• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan regional: antara universalitas Kbb dan partikular isme regional

Dalam dokumen Buku Riset Kebijakan Agama (Halaman 65-69)

Zainal Abidin Bagir

2. Perkembangan regional: antara universalitas Kbb dan partikular isme regional

Pembahasan di atas membawa kita pada isu “regionalisasi” KBB, yaitu upaya membawa KBB ke tingkat regional. Salah satu contoh penting adalah dikeluarkannya UU tentang Kebebasan Beragama Internasional (IRFA) di AS pada 1998, yang diikuti oleh dibentuknya Kantor Kebebasan Beragama

Internasional di State Department. Pada tahun 2013, Kantor serupa dibentuk di Kanada. Di Eropa, pada 2015 dibuat European Parliament Intergroup on Freedom of Religion or Belief and Religious Tolerance yang merupakan kelompok anggota Parlemen Eropa (sebelumnya European Parliament Working Group on Freedom of Religion or Belief). Perkembangan di Amerika Serikat, Kanada dan Eropa itu relatif tidak menimbulkan persoalan menarik, mengingat bahwa negara-negara itulah yang sejak awal berperan amat besar dalam DUHAM.

Dinamika lebih menarik dapat diamati dalam “regionalisasi” HAM, khususnya KBB, di luar negara Barat. Dua contoh yang dilihat di sini adalah ASEAN dan negara-negara mayoritas Muslim, khususnya yang diwakili oleh Organisasi Kerjasama Islam (contoh lain adalah negara-negara Afrika dan Amerika Selatan yang memiliki beberapa kekhasan).

2.1. HAM ASEAN

Pada tahun 2009 ASEAN membentuk Intergovernmental Commission on Human Rights (AIHCR), yang tugas awalnya adalah menuliskan draf Deklarasi HAM ASEAN yang kemudian disahkan pada 2012. Deklarasi ini menandai era baru HAM di ASEAN, sebagaimana tercermin dalam literatur. Pembahasan di era 1970 dan 1980an banyak berbicara mengenai partikularisme Asia, atau “Nilai-nilai Asia” yang dikontraskan dengan liberalisme Barat. Deklarasi HAM ASEAN sebagian besar mengikuti DUHAM, dengan beberapa perbedaan, termasuk menyangkut hak-hak sipil dan politik. Sejauh menyangkut KBB, dokumen ini memasukkan juga beberapa tambahan yang sejalan dengan Deklarasi Penghapusan Intoleransi dan Diskriminasi atas dasar Agama dan Keyakinan. Paragraf terpenting mengenai KBB ada pada paragraf nomer 22: Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, kesadaran, dan agama. Seluruh bentuk intoleransi, diskriminasi dan hasutan kebencian atas dasar agama dan keyakinan harus dihapuskan.

Sejauh ini, literatur terpenting mengenai situasi KBB di 10 negara ASEAN adalah Keeping the Faith: A Study of Freedom of Thought,

Conscience, and Religion in ASEAN (Human Rights Resource Centre,

2015). Buku ini merupakan buku sumber yang menarik sebagai salah satu bahan studi perbandingan dan menggarisbawahi kenyataan bahwa meskipun KBB merupakan konsep yang disepakati semua negara itu, implementasinya amat berbeda dari satu negara ke negara lain—yang sebetulnya juga tampak bahkan di negara-negara Barat dengan demokrasi yang lebih mapan. Literatur penting lain adalah sebuah edisi khusus jurnal

he Review of Faith and International Afairs, Desember 2016 (14:4) yang

mengambil topik “Religion, Law, and Society in Southeast Asia”.

Beberapa studi tersebut menunjukkan betapa beragamnya situasi KBB di sepuluh negara ASEAN dan juga beragam bentuk tata kelola agama serta hubungan agama dan negara, yang merupakan cerminan sejarah negara-negara tersebut dan latar belakang agama atau ideologi dominan yang berbeda—ada yang mayoritas Muslim, Buddha, Katolik, juga Komunis. Penting dicatat bahwa konteks ASEAN berbeda dengan banyak wilayah lain, karena wilayah ini (sebagai bagian dari Asia-Pasiik) termasuk wilayah dengan tingkat keragaman agama paling tinggi. Negara tetangga Singapura bahkan memiliki indeks keragaman agama tertinggi di dunia (Pew Research Center 2014). Satu kelemahan besar HAM ASEAN, sebagaimana dapat disimpulkan dari literatur yang belum terlalu banyak, adalah adanya beberapa klausul yang membatasi keberlakuan HAM ketika ada pertentangan dengan peraturan nasional di masing-masing negara. 2.2. HAM Organisasi Kerjasama Islam (OKI)

Terkait dengan dunia Muslim, meskipun DUHAM diterima, ada tren yang amat kuat untuk melakukan pembatasan lebih banyak terkait dengan KBB. Debat serius yang terus muncul hingga kini adalah tentang pertentangan nilai-nilai Islam dan Barat. Pada tahun 1981, Islamic Council of Europe mengeluarkan Universal Islamic Declaration of Human Rights, yang dipandang sebagai respon Islam atas DUHAM. Deklarasi ini dipandang terlalu partikularistik dan amat berorientasi pada syariah yang dipahami secara cukup sempit. Sebagai alternatif, pada 1990 Organisasi Kerjasama

Islam (OKI) mengeluarkan Cairo Declaration on Human Rights in Islam, dan dipresentasikan di Komisi HAM PBB pada tahun berikutnya dan mendapat banyak kritik. Perbedaan menonjol adalah argumennya yang tidak sekular, namun menempatkan otoritas wahyu sebagai titik berangkatnya, dengan banyak implikasi penting. Sebagai contoh, Pasal 12 menyebutkan bahwa “Tidak seorang pun boleh menghina atau mengolok- olok keyakinan keagamaan orang lain atau menghasut permusuhan terhadap mereka di muka umum” (Banchof 2011). Sebagaimana akan ditunjukkan nanti, isu penghinaan ajaran agama cukup sentral di kalangan Muslim, hingga hari ini. Meskipun demikian, dibanding deklarasi yang pertama, Deklarasi Kairo ini menggunakan bahasa yang lebih tidak partikularistik, dan menjamin banyak hak-hak yang sama dengan yang ada di DUHAM, meskipun menerapkan banyak pembatasan, khususnya dalam isu-isu terkait perpindahan agama, gender, dan seksualitas.

Perubahan besar terjadi ketika Ekmeleddin Ihsanoglu menjadi Sekretaris Jenderal OKI (2004-2014). Rancangan kerja periode 2000- 2015 yang dibuat di masa ini bersifat cukup progresif. HAM pun masuk dalam agenda KTT Luar Biasa OKI di Makkah, 2005. Pada tahun itu pula dikeluarkan Kovenan tentang Hak-hak Anak dalam Islam, di mana posisi syariah, yang dalam Deklarasi Kairo disebut sebagai satu-satunya sumber, kini disebut dalam konteks yang lebih luas tentang nilai-nilai Islami. Perubahan penting lain adalah revisi Piagam OKI pada tahun 2008. Salah satu tindak lanjutnya adalah pembentukan Independent Permanent Human Right Commission, pada tahun 2011, dengan pertemuan pertamanya di Indonesia (2012) dan ketua pertamanya adalah wakil dari Indonesia (Siti Ruhaini Dzuhayatin). Menandai pergeseran lebih jauh, statuta pendirian IPHRC sama sekali tidak memiliki rujukan pada syariah. Sebagaimana disebut Kayaoglu, ini menjadi penanda bahwa OKI menjadi lebih dekat pada HAM internasional daripada secara eksklusif memagarinya dalam partikularisme Islam.

Dengan dibentuknya IPHRC, oposisi Barat dan Islam sebetulnya belum hilang, dan masih mewarnai debat-debat maupun literatur tentang HAM

dan Islam. Islamophobia di negara-negara Barat masih tetap menjadi perhatian besar OKI. Dalam hal ini, satu perkembangan lain yang menarik dan penting dicatat adalah evolusi dari resolusi PBB yang diupayakan negara-negara anggota OKI menyangkut Islamophobia. Sejarah resolusi ini dimulai pada 1991, sebagai resolusi untuk memerangi Islamophobia dan “penodaan Islam”, lalu berkembang terus menjadi lebih inklusif, tak hanya menyangkut Islam, namun tak pernah berhasil memperoleh dukungan banyak negara di luar negara-negara OKI. Terobosan penting terjadi pada tahun 2011, ketika resolusi tersebut mengambil perspektif yang berbeda dan berubah menjadi resolusi tentang “memerangi intoleransi, diskriminasi dan hasutan pada kekerasan atas dasar agama dan kepercayaan”. Usulan Resolusi ini diterima secara penuh (Bagir 2014).

Perkembangan HAM ASEAN maupun HAM OKI menunjukkan kecenderungan yang mirip dan menarik. Keduanya dimulai dengan partikularisme yang dipertentangkan dengan Barat, namun kemudian sedikit demi sedikit berubah ke arah konvergensi dengan DUHAM. Di negara-negara Asia Tenggara, wacana tentang “Nilai-nilai Asia” telah bergeser menjadi Deklarasi HAM ASEAN, yang meskipun tidak identik namun amat dekat dengan DUHAM dan ICCPR. Demikian pula, pergeseran dari HAM Islam, ke Deklarasi Kairo, hingga ke perkembangan terakhir, terkait dengan disetujuinya resolusi intoleransi yang disponsori negara-negara OKI, menunjukkan kecenderungan serupa. Kelemahan keduanya juga mirip. Kayaoglu (2014) mengidentiikasi kelemahan HAM OKI karena adanya penekanan yang terlalu besar pada kedaulatan nasional sehingga mengurangi kekuatan potensial mekanisme HAM supra-nasional. Kelemahan yang sama dapat diamati pada HAM ASEAN.

Dalam dokumen Buku Riset Kebijakan Agama (Halaman 65-69)