• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar

Dalam dokumen Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Halaman 102-116)

BAB III PARTAI GOLKAR DALAM BINGKAI MEDIA DAN KHALAYAK

1. Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar

Munas Partai Golkar VIII pada tahun 2009 memang terasa berbeda karena salah satu agenda penting munas yakni pemilihan ketua umum partai dilakukan dengan sistem pemilihan langsung. Pemilihan langsung ini berarti Dewan Pimpinan Pusat (DPP), masing-masing Dewan Pengurus Daerah (DPD), baik DPD tingkat I dan DPD tingkat II, memiliki hak pilih terhadap salah satu kandidat yang dinyatakan lolos seleksi menjadi calon ketua umum.

Sebelumnya, Partai Golkar menerapkan tata cara pemilihan ketua umum dengan sistem konvensi, setelah itu calon ketua umum baru dipilih kembali pada munas. Secara harfiah, konvensi dapat diartikan sebagai aturan- aturan yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan tidak tertulis.123 Bagi Partai Golkar, konvensi merupakan upaya membangun citra partai yakni dengan memperbaiki mekanisme proses rekruitmen pimpinannya secara demokratis.124 Namun kenyataannya, konvensi justru memperlihatkan adanya kompleksitas power struggle antar faksi di tingkat elite partai. Peta faksi tidak jelas dan berubah sesuai kepentingannya, misalnya pada Munas Partai Golkar 2004 dimana pemilihan ketua umum dimenangkan kelompok pragmatis kekuasaan.125

Berdasarkan keputusan Panitia Pengarah (Steering Comittee) Munas Partai Golkar VIII yang diketuai Syamsul Mu’arif, DPP Golkar, DPD I, DPD

123

B.N Marbun, SH, Kamus Politik, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2002, hal: 297 124

Akbar Tandjung, The Golkar Way: Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007, hal: 19

125

ciii

II serta organisasi pendiri atau yang didirikan Golkar, masing-masing memiliki satu suara. Jadi kalkulasinya sebagai berikut: DPP 1 suara, DPD I 33 suara, DPD II 494 suara, dan organisasi massa (ormas) 10 suara, sehingga total jumlah suara yaitu 538 suara. Meskipun kemudian, jumlah suara DPD II hanya 492 suara karena hak suara DPD II Kepulauan Seribu dan DPD II Langkat dianulir karena terdapat surat mandat ganda.

Sistem pemilihan langsung ternyata membawa dua konsekuensi. Pertama, kader Partai Golkar bebas menyalonkan diri menjadi ketua umum partai, dengan catatan bahwa dirinya memenuhi persyaratan yang ada. Persyaratan ketua umum telah diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Kepengurusan Partai Golkar periode 2004- 2009, antara lain126:

a. Pernah menjadi Pengurus Dewan Pimpinan Pusat

Partai Golkar dan atau sekurang-kurangnya pernah menjadi Pengurus Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar Provinsi dan/atau serta pernah menjadi Pengurus Organisasi Pendiri dan yang didirikan selama 1 (satu) periode penuh dan didukung oleh minimal 30 % hak suara.

b. Aktif terus menerus menjadi anggota Partai Golkar sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan tidak pernah menjadi anggota partai politik lain.

c. Pernah mengikuti pendidikan dan latihan kader.

d. Memiliki prestasi, dedikasi, disiplin, loyalitas dan tidak tercela.

e. Memiliki kapabilitas dan akseptabilitas.

f. Tidak pernah terlibat G 30 S PKI.

g. Bersedia meluangkan waktu dan sanggup bekerjasama secara kolektif dalam Partai Golkar.

126

civ

Awalnya ada empat orang calon yang diunggulkan dan memenuhi persyaratan tersebut, yakni Aburizal Bakrie, Ferry Mursyidan Baldan, Surya Paloh, dan Yuddy Chrisnandi. Ferry Mursyidan dan Yuddy Chrisnandi tercatat pernah menjadi pengurus DPP Partai Golkar, Aburizal Bakrie pernah menjabat menjadi pengurus Musyawarah Kerja Gotong Royong (MKGR), sementara Surya Paloh pernah menjadi pengurus Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Akan tetapi dalam perkembangannya, kader partai yang tidak memenuhi persyaratan pun menyalonkan diri atau sekedar mewacanakan diri menyalon sebagai Ketua Umum Partai Golkar.

Sebut saja dua orang dari trah keluarga Cendana (sebutan untuk keluarga mantan Presiden Soeharto), Siti Hardiyanti Rukmana atau Tutut Soeharto dan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto. Tutut masih tercatat sebagai anggota Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), sehingga Tutut tidak diperbolehkan menyalonkan diri menjadi Ketua Umum Partai Golkar. Sedangkan Tommy pernah terjerat kasus hukum sebagai aktor intelektual pembunuhan berencana Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita, sehingga bisa dipersoalkan dari sisi PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, dan Tidak tercela). Namun dalam pelaksanaan munas, Tommy dinyatakan lolos persyaratan tersebut. Dengan demikian, empat calon yang akhirnya maju, yakni Aburizal Bakrie, Surya Paloh, Yuddy Chrisnandi, dan Tommy Soeharto, kesemuanya lolos seleksi.

Kehadiran Yuddy Chrisnandi dan Tommy Soeharto dalam bursa calon Ketua Umum Partai Golkar dinilai cukup berani dan mendobrak tradisi.

cv

Pasalnya, Partai Golkar belum pernah diketuai oleh golongan muda, khususnya kader yang berusia dibawah 50 tahun. Bahkan sebagian pimpinan Partai Golkar masih diisi oleh golongan senior, termasuk diantaranya Surya Paloh dan Aburizal Bakrie.

Konsekuensi kedua, persaingan antar calon ketua umum semakin jelas dan nyata. Hal ini mengingatkan pada kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Gubernur (Pilgub), ataupun Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dimana aktor politik (calon dan tim suksesnya) melakukan komunikasi politik. Menurut Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik: Khalayak dan Efek, pelaku kampanye –kandidat, penasihat, konsultan dan komunikator politik lain– berusaha mengatur kesan pemberi suara dengan mengungkapkan lambang-lambang yang akan menghimbau untuk memilih mereka. Kesan ini bisa diwujudkan dalam opini dan pernyataan di media, orasi, ataupun tindakan.

Kaitannya dalam pelaksanaan Munas Partai Golkar, karena pemilihan berdasarkan akumulasi suara dari masing-masing daerah, para calon ketua umum melakukan kampanye serta mencari dukungan ke daerah. Mereka mengklaim bahwa daerah-daerah yang mereka kunjungi mendukung pencalonan dirinya. Dukungan daerah ini diwujudkan dalam surat pernyataan dukungan ataupun pernyataan langsung kepada calon ketua umum. Klaim dukungan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi kepada daerah lain, baik yang sudah menentukan pilihan atau belum, bahwa calon ketua umum tersebut memiliki pendukung yang banyak sehingga layak untuk dipilih.

cvi

Tidak hanya klaim dukungan, para calon ketua umum pun saling serang opini secara terbuka di media massa. Terlebih lagi Aburizal Bakrie dan Surya Paloh menggunakan stasiun televisi milik mereka, yakni TV One dan Metro TV, untuk melakukan kampanye. Bahkan TV One dan Metro TV dalam siaran live, menyiarkan prosesi pemilihan dan perhitungan suara Ketua Umum Partai Golkar di munas. Selain klaim dukungan, berbagai isu seperti politik uang, kompetensi calon, dan posisi Partai Golkar dalam pemerintahan pun menjadi wacana strategis untuk saling menyerang.

Salah satu isu sensitif yang menjadi perdebatan dalam pelaksanaan munas adalah adanya politik uang. Tidak mau dituding melakukan politik transaksional, para calon ketua umum mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda agar mendapat simpati dari pendukungnya. Aburizal Bakrie dan Surya Paloh berlomba-lomba memberi fasilitas, seperti pelesiran,

menyediakan tempat penginapan, hingga memberi pesawat carteran untuk berangkat ke Pekanbaru. Aburizal Bakrie juga sempat menyelenggarakan turnamen golf “ARB Cup” pada saat jeda pelaksanaan munas. Sedangkan Tommy Soeharto mencoba menawarkan program pemberdayaan rakyat “Trikarya” dengan total nilai mencapai miliaran rupiah. Sementara Yuddy Chrisnandi tidak banyak memberikan janji, dirinya justru lebih sering mengkritik perilaku Aburizal Bakrie dan Surya Paloh di media massa. Sikap elite politik yang demikian mau tidak mau memunculkan perpecahan dalam tubuh partai.

cvii

Seperti yang dikatakan Redi Panuju, untuk mempertahankan dan menguatkan kekuasaan, orang yang memiliki kekuasaan akan melakukan asosiasi-asosiasi (pengelompokan). Banyak istilah untuk menamai kelompok ini, misalnya ruling elitee, power elitee, strategic elitee, ruling class, dan sebagainya.127 Demikian pula dalam internal Partai Golkar mulai tumbuh faksi-faksi yang mendukung calon tertentu. Dukungan ini ternyata terstruktur dan terorganisir, hingga ada penyebutan “tim sukses” untuk kelompok tersebut. Misalkan saja, Aburizal Bakrie yang mendapat dukungan dari tokoh sekaliber Akbar Tandjung dan Agung Laksono, Surya Paloh yang didampingi Ariady Ahmad, Jefrey Geovani, dan Zainal Bintang, Tommy Soeharto yang mendapat dukungan Marwah Daud Ibrahim dan Justiani, dan Yuddy Chrisnandi yang mendapat simpati Indra J Piliang, Emil Tanri Abeng, dan Renny Djayusman. Tokoh-tokoh Partai Golkar ini kemudian ikut arus masuk dalam persaingan pemilihan ketua umum partai dan membentuk blok-blok tersendiri.

Untuk lebih jelasnya, persaingan ini dapat dilihat dalam teks berita yang disajikan di Harian Kompas dan pendapat Kompas sendiri mengenai persaingan tersebut.

1.1 Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum Partai Golkar dalam Pandangan Kompas

127

Redi Panuju, Oposisi Demokrasi dan Kemakmuran Rakyat, Pustaka Book Publisher, Yogyakarta, 2009, hal: 28-29

cviii

Dua berita di Kompas bertema persaingan perebutan kursi Ketua Umum Partai Golkar yang dianalisis peneliti diantaranya sebagai berikut.

Tabel 3.3

Berita Bertema Persaingan Perebutan Kursi Ketua Umum

No Judul Berita Tgl Terbit

1 Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program Miliaran (1) 6 Okt 2009 2 Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon (2) 9 Okt 2009

Berita pertama (1) berjudul Uang Jalan, Pesawat Carteran, sampai Program Miliaran…yang ditulis oleh Sutta Dharmasaputra, sedangkan berita kedua (2) berjudul “Kekuasaan, Uang, dan Jaringan di Antara Empat Calon…” ditulis oleh Suhartono. Kedua berita ini sama-sama merupakan

feature news, yakni feature berita yang mendampingi berita utama. Feature ini dapat dikenali melalui bentuk kalimat judul yang lebih flexibel, yakni ditulis dengan huruf miring dan tiga titik dibelakang judul. Tiga titik dibelakang judul mengesankan bahwa kalimat tersebut belum selesai karena ada sesuatu yang akan diungkapkan lebih lanjut dalam tubuh berita. Kalimat seperti ini membuat pembaca merasa penasaran dan terdorong untuk membaca kelanjutan isi berita.

Pada berita (1), Kompas menulis judul berita dengan unsur what atau apa yang dilakukan oleh subyek, dalam hal ini apa yang diberikan atau ditawarkan subyek (calon Ketua Umum Partai Golkar) kepada pendukungnya dalam proses kampanye. Dalam penulisan judul, “apa” yang diberikan oleh subyek (uang, pesawat carteran, dan program miliaran) merupakan sesuatu

cix

yang dianggap berlebihan, kemudian dipertegas pada paragraf lead dengan penambahan unsur skrip subyek (who) dan tempat (where).

Jorjoran. Barangkali itu istilah tepat untuk menggambarkan persaingan antarkandidat calon Ketua Umum Partai Golkar 2009-2014 yang berlangsung di Musyawarah Nasional VIII di Pekanbaru, Riau.

Kompas memilih menggunakan kata jorjoran dalam lead tersebut. Jorjoran berarti berlaku royal, rela mengeluarkan banyak uang untuk sesuatu yang tidak terlalu dibutuhkan, serta bersikap berlebihan untuk saling menyaingi. Jorjoran merupakan kata yang dianggap Kompas dapat menggambarkan perilaku boros beberapa calon ketua umum. Seperti yang diungkapkan wartawan Kompas, Sutta Dharmasaputra. Sutta menekankan bahwa upaya penggalangan dukungan banyak dilakukan dengan perilaku pragmatis, salah satunya dengan jorjoran uang tersebut.

“Persaingan antarkandidat terjadi sangat ketat. Masing-masing kandidat menggunakan berbagai cara untuk meraih dukungan sebanyak- banyaknya. Sayangnya, persaingan itu lebih banyak terjadi pada upaya penggalangan dukungan dengan cara-cara pragmatis ketimbang programatis.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)

Unsur sintaksis berupa narasumber pada berita (1) yang dipilih Kompas adalah narasumber dari masing-masing tim sukses atau pendukung calon ketua umum. Pertama, Sugeng Suparwoto (tim sukses Surya Paloh), Akbar Tandjung (tim sukses Aburizal Bakrie), Justiani (tim sukses Tommy Soeharto), dan Tafip Syamsul Hadi (tim sukses Yuddy Chrisnandi). Hal ini merupakan perwujudan dari kebijakan keredaksian Kompas yang berusaha untuk tidak memihak salah satu pihak, sehingga harus meliput kedua belah pihak–dalam hal ini cover all sides. Kompas tidak menyebutkan gelar atau

cx

jabatan dari masing-masing narasumber tersebut, tetapi setiap narasumber diberi label “tim sukses” atau “tim (nama calon)”.

Sementara latar pada berita (1), Kompas bercerita tentang usaha yang dilakukan keempat kandidat untuk menarik massa pendukungnya. Pemaparan masing-masing calon tidak didasarkan Kompas pada urutan kandidat berdasarkan huruf abjad nama depan. Kompas mengurutkan penceritaan dari kandidat yang dianggap paling banyak mengeluarkan dana dalam proses kampanye ini, yakni Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Tommy Soeharto, baru kemudian Yuddy Chrisnandi.

Dari keempat calon yang ada, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie yang paling memanjakan para pendukungnya. Informasi yang berkembang di munas, kedua orang ini yang paling berpeluang menjadi ketua umum.

Hal ini didasarkan pada pandangan Kompas bahwa persaingan antar calon ketua umum memang tidak imbang. Hanya Surya Paloh dan Aburizal Bakrie yang benar-benar berjuang untuk memenangkan kompetisi ketua umum. Seperti yang dikatakan oleh Wartawan Kompas, Suhartono.

“Persaingan yang sebenarnya hanya terjadi di Surya paloh dan Ical menjelang dan di saat pemilihan. Sebetulnya persaingan mereka seimbang, hanya bedanya Ical ditopang dengan materi yang jauh lebih besar dan dukungan perangkat kekuasaan penguasa yang berada di baliknya. Adapun Surya topangan materi juga besar, akan tetapi tidak ada perangkat kekuasaan yang ikut mendukung.” (Wawancara dengan Suhartono)

Penekanan kandidat yang paling boros pada awal berita mengesankan bahwa Kompas ingin menonjolkan kekuatan uang yang dimiliki dua orang kandidat terkuat. Suhartono mengungkapkan hal tersebut, meskipun sebenarnya masyarakat secara luas kurang simpatik terhadap Surya Paloh maupun Aburizal Bakrie.

cxi

“Surya paloh dan Ical secara ekonomi dan latar belakang politik cukup baik, namun kedekatnnya dengan penguasa dalam bidang ekonomi dan politik cukup kuat, sehingga mengurangi dukungan masyarakat luas.”

(Wawancara dengan Suhartono)

Sementara itu, kesederhanaan kampanye Yuddy Chrisnandi ditempatkan paling akhir. Hal ini membuat perbedaan antar kandidat tampak sangat kentara dan ironis. Pada level retoris, penonjolan terhadap kesederhanaan Yuddy juga diwujudkan Kompas dalam bentuk grafis, yakni

insert yang bertuliskan kalimat ”Dari empat kandidat, hanya Yuddy Chrisnandi yang mengeluarkan biaya paling sedikit” dengan jenis dan ukuran huruf yang sangat besar pada tengah berita.

Secara keseluruhan, berita ini banyak menggunakan kata yang memiliki unsur retoris, diantaranya adalah leksikon “pelesiran”, metafora “politik dagang sapi”, dan “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”.

“Pelesiran” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bersenang-senang, mencari kesenangan, berjalan-jalan, bertamasya, atau pesiar. Penggunaan kata ini menunjukkan bahwa calon ketua umum ingin memanjakan para pendukungnya dengan aktivitas lain diluar dunia politik. Sedangkan kata “politik dagang sapi” menunjukkan bahwa ada tawar menawar suara dalam pemilihan ketua umum layaknya seperti transaksi jual- beli. Sementara metafora “kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati”, memberi penekanan bahwa perilaku calon ketua umum yang menggunakan kekuatan uang untuk memperoleh kekuasaan bertujuan agar dirinya tetap eksis dan bertahan dalam kompetisi politik. Seperti yang diungkapkan George Wilhelm

cxii

Frederich Hegel, bahwa kekuasaan politik yang sebenarnya adalah kekuasaan yang terorganisir dari suatu golongan untuk menindas golongan yang lain128.

Diakhir latar berita tersebut, Kompas memberikan sebuah kesimpulan terhadap perilaku keempat kandidat ketua umum tersebut. Karena berita ini bukan merupakan jenis berita straight news, maka wartawan bisa memasukkan opininya didalam berita, meskipun opini tersebut harus berdasarkan fakta yang ia tulis dalam berita tersebut.

Banyak yang berkata bahwa saat ini perjuangan politik memang tidak bisa dipisahkan dengan kekuasaan logistik. Karena itu, ada pepatah Jawa yang mengatakan, kalau tidak mukti (berkuasa), akan mati. Namun Golkar hendaknya mempertimbangkan unsur etik, selain logistik, kalau tidak ingin partai ini mendidik kadernya menjadi sangat pragmatis.

Kalimat tersebut memberi penegasan bahwa Kompas memilih sikap tidak sepakat dengan perilaku kandidat yang rela mengeluarkan banyak uang dalam proses kampanye pemilihan ketua umum. Penggunaan uang ditakutkan akan mendorong kader atau anggota partai memiliki orientasi lain sehingga dalam jangka panjang bisa membentuk partai ini menjadi partai pragmatis. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Sutta Dharma yang menjelaskan tentang kebijakan keredaksionalan Kompas.

“Kebijakan pemberitaan selalu ada. Namun, kebijakan itu tidak mengarahkan pada dukungan pada kandidat tertentu tapi pada kebijakan bangsa yang lebih besar, misalnya, mendorong partai semakin transparan, ada persaingan sehat, partai bersih dari KKN.” (Wawancara dengan SUtta Dharmasaputra)

Sementara untuk berita (2), judul berita menggunakan unsur what

(apa) dan who (subyek). Unsur “apa” disini merupakan sesuatu yang seharusnya dimiliki oleh subyek (calon ketua umum) dalam proses pemilihan

128

cxiii

Ketua Umum Partai Golkar, yakni kekuasaan, uang dan jaringan. Penjelasan lebih lanjut dapat dilihat dalam lead berita.

Idealisme dan kegigihan berjuang saja rasanya tidak cukup untuk meraih kursi nomor satu di Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Lead tersebut mempertegas bahwa kekuasaan, uang, dan jaringan (yang tertulis dalam judul) adalah hal yang lebih dibutuhkan calon ketua umum dibandingkan idealisme dan kegigihan sang calon (yang tertulis dalam

lead). Realita tersebut digambarkan Kompas sebagai sebuah ironi dari keseluruhan proses pemilihan ketua umum. Pasalnya, Kompas memiliki pandangan dan kriteria tersendiri untuk calon Ketua Umum Partai Golkar yang ideal, seperti yang diungkapkan Suhartono dan Sutta Dharma berikut.

“Tahu sejarah dan organisasi serta misi dan visi golkar, berjuang untuk memajukan golkar dan perekonomian bangsanya, selain memperbaiki dan meningkatkan gengsi partai golkar, punya integritas dan misi dan visi kenegaraan, memiliki kemampuan ekonomi dan punya latar belakang politik yang matang.” (Wawancara dengan Suhartono)

“Sosok yang menjadi panutan pemilih Golkar di 2014 atau bahkan panutan bangsa secara keseluruhan. Dia harus kader terbaik partai, memiliki rekam jejak yang bagus, dan visi yang jelas dalam membawa partai dan bangsa lima tahun ke depan.” (Wawancara dengan Sutta Dharmasaputra)

Namun kriteria tersebut tidak tampak dari masing-masing calon, karena yang menonjol dan paling menentukan adalah kekuatan dari luar diri calon ketua umum seperti kekuasaan, uang, dan jaringan.

Berita (2) memiliki beberapa perbedaan dengan berita (1). Pertama, berita (2) tidak memiliki unsur sintaksis narasumber. Berita dibuat seperti opini, namun sarat dengan data-data yang faktual. Perbedaan selanjutnya, alur berita (2) adalah kebalikan dari berita (1). Jika pada berita (1) dipaparkan

cxiv

profil atau cerita mulai dari kandidat yang paling kaya dan boros, maka pada berita (2) cerita kandidat dimulai dari kandidat yang dianggap paling gagal dalam hasil pemilihan ketua umum, sementara kandidat yang berhasil menang ditempatkan pada akhir berita.

Sama halnya dengan berita (1), pembalikkan alur berita pada berita (2) tampak menunjukkan perbandingan yang kontras dari masing-masing calon ketua umum. Pembandingan ini, menurut Dan Nimmo, merupakan salah satu strategi untuk menunjukkan gejala ketidakberesan namun tetap menjaga obyektivitas dan etika media. Pada bagian awal berita, penceritaan Yuddy sebagai pihak yang kalah dikesankan sebagai sesuatu yang wajar karena Yuddy memang tidak memiliki modal yang memadai untuk memenangkan kompetisi. Seperti yang diungkapkan Suhartono.

“…Yuddy Chrisnandi cukup lumayan, meski secara ekonomi tidak bisa diandalkan untuk membangun partai yang kuat secara ekonomi, punya visi dan misi politik yang baik, namun masih kurang pengalaman. Masih dibutuhkan lima tahun lagi untuk matang dan dewasa secara politik.” (Wawancara dengan Suhartono)

Pandangan Kompas ini diwujudkan dalam kalimat di teks berita (2).

Seperti yang dialami sosok muda Yuddy Chrisnandi. Dia tak punya uang untuk “membeli” suara, kecuali untuk mendukung operasional kampanyenya yang kecil-kecilan. Apalagi kekuatan dan kekuasaan untuk “menekan” para pemilihnya. Ia juga tak punya jaringan ke struktur Partai Golkar untuk bisa memperluas dukungan.

Dalam kalimat tersebut, Kompas menggunakan leksikon “membeli” untuk gabungan kata “suara” dan kata “menekan” untuk gabungan kata “para pemilihnya”. Kata “membeli” dan “menekan” ditulis menggunakan tanda kutip sehingga tampak lebih menonjol. Namun, penonjolan tersebut terkesan

cxv

sebagai sesuatu yang negatif. Menurut Nimmo, untuk menunjukkan obyektivitas media, kata yang dianggap sensitif dan menyudutkan salah satu pihak biasanya ditulis dengan tanda kutip.

Kata “membeli” dianggap sensitif karena sesuatu yang dibeli–dalam hal ini hak suara anggota–secara ideal tidak bisa dipaksakan karena berasal dari keinginan pribadi. Jika suara dapat dibeli, maka pilihan tersebut hanya berdasarkan besarnya kompensasi (uang) yang diterima. Sementara kata “menekan” berarti melakukan tindakan agar para pemilik suara tidak memilih berdasar hati nurani tetapi karena sesuatu dari luar individu. Pada berita Kompas diatas, Yuddy Chrisnandi digambarkan tidak melakukan hal-hal tercela tersebut. Sikap Kompas yang ingin membandingkan calon ketua umum nampak jelas pada penceritaan Aburizal Bakrie sebagai pihak yang menang menjadi Ketua Umum Partai Golkar berikut.

Adapun Surya Paloh, meskipun untuk persoalan dana dan kekuatan tak ada masalah, ia tak memiliki apa yang dipunyai pesaingnya, Aburizal Bakrie yaitu segalanya. Sebut saja mulai dari jaringan, uang, hingga dukungan kekuasaan yang menyatu dan terkoordinasi.

Penekanan pada kalimat ini yaitu pada perbandingan antara Surya Paloh dan Aburizal Bakrie, dimana dikatakan bahwa Aburizal Bakrie memiliki semua kategori yang dibutuhkan untuk menjadi ketua umum. Oleh karena Aburizal memiliki segalanya, maka Aburizal Bakrie-lah yang bisa memenangkan persaingan.

Sementara dari unsur retoris, berita ini menggunakan foto yang cukup besar pada bagian atas berita. Foto tersebut menggambarkan beberapa peserta rapat yang memilih untuk tidur pada saat penghitungan suara dilakukan. Hal

cxvi

ini mengesankan bahwa proses pemilihan ketua umum partai tidak menjadi persoalan yang penting bagi sebagian peserta rapat. Padahal, keempat calon ketua umum sudah melakukan berbagai cara untuk menarik simpati dan dukungan agar memenangkan persaingan tersebut.

Sikap Kompas juga terlihat pada kalimat bagian akhir berita berikut.

Munas VIII Partai Golkar berakhir semalam. Namun kesibukan belum akan berakhir. Seorang petinggi Partai Golkar menyarankan Kompas untuk memantau transaksi bank pada Kamis siang. Apakah itu mengindikasikan adanya politik uang seperti yang tercium kuat selama Munas berlangsung? Wallahualam…

Dalam dokumen Partai Golkar dalam Bingkai Khalayak (Halaman 102-116)