PENERAPAN SANKSI PERDATA TERHADAP KORPORASI DALAM SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP
C. Penerapan Sanksi Perdata Terhadap Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Lingkungan Hidup
2. Jenis dan Bentuk Ganti Rugi
UUPLH tidak menguraikan atau menjelaskan secara rinci tentang ganti rugi
yang dapat dibebankan kepada pelaku perbuatan melawan hukum terhadap
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Namun demikian, sebagaimana
telah dikemukakan di atas, penegakan hukum lingkungan tidak terlepas dari
167
Kantaatmadja, Komar, Ganti Rugi Internasional Pencemaran Minyak di Laut, (Bandung: Alumni, 1981), hal. 102.
penerapan kaidah-kaidah hukum perdata, sehingga penerapan ganti rugi dapat
mempedomani kaidah-kaidah hukum perdata dengan menggunakan analogi.
Pasal 1365 KUH Perdata tidak memberikan penjelasan tentang apa yang
dimaksud dengan kerugian dan ganti rugi, dan juga tidak memberikan pengaturan
mengenai besarnya kerugian ataupun ketentuan mengenai penetapan besarnya ganti
rugi. Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan bahwa di dalam praktek peristiwa
perbuatan melawan hukum terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, pengertian kerugian tidak hanya mencakup kerugian secara konkret dalam
bidang harta kekayaan (materil) saja, tetapi juga meliputi kerugian immateriil atau
ideele schade, seperti misalnya kehidupan yang tenang, kesehatan, kenikmatan udara
yang bersih dan sebagainya.168 Akan halnya dengan bentuk dan besarnya serta
kondisi-kondisi lainnya yang berkenaan dengan ganti rugi sehubungan dengan
perbuatan melawan hukum terhadap pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, juga tidak ada memperoleh pengaturan di dalam UUPLH.
Berkaitan dengan itu, NHT. Siahaan mengemukakan beberapa bentuk ganti
rugi, yakni sebagai berikut:
a. pemeliharaan kesehatan dan ganti rugi berupa biaya pengobatan;
b. ganti rugi atas cacat badan;
c. ganti rugi atas yang selamat;
d. ganti rugi berupa lumpsum untuk yang selamat;
e. ganti rugi atas biaya anak-anak;
168
f. biaya pengobatan;
g. biaya pemakaman/perabuan.169
Sementara itu, pertanggungjawaban perbuatan melawan hukum terhadap
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, dalam hal konpensasi dan upaya
pemulihan atas kerugian yang timbul, terdapat dua jenis konpensasi, yaitu:
a. Konpensasi atas kerugian manusia atau kebendaan (private compensation).
b. Konpensasi yang diberikan oleh negara akibat lingkungannya tercemar atau rusak
(biaya pemulihan lingkungan/ public compensation).
Mengetahui apa yang dimaksud dengan kerugian, dapat berpedoman kepada
kaidah-kaidah hukum perdata, walaupun ketentuan-ketentuan tentang ganti rugi yang
berkenaan dengan terjadinya wanprestasi tidak dapat diterapkan secara langsung ke
dalam suatu peristiwa yang didasarkan atas perbuatan melawan hukum, namun tidak
dilarang untuk mempedomani kaidah-kaidah tersebut dengan jalan analogi.
Kaidah-kaidah hukum perdata yang bekenaan dengan ganti rugi serta dapat dipedomani atau
diterapkan dengan jalan analogi dalam peristiwa perbuatan melawan hukum terhadap
pencemaran lingkungan hidup, dapat dilihat pada Buku Ketiga Bab Kesatu Bagian
Kedua, Bagian Ketiga dan Bagian Keempat, mulai dari Pasal 1235 sampai dengan
Pasal 1252 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Pasal 1236 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang mengatur tentang perikatan-perikatan untuk memberikan
sesuatu menetapkan sebagai berikut:
169
“Si berhutang (debitur) adalah berwajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga
kepada si berpiutang (kreditur), bila ia membawa dirinya dalam keadaan tak
mampu untuk menyerahkan kebendaan atau telah tidak merawatnya sepatutnya
guna menyelamatkannya”.
Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur tentang
perikatan-perikatan untuk berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu juga menetapkan
sebagai berikut:
“Tiap-tiap perikatan untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu, bila
si berhutang (debitur) tidak memenuhi kewajibannya, mendapatkan
penyelesaiannya dalam kewajiban memberikan penggantian biaya, rugi dan
bunga”.
Berdasarkan Pasal 1236 dan Pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, maka bila terdapat debitur yang wanprestasi atau berprestasi buruk, debitur
itu wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga, yang sering disebut sebagai
remedies.
Subekti menjelaskan arti biaya rugi dan bunga, sebagai berikut :
a. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah
dikeluarkan oleh satu pihak.
b. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang
c. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh si kreditur.170
Bunga adalah kerugian berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh si kreditur, yang dinamakan “expectation damages”.
Bila besarnya tuntutan ganti rugi didasarkan pada suatu ketentuan dalam perjanjian,
maka ganti rugi dinamakan “stipulated / liquidated damages”. Sedangkan tuntutan
ganti rugi berdasarkan pada keuntungan yang didapatkan tergugat (debitur) atas
batalnya perjanjian karena wanprestasi itu disebut “restitution damage”. Penggantian
biaya dan rugi dijadikan satu dengan sebutan reliance damages, yaitu penggantian
bagi pengeluaran atau kerugian yang terjadi karena batalnya perjanjian itu. Reliance
damages dapat dituntut bila keuntungan transaksi atau expectation damages tidak
terbukti.171
Ganti rugi materiil pada umumnya dilakukan dengan pembayaran sejumlah
uang. Di samping itu, juga dikenal adanya ganti rugi dalam wujud lain, yaitu
khususnya berupa “pemulihan dalam keadaan semula”, baik dengan jalan
meniadakan apa yang telah diadakan secara melawan hukum, ataupun dengan
mengadakan lagi apa yang telah ditiadakan secara melawan hukum.22
Jika orang tidak melaksanakan hukuman untuk mengembalikan segala
sesuatu dalam keadaan semula, yang bersangkutan lantas dapat dikenakan
pembayaran suatu jumlah uang pemaksa sebagai tambahan. Begitu pula halnya
170
Subekti, R, Hukum Perjanjian, Cetakan Kesebelas, (Jakarta : PT. Intermasa, 1987), hal. 47.
dengan kerugian yang bersifat ideal (immateriil), dapat dituntut ganti rugi immateriil
seperti halnya peniadaan atau pengurangan kenikmatan yang ditimbulkan oleh
perbuatan-perbuatan melawan hukum, yang diharapkan ada pada seseorang
berdasarkan hak-hak yang melekat pada harta kekayaannya. Berdasarkan Pasal 34
ayat (2) UUPLH, hakim diberikan kewenangan untuk menetapkan uang paksa
(dwangsom) sebagai sanksi perdata atas keterlambatan penanggungjawab usaha
dan/atau kegiatan dalam melaksanakan penyelesaian tindakan hukum tertentu yang
diputuskan oleh hakim pengadilan.
Mengenai besarnya kerugian yang harus diganti, pada dasarnya adalah
bersifat utuh (volledig), termasuk juga kerugian yang akan diderita dalam waktu yang
akan datang (in de toekomst). Namun kewenangan hakim untuk menguranginya tetap
ada, yaitu manakala pemberian ganti rugi secara penuh berdasarkan keadaan-keadaan
yang ternyata dari hasil pemeriksaan akan menimbulkan akibat-akibat yang tidak
diinginkan. Keadaan-keadaan yang perlu diperhatikan adalah mengenai :
a. Sifat pertanggungjawaban (de aard van de aansprakelijkheid), seperti misalnya
tingkat kesalahannya tidak terlalu besar.
b. Kemampuan membayar dari masing-masing pihak (dedraagkracht van beide
partijen), seperti misalnya besarnya biaya-biaya yang harus dipikul.172
172
Kameo, Jeferson, Pertanggungjawaban Hukum Kasus Lapindo, Ph D dosen FH-UKSW Salatiga, alumnus The School of Law, Faculty of Law and Financial Studies Glasgow University, Scotland. Makalah, hal. 3.
Seperti halnya dalam gugatan ganti rugi pada umumnya, juga dalam
masalah lingkungan hidup ini, besarnya ganti rugi yang dikabulkan dapat didasarkan
pada rasa kepantasan dan keadilan (ex aequo et bono).
Pertanggungjawaban hukum perdata terhadap korporasi dalam bentuk ganti
rugi kepada korban pencemaran dan/atau peruskan lingkungan dapat dilihat pada
tragedi semburan lumpur panas di Porong Sidoarjo atau lebih populer dengan istilah
“lumpur Lapindo” yang merupakan bentuk kejahatan korporasi.173 Kerugian yang
ditimbulkan oleh malapetaka itu diperkirakan mencapai Rp 50 triliun, belum lagi
kerugian lingkungan hidup lainnya. Oleh sebab itu masyarakat telah mengajukan
tuntutan yang dilakukan oleh pihak Wahana lingkungan Hidup (Walhi) bahwa
pemerintah harus menghentikan operasi PT. Lapindo Brantas.
Selain itu para pemilik saham, direksi perusahaan, termasuk BP Migas dan
Menteri ESDM harus diperiksa secara hukum dan dimintakan
pertanggungjawabannya, yakni usaha untuk memperoleh ganti rugi atas kerugian
yang diderita oleh pihak yang menjadi korban dari semburan lumpur yang telah
berlangsung hampir 2 tahun tersebut.
Secara umum dasar pertanggungjawaban hukum PT Lapindo dimaksud
adalah wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Pertanggungjawaban pertama
berkaitan dengan kewajiban perjanjian dari PT Lapindo. Kedua menyangkut tindakan
yang bertentangan dengan kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang diharapkan
173
Merdeka, Suara, Pertanggungjawaban PT. Lapindo Brantas terhadap Lumpur Panas Lapindo, Tanggal 19 Agustus 2006.
dari PT Lapindo maupun pihak-pihak yang terkait. Dalam kaitan itu hampir
dipastikan empat syarat untuk pertanggungjawaban berdasarkan perbuatan melanggar
hukum terpenuhi. Pertama, korban harus mengalami kerugian; kedua ada kesalahan
atau kelalaian. Di sini di samping perorangan dalam hal ini direksi Lapindo, para
komisaris atau pemegang saham PT, dan pihak terkait bisa bertanggungjawab atas
kesalahan atau kelalaian yang ditimbulkan oleh orang yang berada di bawah
kendalinya. Ketiga harus ada hubungan kausal antara kerugian dan kesalahan.
Keempat perbuatan itu melawan hukum.
Muara dari pertanggungjawaban adalah kebahagiaan (happiness). Karena
hukum adalah sumber kebahagiaan bagi yang terhimpit dan menderita kubangan
Lumpur panas (the law is the source of happiness), dimana harapan masyarakat
korban lapindo adalah ditegakkannya hukum terhadap kasus ini.174
Pertanggungjawaban karena kesalahan (fault liability) merupakan bentuk
klasik pertanggungjawaban hukum dimaksud. Demi kebahagiaan hukum memaksa
setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti
kerugian tersebut.
Demi kebahagiaan, hukum pun mendikte setiap orang bertanggungjawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian
yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya. Di dalam kebahagiaan hukum,
seorang tidak saja bertanggungjawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya
174
sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang yang berada di
bawah tanggungjawabnya atau disebabkan oleh barang-barang (properties), termasuk
hak-hak yang berada di bawah pengawasannya.
Dalam proses pembuktiannya terdapat persoalan beban pembuktian sekitar
pertanggungjawaban hukum. Dalam bentuk tanggungjawab secara umum korban atau
penderita kerugian dalam hal ini negara juga telah menjadi korban - harus
membuktikan kesalahan atau kelalaian PT. Lapindo, BP Migas, dan Menteri ESDM.
Bisa jadi karena politisasi, muncul kesulitan pembuktian kesalahan atau
kelalaian dan sikap kurang hati-hati pihak-pihak dalam kegiatan eksplorasi migas
oleh PT. Lapindo. Namun hukum yang menjadi the source of happiness harus dapat
menghadapi taktik politisasi dari pihak-pihak yang akan mengintervensi kasus ini.
Hukum diharapkan mampu menyeret semua pihak yang bertanggungjawab terhadap
tragedi ini. Solusi yang harus dilakukan adalah dengan melakukan sistem pembuktian
terbalik.175
Hukum memaksa setiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Seorang tidak saja bertanggungjawab untuk
kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang
disebabkan perbuatan orang yang berada di bawah tanggungjawabnya atau
175
disebabkan oleh barang-barang (properties), termasuk hak-hak yang berada di bawah
pengawasannya.
Alasan yang ada di balik jalan keluar bagi para korban lumpur Lapindo
adalah bahwa PT. Lapindo, BP Migas dan Menteri serta aparat terkait mudah
memperoleh pendapat para ahli dalam bidang eksplorasi minyak dan gas. Selain itu
kesulitan terhadap beban pembuktikan dapat pula diatasi dengan menggunakan titik
tolak dalam prinsip hukum fakta berbicara sendiri sehingga tidak perlu dibuktikan
lagi.
Jadi di sini berlaku praduga bersalah (presumption of fault or negligence).
Mengingat kejadian tersebut tidak akan terjadi dalam keadaan normal tanpa adanya
kealpaan di pihak PT. Lapindo, BP Migas dan Menteri. Dalam hal ini mereka adalah
pihak-pihak yang bertanggungjawab dan dapat dijadikan tergugat.
Untuk menentukan PT. Lapindo sebagai pelaku perbuatan melanggar
hukum yang harus membayar ganti rugi haruslah terdapat hubungan yang erat antara
kesalahan dan kerugian yang ditimbulkan. Untuk memecahkan problema kausalitas
antara kesalahan dan kerugian pembuktian adanya hubungan kausal antara perbuatan
dan kerugian dapat disimpulkan sebagai sebab yang paling mungkin. Selain itu
kerugian hanya merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum kalau kerugian
tersebut menurut akal manusia yang sehat dapat diharapkan merupakan akibat dari
perbuatan melanggar hukum tersebut.
Lagipula, kerugian tersebut merupakan akibat dari perbuatan melanggar
lain sebagainya. Akhirnya kerugian tersebut menurut pengalaman dapat diharapkan
merupakan akibat perbuatan melanggar hukum. Hakim dapat secara leluasa
menggunakan upaya mengangkat ahli dan menyuruh mereka mengumpulkan
bukti-bukti/ bahan-bahan.
Fakta hukum lain yang perlu dicermati di sini adalah kelalaian sebagai
terjemahan dari negligence dalam arti umum bisa jadi mirip suatu kejahatan.
Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak tak acuh, tak peduli, tidak
memperhatikan kepentingan orang lain dan lingkungan sebagaimana lazimnya. Jadi
meski ada pemikiran bahwa hukum tidak terlalu peduli dengan hal-hal yang sepele,
namun apabila kelalaian itu sudah mencapai tingkat tertentu sehingga tidak
mempedulikan jiwa orang lain, maka sifat kelalaian itu berubah menjadi serius,
sehingga bersifat kejahatan.
Hal inilah yang dapat mengatakan bahwa lumpur Lapindo merupakan
kejahatan korporasi. Mengingat semburan lumpur Lapindo telah merugikan atau
mencelakakan orang lain dan lingkungan, apalagi jika akibatnya telah merenggut
nyawa orang, maka oleh hukum diklasifikasi sebagai kelalaian berat.
Oleh karena itu PT. Lapindo sudah barang tentu harus melakukan “ganti
rugi” kepada masyarakat terkena dampak langsung atau tidak langsung yang
didasarkan tidak hanya sekedar ganti rugi sebesar angka Rp 50 triliunan. Namun
pemerintah dalam hal ini lembaga peradilan harus dapat menjunjung tinggi hukum
sebagai the source of happiness tidak membiarkan persoalan lapindo ini
Kemudian Penulis juga memberikan contoh penyelesaian sengketa
lingkungan hidup yang dilakukan secara perdata terhadap PT. Pupuk Iskandar Muda.
PT. Pupuk Iskandar Muda merupakan perusahaan yang memproduksi pupuk urea
yang dalam kegiatannya menimbulkan pencemaran lingkungan hidup pada tahun
1986 yang menyebabkan kerugian bagi penduduk Desa Tambon Baroh.
Akibat kelalaian PT. Pupuk Iskandar Muda telah mengeluarkan gas amonia,
gas beracun sehingga gas tersebut menyebar ke lokasi permukiman penduduk.
Masyarakat yang menghirup langsung mengakibatkan jatuh pingsan, mual-mual,
muntah, mabuk, pening dan mata terasa pedih. Akibat kejadian tersebut diperkirakan
602 jiwa dirawat di puskesmas-puskesmas setempat serta rumah sakit umum di
lhokseumawe.
Dalam kasus pencemaran lingkungan hidup ini, pertanggungjawabannya
dibebankan kepada PT. Pupuk Iskandar Muda sebagai korporasi/badan hukum.
Pertanggungjawaban PT. Pupuk Iskandar Muda dimintakan berdasarkan kepada
gugatan perdata masyarakat ke Pengadilan Negeri Lhokseumawe dengan pendaftaran
nomor perkara 45/Pdt.G/1989/PN Lsm, tanggal 1989.
Namun gugatan tersebut ditolak oleh Hakim Pengadilan Negeri
Lhouksemawe, kemudian banding ke Pengadilan Tinggi dan kemudian gugatan
ditolak oleh pengadilan tinggi dengan alasan bahwa kebocoran gas amonia ada terjadi
tetapi tidak bersifat mencemarkan, kemudian masyarakat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung RI No. Reg. 2886.K/PDT/1990 tanggal 15 September 1990, hasil
ini karena pengguggat dianggap dalam melakukan gugatan telah terjadi kesalahan
prosedur.
Berdasarkan penyelesaian kasus pencemaran tersebut, maka PT. Pupuk
Iskandar Muda sebagai pelaku pencemaran pada saat itu harus membayar ganti rugi
kepada semua korban bukan hanya sebagian saja. Hal ini berkaitan dengan asas
pertanggungjawaban ganti rugi Pasal 1365 KUHPerdata, adapun unsur-unsur
perbuatan melawan hukum (onrechtsmatigedaad) adalah :
1. Perbuatan itu harus bersifat melawan hukum;
2. Terdapatnya kesalahan pada pelaku;
3. Timbul kerugian;
4. Terdapat kausalitas antara perbuatan dengan kerugian.
Kemudian dasar hukum pertanggungjawaban PT. Pupuk Iskandar Muda
untuk membayar ganti rugi kepada semua korban kebocoran gas amonia didasarkan
kepada Pasal 20 ayat (2) UU Nomor 4 Tahun 1982. Kemudian jika dikaitkan dengan
UUPLH maka diatur pada Pasal 34 ayat (1) dan Pasal 35 UUPLH. Kedua pasal ini
menganut 2 (dua) sifat pertanggungjawaban yang bersifat biasa dan
pertanggungjawaban yang bersifat khusus. Dengan demikian PT. Pupuk Iskandar
Muda dapat dibebani tanggungjawab mutlak kerugian yang ditimbulkan akibat
pencemaran dan diwajibkan untuk membayar ganti kerugian. Apabila PT. Pupuk
Iskandar Muda dapat membuktikan bahwa pencemaran tersebut bukan karena
kelalaian yang dilakukan maka PT. Pupuk Iskandar Muda dapat dibebaskan dari
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN