TANGGUNGJAWAB KORPORASI DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN
2. Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Hukum lingkungan keperdataan secara khusus mengatur perlindungan
hukum bagi korban perusakan dan/atau pencemaran lingkungan akibat perbuatan
pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan penderita
berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap pencemar. Upaya hukum yang
dapat ditempuh berdasarkan pada Pasal 34 UUPLH yang memungkinkan gugatan
lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian dan/atau biaya pemulihan lingkungan.
Dalam hukum lingkungan keperdataan, gugat hukum lingkungan keperdataan secara
khusus mengatur perlindungan hukum bagi korban kerusakan dan/atau pencemaran
94
lingkungan akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan
menyebabkan penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap
pencemar.95
Menurut Koeman sebagaimana dikutip oleh Alvi Syahrin bahwa tindakan
perdata dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup memiliki 4 (empat) fungsi96,
yaitu :
a. Penegakan hukum lingkungan melalui hukum perdata, yaitu sarana penegakan
hukum lingkungan keperdataan yang berkaitan dengan Pasal 1365 KUHPerdata.
Dengan demikian gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan
keperdataan dapat dilakukan baik oleh warga masyarakat maupun oleh
pemerintah untuk memaksa persyaratan lingkungan yang bersifat publik. Gugatan
perdata sebagai penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah sangat
terbatas hanya apabila penegakan hukum administrasi tidak memadai.
b. Penetapan norma tambahan, melalui keputusan hakim perdata dengan
menetapkan norma-norma yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam sebuah izin
oleh pemerintah tata usaha negara yang berwenang. Hakim perdata dalam hal ini
berwenang menetapkan prasyarat atau ketentuan tambahan ke dalam izin
pemberian izin apabila ketentuan tambahan nantinya akan diperlukan. Makna
95
Husni, Ahmad, Op.Cit., hal 509. lihat juga Wijaya, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya: Airlangga University Press, 1999), hal 9.
96
Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Dasar Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Press, 2003), hal. 227-228.
penegakan hukum lingkungan keperdataan dalam penegakan penetapan sanksi
dapat memaksakan pentaatan terhadap keputusan sanksi hukum publik.
c. Gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian, gugatan ini dilakukan untuk
mendapatkan ganti rugi akibat dari pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata
dan Pasal 35 UUPLH yakni adanya “tanggungjawab mutlak”.
d. Perlindungan hukum tambahan, perlindungan ini dapat terwujud melalui bantuan
hakim-hakim perdata yang memeriksa gugatan terhadap tindakan-tindakan
pejabat pemerintah yang tidak dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha
Negara, tindakan tersebut antara lain : keputusan-keputusan yang berlaku untuk
umum dan tindakan nyata penguasa.
Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban (tanggung gugat) akibat
timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, maka terlebih dahulu
diketahui sumber penyebab pencemaran. Pentingnya diketahui sumber penyebab
pencemaran berhubungan dengan penentuan pihak yang harus memikul
tanggungjawab (liability) bagi pembayaran ganti rugi terhadap kerusakan yang
ditimbulkan dan upaya perbaikannya (compesation for pollution damage).97 Artinya,
sumber penyebab pencemaran akan menentukan siapa yang harus memikul
tanggungjawab atas perbuatan melawan hukum dan pada akhirnya akan menentukan
ganti rugi dan perbaikan atas lingkungan yang telah tercemar dan atau rusak.
97
Arifin, Samsul, Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, USU Press, Medan 1993, hal 222.
Pertanggungjawaban perdata Perseroan Terbatas dalam pengelolaan
lingkungan hidup di dalam UUPLH diatur pada Pasal 35 ayat (1) yang menyatakan
bahwa penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang kegiatan dan/atau usahanya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan, yang menggunakan
bahan berbahaya beracun, bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang ditimbulkan
dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika saat terjadi
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.
Pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)
dalam Pasal 34 ayat (1) UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata, pada prinsipnya
didasarkan atas adanya kesalahan dari si pelaku, atau disebut juga dengan istilah
“pertanggungjawaban atas dasar kesalahan” (schuldaansprakelijkheid) atau (liability
based on fault). Dengan prinsip ini, ilmu hukum mengenal 2 (dua) macam
pertanggungjawaban yang mengakibatkan kerugian, yakni:
1. Pertanggungjawaban atas kerugian dengan sengaja.
2. Pertanggungjawaban atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja.98
Dalam doktrin ini, seorang pelaku yang menimbulkan kerugian bagi orang
lain, baik disengaja maupun karena kealpaan dan tidak disengaja, hanya dapat
dibebankan untuk membayar kerugian yang timbul apabila unsur kesalahan dapat
dibuktikan di dalam perbuatannya, dan kerugian tersebut harus merupakan akibat dari
kesalahan yang merupakan sebab dari akibat tersebut.
98
Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan oleh Drs. Mohammad Radjab, (Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1982), hal. 80.
Berdasarkan doktrin “tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan” (no
liability without fault) yang dianut di dalam Pasal 34 ayat (1) UUPLH, seorang
pelaku atau pembuat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,
bertanggungjawab untuk membayar kerugian yang timbul kepada penderita atau
korban akibat kesalahan yang dilakukannya, dimana unsur kesalahan harus dapat
dibuktikan di dalam perbuatannya, sedangkan kerugian yang terjadi harus merupakan
akibat dari kesalahan si pelaku (yang merupakan sebab dari akibat tersebut).
Pertanggungjawaban menurut pasal ini didasarkan pada adanya suatu
perbuatan yang melanggar hukum akibat dari kesalahan si pelaku, yang sering juga
disebut sebagai perbuatan melawan hukum. Jadi, bentuk pertanggungjawaban yang
termaktub di dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUPLH terkait erat dengan segi
kesalahan (liability based on fault), yang sering disebut dengan “negligence rule”.99
Berdasarkan doktrin “tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan” (no
liability without fault), sengketa lingkungan hidup yang penuntutannya didasarkan
pada Pasal 34 ayat (1) UUPLH harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
a. Perbuatan melanggar hukum;
b. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;
c. Kerugian pada orang lain atau lingkungan;
d. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan; dan
e. Membayar ganti kerugian dan/atau tindakan tertentu.100
99
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Op.Cit., hal. 386.
100
Unsur-unsur Pasal 34 ayat (1) UUPLH ini merupakan rangkaian tunggal
sebagai satu kesatuan yang mengkonstruksikan keutuhan Pasal 34 ayat (1)
UUPLH. Artinya, suatu gugatan lingkungan untuk mendapatkan ganti kerugian dan
atau tindakan tertentu harus mengkonstatir adanya “perbuatan melanggar hukum”.
Perbuatan yang melanggar hukum ini haruslah berupa pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan agar dapat menjadi elemen gugatan lingkungan. Tanpa
menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan, suatu perbuatan
melanggar hukum saja tentu tidak cukup melahirkan gugatan lingkungan.101
Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang dapat menimbulkan hak
untuk mengajukan gugatan lingkungan harus memenuhi kualifikasi “menimbulkan
kerugian pada orang atau lingkungan”. Hal ini disebabkan yang dikualifikasikan
sebagai korban pencemaran dan atau perusakan lingkungan adalah orang maupun
lingkungan. Karena adanya kerugian pada orang atau lingkungan, maka
“penanggung jawab usaha dan atau kegiatan” diwajibkan membayar ganti kerugian
dan atau melakukan tindakan tertentu karena ia merupakan pihak yang
menimbulkan kerugian pada orang ataupun lingkungan itu.102
Sistem pertanggungjawaban berdasarkan prinsip kesalahan (liability based
on fault) yang berlaku di dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 34 ayat (1)
UUPLH mempunyai konsekuensi beban pembuktian yang pada umumnya
memberatkan atau menyulitkan penggugat (penderita pencemaran dan/atau perusakan
101
Syahrin, Alvi, (2003), Op.Cit., hal 231
102
lingkungan). Koesnadi Hardjasoemantri menegaskan bahwa jika tidak terbukti atau
tidak dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan berdasarkan Pasal 34 ayat (1)
UUPLH, maka tidak akan ada kewajiban untuk memberi ganti kerugian.103 Hal ini
disebabkan prosedur pembuktian dalam penyelesaian ganti kerugian sebagaimana
diatur di dalam pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 34 ayat (1) UUPLH meletakkan
beban pembuktian pada pihak yang mendalilkan, atau yang menyangkal.
Di dalam peristiwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, pihak
penderita atau penggugat sebagai pihak yang mendalilkan telah terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan harus membuktikan telah terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan.104
Di samping prinsip “kesalahan” yang dianut di dalam Pasal 34 ayat (1)
UUPLH, Pasal 35 ayat (1) UUPLH telah memuat prinsip “resiko” untuk
membuktikan telah terjadinya perbuatan melawan hukum berupa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Sistem pertanggungjawaban berdasarkan
prinsip resiko yang termuat di dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH merupakan lex
specialis dari doktrin tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dianut di
dalam Pasal 34 UUPLH. Jadi, hukum positif di bidang lingkungan hidup juga
mengenal doktrin risico-aansprakelijkheid (strict liability), yang inti ajarannya
didasarkan pada pendapat bahwa dengan diciptakannya keadaan berbahaya yang
menimbulkan risiko maka beban pertanggungjawaban terletak pada pihak yang
103
Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, op.cit., hal. 386.
104
Lotulung, Effendi, Paulus, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1.
melakukan perbuatan atau yang melakukan pencemaran, sehingga karenanya
diwajibkan untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah kerugian. Tidak
mengambil atau melakukan tindakan-tindakan guna mencegah kerugian dengan
sendirinya mengakibatkan perbuatannya dikategorikan bersifat melawan hukum.105
Dengan kata lain, prinsip ini mempunyai ciri utama bahwa unsur kesalahan
tidak perlu dibuktikan adanya di dalam suatu perbuatan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup. Cukup dengan adanya bukti bahwa pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup telah terjadi dan menimbulkan kerugian bagi
korban atau penderita, maka perbuatan melawan hukum dianggap telah terjadi.
Prinsip ini kemudian dikenal dengan istilah “strict liability” atau “absolut
liability”, yang sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban mutlak” atau
“pertanggungjawaban seketika”.106
Pertanggungjawaban mutlak atau seketika (strict liability atau absolut
liability) telah diatur secara tegas di dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH. Menurut
ketentuan ini, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan ada dan terpenuhi di dalam
peristiwa (perkara) pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi.
Ciri utama pertanggungjawaban mutlak (strict liability) berdasarkan prinsip resiko
adalah tidak diperlukan adanya kesalahan sebagai persyaratan,107 sehingga sering
diistilahkan sebagai “pertanggungjawaban tanpa kesalahan” (liability without fault).
Dalam doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict liability), seorang pelaku dapat
105
Hardjasoemantri, Koesnadi, Op. Cit., hal. 386-387.
106
Lotulung, Effendi, Paulus, Op Cit, hal. 3.
107
secara langsung dan seketika dibebani dengan kewajiban ganti rugi tanpa perlu
pembuktian adanya unsur kesalahan di dalam perbuatan pelaku pencemaran ataupun
perusakan lingkungan hidup tersebut. Hal ini lebih ditegaskan oleh Penjelasan Pasal
35 ayat (1) UUPLH yang menyatakan bahwa pengertian bertanggung jawab secara
mutlak atau strict liability adalah berarti bahwa unsur kesalahan si pelaku tidak perlu
dibuktikan oleh penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian, karena
ketentuan pasal ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan
melawan hukum.108
Pembuktian didalam sengketa lingkungan dibebankan kepada pihak
pencemar. Jika korporasi yakin tidak melakukan perbuatan melawan hukum di
bidang lingkungan hidup, maka korporasi tersebut harus mampu membuktikan
bahwa memang perusahaannya tidak melakukan pencemaran.109 Misalnya,
korporasi dapat membuktikan terpenuhinya ketentuan di dalam Pasal 35 ayat (2)
UUPLH, yang memuat pengecualian tanggungjawab bagi pelaku apabila dapat
membuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan berasal dari bencana alam (act of
god) atau peperangan, keadaan terpaksa (force majeure), atau karena tindakan
pihak ketiga (act of omission of a third party, atau disebut juga act of strager).110
108
Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Jakarta, 1998, hal. 58.
109
Usman, Rachmadi , Op. Cit., hal. 343.
110
Korporasi yang berhasil membuktikan terpenuhinya pengecualian
tanggungjawab (excemption system) di dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPLH
akan terlepas dari pertanggungjawaban langsung dan seketika (strict liability).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH adalah
sebagai berikut:
a. Suatu perbuatan atau kegiatan;
b. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;
c. Menggunakan atau menghasilkan bahan atau limbah berbahaya dan beracun; d. Tanggung jawab timbul secara mutlak;
e. Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat pencemaran atau perusakan lingkungan.111
Terlihat jelas, bahwa unsur kesalahan tidak merupakan bagian dari
unsur-unsur untuk terpenuhinya Pasal 35 ayat (1) UUPLH. Oleh karena itu, dalam
pertanggungjawaban mutlak (strict liability), suatu korporasi sebagai pelaku
dinyatakan bertanggungjawab dalam peristiwa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan, meskipun pada dirinya belum dinyatakan bersalah. Hal ini disebabkan
dalam strict liability, kesalahan (faultschould atau mens rea) tidaklah menjadi
penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab. Di sini berlaku asas
“resipso loquitur”, yaitu fakta sudah berbicara sendiri (the thing speaks for
itself).112
Tujuan penerapan asas tanggung gugat mutlak (strict liability) adalah
untuk memenuhi rasa keadilan, menyelaraskan dengan kompleksitas
perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan, serta mendorong
111
Siahaan, NHT, Op.Cit., hal. 271.
112
badan usaha yang beresiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang
dapat timbul akibat kegiatannya.113
Hanya saja sangat disayangkan, Pasal 35 ayat (1) UUPLH hanya
menerapkan asas tanggungjawab mutlak (strict liability) secara terbatas atau
limitatif, yakni hanya pada perkara lingkungan akibat kegiatan usaha yang
dikualifikasi :
a. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.
b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3).
c. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).114
Pertanggungjawaban mutlak yang bersifat terbatas ini tampak jelas dari
rumusan redaksi di dalam pengaturan Pasal 35 ayat (1) UUPLH.115 Di samping itu,
pengaturan tanggungjawab mutlak secara terbatas juga ditemukan dalam berbagai
peraturan perundang-undangan yang lain, yakni sebagai berikut:
a. Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia (ZEEI), yang menegaskan perbuatan pencemaran atau perusakan
sumber daya alam di ZEEI memikul tanggungjawab mutlak dan biaya rehabilitasi
lingkungan.
b. Artikel III Paragraph 1 dan 2 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang
Ratifikasi International Convention on Civil Liability for Oil Polution Damage,
113
Usman, Rachmadi, Op. Cit., hal. 343.
114
Ibid, hal. 36.
115
1969 (CLC), yang mengatur mengenai tanggungjawab perdata pencemaran
minyak di laut berdasarkan asas strict liability.
c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pasal 28
Undang-undang ini memuat ketentuan yang mewajibkan pengusaha instalasi
nuklir untuk bertanggungjawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga akibat
kecelakaan nuklir dari instalasi nuklir. Prinsip tanggungjawab pada Pasal 28 ini
merupakan strict liability, yang ditegaskan di dalam Penjelasan pasalnya.116
Dengan demikian, pertanggungjawaban mutlak (strict liability) tidak dapat
diterapkan terhadap semua perkara perdata di bidang lingkungan hidup. Di luar ke
enam unsur atau kualifikasi tersebut di atas berlaku sistem pertanggungjawaban yang
didasarkan atas kesalahan (liability based on fault atau schuldaansprakejikheid)
berdasarkan dalil perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal 34 ayat (1)
UUPLH jo. Pasal 1365 KUH Perdata.
Pada umumnya, penggugat atau korban pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan adalah pihak yang berada pada posisi yang lemah dari segi kemampuan
pengetahuan maupun dana apabila dibandingkan dengan pelaku pencemar atau
tergugat, sehingga kewajiban beban bukti ini tentu saja akan memberatkan bagi
116
Penjelasan Pasal 28 Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, menyatakan sebagai berikut:
“Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggungjawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian, tidak ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban selain pengusaha instalasi nuklir itu. Dalam sistem tanggungjawab mutlak, untuk menerima ganti rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak dibebani pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk menghindari ganti rugi jatuh kepada pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup menunjukkan bukti yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelakaan nuklir.”
mereka dalam membuktikan telah terjadinya kesalahan si pelaku yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Dalam penerapan hukum lingkungan
berdasarkan hukum positif di Indonesia, penggugat atau korban sering menjadi pihak
yang kalah berperkara dalam penyelesaian sengketa di pengadilan berdasarkan
gugatan perbuatan melawan hukum. Kesulitan utamanya adalah pembuktian
unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 34 ayat (1) UUPLH jo. Pasal 1365 BW, terutama
menyangkut unsur kesalahan (schuld) dari tergugat sebagai pencemar dan perusak
lingkungan.117
Prinsip kesalahan (liability based on fault) untuk dapatnya meminta
pertanggungjawaban sebagaimana berlaku di dalam Pasal 34 ayat (1) UUPLH jo.
Pasal 1365 BW mempunyai konsekuensi beban pembuktian yang pada umumnya
memberatkan atau menyulitkan penggugat (penderita pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan).118
Pasal 34 UUPLH memungkinkan diajukannya gugatan lingkungan sebagai
upaya hukum yang dapat ditempuh untuk memperoleh ganti kerugian dan atau biaya
pemulihan lingkungan. Dalam hukum lingkungan keperdataan, gugatan yang
diajukan oleh pihak yang dirugikan (korban) lazim dikenal dengan istilah “sengketa
lingkungan.
Tindakan perdata dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup memiliki 4
(empat) fungsi, yaitu:
117
Husni, Ahmad, Op.Cit., hal 509.
118
a. Penegakan hukum perdata melalui gugatan perdata, yaitu sarana penegakan
hukum lingkungan keperdataan yang berkaitan dengan Pasal 1365 KUHPerdata.
Gugatan perdata dapat dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah,
namun gugatan perdata oleh pihak pemerintah hanya dilakukan apabila
penegakan hukum administrasi tidak memadai.
b. Penetapan norma tambahan melalui keputusan hakim perdata dengan menetapkan
norma-norma yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam sebuah izin oleh
instansi tata usaha negara yang berwenang.
c. Gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian yang diajukan akibat dari pencemaran
dan atau perusakan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 34
UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum dan
Pasal 35 UUPLH mengenai “tanggung jawab mutlak”.
d. Perlindungan hukum tambahan, yang terwujud melalui bantuan hakim-hakim
perdata yang memeriksa gugatan terhadap tindakan-tindakan pejabat pemerintah
yang tidak dapat digugat melalui PTUN, misalnya menyangkut
keputusan-keputusan yang berlaku untuk umum dan tindakan nyata penguasa.119
Pengambilan keputusan untuk melakukan tuntutan hukum bagi pelanggaran
ketentuan lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan hukum/korporasi hendaknya
dilakukan secara fleksibel.120 Setiap kasus yang dihadapi hendaknya harus dilihat
menurut kadar dan konteksnya masing-masing dengan pendekatan yang tidak bersifat
119
Koeman, dalam Syahrin, Alvi, Op Cit, hal. 227-228.
120
kaku, namun harus tetap konsisten untuk melakukan perlindungan terhadap