• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

TANGGUNGJAWAB KORPORASI DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN

2. Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup

Hukum lingkungan keperdataan secara khusus mengatur perlindungan

hukum bagi korban perusakan dan/atau pencemaran lingkungan akibat perbuatan

pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan menyebabkan penderita

berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap pencemar. Upaya hukum yang

dapat ditempuh berdasarkan pada Pasal 34 UUPLH yang memungkinkan gugatan

lingkungan untuk memperoleh ganti kerugian dan/atau biaya pemulihan lingkungan.

Dalam hukum lingkungan keperdataan, gugat hukum lingkungan keperdataan secara

khusus mengatur perlindungan hukum bagi korban kerusakan dan/atau pencemaran

94

lingkungan akibat perbuatan pencemar yang menimbulkan kerugian bagi korban dan

menyebabkan penderita berhak mengajukan gugatan ganti kerugian terhadap

pencemar.95

Menurut Koeman sebagaimana dikutip oleh Alvi Syahrin bahwa tindakan

perdata dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup memiliki 4 (empat) fungsi96,

yaitu :

a. Penegakan hukum lingkungan melalui hukum perdata, yaitu sarana penegakan

hukum lingkungan keperdataan yang berkaitan dengan Pasal 1365 KUHPerdata.

Dengan demikian gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan

keperdataan dapat dilakukan baik oleh warga masyarakat maupun oleh

pemerintah untuk memaksa persyaratan lingkungan yang bersifat publik. Gugatan

perdata sebagai penegakan hukum yang dilakukan oleh pemerintah sangat

terbatas hanya apabila penegakan hukum administrasi tidak memadai.

b. Penetapan norma tambahan, melalui keputusan hakim perdata dengan

menetapkan norma-norma yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam sebuah izin

oleh pemerintah tata usaha negara yang berwenang. Hakim perdata dalam hal ini

berwenang menetapkan prasyarat atau ketentuan tambahan ke dalam izin

pemberian izin apabila ketentuan tambahan nantinya akan diperlukan. Makna

95

Husni, Ahmad, Op.Cit., hal 509. lihat juga Wijaya, Suparto, Penyelesaian Sengketa Lingkungan, (Surabaya: Airlangga University Press, 1999), hal 9.

96

Syahrin, Alvi, Pengaturan Hukum dan Dasar Kebijakan Pembangunan Perumahan dan Permukiman Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Press, 2003), hal. 227-228.

penegakan hukum lingkungan keperdataan dalam penegakan penetapan sanksi

dapat memaksakan pentaatan terhadap keputusan sanksi hukum publik.

c. Gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian, gugatan ini dilakukan untuk

mendapatkan ganti rugi akibat dari pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 34 UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata

dan Pasal 35 UUPLH yakni adanya “tanggungjawab mutlak”.

d. Perlindungan hukum tambahan, perlindungan ini dapat terwujud melalui bantuan

hakim-hakim perdata yang memeriksa gugatan terhadap tindakan-tindakan

pejabat pemerintah yang tidak dapat digugat melalui Pengadilan Tata Usaha

Negara, tindakan tersebut antara lain : keputusan-keputusan yang berlaku untuk

umum dan tindakan nyata penguasa.

Untuk mengetahui bagaimana pertanggungjawaban (tanggung gugat) akibat

timbulnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, maka terlebih dahulu

diketahui sumber penyebab pencemaran. Pentingnya diketahui sumber penyebab

pencemaran berhubungan dengan penentuan pihak yang harus memikul

tanggungjawab (liability) bagi pembayaran ganti rugi terhadap kerusakan yang

ditimbulkan dan upaya perbaikannya (compesation for pollution damage).97 Artinya,

sumber penyebab pencemaran akan menentukan siapa yang harus memikul

tanggungjawab atas perbuatan melawan hukum dan pada akhirnya akan menentukan

ganti rugi dan perbaikan atas lingkungan yang telah tercemar dan atau rusak.

97

Arifin, Samsul, Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia, USU Press, Medan 1993, hal 222.

Pertanggungjawaban perdata Perseroan Terbatas dalam pengelolaan

lingkungan hidup di dalam UUPLH diatur pada Pasal 35 ayat (1) yang menyatakan

bahwa penanggungjawab usaha dan atau kegiatan yang kegiatan dan/atau usahanya

menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan, yang menggunakan

bahan berbahaya beracun, bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang ditimbulkan

dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika saat terjadi

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.

Pertanggungjawaban atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad)

dalam Pasal 34 ayat (1) UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata, pada prinsipnya

didasarkan atas adanya kesalahan dari si pelaku, atau disebut juga dengan istilah

“pertanggungjawaban atas dasar kesalahan” (schuldaansprakelijkheid) atau (liability

based on fault). Dengan prinsip ini, ilmu hukum mengenal 2 (dua) macam

pertanggungjawaban yang mengakibatkan kerugian, yakni:

1. Pertanggungjawaban atas kerugian dengan sengaja.

2. Pertanggungjawaban atas kerugian karena kealpaan dan tidak disengaja.98

Dalam doktrin ini, seorang pelaku yang menimbulkan kerugian bagi orang

lain, baik disengaja maupun karena kealpaan dan tidak disengaja, hanya dapat

dibebankan untuk membayar kerugian yang timbul apabila unsur kesalahan dapat

dibuktikan di dalam perbuatannya, dan kerugian tersebut harus merupakan akibat dari

kesalahan yang merupakan sebab dari akibat tersebut.

98

Pound, Roscoe, Pengantar Filsafat Hukum, Diterjemahkan oleh Drs. Mohammad Radjab, (Jakarta : Bhatara Karya Aksara, 1982), hal. 80.

Berdasarkan doktrin “tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan” (no

liability without fault) yang dianut di dalam Pasal 34 ayat (1) UUPLH, seorang

pelaku atau pembuat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup,

bertanggungjawab untuk membayar kerugian yang timbul kepada penderita atau

korban akibat kesalahan yang dilakukannya, dimana unsur kesalahan harus dapat

dibuktikan di dalam perbuatannya, sedangkan kerugian yang terjadi harus merupakan

akibat dari kesalahan si pelaku (yang merupakan sebab dari akibat tersebut).

Pertanggungjawaban menurut pasal ini didasarkan pada adanya suatu

perbuatan yang melanggar hukum akibat dari kesalahan si pelaku, yang sering juga

disebut sebagai perbuatan melawan hukum. Jadi, bentuk pertanggungjawaban yang

termaktub di dalam ketentuan Pasal 34 ayat (1) UUPLH terkait erat dengan segi

kesalahan (liability based on fault), yang sering disebut dengan “negligence rule”.99

Berdasarkan doktrin “tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan” (no

liability without fault), sengketa lingkungan hidup yang penuntutannya didasarkan

pada Pasal 34 ayat (1) UUPLH harus mengandung unsur-unsur sebagai berikut:

a. Perbuatan melanggar hukum;

b. Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan;

c. Kerugian pada orang lain atau lingkungan;

d. Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan; dan

e. Membayar ganti kerugian dan/atau tindakan tertentu.100

99

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Op.Cit., hal. 386.

100

Unsur-unsur Pasal 34 ayat (1) UUPLH ini merupakan rangkaian tunggal

sebagai satu kesatuan yang mengkonstruksikan keutuhan Pasal 34 ayat (1)

UUPLH. Artinya, suatu gugatan lingkungan untuk mendapatkan ganti kerugian dan

atau tindakan tertentu harus mengkonstatir adanya “perbuatan melanggar hukum”.

Perbuatan yang melanggar hukum ini haruslah berupa pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan agar dapat menjadi elemen gugatan lingkungan. Tanpa

menimbulkan pencemaran dan atau perusakan lingkungan, suatu perbuatan

melanggar hukum saja tentu tidak cukup melahirkan gugatan lingkungan.101

Pencemaran dan/atau perusakan lingkungan yang dapat menimbulkan hak

untuk mengajukan gugatan lingkungan harus memenuhi kualifikasi “menimbulkan

kerugian pada orang atau lingkungan”. Hal ini disebabkan yang dikualifikasikan

sebagai korban pencemaran dan atau perusakan lingkungan adalah orang maupun

lingkungan. Karena adanya kerugian pada orang atau lingkungan, maka

“penanggung jawab usaha dan atau kegiatan” diwajibkan membayar ganti kerugian

dan atau melakukan tindakan tertentu karena ia merupakan pihak yang

menimbulkan kerugian pada orang ataupun lingkungan itu.102

Sistem pertanggungjawaban berdasarkan prinsip kesalahan (liability based

on fault) yang berlaku di dalam Pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 34 ayat (1)

UUPLH mempunyai konsekuensi beban pembuktian yang pada umumnya

memberatkan atau menyulitkan penggugat (penderita pencemaran dan/atau perusakan

101

Syahrin, Alvi, (2003), Op.Cit., hal 231

102

lingkungan). Koesnadi Hardjasoemantri menegaskan bahwa jika tidak terbukti atau

tidak dapat dibuktikan adanya unsur kesalahan berdasarkan Pasal 34 ayat (1)

UUPLH, maka tidak akan ada kewajiban untuk memberi ganti kerugian.103 Hal ini

disebabkan prosedur pembuktian dalam penyelesaian ganti kerugian sebagaimana

diatur di dalam pasal 1365 KUH Perdata dan Pasal 34 ayat (1) UUPLH meletakkan

beban pembuktian pada pihak yang mendalilkan, atau yang menyangkal.

Di dalam peristiwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, pihak

penderita atau penggugat sebagai pihak yang mendalilkan telah terjadinya

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan harus membuktikan telah terjadinya

pencemaran dan/atau perusakan.104

Di samping prinsip “kesalahan” yang dianut di dalam Pasal 34 ayat (1)

UUPLH, Pasal 35 ayat (1) UUPLH telah memuat prinsip “resiko” untuk

membuktikan telah terjadinya perbuatan melawan hukum berupa pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup. Sistem pertanggungjawaban berdasarkan

prinsip resiko yang termuat di dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH merupakan lex

specialis dari doktrin tiada pertanggungjawaban tanpa kesalahan yang dianut di

dalam Pasal 34 UUPLH. Jadi, hukum positif di bidang lingkungan hidup juga

mengenal doktrin risico-aansprakelijkheid (strict liability), yang inti ajarannya

didasarkan pada pendapat bahwa dengan diciptakannya keadaan berbahaya yang

menimbulkan risiko maka beban pertanggungjawaban terletak pada pihak yang

103

Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, op.cit., hal. 386.

104

Lotulung, Effendi, Paulus, Penegakan Hukum Lingkungan oleh Hakim Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1993), hal. 1.

melakukan perbuatan atau yang melakukan pencemaran, sehingga karenanya

diwajibkan untuk mengambil tindakan-tindakan guna mencegah kerugian. Tidak

mengambil atau melakukan tindakan-tindakan guna mencegah kerugian dengan

sendirinya mengakibatkan perbuatannya dikategorikan bersifat melawan hukum.105

Dengan kata lain, prinsip ini mempunyai ciri utama bahwa unsur kesalahan

tidak perlu dibuktikan adanya di dalam suatu perbuatan pencemaran dan/atau

perusakan lingkungan hidup. Cukup dengan adanya bukti bahwa pencemaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup telah terjadi dan menimbulkan kerugian bagi

korban atau penderita, maka perbuatan melawan hukum dianggap telah terjadi.

Prinsip ini kemudian dikenal dengan istilah “strict liability” atau “absolut

liability”, yang sering diartikan sebagai “pertanggungjawaban mutlak” atau

“pertanggungjawaban seketika”.106

Pertanggungjawaban mutlak atau seketika (strict liability atau absolut

liability) telah diatur secara tegas di dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH. Menurut

ketentuan ini, unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan ada dan terpenuhi di dalam

peristiwa (perkara) pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang terjadi.

Ciri utama pertanggungjawaban mutlak (strict liability) berdasarkan prinsip resiko

adalah tidak diperlukan adanya kesalahan sebagai persyaratan,107 sehingga sering

diistilahkan sebagai “pertanggungjawaban tanpa kesalahan” (liability without fault).

Dalam doktrin pertanggungjawaban mutlak (strict liability), seorang pelaku dapat

105

Hardjasoemantri, Koesnadi, Op. Cit., hal. 386-387.

106

Lotulung, Effendi, Paulus, Op Cit, hal. 3.

107

secara langsung dan seketika dibebani dengan kewajiban ganti rugi tanpa perlu

pembuktian adanya unsur kesalahan di dalam perbuatan pelaku pencemaran ataupun

perusakan lingkungan hidup tersebut. Hal ini lebih ditegaskan oleh Penjelasan Pasal

35 ayat (1) UUPLH yang menyatakan bahwa pengertian bertanggung jawab secara

mutlak atau strict liability adalah berarti bahwa unsur kesalahan si pelaku tidak perlu

dibuktikan oleh penggugat sebagai dasar pembayaran ganti kerugian, karena

ketentuan pasal ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan

melawan hukum.108

Pembuktian didalam sengketa lingkungan dibebankan kepada pihak

pencemar. Jika korporasi yakin tidak melakukan perbuatan melawan hukum di

bidang lingkungan hidup, maka korporasi tersebut harus mampu membuktikan

bahwa memang perusahaannya tidak melakukan pencemaran.109 Misalnya,

korporasi dapat membuktikan terpenuhinya ketentuan di dalam Pasal 35 ayat (2)

UUPLH, yang memuat pengecualian tanggungjawab bagi pelaku apabila dapat

membuktikan bahwa pencemaran atau kerusakan berasal dari bencana alam (act of

god) atau peperangan, keadaan terpaksa (force majeure), atau karena tindakan

pihak ketiga (act of omission of a third party, atau disebut juga act of strager).110

108

Proyek Pembinaan Teknis Yustisial Mahkamah Agung RI, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997, Jakarta, 1998, hal. 58.

109

Usman, Rachmadi , Op. Cit., hal. 343.

110

Korporasi yang berhasil membuktikan terpenuhinya pengecualian

tanggungjawab (excemption system) di dalam ketentuan Pasal 35 ayat (2) UUPLH

akan terlepas dari pertanggungjawaban langsung dan seketika (strict liability).

Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pasal 35 ayat (1) UUPLH adalah

sebagai berikut:

a. Suatu perbuatan atau kegiatan;

b. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup;

c. Menggunakan atau menghasilkan bahan atau limbah berbahaya dan beracun; d. Tanggung jawab timbul secara mutlak;

e. Tanggung jawab secara langsung dan seketika pada saat pencemaran atau perusakan lingkungan.111

Terlihat jelas, bahwa unsur kesalahan tidak merupakan bagian dari

unsur-unsur untuk terpenuhinya Pasal 35 ayat (1) UUPLH. Oleh karena itu, dalam

pertanggungjawaban mutlak (strict liability), suatu korporasi sebagai pelaku

dinyatakan bertanggungjawab dalam peristiwa pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan, meskipun pada dirinya belum dinyatakan bersalah. Hal ini disebabkan

dalam strict liability, kesalahan (faultschould atau mens rea) tidaklah menjadi

penting untuk menyatakan si pelaku bertanggung jawab. Di sini berlaku asas

“resipso loquitur”, yaitu fakta sudah berbicara sendiri (the thing speaks for

itself).112

Tujuan penerapan asas tanggung gugat mutlak (strict liability) adalah

untuk memenuhi rasa keadilan, menyelaraskan dengan kompleksitas

perkembangan teknologi, sumber daya alam dan lingkungan, serta mendorong

111

Siahaan, NHT, Op.Cit., hal. 271.

112

badan usaha yang beresiko tinggi untuk menginternalisasikan biaya sosial yang

dapat timbul akibat kegiatannya.113

Hanya saja sangat disayangkan, Pasal 35 ayat (1) UUPLH hanya

menerapkan asas tanggungjawab mutlak (strict liability) secara terbatas atau

limitatif, yakni hanya pada perkara lingkungan akibat kegiatan usaha yang

dikualifikasi :

a. Menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan.

b. Menggunakan bahan berbahaya dan beracun (B3).

c. Menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).114

Pertanggungjawaban mutlak yang bersifat terbatas ini tampak jelas dari

rumusan redaksi di dalam pengaturan Pasal 35 ayat (1) UUPLH.115 Di samping itu,

pengaturan tanggungjawab mutlak secara terbatas juga ditemukan dalam berbagai

peraturan perundang-undangan yang lain, yakni sebagai berikut:

a. Pasal 11 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif

Indonesia (ZEEI), yang menegaskan perbuatan pencemaran atau perusakan

sumber daya alam di ZEEI memikul tanggungjawab mutlak dan biaya rehabilitasi

lingkungan.

b. Artikel III Paragraph 1 dan 2 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1978 tentang

Ratifikasi International Convention on Civil Liability for Oil Polution Damage,

113

Usman, Rachmadi, Op. Cit., hal. 343.

114

Ibid, hal. 36.

115

1969 (CLC), yang mengatur mengenai tanggungjawab perdata pencemaran

minyak di laut berdasarkan asas strict liability.

c. Undang-undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran. Pasal 28

Undang-undang ini memuat ketentuan yang mewajibkan pengusaha instalasi

nuklir untuk bertanggungjawab atas kerugian yang diderita pihak ketiga akibat

kecelakaan nuklir dari instalasi nuklir. Prinsip tanggungjawab pada Pasal 28 ini

merupakan strict liability, yang ditegaskan di dalam Penjelasan pasalnya.116

Dengan demikian, pertanggungjawaban mutlak (strict liability) tidak dapat

diterapkan terhadap semua perkara perdata di bidang lingkungan hidup. Di luar ke

enam unsur atau kualifikasi tersebut di atas berlaku sistem pertanggungjawaban yang

didasarkan atas kesalahan (liability based on fault atau schuldaansprakejikheid)

berdasarkan dalil perbuatan melawan hukum menurut ketentuan Pasal 34 ayat (1)

UUPLH jo. Pasal 1365 KUH Perdata.

Pada umumnya, penggugat atau korban pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan adalah pihak yang berada pada posisi yang lemah dari segi kemampuan

pengetahuan maupun dana apabila dibandingkan dengan pelaku pencemar atau

tergugat, sehingga kewajiban beban bukti ini tentu saja akan memberatkan bagi

116

Penjelasan Pasal 28 Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, menyatakan sebagai berikut:

“Pada prinsipnya dalam hal terjadi kecelakaan nuklir, tanggungjawab hanya dibebankan kepada satu pihak, yaitu pengusaha instalasi nuklir. Dengan demikian, tidak ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban selain pengusaha instalasi nuklir itu. Dalam sistem tanggungjawab mutlak, untuk menerima ganti rugi, pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir tidak dibebani pembuktian ada atau tidaknya kesalahan pengusaha instalasi nuklir. Untuk menghindari ganti rugi jatuh kepada pihak yang tidak berhak, pihak ketiga cukup menunjukkan bukti yang sah bahwa kerugiannya diakibatkan oleh kecelakaan nuklir.”

mereka dalam membuktikan telah terjadinya kesalahan si pelaku yang mengakibatkan

pencemaran dan/atau perusakan lingkungan. Dalam penerapan hukum lingkungan

berdasarkan hukum positif di Indonesia, penggugat atau korban sering menjadi pihak

yang kalah berperkara dalam penyelesaian sengketa di pengadilan berdasarkan

gugatan perbuatan melawan hukum. Kesulitan utamanya adalah pembuktian

unsur-unsur yang terdapat didalam Pasal 34 ayat (1) UUPLH jo. Pasal 1365 BW, terutama

menyangkut unsur kesalahan (schuld) dari tergugat sebagai pencemar dan perusak

lingkungan.117

Prinsip kesalahan (liability based on fault) untuk dapatnya meminta

pertanggungjawaban sebagaimana berlaku di dalam Pasal 34 ayat (1) UUPLH jo.

Pasal 1365 BW mempunyai konsekuensi beban pembuktian yang pada umumnya

memberatkan atau menyulitkan penggugat (penderita pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan).118

Pasal 34 UUPLH memungkinkan diajukannya gugatan lingkungan sebagai

upaya hukum yang dapat ditempuh untuk memperoleh ganti kerugian dan atau biaya

pemulihan lingkungan. Dalam hukum lingkungan keperdataan, gugatan yang

diajukan oleh pihak yang dirugikan (korban) lazim dikenal dengan istilah “sengketa

lingkungan.

Tindakan perdata dalam konteks pengelolaan lingkungan hidup memiliki 4

(empat) fungsi, yaitu:

117

Husni, Ahmad, Op.Cit., hal 509.

118

a. Penegakan hukum perdata melalui gugatan perdata, yaitu sarana penegakan

hukum lingkungan keperdataan yang berkaitan dengan Pasal 1365 KUHPerdata.

Gugatan perdata dapat dilakukan oleh masyarakat maupun oleh pemerintah,

namun gugatan perdata oleh pihak pemerintah hanya dilakukan apabila

penegakan hukum administrasi tidak memadai.

b. Penetapan norma tambahan melalui keputusan hakim perdata dengan menetapkan

norma-norma yang sebelumnya tidak dicantumkan dalam sebuah izin oleh

instansi tata usaha negara yang berwenang.

c. Gugatan untuk mendapatkan ganti kerugian yang diajukan akibat dari pencemaran

dan atau perusakan lingkungan. Hal ini berkaitan dengan ketentuan Pasal 34

UUPLH jo. Pasal 1365 KUHPerdata mengenai perbuatan melawan hukum dan

Pasal 35 UUPLH mengenai “tanggung jawab mutlak”.

d. Perlindungan hukum tambahan, yang terwujud melalui bantuan hakim-hakim

perdata yang memeriksa gugatan terhadap tindakan-tindakan pejabat pemerintah

yang tidak dapat digugat melalui PTUN, misalnya menyangkut

keputusan-keputusan yang berlaku untuk umum dan tindakan nyata penguasa.119

Pengambilan keputusan untuk melakukan tuntutan hukum bagi pelanggaran

ketentuan lingkungan hidup yang dilakukan oleh badan hukum/korporasi hendaknya

dilakukan secara fleksibel.120 Setiap kasus yang dihadapi hendaknya harus dilihat

menurut kadar dan konteksnya masing-masing dengan pendekatan yang tidak bersifat

119

Koeman, dalam Syahrin, Alvi, Op Cit, hal. 227-228.

120

kaku, namun harus tetap konsisten untuk melakukan perlindungan terhadap