• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Konstruksi Realitas oleh Berita dan Media

Dalam dokumen Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Halaman 46-51)

Media massa dalam komunikasi massa berperan menjadi komunikator atau penyampai pesan kepada khalayak sebagai komunikan. Komunikator dalam komunikasi massa sifatnya melembaga bukan orang per orang, misalnya seorang wartawan saja. Wartawan adalah salah satu bagian dari lembaga. Artinya, berbagai sikap dan perilaku wartawan sudah diatur dan harus tunduk pada sistem yang sudah diciptakan dalam saluran komunikasi massa tersebut.61

Media bukan saluran bebas, ia menjadi subjek yang mengonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya. Tony Bennet

61

xlvii

menyatakan media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefinisikan realitas sesuai dengan kepentingannya.62 Jelasnya, ada berbagai kepentingan yang bermain di media massa, seperi kepentingan ideologi antara masyarakat dan negara, kepentingan kapitalisme pemilik modal, kepentingan keberlangsungan (suistainabilitas) lapangan kerja bagi karyawan, dan sebagainya.63

Maka, isi media menurut Brian McNair dapat lebih ditentukan oleh64: 1. Kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik (the political approach) 2. Pengelola media sebagai pihak yang aktif dalam proses produksi berita

(organizational approach)

3. Gabungan berbagai faktor, baik internal media ataupun eksternal media (cultural approach)

Menurut Stuart Hall, media massa pada dasarnya tidak memroduksi, melainkan menentukan realitas melalui pemilihan kata-kata. Makna tidak secara sederhana dapat dianggap sebagai reproduksi dalam bahasa, tetapi sebuah pertentangan sosial, perjuangan dalam memenangkan wacana.65

Dalam proses konstruksi sosial terhadap sebuah wacana, pengalaman dan kecenderungan individu−dalam hal ini adalah wartawan−mengendap, mengkristal, dan membentuk pemahaman yang memberikan kemampuan

62

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, LKiS, Yogyakarta, 2002, hal: 23

63

Drs. Alex Sobur, M.Si, Analisis Teks Media, Rosdakarya, Bandung, 2001, hal: 30 64

Rachmat Kriyantono S.Sos M.Si, Riset Komunikasi. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006, hal: 279

65

xlviii

individu untuk memetakan, menerima, mengidentifikasi, dan memberikan label pada peristiwa atau informasi yang dihadapi.66

Media massa adalah tempat bertemunya pihak-pihak yang memiliki latar belakang, sudut pandang, dan kepentingan yang heterogen. Setiap pihak akan mengeluarkan pendapat dan pandangan mereka terhadap suatu wacana sesuai dengan kepentingan dirinya dan kelompoknya. Dalam konteks inilah mereka menggunakan bahasa simbolik atau retorika dengan konotasi tertentu yang bermuara pada membenarkan tindakan sendiri dan memburukkan pihak lain.67 Jadi, sebetulnya media punya potensi untuk menjadi peredam atau bahkan pendorong konflik. Media bisa memperjelas sekaligus mempertajam konflik atau sebaliknya, mengaburkan dan mengeliminirnya.68

Kedudukan media dan berita, jika dilihat dari paradigma konstruksionis adalah sebagai berikut69 :

a. Fakta/ peristiwa adalah hasil konstruksi.

Realitas hadir karena dihadirkan oleh konsep subyektif wartawan, tercipta lewat konstruksi, sudut pandang tertentu dari wartawan, tidak ada yang bersifat obyektif. Realitas tergantung pada konsep pemahaman wartawan pada saat melihat sebuah realitas atau peristiwa. b. Media adalah agen konstruksi pesan.

Media bukan hanya saluran pesan yang bebas, ia secara aktif menafsirkan realitas untuk disajikan kepada khalayak. Caranya dengan

66

Bimo Nugroho, Eriyanto, Frans Surdiasis, Politik Media Mengemas Berita, Institut Studi Arus Informasi, Yogyakarta, 1999,hal: 23

67

Ibid, hal: 26 68

Drs. Alex Sobur, M.Si, Op.Cit, hal: 171 69

xlix

memilih, mana realitas yang akan diambil dan mana realitas yang akan disembunyikan atau dibuang, siapa yang akan dijadikan narasumber berita, dan mendefinisikan aktor atau peristiwa.

c. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanyalah konstruksi atas realitas. Berita bisa diibaratkan sebagai sebuah sandiwara. Artinya, berita bukan merupakan realitas yang sebenarnya, akan tetapi merupakan gambaran pertarungan antar pihak yang memiliki kepentingan dalam sebuah isu. Oleh karena itu, terkadang muncul pihak yang dipandang sebagai “pahlawan” atau pihak yang benar dan ada pula pihak yang berperan sebagai “musuh” atau pihak yang jahat.

d. Berita bersifat subyektif

Opini dalam penulisan berita tidak dapat dihilangkan karena ketika meliput wartawan melihat dengan perspektif dan pertimbangan subyektif. Oleh karena itu, sering kali terjadi perbedaan antara fakta dengan penulisan berita oleh wartawan, dan hal ini tidak bisa dipersalahkan karena memang demikianlah penafsiran wartawan tersebut terhadap peristiwa.

e. Wartawan adalah agen konstruksi realitas

Wartawan adalah partisipan yang menjembatani keragaman subyektifitas pelaku sosial. Dalam penulisan berita, wartawan ikut mendefinisikan apa yang terjadi berdasar pemahaman individualnya terhadap realitas. Ketika seorang wartawan menulis berita, maka sebetulnya dia membuat dan membentuk dunia, membentuk realitas.

l

f. Nilai, etika dan pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita.

Wartawan tidak saja menulis sesuai fakta atau realitas secara apa adanya, tetapi ia akan melandaskan kepentingan moral dan nilai-nilai kepercayaan tertentu yang ia yakini untuk mengkonstruksi berita.

Pengonstruksian realitas oleh media, menurut Ibnu Hamad, biasanya dilakukan dengan tiga tindakan. Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol politik) serta pemilihan direct quotation (kutipan langsung). Kedua, melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik, minimal karena keterbatasan kolom dan halaman surat kabar. Dan yang terakhir, menyediakan ruang dan waktu untuk sebuah peristiwa politik tertentu, atau sering dimaknai dengan agenda setting media.70

Pembentukan berita oleh awak media juga tidak serta merta tampak secara jelas. Organisasi media masih memiliki tanggung jawab terhadap prinsip “obyektivitas” dari sebuah pemberitaan. Oleh karena itu, Dan Nimmo menjelaskan bahwa media memiliki strategi untuk menggambarkan sebuah fakta dengan tanpa mengesampingkan pedoman obyektivitas. Ada lima strategi yang disebutkan Nimmo.71

Pertama, penyajian kemungkinan yang bertentangan. Maksudnya, media massa akan menyajikan pertentangan atau mengkonfrontir pihak-pihak yang saling bertolak belakang. Hal ini dilakukan apabila media massa tidak

70

Secara lengkap lihat Drs. Alex Sobur, M.Si, Op.Cit, hal: 166-167 71

Secara lengkap lihat Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, Rosdakarya, Bandung, 1999, hal: 224-225

li

mendapatkan bukti atau menyingkap “fakta” yang sesungguhnya. Kedua, menggunakan penyajian bukti yang mendukung. Artinya, media massa bisa menyebut seseorang sebagai “pakar” dengan juga menampilkan bukti bahwa orang tersebut “ahli” dalam hal tertentu.

Ketiga, menggunakan tanda kutip, yakni media massa dapat menggunakan tanda kutip terhadap sebuah kalimat atau kata yang dirasa sensitif atau memojokkan salah satu pihak. Keempat, penyusunan cerita dengan urutan yang tepat, biasanya dengan model piramida terbalik. Model piramida terbalik adalah menempatkan hal-hal yang paling penting dalam sebuah berita (5W+1H) pada bagian awal berita dan bahan yang kepentingannya berkurang ditempatkan setiap paragraf berikutnya. Kelima, pelabelan analisis berita. Berita yang mengandung unsur “komentar” atau “analisis” diberi label khusus agar tidak terkesan memihak, namun merupakan kesadaran bahwa berita tersebut memang merupakan opini media.

Dalam dokumen Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Halaman 46-51)