap dalam dua perspektif yang saling

berkaitan. Pertama adalah studi agama didasarkan atas cara pikir Barat. Deinisi dan pemaknaan agama didominasi oleh perspektif Barat. Kedua, kajian agama, di mana pun ia dilakukan dilandasi oleh suatu paradigma universalisme, yaitu paradigma agama dunia.

Tomoko Masuzawa (2005) menyingkap pergulatan sarjana ilologis, orientalis, dan komparativis Eropa pada abad ke-19 yang berhasil menancapkan paradigma agama dunia. Masuzawa berhasil menunjukkan bahwa betapa pun bermasalahnya, paradigma tersebut masih sangat berpengaruh hingga sekarang, sebagaimana terjadi dalam pengajaran agama-agama di berbagai kampus, terutama di kampus-kampus Amerika Serikat. Pengaruh paradigma tersebut bahkan melampaui ruang kampus. Pengaruhnya menjangkau ruang publik, dan bahkan kebijakan. Berdasarkan fakta tersebut, Masuzawa menuntut agar sarjana-sarjana sekarang memikirkan dan menemukan metode dan paradigma alternatif (2005, 308).

James L. Cox (2007) menambahkan bahwa minimal dua alasan fundamental yang mendasari mengapa diperlukan metode atau perspektif alternatif dari paradigma agama dunia. Pertama, paradigma agama dunia yang dibangun pada abad ke 19 dikonstruksi dalam konteks relasi kuasa antara Barat vis a vis non-Barat (2007, 47). Paradigma tersebut dipakai

untuk menegaskan kuasa Barat atas non-Barat. Seturut dengan poin ini, Jonathan Z. Smith (1978) lebih tegas menyatakan bahwa kajian agama, dengan paradigma agama dunia, pada dasarnya merupakan upaya untuk memetakan, mengostruksi dan mengokupasi posisi-posisi kuasa, sekalipun dalam mengklasiikasi agama berdasarkan kriteria netral (1978, 291). Smith selanjutnya menunjukkan bahwa sejarah akademik Barat mengakar pada Yunani Kuno yang membedakan antara “kita” dan “mereka”, atau dalam antropologi Yunani, antara “Yunani dan Barbar (yang direpresentasikan sebagai ‘bukan manusia’)”. Pendekatan serupa terhadap yang lain juga kental dalam sikap para intelektual Eropa abad ke-19 dan 20 akibat dari pengalaman dan ideologi kolonialisme dan imperialisme Barat (1978, 294). Dalam konteks itu, Smith melanjutkan, suatu agama (“mereka”) dapat

dianggap sebagai agama dunia jika ia mirip dengan agama “kita”. Artinya, agama tersebut harus memiliki kemampuan untuk memasuki sejarah “kita”, baik dengan cara membentuknya, berinteraksi dengannya, atau memolesnya. Menjadi agama dunia, agama tersebut harus memiliki posisi penting dalam geopolitik. Hanya dengan begitu, ia dapat dipertimbangkan (1978, 295).

Alasan fundamental yang kedua menurut Cox adalah bahwa paradigma agama dunia didasarkan atas asumsi akan elemen esensial yang berlaku universal. Sesuatu dapat dianggap sebagai agama hanya jika memiliki elemen tersebut, dan elemen tersebut didasarkan atas asumsi-asumsi teologis Kristen (2007, 47), sebagaimana telah dibahas sebelumnya. Agama Kristen adalah prototipe kajian agama di Barat, tetapi juga berpengaruh besar di luar Barat (Bell 2006; Owen 2011; Geaves 2005). Argumen Cox tersebut dapat dibuktikan dengan mencermati teori-teori atau deinisi-deinisi agama yang dirumuskan oleh sarjana-sarjana besar yang pengaruhnya lintas-disiplin hingga sekarang, baik yang reduksionis atau “anti-agama” seperti E. B. Tylor, Frazer, Karl Marx, Emile Durkheim, Sigmund Freud maupun yang “apologetis” seperti Mircea Eliade, William James, Rudolf Otto, dan lain-lain (Pals 2009).

Kesamaan pendapat para sarjana besar ini agak mengherankan, karena mereka memiliki pendekatan berbeda dalam mendeinisikan agama. Definisinya pun berbeda-beda atau bahkan di antara mereka saling bertentangan. Akan tetapi jika dicermati, teori-teori mereka semuanya menekankan pada adanya elemen esensial. Sesuatu dapat dianggap agama jika memilikinya. Tylor misalnya meneorikan agama sebagai “kepercayaan pada spirit (ruh)”. Definisi ini masih dominan pengaruhnya hingga sekarang. Durkheim dan Eliade, sekalipun saling bertolak belakang, sama-sama menjadikan “sakral” sebagai elemen esensial. Durkheim tidak mempercayai sesuatu yang supernatural dan karenanya memaknai “sakral” sebagai sesuatu yang merujuk kepada masyarakat, tepatnya solidaritas yang mengikat masyarakat yang terdiri dari kepercayaan (belief) dan ritual.

sebagai sesuatu yang berhubungan dengan ketuhanan, atau sakral itu adalah tuhan itu sendiri. Dalam perkembangannya, sakral versi Eliade justru yang lebih berpengaruh dalam studi agama. Frued yang anti agama, menempatkan ide tentang “Tuhan” dalam teori oudipus complex-nya

sebagai elemen esensial agama, dan seterusnya. Semua elemen esensial dari teori-teori tersebut menunjukkan kekentalan asumsi teologi Kristen. Kedua asumsi tersebut saling berkaitan. Untuk dikategorikan sebagai agama dunia, suatu agama harus memiliki komponen-komponen seperti yang ada pada agama Kristen, seperti kitab suci, doktrin atau dogma, upacara, komunitas, institusi dan seterusnya. Kristen sekali lagi adalah prototipe, sehingga yang lain hanya bisa diakui sebagai agama jika mampu menyesuaikan diri dengan karakter Kristen. Yang lain senantiasa berada dalam bayang-bayang Kristen. Berkaitan dengan dua alasan fundamental yang berkelindan itu adalah asumsi universalisme Kristen yang kental dalam studi agama: semua manusia, dari mana dan di mana pun berada memiliki potensi yang sama, mampu menerima “kebenaran” Tuhan (ajaran Kristen), seperti yang sudah dijelaskan di bagian sebelumnya. Asumsi universalisme tersebut berdampak pada kajian agama yang seakan terperangkap pada klaim bahwa semua agama dapat dibandingkan karena semuanya memiliki hakikat pengalaman dan persepsi yang sama. Menurut Engler (2006, 120), semua itu dianggap agama karena mereleksikan realitas esensial yang sama: sakral (lihat misalnya, Pyysia¨inen and Anttonen 2002), prototipe teori agama (Saler 2000), dan teori agama relasional (Benavides 1997).

Sekadar untuk ditegaskan, studi agama hingga hari ini masih dominan menggunakan paradigma agama dunia. Sebuah paradigma yang dibentuk dari pergulatan Eropa (Barat) dalam rangka, di satu sisi, membandingkan agamanya (Kristen) versus agama lain, dan untuk menegaskan superioritasnya atas non-Barat. Ide pluralisme dikembangkan. Islam, Yahudi, Hindu, Buddha, dan seterusnya semuanya dapat diakui sebagai agama, atau bagian dari “agama dunia” serupa dengan Kristen, tetapi setelah semua itu disesuaikan dengan Kristen (King 1999; Orsi

2005). Sebagaimana faktanya, tentu saja semua agama tersebut senantiasa tampil “tidak sempurna” karena yang sempurna sebagai agama hanyalah Kristen. Demikian maksud dari prototipe. Ide pluralisme dalam konteks ini tidak lebih dari sekadar retorika yang seakan akomodatif, merangkul dan egaliter, tetapi fakta sesungguhnya adalah penundukan Barat atas non- Barat. Proyek Eropa melalui agama-agama yang telah dimasukkan dalam kategori agama dunia adalah untuk “menundukkannya” (Masuzawa 2005, bandingkan dengan Said 1979).

2.3. “Animistisasi” agama-agama leluhur

Sisi lain dari invensi paradigma agama dunia adalah yang terkait dengan agama leluhur. Paradigma agama dunia, yang sarat dengan retorika pluralisme, berhasil merangkul berbagai agama seperti Islam, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu, dan seterusnya, tetapi juga berhasil “menyingkirkan” agama leluhur (Fitzgerald 2007, 9). Sejak awal muncul dan berkembangnya agama Kristen, agama-agama leluhur telah dilekatkan dengan berbagai label negatif seperti heathenisme, paganisme, penyembah berhala, agama salah, dan seterusnya. Label-label tersebut telah digunakan untuk “menghakimi” agama-agama leluhur sebagai representasi ketertinggalan, primitivisme, tidak beradab, dan seterusnya. Representasi- representasi Eropa tersebut adalah juga sebagai alat penundukan dan/atau justiikasi penundukan. Mereka harus diubah, diganti budayanya, cara pikir dan cara hidupnya, ditinggalkan dan dikonversi ke agama Kristen, yang memfasilitasi kemodernan dan kemajuan. Narasi-narasi tersebut efektif dalam menjustiikasi penjajahan.

Seperti telah disinggung sebelumnya, teori paling umum digunakan untuk merepresentasikan agama-agama leluhur adalah animisme (Smith 1998; 1978). Animisme sebagai teori paling berpengaruh lintas-disiplin dan menjangkau bahkan di luar dunia akademik: publik dan kebijakan untuk agama-agama leluhur. Ia adalah teori yang dibangun oleh E. B. Tylor (1958) yang sekalipun “anti-agama” tetapi pendekatannya kental dengan paradigma agama dunia. Animisme menurut Tylor adalah “kepercayaan

terhadap ruh (spirit)” –elemen esensial bagi agama dunia. Ia adalah asal-

muasal agama. Animisme adalah cara pikir manusia primitif, dan ketika peradaban manusia berkembang, cara pikir (animisme) tersebut sepatutnya ditinggalkan, dan digantikan oleh agama (sebagai sarjana anti-agama, Tylor selanjutnya meneorikan bahwa agama pun sebaiknya ditinggalkan oleh manusia modern, dan digantikan dengan sains). Teori animisme Tylor untuk agama-agama leluhur tampak jelas sebagai bagian proyek Eropa.

Cara kerja paradigma agama dunia dalam teori animisme Tylor dapat dicermati ketika ia menganalisis fenomena agama-agama leluhur, misalnya dalam praktiknya penganut agama leluhur mengunjungi pohon, hutan, gunung, dan wujud-wujud alam lainnya. Dengan perspektif Baratnya, Tylor beranggapan bahwa tidak mungkin orang-orang tersebut “menyembah” wujud-wujud alam karena wujud-wujud alam tersebut adalah obyek (bukan subyek). Perspektif subyek (manusia)-obyek (alam) kental dalam teori Tylor (Bird-David 1999). Tylor selanjutnya “merasionalisasi” praktik agama-agama leluhur dengan mengatakan bahwa mereka itu “menyembah sesuatu di balik wujud alam”. Sesuatu itu adalah spirit (ruh). Pada poin

(“menyembah spirit”) inilah Tylor menegaskan paradigma agama dunia

(Maarif 2012; 2015). Hanya dengan memasukkan elemen “menyembah

spirit”, praktik-praktik agama leluhur dapat dirasionalisasi, dikaitkan atau

dikategorikan agama, tepatnya asal-muasal agama (the origin of religion).

Karena statusnya sebagai “asal-muasal” agama, agama leluhur tidak dapat dijadikan sebagai agama dunia. Secara esensial, agama leluhur memiliki komponen utamanya (menyembah spirit), tetapi karena komponen- komponen penting lainnya sebagaimana yang ada pada Kristen tidak dimilikinya, agama leluhur harus berada di luar agama dunia.

Lebih lanjut, Tylor menjelaskan bahwa prilaku penganut agama leluhur tersebut tentu saja bertentangan dengan rasionalitas. Kepercayaan mereka terhadap sesuatu di balik wujud alam adalah bentuk kesesatan pikir, menurut Tylor. Mereka menganggap hidup sesuatu yang mati. Mereka menganimasi sesuatu yang tidak bergerak (inanimate). Prilaku mereka

Tylor adalah untuk mendiskreditkan agama-agama leluhur. Teorinya adalah konstruksi Barat, tepatnya bagian dari proyek Eropa. Melalui teorinya, Tylor dan pengikutnya menegaskan superioritas cara pikir Barat yang etnosentris dan sekaligus menegaskan inferioritas agama-agama leluhur, dan menjustiikasi penundukannya, penjajahannya, pemaksaannya terhadap penganut agama-agama leluhur untuk beralih ke agama (dunia).

Banyak sarjana telah menunjukkan kesalahan pikir Tylor yang Eurosentris. Animisme sebagai teori bukannya menggambarkan realitas sebenarnya, tetapi konstruksi Tylor, konstruksi Barat (Bird-David 1999; Harvey 2000; Gill 1994; 1982). Ia adalah pikiran atau representasi pikiran atau logika budaya Tylor. Animisme lebih merupakan tentang logika Tylor, logika Eropa. Sekalipun Tylor adalah sarjana anti-agama, tetapi teori animismenya telah menjustiikasi label-label subyektif kalangan Kristen yang sebelumnya sudah populer. Lebih jauh, animisme bahkan “memuseumkan” (baca: melanggengkan) etnosentrisme hingga hari ini. Animisme versi Tylor terus melanggengkan etnosentrisme Barat hingga abad sekarang melalui akademia dan tentu saja kekuasaan, baik di Barat maupun di luarnya, termasuk di Indonesia.

Pelanggengan tersebut bahkan berakibat pada pengentalan asumsi bahwa animisme seakan bukan lagi sekadar teori. Ia seakan adalah “nama” bagi praktik-praktik keagamaan. Penyebutan dan penggunaannya tidak lagi dipertanyakan dan dipersoalkan. Sejarahnya yang etnosentris dilupakan. Ia diterima dan bahkan terus direproduksi. Ketidaksadaran akan sejarah bangunan teori animisme Tylor yang etnosentris, sehingga terus digunakan dan direproduksi adalah bentuk dari sikap tanpa daya kritik. Ia adalah bentuk keluguan. Atau bahkan, ia adalah bagian yang memang terus mengusung dan mempromosikan etnosentrisme Barat. Ia adalah bagian yang berkepentingan dengan penundukan dan penjajahan.

Agama-agama leluhur yang dinilai berbeda atau tidak memenuhi kualiikasi agama dunia “dianimismekan”, baik karena demi penundukan atau karena kegagalan metodologis. Representasi agama-agama leluhur, akibatnya hingga sekarang di mana-mana, senantiasa direpresentasikan

sebagai entitas yang kekurangan, ketinggalan, primitif, dan seterusnya. Pelabelan dengan term-term peyoratif semacam itu didiskusikan, direproduksi dan dilanggengkan di ruang-ruang kelas, di halaman-halaman buku-buku teks dan referensi, dan di media-media populer.

3. Pendeinisian agama di indonesia

Dalam dokumen Buku Riset Kebijakan Agama (Halaman 34-41)