• Tidak ada hasil yang ditemukan

Secara umum di Desa Morodemak, kebutuhan jaringan air bersih untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya didapatkan dengan membuat sumur pompa atau sumur bor, sehingga kualitas air yang didapatkan masih terasa asin (air payau). Ada sebagian warga yang membeli air isi ulang untuk memenuhi kebutuhan memasak dan minum, karena jaringan air bersih PDAM belum masuk ke Desa Morodemak. Katerbatasan pemenuhan kebutuhan air bersih bagi warga Desa Morodemak, menjadikan kesehatan dan kebersihan warga terganggu.

Jaringan Sanitasi dan Drainase

Kondisi jaringan sanitasi dan drainase di Desa Morodemak kurang memadai bagi syarat kesehatan. Banyak berdiri bedeng-bedeng liar di tepi sungai dan tambak sebagai tempat buang air besar bagi warga. Sudah menjadi kebiasaan warga secara turun temurun, kalau buang air besar di tepi sungai atau tepi tambak.

Kondisi selokan pembuangan air kotor tidak mampu menampung kapasitas air pembuangan dan banyak tersumbat sampah, sehingga ketika hujan atau terjadi pasang air laut tertinggi (rob), saluran drainase tersumbat. Akibatnya lingkungan desa menjadi becek, banyak sampah berserakan dan kotor.

Jaringan Persampahan

Kondisi jaringan sampah di Desa Morodemak sangat memprihatinkan, karena tidak adanya lokasi pembuangan sampah. Warga membuang sampah langsung ke sungai, selokan, tambak dan dekat dengan tempat pemakaman desa. Terjadi pendangkalan sungai, sehingga aliran sungai tidak lancar. Ketika hujan deras diiringi dengan air laut pasang, terjadi banjir dan lingkungan menjadi kotor dan tidak sehat.

Kemiskinan Kultural

Secara etik berbagai pihak memandang, bahwa masyarakat nelayan Desa Morodemak memiliki kebiasaan buruk, yaitu suka berhutang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Kebiasaan hutang ini tidak hanya dilakukan oleh nelayan miskin saja, namun nelayan kaya pun juga melakukannya. Pengaruh kebiasaan yang tersusun dalam pola perilaku masyarakat nelayan tersebut telah terjadi secara turun temurun melalui proses sosialisasi yang sangat panjang. Kebiasaan hutang dan tidak mau menabung sebagai penyebab kemiskinan yang selalu membelenggu kehidupan masyarakat nelayan.

Menurut Oscar Lewis (1966) dalam bukunya The Culture of Poverty

menyebutkan, bahwa pola kemiskinan kultural menjadi lestari pada orang miskin, karena diteruskan dari generasi ke generasi melalui sosialisasi. Namun hal ini disanggah oleh Valentine (1968), bahwa pada hakekatnya tidak ada kemiskinan kultural, karena kebudayaan yang dimiliki oleh orang miskin dengan kebudayaan yang dimiliki orang yang kaya dalam masyarakat adalah sama (Suparlan, 1986:133). Sebagai bukti, kebiasaan suka berhutang ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh nelayan miskin Desa Morodemak saja, namun nelayan kaya pun juga melakukannya. Kemiskinan kultural yang dialami oleh masyarakat nelayan Desa Morodemak, pada hakekatnya disebabkan karena kondisi struktural yang diwariskan oleh pemerintah orde baru dan peran tokoh agama yang bermain politik, yang hanya mementingkan urusan akhirat saja dan mengesampingkan peningkatan pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan, karena sudah membudaya sehingga sulit diatasi.

Selain kebiasaan buruk berupa senang berhutang, menurut pandangan pihak lain, sebagian besar masyarakat nelayan Desa Morodemak juga memiliki kebiasaan yang buruk, yaitu sangat pemalas, tidak mau mencari alternatif pekerjaan lain ketika terjadi musim paceklik, suka hidup boros, berfoya-foya, mabuk-mabukan, sulit diatur, tidak mempunyai rasa tanggung jawab, mudah marah dan keras kepala, memiliki

Kalau mereka mendapatkan hasil banyak, mereka tidak mau menabung uangnya untuk senang-senang membeli barang-barang yang mereka sukai. Ketika diingatkan, mereka berkomentar: “besok melaut lagi kan dapat uang lagi”. Kalau mereka punya hutang, kita yang harus mengejar-ngejar untuk menagihnya. Itu pun sangat sulit. Begitu terjadi masa-masa sulit, mereka menjual barang-barang yang dimiliki untuk menutup kebutuhan hidupnya. Terkadang kalau terpaksa hutang ke rentenir dengan bunga yang tinggi (008/02-WCR/19/13/KMS)

rasa gengsi yang tinggi dan perilaku nrimo terhadap nasib yang menimpa dirinya tanpa berusaha untuk memperbaiki dan mengembangkan diri. Sifat-sifat itulah yang menyebabkan masyarakat nelayan Desa Morodemak terjatuh dalam kemiskinan secara kultural.

Kemiskinan Struktural

Kemiskinan struktural yang terjadi pada masyarakat nelayan Desa Morodemak disebabkan karena tatanan sistem kelembagaan swadaya masyarakat yang terkait dengan aturan main sangat lemah, sehingga mereka tidak mampu mengakses sumberdaya yang sebetulnya mereka miliki.

Monopoli kebijakan pemerintah secara sentralistis dalam pengelolaan sumberdaya perikanan dan lautan di desa pesisir telah mengabaikan dan menghancurkan pranta-pranata lokal, sehingga menyebabkan lemahnya, bahkan matinya sistem kelembagaan swadaya masyarakat nelayan di Desa Morodemak.

Pemerintah menganggap bahwa keberadaaan pranata-pranata lokal tersebut justru menghambat dan merintangi pembangunan untuk pencapaian target pertumbuhan ekonomi dengan mengukur banyaknya hasil tangkapan ikan. Namun yang justru berkembang adalah usaha penangkapan ikan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat nelayan kecil tradisional yang tidak memiliki alat tangkap modern.

Nelayan di Desa Morodemak itu hanya tergantung dari hasil penangkapan ikan. Kalau musim paceklik tidak melaut, mereka tidak mau mencari alternatif kerja yang lain (004/02-WCR/19/7/KMS)

Partisipasi masyarakat untuk menjaga agar tetap lestarinya lingkungan lautan sangat dibutuhkan. Penggunaan alat tangkap cantrang atau pukat harimau oleh sebagian masyarkat nelayan Morodemak di perairan Morodemak jelas berdampak pada perusakan lingkungan dan pendapatan nelayan kecil yang setiap hari menurun. Kelembagaan nelayan lemah, tidak dapat menyelesaikan masalah ini, akhirnya masyarakat nelayan kecil terjatuh dalam kemiskinan (020/32-WCR-FDK/94/5/KMS)

Disisi lain, Desa Morodemak memiliki kondisi sarana dan prasarana desa yang sangat memprihatinkan, secara struktur karena akibat kurangnya perhatian pemerintah. Kondisi sarana dan prasarana yang tidak berkembang dengan baik, menyebabkan perkembangan perekonomian Desa Morodemak lamban, akibatnya Desa Morodemak dikategorikan sebagai desa miskin.

Secara struktur pula, bahwa peran tokoh agama memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam membentuk norma dan perilaku masyarakat yang hanya mementingkan nilai-nilai keagamaan saja untuk melanggengkan kepentingan politik mereka. Sementara untuk urusan seperti meningkatkan pendidikan, ilmu pengetahuan, ketrampilan, menjaga lingkungan yang bersih, perbaikan sarana dan prasarana desa belum tertanam dalam norma dan perilaku masyarakat nelayan Desa Morodemak, sehingga yang muncul dalam pandangan masyarakat, bahwa aparat desa dan semua program pembangunan sarana dan prasarana desa adalah tanggung jawab pemerintah, bukan tanggung jawab mereka.

Pola hubungan produksi antara juru mudi dengan anak buah kapal. Juru mudi dalam pembagian hasil, mereka mendapat bagian lebih banyak dan mendapat

persenan dari pemilik kapal dan hasil penjualan. Ada hasil lain bagi juru mudi sebagai pendapatan tambahan, berupa sisa ikan yang tercecer di kapal, karena dia yang memegang peranan di kapal. Belum nanti kalau istrinya sebagai perantara/makelar menjualkan ikan kepada bakul juga mendapatkan keuntungan.

Nelayan yang miskin adalah buruh/anak buah kapal, mereka dapat bagian yang paling kecil dalam pembagian hasil tangkapan ikan. Sekali melaut paling banyak mereka hanya dapat kurang lebih Rp 50.000,- sementara perantara/makelar bisa mendapatkan komisi dari bakul dan juru mudi sekitar Rp 200.000,- sampai Rp 400.000,- padahal anak buah/buruh nelayan kerjanya lebih berat daripada perantara/makelar. Nelayan buruh dan ABK tidak dapat meningkat

Ketika ada rapat sosialisasi program pembangunan DKP di Kecamatan Bonang, kami pernah mengusulkan supaya sumberdaya laut itu dikembalikan lagi, agar penghasilan nelayan dapat bertambah baik. Kapal-kapal nelayan yang menggunakan alat tangkap mini trawl supaya dilarang, karena dapat merusak lingkungan dan ikan-ikan yang kecil pun ikut tertangkap. Tetapi dari DKP belum dapat menyelesaikan masalah ini. Alasannya sulit memberantas, karena sudah terlanjur berjalan dan membudaya (009/15-WCR/58/6/KLB-PHK)

kesejahteraannya. Pendapatan mereka tidak menentu dan relatif sangat kecil untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Pembagian hasil tangkapan ikan setelah dipotong uang perbekalan adalah juragan 10 bagian (33%), juru mudi 2,5 bagian (8%), kemudian sisanya 17,5 bagian (59%) dibagi rata pada nelayan buruh/ABK yang berjumlah 19 orang sesuai dengan tugas masing-masing. Mereka rata-rata hanya mendapatkan kurang dari 1 bagian. Belum kalau jumlah nelayan buruh/ABK yang ikut melaut saat itu lebih dari 19 orang, tentunya mereka akan mendapatkan bagian yang lebih sedikit lagi, karena faktor pembaginya bertambah banyak. Belum lagi kalau hasil tangkapan ikannya sedikit, bisa-bisa mereka pulang ke rumah tanpa membawa hasil sama sekali. Para juru mudi yang memiliki kapal dan alat tangkap (merangkap menjadi juragan), merekalah orang yang kaya di Desa Morodemak. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan dalam pembagian hasil tangkapan ikan yang sebetulnya sangat merugikan nelayan buruh/ABK.

Rasa kesetiakawanan sosial para juru mudi terhadap anak buahnya belum terjalin. Kalau mereka mengeluarkan zakat fitrah pada saat lebaran, itu sudah kewajiban mereka. Bentuk kepedulian untuk membantu anak buah ketika mengalami kesusahan belum ada rasa kedermawanan. Tunjangan hari raya yang diberikan bagi anak buah, hanya memberi sebuah sarung dan sekaleng roti. Itu pun karena juru mudi khawatir, kalau anak buahnya tidak diberi tunjangan hari raya tersebut akan pindah ke juru mudi kapal lain.

Seharusnya sebagai seorang juragan atau juru mudi, ketika musim paceklik mengeluarkan sebagian hartanya sebagai sedekah berupa uang santunan atau dana bantuan untuk membantu meringankan beban anak buah kapalnya. Adanya kepedulian juru mudi terhadap anak buah kapalnya, membuat anak buah kapal akan lebih menghormati dan lebih menurut kepada juru mudi serta tidak mau berbuat curang, sehingga hubungan yang terjalin antara juru mudi dengan anak buah kapal akan semakin erat dan serasi.

Pola hubungan antara pemerintah dengan nelayan, tokoh agama dan masyarakat serta juru mudi dan anak buah kapal diatas dapat menimbulkan ketimpangan yang menyebabkan rusaknya solidaritas sosial diantara mereka. Akibatnya mendorong konflik dan timbul pemiskinan bagi pihak masyarakat nelayan Desa Morodemak.