• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua

Dalam dokumen Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Halaman 123-200)

BAB III PARTAI GOLKAR DALAM BINGKAI MEDIA DAN KHALAYAK

3. Isu Politik Uang dan Pragmatisme dalam Pemilihan Ketua

tersebut melekat pada Partai Golkar dan khususnya mantan Presiden Soeharto pada saat pemerintahan orde baru. Pada masa itu, KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) dan suap menyuap adalah hal yang dianggap lumrah demi pencapaian dan pelanggengan kekuasaan. Sayangnya, politik uang atau politik transaksional masih menjadi isu sentral dalam setiap aktivitas politik Partai Golkar. Padahal Partai Golkar telah menyatakan perubahannya dalam “Paradigma Baru Partai Golkar” pada tahun 1999. Tindakan yang menyangkut uang dalam proses pencapaian kekuasaan seperti ini, disebut Firmanzah dalam buku Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi, dapat dikategorikan sebagai perilaku pragmatisme politik.

cxxiv

Jika ditilik dari aspek bahasa, pragmatisme dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti:133

1. Kepercayaan bahwa kebenaran atau nilai suatu

ajaran (paham, doktrin, gagasan, pernyataan, ucapan, dan sebagainya) bergantung pada (diukur dari) penerapannya bagi kepentingan manusia

2. Paham yang menyatakan bahwa segala sesuatu tidak

tetap, melainkan tumbuh dan berubah terus

3. Pandangan yang memberi penjelasan yang berguna

terhadap suatu permasalahan dengan melihat sebab akibat, berdasarkan kenyataan untuk tujuan praktis

4. Gerakan di Amerika Serikat (Bidang Filsafat) yang menentang ajaran atau teori tertentu (yang mutlak serta idealism yang bersumber pada teori yang kabur)

Dari pengertian tersebut, pragmatisme berarti keyakinan bahwa segala sesuatu yang dimaksudkan untuk kebaikan bersama bisa dicapai dengan perilaku, tindakan, dan sikap yang mengutamakan segi kepraktisan dan kegunaan (kemanfaatan). Dalam ranah politik, pragmatisme merupakan sesuatu tidak ideal, pasalnya pencapaian tujuan dilakukan dengan segala cara, karena terfokus pada hasil yang sesuai dengan keinginan seseorang atau sekelompok orang. Dengan demikian, pragmatisme adalah jalan pintas, tidak melalui prosedur berdasar etika politik yang dihormati bersama, sehingga memiliki kecenderungan untuk merusak tatanan sistem politik yang ada.

Dalam konteks Munas Partai Golkar, isu pragmatisme politik santer terdengar terutama dalam agenda pemilihan ketua umum partai. Yuddy Chrisnandi dalam beberapa kali kesempatan menyebut bahwa calon ketua umum lain sering memberi “gizi” untuk daerah yang dikunjunginya. Secara

133

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989

cxxv

denotatif, “gizi” berarti zat makanan pokok yang diperlukan bagi pertumbuhan dan kesehatan badan.134 Sementara “Gizi” yang dimaksud Yuddy tidak lain adalah uang yang dibagi-bagikan agar daerah tersebut memberikan suara kepada sang calon ketua umum. Informasi yang beredar pada pelaksanaan munas, salah satu calon ketua umum mampu memberikan Rp 500 juta hingga 1 miliar untuk satu suara. Yuddy bahkan menuntut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera melakukan pemeriksaan dan penyelidikan terhadap pemilik suara di munas yang sebagian besar adalah pejabat negara. Berdasar Undang Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2009 Pasal 12 B, Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan penyelenggara negara diwajibkan untuk melaporkan pemberian uang diatas Rp 10 juta kepada KPK135. Selanjutnya KPK yang memutuskan apakah uang pemberian tersebut termasuk gratifikasi atau bukan. Namun seperti sudah diduga, politik transaksional ini tidak bisa dibuktikan dengan jelas kecuali hanya dari desas-desus pihak-pihak tertentu.

Sebenarnya secara terbuka para calon ketua umum berani menyatakan mengeluarkan banyak dana dalam proses pencalonan. Namun mereka menampik anggapan bahwa dana kampanye tersebut digunakan untuk membeli suara. Aburizal dan Surya Paloh mengatakan bahwa mereka hanya memberi santunan kepada daerah-daerah yang mereka kunjungi. Bantuan tersebut merupakan uang pembinaan agar operasional DPD bisa berjalan baik, bukan untuk membeli suara DPD yang bersangkutan.

134

Ibid, hal: 279

135

Selengkapnya lihat berita Kompas, Selidiki Politik Uang di Munas: Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara, terbit 8 Oktober 2009

cxxvi

Disisi lain, jauh-jauh hari sebelum munas, Aburizal juga berjanji memberikan dana abadi sebesar 1 triliun untuk kas Partai Golkar jika dirinya terpilih menjadi ketua umum. Dana abadi tersebut akan digunakan untuk membangun kantor DPP baru yang lebih representatif. Janji Aburizal ini mendapat respon yang beragam dari kader partai. Sebagian pejabat Partai Golkar menganggap saat ini Partai Golkar memang masih membutuhkan orang kaya untuk membesarkan partai. Pengurus Partai Golkar tidak sedikit, sehingga butuh penyokong kokoh untuk menghidupi organisasi. Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Muladi menyatakan, Partai Golkar membutuhkan banyak uang untuk menggerakkan mesin partai di 500 daerah. Sebagai perbandingan, menurut Muladi, untuk membayar rekening listrik kantor dan gaji pegawai DPP saja membutuhkan uang Rp 300 juta per bulan.136 Namun sebagian lain, Yuddy diantaranya, menyatakan bahwa janji Aburizal Bakrie tersebut justru memperkuat pragmatisme politik yang telah ada dalam internal partai. Bahkan ketika Aburizal akhirnya menang dalam pemilihan ketua umum, menurut Yuddy, hal itu menandakan idealisme dan moral Partai Golkar telah mati karena kalah dengan uang.

Kompas beberapa kali membahas politik uang dan pragmatisme politik partai ini dalam pemberitaannya. Berikut adalah gambaran isu politik uang dan pragmatisme yang dibentuk oleh Kompas.

136

Lihat selengkapnya dalam Kompas, “Aburizal Bakrie Dinilai Tepat Jadi Ketua Umum”, edisi 5 Agustus 2009

cxxvii

3.1 Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum dalam Pandangan Kompas

Berita di Kompas yang bertema isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar diantaranya adalah sebagai berikut.

cxxviii Tabel 3.5

Berita Bertema Isu politik uang dan pragmatisme dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar

No Judul Berita Tgl Terbit

1 Politik Uang Tercium Kuat di Munas (5) 7 Okt 2009 2 Selidiki Politik Uang di Munas

*Lebih dari Separuh Pemilik Suara adalah Pejabat Negara (6)

8 Okt 2009

Kedua berita yang dianalisis pada sub tema ini merupakan jenis berita

straight news. Berita (5) yang berjudul “Politik Uang Tercium Kuat di Munas” ditulis oleh dua wartawan, Sutta Dharmasaputra dan Suhartono. Judul pada berita (5) menggunakan unsur what (apa) dan where (tempat). Unsur skrip what yang tertulis menunjukkan bahwa ada indikasi terjadinya politik uang pada pelaksanaan munas (where).

Indikasi politik uang tersebut berasal dari isu-isu yang beredar pada saat pelaksanaan munas. Penjelasannya secara lebih lengkap dapat dilihat pada paragraf lead berita berikut.

Menjelang pemilihan Ketua Umum Partai Golkar, Rabu (7/10) malam ini, praktik-praktik politik uang semakin kuat tercium. Informasi yang beredar, “harga” satu suara mencapai ratusan juta rupiah.

Leksikon “harga” yang digunakan Kompas mengesankan bahwa suara pada hakikatnya tidak bisa dibeli. Harga semestinya ditujukan untuk barang yang diperjual-belikan atau memiliki nilai jual. Penggunaan tanda kutip yang diberikan Kompas menunjukkan keprihatinan Kompas pada transaksi jual beli suara dan nominal harga yang sangat tinggi. Seperti yang disampaikan Dan

cxxix

Nimmo bahwa penulisan tanda kutip pada kata-kata tertentu menunjukkan keberpihakan media meskipun tersembunyi dalam koridor etika obyektivitas. Untuk unsur sintaksis narasumber pada berita ini, Kompas cukup beragam dan lengkap sesuai prinsip cover both sides yang dikedepankan Kompas, antara lain Yuddy Chrisnandi, Marwah Daud Ibrahim (disebut sebagai tim sukses Tommy Soeharto), Ketua Sidang Paripurna Fadel Muhammad, Zainal Bintang (disebut sebagai pendukung Surya Paloh), dan Akbar Tandjung (disebut sebagai tim sukses Aburizal Bakrie). Dalam hal ini Kompas, sesuai dengan kebijakan redaksinya, berusaha menggunakan narasumber perwakilan dari masing-masing pihak yang berkepentingan.

Sikap Kompas justru terlihat dari pilihan alur dan pernyataan dari masing-masing narasumber. Pada bagian awal berita, indikasi politik uang disampaikan oleh dua calon ketua umum, yakni Yuddy Chrisnandi dan tim sukses Tommy Soeharto, Marwah Daud Ibrahim. Kedua pihak ini memberikan sinyal bahwa politik uang memang terjadi dalam proses pelaksanaan munas, utamanya dalam proses pemilihan ketua umum, dan mengklaim bahwa pihak mereka bukanlah yang melakukan hal tersebut.

Yuddy Chrisnandi, salah seorang calon ketua umum, dalam konferensi pers, Selasa, juga mengaku mendapatkan informasi yang valid soal adanya praktik politik uang itu. “Kami juga mendengar dari sumber- sumber yang layak dipercaya dan pendukung kami di DPD (Dewan Pimpinan Daerah), saat ini semakin kencang untuk memberi tawaran yang lebih besar,” kata Yuddy.

Marwah Daud Ibrahim dari tim sukses Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto juga mencium adanya praktik politik uang itu. Pihaknya pun mendapat desakan dari daerah untuk melakukan transaksi yang juga cukup besar. Namun, lanjutnya, Tommy tetap pada pendirian tidak akan terbawa arus melakukan transaksional suara.

cxxx

Kompas juga menampilkan metafora yang merupakan sindiran Yuddy Chrisnandi terhadap pihak yang dirasanya melakukan politik transaksional ini.

“Saya ini elang, bukan bebek. Meskipun sendiri, tetap melayang- layang,” katanya.

Artinya, meskipun Yuddy tidak mendapatkan dukungan karena dirinya tidak memberikan materi kepada peserta munas, namun Yuddy tetap merasa percaya diri untuk berjuang seorang diri.

Setelah pernyataan tentang politik uang dari kedua calon ketua umum, Kompas tidak memuat pernyataan atau pendapat dari pihak dua kandidat yang lain, Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Pernyataan dari kubu Aburizal Bakrie dan Surya Paloh ditempatkan Kompas pada sub judul kedua yakni “Optimisme Satu Putaran” di bagian akhir berita. Namun pernyataan keduanya tidak terkait dengan politik uang, mereka justru dipaparkan Kompas tengah memberikan tanggapan mengenai pemandangan umum dukungan DPD I dan organisasi massa (ormas) kepada mereka, serta mengklaim bahwa calon yang mereka unggulkan bisa meraih kemenangan dalam satu putaran.

Alur yang dibuat Kompas tersebut menegaskan bahwa Kompas memiliki pola pikir yang hampir serupa dengan Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto, yakni politik uang memang ada dan diindikasikan dilakukan oleh pihak Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Kompas tampak memberikan sebuah penggambaran, sementara ada dua kandidat yang mencemaskan politik uang, dua kandidat lain yang disinyalir melakukan hal tersebut justru sibuk saling mengklaim dukungan. Keyakinan adanya politik uang juga disampaikan oleh Wartawan Kompas Suhartono berikut.

cxxxi

“Sudah pasti, karena sejarah dan semangat kader golkar yang biasa terjebak dalam politik uang dan pragmatisme kepentingan.” (Wawancara dengan Suhartono)

Tidak berbeda jauh dengan berita (5), pada berita (6) juga mencantumkan kata “politik uang” pada bagian judul. Bedanya, judul berita (6) yang ditulis Sutta Dharmasaputra, Syahnan Rangkuti, dan Suhartono ini dibuat seperti kalimat perintah untuk menyelidiki politik uang di munas. Kesan yang hendak dimunculkan Kompas, sudah ada bukti bahwa pada munas memang terjadi politik uang (bukan sekedar isu saja, seperti pada berita (5) diatas). Wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra juga menegaskan bahwa politik uang dalam Partai Golkar bukan hanya isu saja tetapi memang realita.

“Politik uang bukan lagi menjadi isu tapi sudah menjadi realita. Banyak kandidat menggelontorkan uang untuk mendapat dukungan. Mereka tidak berani melawan arus atau memberikan pendidikan politik pada kadernya. Panitia Munas juga tidak membuat peraturan yang ketat untuk mencegah terjadinya politik uang tapi justru menganggapnya sebagai hal yang lumrah dalam berpolitik dewasa ini. Tak pelak, Munas menjadi ajang bagi bagi uang ketimbang debat visi misi atau program brilian dan jauh ke depan.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)

Kalimat perintah dalam penulisan berita di Kompas ini juga ditunjukkan pada pilihan kata “harus” yang terdapat pada kalimat lead.

Komisi Pemberantasan Korupsi harus menyelidiki politik uang yang terjadi di Musyawarah Nasional Partai Golongan Karya di Pekanbaru, Riau, mengingat banyak peserta Munas merupakan pejabat Negara yang tidak boleh menerima gratifikasi.

Usulan Kompas agar KPK melakukan penyelidikan berawal dari pernyataan Yuddy Chrisnandi. Dalam tulisan Kompas, Yuddy dinyatakan sebagai pihak yang dirugikan dalam praktek politik uang di munas. Penempatan Yuddy sebagai korban memberi kesan bahwa Yuddy adalah “pahlawan” yang membuka tabir kecurangan di munas, sehingga

cxxxii

menimbulkan anggapan bahwa ada pihak lain yang dijadikan sebagai “penjahat” atau pelaku politik uang. Hal ini merupakan salah satu bentuk konstruksi media atau berita jika dilihat dari paradigma konstruktivisme bahwa berita bukan refleksi dari realitas, yakni muncul pihak yang dipandang sebagai ”pahlawan” atau pihak yang benar dan ada pula pihak yang berperan sebagai ”musuh” atau pihak yang jahat.137

Unsur sintaksis narasumber yang digunakan Kompas antara lain Yuddy Chrisnandi, Tommy Soeharto, Aburizal Bakrie, Sugeng Prawoto (disebut sebagai tim sukses Surya Paloh), dan anggota DPR dari fraksi Partai Golkar. Alur penceritaan dan penempatan narasumber pada berita (6) hampir sama dengan berita (5). Pada bagian awal, Yuddy dan Tommy memberikan pernyataannya mengenai politik uang yang terjadi pada saat munas. Yuddy, diceritakan menuntut penyelidikan oleh KPK terhadap pejabat pemerintah yang menjadi peserta munas. Sementara Tommy, menyatakan tidak mau terjebak dalam pragmatisme politik yang tidak sesuai dengan prinsip dirinya.

Berbeda dengan berita (5), pada berita (6) Kompas menampilkan pendapat dari dua pihak yang sebelumnya dikesankan sebagai pelaku politik uang, yakni Aburizal Bakrie dan Surya Paloh. Namun pernyataan Aburizal dan Surya Paloh yang tertulis di Kompas lebih ditekankan seperti jawaban atau pembelaan diri atas isu politik uang yang dituduhkan kepada mereka.

Aburizal Bakrie yang juga Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat, ketika ditanya soal politik uang hanya menyatakan bahwa setiap pengurus daerah membutuhkan dana untuk pembinaan. Aburizal yakin,

137

Selengkapnya Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 24-25

cxxxiii

uang tidak bisa mempengaruhi suara karena pemberian suara dilakukan secara tertutup dan rahasia.

Sugeng Parwoto sebagai tim sukses Surya Paloh membantah keras adanya politik uang atau jual beli suara di munas. “Kita tidak punya kemampuan memberi uang sampai Rp 500 juta,” ujarnya.

Kedua pernyataan tersebut kemudian disanggah kembali oleh seorang fungsionaris partai Golkar yang enggan disebutkan namanya. Kerahasiaan narasumber ini, menurut wartawan Kompas Suhartono, karena Kompas selalu menjaga narasumber yang tidak bersedia disebutkan identitas dirinya. Dalam kebijakan keredaksian, Kompas menyebutnya sebagai kebijakan untuk menghargai hal-hal yang bersifat off the record. Dirinya menuturkan sangat prihatin dengan Partai Golkar yang masih menggunakan uang dalam proses politik. Dari alur tersebut, Kompas mengambil sikap untuk mendesak pihak- pihak tertentu bahwa sikap royal memberikan uang kepada daerah-daerah adalah bentuk politik yang menghancurkan partai itu sendiri.

4. Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada

Pelaksanaan Munas

Selain tidak bisa lepas dari pengaruh uang, Partai Golkar juga dikenal sebagai partai yang keputusan politiknya penuh dengan rekayasa. Model rekayasa politik yang dikembangkan orde baru bermula dari adanya kebutuhan jangka pendek untuk keluar dari krisis ekonomi dan politik warisan

cxxxiv

orde lama, serta kebutuhan jangka panjang untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan berkemampuan menjalankan pembangunan yang sukses.138

Langkah-langkah politis orde baru selanjutnya yang kental dengan nuansa rekayasa, menurut Redi Panuju, pertama, menarik banyak pemilih dengan peraturan monoloyalitas Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seluruh PNS tidak memiliki pilihan lain selain masuk dan menyalurkan aspirasi politiknya di Golkar. Kedua, kebijakan massa mengambang (floating mass) yang membuat parpol tidak memiliki kesempatan merambah tingkat pedesaan sehingga pendukungnya sangat terbatas. Golkar merupakan pengecualian, karena Golkar bisa memanfaatkan jalur ABG (ABRI, Birokrat, Golkar) yang dapat mempermudah akses kemanapun.139 Warisan “rekayasa” ala Soeharto ini ternyata tetap dilestarikan Partai Golkar. Meskipun telah mendeklarasikan perubahan pasca Reformasi 1998, masyarakat masih belum bisa menghapus anggapan miring tersebut. Pasalnya, sebagian tokoh-tokoh Partai Golkar yang masih bertahan hingga saat ini merupakan loyalis Golkar pada era Soeharto.

Dalam proses pelaksanaan Munas Partai Golkar, indikasi rekayasa keputusan politik kembali tercium media. Sekali lagi, rekayasa diduga untuk memuluskan jalan calon ketua umum agar lebih mudah memenangkan kompetisi. Indikasi rekayasa sudah terendus sejak penentuan tata tertib sidang, pemilihan pimpinan sidang, aturan dan tata cara pemilihan ketua umum, hingga rekayasa kericuhan. Kericuhan dalam pelaksanaan munas ini dianggap

138

Selengkapnya lihat Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi ala Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hal: 23

139

Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 39-40

cxxxv

kubu Surya Paloh sebagai sebuah kesengajaan untuk mempermalukan Partai Golkar dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Wakil Presiden pada waktu itu.

Keributan yang terjadi pada peserta munas disebabkan karena beberapa hal. Pertama, permasalahan surat mandat ganda dari DPD II Kepualuan Seribu, Langkat, dan Halmahera Tengah. Dalam pasal 6 soal penentuan peserta munas disebutkan bahwa peserta harus membawa surat mandat dari DPD masing-masing yang diputuskan dalam Musyawarah Daerah (Musda).140 Surat mandat yang sah juga digunakan sebagai legitimasi hak suara milik DPD yang bersangkutan untuk keperluan voting. Kedua, kesalahan prosedur yang terjadi ketika peserta munas mulai melakukan pemungutan suara pemilihan ketua umum. Hal ini menyebabkan banyak peserta munas tersulut emosi dan pemungutan suara diulang kembali. Kedua permasalahan ini membuat peserta munas melakukan protes dan interupsi. Para peserta saling berteriak, berebut mic, berdiri, bahkan hampir terjadi baku hantam.

Indikasi rekayasa yang terjadi pada pelaksanaan Munas Partai Golkar ternyata juga menjadi perhatian Kompas dan menempati beberapa space

pemberitaannya. Untuk lebih jelasnya, indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan munas dalam teks berita yang disajikan di Harian Kompas dan pendapat Kompas sendiri dapat dilihat sebagai berikut.

4.1 Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada

Pelaksanaan Munas dalam Pandangan Kompas

140

Kompas, “Perebutan Pimpinan Munas: Munas Golkar akan Berlangsung Sengit”, edisi 6 Oktober 2009

cxxxvi

Berita di Kompas yang bertema indikasi rekayasa dan kericuhan pada pelaksanaan munas yang dianalisis, yaitu:

cxxxvii Tabel 3.6

Berita Bertema Indikasi Rekayasa dan Kericuhan pada Pelaksanaan Munas

No Judul Berita Tgl Terbit

1 Perebutan Pimpinan Munas

*Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit (7)

6 Okt 2009

2 “Dinamika Politik” yang Bisa Mempermalukan (8) 7 Okt 2009 Berita (7) yang berjudul “Perebutan Pimpinan Munas: Munas Golkar Akan Berlangsung Sengit” ditulis oleh tiga wartawan, yakni Sutta Dharmasaputra, Suhartono, dan Syahnan Rangkuti. Berita ini adalah jenis berita straight news, sementara berita (8) berjudul “Dinamika Politik yang Bisa Mempermalukan yang ditulis oleh Suhartono adalah feature news.

Pada berita (7), judul berita menggunakan unsur what (apa), yakni terjadinya perebutan pimpinan munas dan how (bagaimana) yakni perebutan pimpinan tersebut diperkirakan berlangsung dengan sengit. Prediksi Kompas bahwa pelaksanaan rapat dalam munas berlangsung dengan sengit juga terpapar dalam lead berita.

Rapat Paripurna I Musyawarah Nasional VIII Partai Golongan Karya yang dimulai Senin (5/20) akan berlangsung seru dan sengit. Agenda yang krusial adalah pemilihan pimpinan sidang dan pengesahan tata tertib.

Kata “sengit” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti tajam, keras, sangat menyakiti hati, pedas, hebat, dahsyat, dan bengis.141 Sehingga leksikon “sengit” yang digunakan Kompas menunjukkan ada pihak-pihak yang bertikai dan saling menyerang dalam pelaksanaan munas. Kata sengit mengesankan bahwa pihak-pihak yang bersaing tersebut sama-sama kuat

141

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Usaha, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cetakan kedua, Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hal: 815

cxxxviii

sehingga sulit menentukan siapa yang akan memenangkan persaingan.

Dalam penjelasan lebih lanjut, Kompas berusaha memaparkan bahwa ada banyak hal dalam pelaksanaan munas yang dapat memicu terjadinya rekayasa politik. Rekayasa ini dengan mudah bisa menyulut kericuhan, sehingga pelaksanaan munas diprediksi berlangsung ramai. Kata yang dapat menunjukkan hal ini, salah satunya adalah metafora “bermuka dua”.

Peserta juga sudah terbelah, khususnya antara kubu Surya Paloh dan Aburizal Bakrie. Tiap-tiap kandidat juga mengklaim dapat dukungan yang besar sehingga diperkirakan banyak pengurus daerah yang “bermuka dua” atau banyak yang bukan pemegang mandat atau juga ada daerah yang terpecah dan masing-masing membuat mandat sendiri.

Metafora “bermuka dua” yang berarti tidak jujur atau tidak satu pendiriannya ini ditujukan kepada pengurus daerah (DPD). Kompas memberikan penegasan bahwa kepengurusan daerah sebenarnya memiliki kepentingan ketika menjadi pendukung salah satu calon, misalnya untuk uang atau kekuasaan. Jika DPD bisa memanfaatkan keadaan dengan mendukung lebih dari satu calon, kemungkinan untuk mendapatkan apa yang menjadi tujuan mereka menjadi lebih besar. Seperti pengakuan dari Wartawan Kompas Suhartono yang meliput secara langsung di Pekanbaru Riau berikut.

“Pengakuan sejumlah ketua DPD Golkar yang juga merangkap bupati atau walikota. Kebetulan mereka bukan sosok yang bersih dalam memerintah sehingga gampang "ditekan" oleh aparat kejaksaan yang notabene dibawah pemerintah sehingga mereka bisa diatur untuk memilih calon yang dikehendaki oleh pemerintah. Dalam hal ini, untuk mendukung Aburizal Bakrie. Juga kehadian Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi waktu itu di salah satu ruang di acara pemilihan ketum golkar.” (Wawancara dengan Suhartono)

Prediksi adanya rekayasa dari internal peserta rapat juga dituliskan Kompas dalam proses pemilihan pimpinan sidang dan penentuan aturan

cxxxix pemilihan ketua umum partai berikut.

Selain itu, pemilihan orang dari DPP, DPD I, dan ormas pun akan ramai karena setiap kandidat akan berusaha memasukkan orangnya sebagai pimpinan Sidang.

Informasi yang berkembang, sudah ada upaya agar pemilik suara hanya bisa mengusulkan satu nama sehingga dari empat bakal calon yang ada bisa langsung dikerucutkan, bahkan bisa langsung ditetapkan menjadi

Dalam dokumen Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Halaman 123-200)