TANGGUNGJAWAB KORPORASI DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN
1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Korporasi sebagai badan hukum sudah tentu memiliki identitas hukum
tersendiri. Identitas hukum suatu korporasi atau perusahaan terpisah dan
84
identitas hukum para pemegang sahamnya, direksi, maupun organ-organ
lainnva. Dalam kaidah hukum perdata (civil law), jelas ditetapkan bahwa suatu
korporasi atau badan hukum merupakan subjek hukum perdata dapat melakukan
aktivitas jual beli, dapat membuat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, serta
dapat menuntut dan dituntut di pengadilan dalam hubungan keperdataan. Para
pemegang saham menikmati keuntungan yang diperoleh dari konsep
tanggungjawab terbatas, dan kegiatan korporasi berlangsung terus-menerus,
dalam arti bahwa keberadaannya tidak akan berubah meskipun ada penambahan
anggota-anggota baru atau berhentinya atau meninggalnya anggota-anggota
yang ada. Namun sampai saat ini, konsep pertanggungjawaban pidana oleh
korporasi sebagai pribadi (corporate criminal liability) merupakan hal yang masih
mengundang perdebatan. Banyak pihak yang tidak mendukung pandangan bahwa
suatu korporasi yang wujudnya semu dapat melakukan suatu tindak kejahatan
serta memiliki criminal intent yang melahirkan pertanggungjawaban pidana. Di
samping itu, mustahil untuk dapat menghadirkan korporasi dengan fisik yang
sebenarnya dalam ruang pengadilan dan duduk di kursi terdakwa guna menjalani
proses peradilan.
Baik dalam sistem hukum common l a w maupun civil law sangat sulit
untuk dapat mengatribusikan suatu bentuk tindakan tertentu (actus reus atau g u i l t y
a c t ) serta membuktikan unsur mens rea (criminal intent atau guilty mind) dari suatu
entitas abstrak seperti korporasi. Di Indonesia meskipun undang-undang sudah
Hidup, dapat dijadikan sebagai landasan hukum untuk membebankan criminal
liability terhadap korporasi, namun Pengadilan Pidana sampai saat ini terkesan
enggan untuk mengakui dan mempergunakan peraturan-peraturan tersebut. Hal ini
dapat dilihat dari sedikitnya kasus-kasus kejahatan korporasi di pengadilan dan tentu
saja berdampak pada sangat sedikitnya keputusan pengadilan berkaitan dengan
kejahatan korporasi.85 Akibatnya, tidak ada acuan yang dapat dijadikan sebagai
preseden atau yurisprudensi bagi lingkungan peradilan di Indonesia.
Jika melihat praktek yang diterapkan di Belanda sebelum
pertanggungjawaban pidana korporasi ditetapkan dalam KUHP Belanda,
sebagaimana disebutkan oleh Remmelink dalam bukunya Hukum Pidana : Komentar
atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda
dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, dalam
bidang hukum pidana fiskal atau ekonomi, ditemukan kemungkinan menuntut
pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi. Pandangan ini bahkan sudah dikenal
lama sebelum KUHP Belanda dibuat. Hal ini dimungkinkan dengan
mempertimbangkan kepentingan praktis. Dari sudut pandang ini, hukum pidana
dapat dengan mudah melakukan perujukan pada kewajiban yang dibebankan oleh
hukum fiskal pada pemilik, penyewa, atau yang menyewakan dan lain-lain, yang
sering kali berbentuk korporasi. Namun, terlepas dari itu dalam perkembangan
85
Nasution, Bismar, dalam L.C. Soesanto, The Spectrum of Corporate Crime in Indonesia,, Universitas Diponegoro, http://.aic.gov.au/publications/12/soesanto.pdf.
selanjutnya hukum pidana umum juga semakin sering dengan masalah yang
menyangkut tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Semakin banyak perundang-undangan dan peraturan administratif baru yang
bermunculan. Dalam aturan-aturan tersebut, pembuat undang-undang merujuk pada
“pengemban” hak-hak warga yang banyak berbentuk korporasi.
Bilamana suatu kewajiban tidak dipenuhi maka beranjak dari sistem
perundangundangan yang ada “korporasi” juga dimungkinkan untuk dipandang
sebagai “pelaku”. Di Belanda kemungkinan ini sudah lama dikenal dalam
waterschapsverordening (peraturan tentang tata guna dan lalu lintas perairan) yang
sering mewajibkan pemilik tanah yang terletak di samping kali atau saluran air untuk
membersihkan atau menjaga kebersihan kewajiban vang diancam dengan sanksi
pidana apabila dilalaikan.86
Ketentuan pidana lingkungan hidup diatur dalam UUPLH, dan peraturan
perundangan di luar KUHP dan UUPLH. Mengingat ketentuan hukum pidana
yang hendak melindungi lingkungan hidup tersebar dalam berbagai peraturan
perundang-undangan dan dalam berbagai cabang ilmu, maka aturan hukum
tersebut perlu di integrasikan dalam bentuk sistem hukum. UUPLH menempatkan
dirinya sebagai umbrella act di bidang lingkungan hidup.
86
Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang-undang Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta : PT.Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 100.
Berkaitan dengan tindak pidana lingkungan, ada beberapa asas yang
perlu diperhatikan, yaitu asas legalitas, asas pembangunan berkelanjutan dan asas
pencegahan dan pengendalian.
Asas legalitas di dalamnya terkandung asas kepastian hukum dan
kejelasan serta ketajaman dalam merumuskan peraturan dalam hukum pidana,
khususnya sepanjang berkaitan dengan definition of crimes against the
environment. Dalam hal ini terkait dengan akurasi proses kriminalisasi dengan
segala persyaratannya. Syarat-syarat tersebut antara lain adalah adanya
korban/kerugian yang jelas dan sifat enforceable dari perumusan tersebut.
Asas legalitas perlu dipahami dalam pola pikir baru yakni dari asas
legalitas yang bersifat formal (Pasal 1 ayat 1 KUHP) ke asas legalitas yang
bersifat materiil yang memungkinkan kepada hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyrakat sebagai sumber hukum pidana. Karena setiap
kejadian atau peristiwa konkrit dan nilai-nilai hukum yang tumbuh dan
berkembang dalam masyarakat sekitarnya.
Asas pembangunan berkelanjutan menegaskan bahwa pembangunan
ekonomi jangan sampai mengorbankan hak generasi yang akan datang untuk
menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat. Pembangunan berkelanjutan
merupakan standar yang tidak hanya ditujukan bagi perlindungan lingkungan
melainkan juga bagi kebijakan pembangunan.
Asas pencegahan dan pengendalian bertujuan untuk meningkatkan
lingkungan hidup, baik di darat, perairan tawar dan laut, maupun udara sehingga
masyarakat memperoleh kualitas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Tindak pidana lingkungan diatur di dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal 44
UUPLH dan Bab IX UUPLH. Pasal 41 dan Pasal 42 UUPLH memuat ketentuan
tindak pidana materil, Pasal 43 dan Pasal 44 UUPLH memuat ketentuan tindak pidana
formil, sedangkan ketentuan tindak pidana yang diatur di dalam Bab IX UUPLH
merupakan kejahatan.87 Berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut,
tindak pidana lingkungan berupa:
a. melakukan perbuatan yang mengakibatkan:
1) pencemaran dan atau
2) perusakan lingkungan hidup (Pasal 31 UUPLH);
b. melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan atau perusakan
lingkungan hidup yang mengakibatkan orang mati atau luka berat (Pasal 41 ayat
(2) dan Pasal 42 ayat (2) UUPLH);
c. melakukan perbuatan melanggar ketentuan perundang-undangan berupa:
1) melepaskan atau membuat zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya
atau beracun masuk ke atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam
air permukaan;
2) impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan,
menjalankan instalasi, yang dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan dan/atau perusakan
87
lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum (Pasal 43 ayat (1) dan
Pasal 44 ayat (1) UUPLH);
d. melakukan perbuatan berupa:
1) memberikan informasi, atau
2) menghilangkan informasi, atau menyembunyikan informasi, atau merusak
informasi, yang diperlukan (dalam kaitannya dengan perbuatan angka 3 di
atas) yang mana perbuatan ini dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang
lain (Pasal 43 ayat (2) dan Pasal 44 ayat (1) UUPLH).
e. melakukan perbuatan pada angka 3 atau angka 4 yang mengakibatkan orang mati
atau luka berat (Pasal 43 ayat (3) dan Pasal 44 ayat (2) UUPLH).
UUPLH sendiri telah menetapkan jenis-jenis sanksi yang akan diterapkan
terhadap pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup, yaitu sebagai berikut:
a. Pidana penjara;
b. Pidana denda;
c. Tindakan tata tertib, terdiri atas:
1) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
2) Penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaaan; dan atau
3) Perbaikan akibat tindak pidana; dan atau
4) Mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau
5) Meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan atau
Dalam UUPLH mengenai ketentuan pidana yang berkaitan dengan
badan hukum diatur dalam Pasal 45 dan Pasal 46. Selanjutnya ketentuan
hukum pidana dalam UUPLH diatur dalam Pasal 41 dan 42 yang merupakan delik
materil dan Pasal 43 dan 44 UUPLH yang merupakan delik formil.
Penerapan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana terkait dengan
asas-asas umum hukum pidana yang memainkan peranan penting, yakni asas-asas legalitas dan
asas kesalahan. Penyimpangan terhadap asas legalitas dan kesalahan dalam kasus
lingkungan hidup karena adanya Rechtguternotstand dengan harapan problematika
kasus lingkungan dapat pecahkan akan terjebak pada kebebasan politik yang terlalu
luas, yaitu penetapan tersebut dibuat lebih berdasarkan pada kekuasaan daripada
kenyataan.88 Rechtsguternostand merupakan bilamana ada kemungkinan objek-objek
hukum penting tertentu terancam dan perlindungan hanya diberikan dengan cara
menjatuhkan pada badan hukum.
Menerapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana dapat dengan
berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian
tujuan-tujuan badan hukum tersebut. Badan hukum diperlakukan sebagai pelaku jika
terbukti tindakan yang dilakukan bersangkutan dalam rangka pelaksanaan tugas
dan/atau pencapaian tujuan badan hukum, juga termasuk dalam hal orang
(karyawan perusahaan) yang secara faktual melakukan tindak bersangkutan
melakukannya atas inisiatif sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan.
88
Bapedaldasu, Panduan dan Standar Operasional Prosedur Penegakan Hukum Lingkungan Hidup di Sumut, (Medan : 2001), hal. 80
Namun dalam hal yang terakhir ini tidak menutup kemungkinan badan hukum
mengajukan keberatan atas alasan tiadanya kesalahan dalam dirinya.
Selanjutnya juga menetapkan badan hukum sebagai pelaku tindak pidana,
dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada badan hukum tersebut. Secara faktual
badan hukum mempunyai wewenang mengatur/menguasai dan/atau memerintah
pihak yang dalam kenyataan melakukan tindak terlarang.
Badan hukum dalam kenyataannya kurang/tidak melakukan dan/atau
mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah
dilakukannya tindak terlarang dapat diartikan bahwa badan hukum itu menerima
terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga badan hukum dinyatakan
bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Bertolak dari asas kesalahan, maka dalam pertanggungjawaban pidana
tidak dimungkinkan adanya pertanggungjawaban mutlak (yang sering dikenal
dengan strict liability atau absolute liability), walaupun ada pendapat yang
mengemukakan strict liability bukanlah absolute liability.89
Secara teoritis sebenarnya dimungkinkan adanya penyimpangan terhadap
asas kesalahan dengan menggunakan strict liability atau vicarious liability. Terlebih
memang tidak mudah untuk membuktikan adanya kesalahan pada tindak pidana
lingkungan dan kesalahan dari badan hukum/korporasi.
89
Arief, Nawawi, Barda, Kebijakan Legislatif mengenai Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Lingkungan, Makalah, Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, (Semarang : Fakultas Hukum UNDIP, 1997),hal. 4-5.
Berkenaan dengan penegakan hukum di bidang lingkungan hidup, menurut
Yahya Harahap penerapan Strict Liability merupakan pengecualian terhadap jenis
tindak pidana biasa (are an exception to normal type of offence) dari terdakwa hanya
dibutuhkan secara terbatas bentuk mens rea (require of defendant a more limited from
of mens rea), oleh karena :
a. Pada umumnya bersifat larangan berdasarkan ketentuan undang-undang, antara lain, larangan yang berbentuk anti social dan polusi, perilaku jahat dalam perdagangan.
b. Dalam bentuk pidana yang bersifat strict liability, hanya dibutuhkan saja dugaan atau pengetahuan dari pelaku sudah cukup menuntut pertanggungjawaban pidana terhadapnya.
c. Tidak dipersoalkan adanya unsur mens rea, sehingga disebut no mens rea artinya, tidak perlu ada unsur sengaja, kelalaian atau kehendak.Unsur pokok dari strict
liability crime, yaitu actus reus, dengan demikian yang harus dibuktikan hanya
actus reus,bukan mens read an tindak pidana yang disebut sebagai absolute
prohibition yaitu criminal liability without fault (tanggungjawab pidana tanpa
kesalahan) atau yang disebut juga strict responsibility.90
Dalam membicarakan tentang masalah pertanggungjawaban pidana
badan hukum/korporasi, maka perlu diperhatikan adalah sistem perumusan yang
menyatakan bahwa badan hukum itu sendiri dapat dipertanggungjawaban dalam
hukum pidana. Motivasi dari adanya sistem pertanggungjawaban badan hukum/
korporasi ini adalah didasarkan kepada perkembangan akhir-akhir ini terutama
dalam bidang lingkungan hidup dan ekonomi. Dipidananya pengurus tidak
memberikan jaminan yang cukup bahwa badan hukum/korporasi tidak lagi
melakukan tindak pidana, karena diperlukannya untuk mempidana badan hukum.
90
Harahap, M. Yahya, Beberapa Tinjauan tentang Permasalahan Hukum, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1997), hal. 33-35.
Menetapkan badan hukum/korporasi sebagai pelaku tindak pidana, dapat
dengan berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian tujuan
badan hukum/korporasi, juga termasuk dalam hal orang (karyawan perusahaan)
yang secara sendiri serta bertentangan dengan instruksi yang diberikan.91
Dalam kaitannya dengan pertanggungjawaban korporasi yang
merupakan salah satu bentuk dari korporasi adalah Perseroan Terbatas, menurut
Muladi menyatakan bahwa atas dasar pengalaman pengaturan hukum positif dan
pemikiran yang berkembang serta memperhatikan pula kecenderungan
internasional, maka pertanggungjawaban korporasi dalam tindak pidana
lingkungan hidup hendaknya memperhatikan :
a. Korporasi mencakup baik badan hukum (legal entity) maupun non badan hukum seperti organisasi dan sebagainya;
b. Korporasi dapat bersifat privat (privat juridical entity) dan dapat bersifat publik (public entity);
c. Apabila di identifikasikan bahwa tindak pidana lingkungan dilakukan dalam bentuk organisasional, maka orang alamiah (manager, egent, employess) dan korporasi dapat dipidana, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama (bipunishment provision).
d. Terdapat kesalahan management dalam korporasi dan terjadi apa yang dinamakan
breach of a statutory or regulatory provision;
e. Pertanggungjawaban badan hukum terlepas dari apakah orang-orang yang bertanggung jawab di dalam badan hukum tersebut berhasil di identifikasikan, dituntut dan dipidana;
f. Segala sanksi pidana dan tindakan pada dasarnya dapat dikenakan pada korporasi, kecuali pidana mati dan pidana penjara. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa di Amerika Serikat mulai dikenal dengan apa yang dinamakan corporate death
penalty dan untuk berusaha di bidang-bidang usaha tertentu dan
pembatasan-pembatasan lain terhadap langkah-langkah korporasi dalam berusaha;
g. Pemidanaan terhadap korporasi hendaknva memperhatikan kedudukan korporasi untuk mengendalikan perusahaan, melalul kebijakan pengurus atau para pengurus
91
Syahrin, Alvi, Asas-Asas dan Penegakan Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Medan : Pustaka Bangsa, 2002), hal. 13.
(corporate executive of.ficier) yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan (power of decision} dan keputusan tersebut telah diterima (accepted) oleh
korporasi tersebut.92
Di dalam UUPLH, mengenai pertanggungjawaban korporasi ditegaskan
dalam Pasal 46 ayat (1) UUPLH yang menjelaskan bahwa apabila suatu
korporasi (badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lainnya),
melakukan tindak pidana terhadap lingkungan, maka ada empat kemungkinan yang
dapat diminta pertanggungjawaban pidananya, yaitu:
a. Korporasi itu sendiri;
b. Yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana; atau
c. yang bertindak sebagai pemimpin untuk melakukan tindak pidana;
d. terhadap kedua-duanya.
Pasal 46 ayat (2) UUPLH merumuskan mengenai kapan suatu badan hukum
dapat dikatakan melakukan tindak pidana. Dan rumusan ini dapat dilihat bahwa suatu
Perseroan Terbatas, dapat dikatakan nnelakukan tindak pidana apabila dilakukan oleh
orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain, yang
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut melakukan sesuatu yang menurut
UU tersebut adalah tindak pidana.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian
Pasal 27 yang berbunyi :
92
Muladi, Prinsip-Prinsip Dasar Hukum Pidana Lingkungan dalam Kaitannya dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997, Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1998), hal. 8.
Melakukan perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban perusahan industri untuk melaksanakan keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta mencegah timbulnya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup. Karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang melanggar kewajiban perusahan industri untuk melaksanakan keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam serta mencegah timbulnya kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan hidup.
Guna menentukan siapa-siapa yang bertanggungjawab di antara
pengurus suatu Perseroan Terbatas yang melakukan tindak pidana lingkungan hidup,
maka harus ditelusuri dokumen AMDAL, izin (lisensi) dan pembagian tugas
pekerjaan dalam jabatan jabatan yang terdapat pada Perseroan Terbatas tersebut.
Penelusuran dari dokumen ini akan menghasilkan data informasi dan fakta dampak
negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha yang bersangkutan dan sejauh mana
pemantauan dan pengendalian yang telah dilakukan oleh Perseroan Terbatas
terhadap dampak tersebut.
Berdasarkan dokumen-dokumen tersebut dapat diketahui pula,
bagaimana hak dan kewajiban para pengurus Perseroan Terbatas tersebut untuk
memantau, mencegah dan mengendalikan dampak negatif kegiatan perusahaan. Dan
penelusuran inilah dapat ditentukan apakah pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup itu dilakukan secara sengaja atau kelalaian, serta dapat
ditentukan siapa-siapa dari pengurus yang dapat diminta pertanggungjawabannya.93
Untuk menetapkan suatu Perseroan Terbatas sebagai pelaku tindak pidana,
maka dapat dilihat dari :
93
a. Berpatokan pada kriteria pelaksanaan tugas dan/atau pencapaian berbagai
tujuan Perseroan Terbatas tersebut. Perseroan Terbatas dianggap sebagai pelaku
tindak pidana yang dilakukan itu masih dalam ruang lingkup pelaksanaan tugas
dan/atau pencapaian tujuannya. Hal ini juga termasuk dalam hal orang
(karyawan Perseroan Terbatas) dan secara faktuil melakukan tindak pidana
tersebut atas inisiatif sendiri dan bertentangan dengan instruksi yang diberikan dan
ini diatur dalam Pasal 55 KUHP. Namun dalam hal yang terakhir ini, tidak
menuntut kemungkinan Perseroan Terbatas mengajukan keberatan atas alasan
tiadanya kesalahan dalam dirinya.
b. Dapat dilihat dari kewenangan yang ada pada Perseroan Terbatas tersebut. Secara
faktual, Perseroan Terbatas mempunyai kewenangan untuk mengatur atau
menguasai dan/atau memerintah pihak yang dalam kenyataannya melakukan
kejahatan.
c. Dalam upaya pengelolaarn lingkungan hidup, Perseroan Terbatas mempunyai
kewajiban yang dituangkan dalam kebijakan atau langkah-langkah yang harus
diambilnya, yaitu :
d. merumuskan kebijakan di bidang lingkungan;
e. merumuskan rangkaian atau struktur organisasi yang layak (pantas) serta
menetapkan siapa yang bertanggungjawab atas pelaksanaan kebijakan
lingkungan tersebut.
f. Merumuskan instruksi/aturan-aturan internal bagi pelaksanaan aktivitas-aktivitas
pegawai-pegawai-pegawai perusahaan mengetahui dan memahami berbagai instruksi yang
diberlakukan oleh perusahaan yang bersangkutan.
g. Penyediaan sarana-sarana finansial atau menganggarkan biaya pelaksanaan
kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup.94
Jika terhadap berbagai kewajiban di atas, Perseroan Tebatas tidak atau
kurang berupaya atau kurang memfungsikan dengan baik, maka hal ini merupakan
alasan untuk mewajibkan bahwa Perseroan Tebatas tersebut kurang berupaya atau
kurang keras dalam mencegah kemungkinan dilakukannya kejahatan terhadap
lingkungan. Oleh karena itu Perseroan Tebatas tersebut harus
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2. Pertanggungjawaban Perdata Korporasi dalam Pengelolaan Lingkungan