TANGGUNGJAWAB KORPORASI DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN
A. Kewajiban Korporasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup
Kewajiban korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup tentunya
didasarkan kepada izin yang diberikan kepada korporasi dalam hal ini Perseroan
Terbatas, yaitu izin mendirikan Perseroan Terbatas dan termasuk didalamnya izin
untuk membangun dan menjalankan kegiatan operasional perusahaan tersebut.
Tanggungjawab korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup
merupakan hal penting yang harus dilakukan, dimana korporasi dapat terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam perbuatan-perbuatan melanggar hukum,
terutama di bidang lingkungan hidup. Ketentuan yang menegaskan korporasi dapat
menjadi subjek hukum dapat dilihat pada Pasal 46 UUPLH. yang menyatakan
bahwa yang dimaksud dengan badan hukum adalah satu perkumpulan yang dapat
memiliki hak-hak dan melakukan perbuatan seperti seorang manusia serta memiliki
kekayaan sendiri. Sedangkan dalam hukum pidana sering dikenal dengan istilah
korporasi yang pengertiannya lebih luas, bisa berbentuk badan hukum maupun non
badan hukum serta dapat juga dijatuhi sanksi pidana bila melakukan pencemaran dan
perusakan lingkungan hidup.
Korporasi berperan sebagai subjek dari pengelolaan lingkungan hidup
karena merupakan perusahaan-perusahaan besar yang paling banyak berperan dalam
membutuhkan media lingkungan hidup. Dalam melaksanakan aktivitasnya korporasi
memiliki 7 (tujuh) prinsip umum dalam bidang bisnis yang merupakan kewajiban
yang harus dilakukan dalam mencapai tujuan perusahaan, yang dikenal sebagai
prinsip-prinsip bisnis Caux Rond Table, yaitu:
1. Tanggung jawab bisnis: dari “shareholders” ke “stakeholders”.
2. Dampak ekonomis dan sosial dari bisnis: menuju inovasi, keadilan dan komunitas dunia.
3. Perilaku bisnis: dari hukum yang tersurat ke semangat saling percaya. 4. Sikap menghormati aturan.
5. Dukungan bagi perdagangan multilateral. 6. Sikap hormat bagi lingkungan alam.
7. Menghindari operasi-operasi yang tidak etis.70
Prinsip-prinsip ini diterapkan oleh perusahaan dalam mencapai kemakmuran
manusia itu sendiri. Berdasarkan penerapan prinsip-prinsip tersebut, perusahaan tidak
hanya perlu memperhatikan kepentingan pemilik (owner), pemegang saham
(stockholder atau shareholder) ataupun pemodal (investor) semata-mata, tetapi juga
wajib memikirkan pihak-pihak lain yang terkena dampak atas perilaku bisnis mereka,
yaitu stakeholders (masyarakat), serta perlu pula melestarikan lingkungan hidup itu
sendiri.
Hal ini tentunya berkaitan dalam menjalankan kegiatan usaha dan/atau
kegiatannya yang harus sesuai dengan maksud dan tujuan perusahaan serta tidak
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau
kesusilaan. Hal ini dikaitkan dengan ketentuan mengenai pengelolaan lingkungan
hidup yang diatur dalam Pasal 18 UUPLH menyatakan bahwa setiap usaha dan/atau
70
kegiatan yang menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup
wajib wajib memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk
memperoleh izin melakukan usaha dan/atau kegiatan yang didukung oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang AMDAL dan Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis usaha atau kegiatan yang wajib
dilengkapi dengan AMDAL.
Kemudian pada Pasal 15 UUPLH dinyatakan bahwa setiap rencana
usaha dan/atau kegiatan yang kemungkinan dapat menimbulkan dampak dampak
besar dan penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan hidup, dan kemudian diatur juga kepada Keputusan Menteri
Negara Lingkungan Hidup Nomor 17 Tahun 2001 tentang Jenis Rencana Usaha
dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan AMDAL sebagai berikut :
a. Bidang Pertahanan dan Keamanan
Secara umum, kegiatan yang berkaitan dengan aktivitas militer dengan skala besaran berikut berpotensi menimbulkan resiko lingkungan dengan terjadinya ledakan serta keresahan sosial akibat kegiatan operasional dan penggunaan lahan yang cukup luas.
b. Bidang Pertanian
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tanaman pangan, hortikultura, dan perkebunan berupa erosi tanah, perubahan ketersediaan dan kualitas air, persebaran hama, penyakit dan ghulma, serta perubahan kesehatan tanah akibat penggunaan pestisida atau herbisida. Di samping itu sering pula muncul potensi konflik sosial dan penyebaran penyakit endemik.
c. Bidang Perikanan
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan usaha budidaya tambak udang, ikan, dan pembangunan pelabuhan perikanan adalah perubahan ekosistem perairan dan pantai, hidrologi dan bentang alam. Pembukaan hutan mangrove akan berdampak terhadap habitat, jenis dan kelimpahan dari tumbuh-tumbuhan dan hewan yang berbeda di kawasan tersebut.
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap ekosistem hutan, hidrologi, keanekaragaman hayati, hama penyakit, benteng alam dan potensi konflik sosial.
e. Bidang Kesehatan f. Bidang Perhubungan g. Bidang Teknologi Satelit. h. Bidang Perindustrian.
Kegiatan bidang perindustrian pada umumnya menimbulkan pencemaran air, udara, tanah, gangguan kebisingan, bau dan getaran. Beberapa jenis industri menggunakan air dengan volume sangat besar, yang diperoleh baik dari sumber air tanah ataupun air permukaan. Penggunaan air ini berpengaruh terhadap sistem hidrologi sekitar. Berbagai potensi pencemaran, gangguan fisik dan gangguan pasokan air tersebut di atas menimbulkan dampak sosial.
i. Bidang Prasarana Wilayah
Kegiatan pembangunan dan pengadaan prasarana wilayah umumnya berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat. Potensi konflik yang timbul sangat berkaitan dengan tingkat kepadatan pennduduk karena umumnya membutuhkan lahan yang luas dan seringkali mengubah tata guna lahan.
j. Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral. k. Bidang Pariwisata.
Pada umumnya dampak penting yang ditimbulkan adalah gangguan terhadap ekosistem, hidrologi, bentanb alam dan potensi konflik sosial.
l. Bidang Pengembangan Nuklir.
m. Bidang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)
Kegiatan yang menghasilkan limbah B3 berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan dan kesehatan manusia, terutama kegiatan yang dipastikan akan mengkonsentrasikan limbah B3 dalam jumlah besar. Kegiatan-kegiatan ini juga secara ketat diikat dengan perjanjian internasional (konvensi Basel) yang mengharuskan pengendalian dan penanganan yang sangat seksama dan terkontrol.
Kewajiban korporasi dalam pengelolaan lingkungan hidup jika dilihat dalam
UUPT hanya terdapat pada satu pasal saja tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
dan itupun dengan melakukan penafsiran, yaitu dari bunyi Pasal 2, yang berbunyi
bahwa selain diatur dalam UUPT juga tersebar dalam sejumlah peraturan
perundang-undangan tersebut adalah berkaitan dengan sinkronisasi peraturan UUPT
terhadap UUPLH baik secara horizontal maupun vertikal.
Kerangka acuan secara vertikal tentunya mengacu kepada
ketentuan-ketentuan pokok yang termuat dalam UUPLH yang berfungsi sebagai payung hukum
(umbrella act) bagi penyusunan peraturan perundang-undangan lainnya yang
berkaitan dengan lingkungan hidup dan bagi penyesuaian peraturan
perundang-undangan yang telah ada.
Sedangkan sinkronisasi secara horizontal mengacu kepada ketentuan yang
mengatur tentang kewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan yang terkait
erat dengan UUPT dan UUPLH serta peraturan perundang-undangan lain seperti
Undang-undang Pasar Modal, Undang-undang HAM dan lain-kain.
Dalam UUPT ada sebuah teori dalam hukum perusahaan yang disebut
dengan teori penyingkapan tirai perusahaan (pierching the corporate veil). Penerapan
teori ini mempunyai misi utama, yaitu untuk mencapai keadilan, khususnya bagi
pihak ketiga dengan pihak perusahaan mempunyai hubungan hukum tertentu.71
Karena itu pula maka UUPT mengakui teori ini dengan membebankan
tanggungjawab kepada pihak-pihak sebagai berikut :
1. Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak pemegang saham.
2. Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak direksi
3. Beban tanggungjawab dipindahkan ke pihak komisaris.
71
Fuady, Munir, Hukum Perusahaan dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung : Citra Aditya, 1999), hal. 61.
Terhadap tanggungjawab yang dipindahkan kepada pemegang saham dapat
dikategorikan dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal 7 ayat (4) UUPT. Dan beban untuk
direksi menurut UUPT dapat diterapkan dengan memakai teori pierching the
corporate veil. Tanggungjawab Direksi karena penerapan teori tersebut dilakukan
dalam hal-hal sebagai berikut :
a. Direksi tidak melaksanakan fiduciary duty kepada perseroan;
b. Perusahaan belum dilakukan pendaftaran dan pengumuman;
c. Dokumen perhitungan tahunan tidak benar;
d. Direksi bersalah dan menyebabkan pailit
e. Permodalan yang tidak layak;
f. Perseroan beroperasi secara layak.72
Dalam korporasi atau perusahan, para anggota direksi dan komisaris sebagai
salah satu organ vital dalam badan hukum tersebut merupakan pemegang amanah
(fiduciary) yang harus berperilaku sebagaimana layaknya pemegang kepercayaan.
Disini komisaris dan direktur memiliki posisi fiducia dalam pengurusan perusahaan
dan mekanisme hubungannya harus dilakukan secara fair.73
Menurut pengalaman common law hubungan itu dapat didasarkan pada teori
fiduciary duty.74 Hubungan fiduciary duty tersebut didasarkan atas kepercayaan dan
72
Fuady, Munir, Op Cit, hal. 23.
73
Nasution, Bismar, Kejahatan Korporasi dan Pertanggungjawabannya, Makalah disampaikan di jajaran Kepolisian Daerah Sumatera Utara, bertempat di Tanjung Morawa, tanggal 27 April 2006.
74
Teori fiduciary duty adalah suatu kewajiban yang ditetapkan undang-undang bagi seseorang yang memanfaatkan seseorang lain, dimana kepentingan pribadi seseorang yang diurus oleh pribadi lainnya yang sifatnya hanya hubungan atasan-bawahan sesaat. Orang mempunyai kewajiban ini harus melaksanakannya berdasarkan suatu standar dan kewajiban yang paling tinggi sesuai dengan yang
kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran ini meliputi, ketelitian
(scrupulous) itikad baik (good faith), dan keterusterangan (candor). Dalam memahami
hubungan pemegang kepercayaan (fiduciary relationship) tersebut, common law
mengakui bahwa orang yang memegang kepercayaan (fiduciary) secara natural
memiiiki potensi untuk menyalahgunakan wewenangnya. Oleh sebab itu hubungan
pemegang kepercayaan tersebut harus didasarkan kepada standar yang tinggi.
Negara-negara common law seperti Amerika Serikat yang telah mempunyai
standar yang jelas untuk menentukan apakah seorang direktur dapat dimintai
pertanggungjawabannya dalam tindakan yang diambilnya, yaitu didasarkan pada
standar duty of loyality dan duty of care. Kewajiban utama dan direktur adalah
kepada perusahaan secara keseluruhan bukan kepada pemegang saham baik secara
individu maupun kelompok. Sesuai dengan posisi seorang direktur sebagai sebuah
trustee dalam perusahaan. Posisi ini mengharuskan seorang direktur untuk tidak
bertindak ceroboh dalam melakukan tugasnya (duty o f care).75 Selain itu dalam
melakukan tugasnya tersebut seorang direktur tidak boleh mengambil keuntungan
untuk dirinya sendiri atas perusahaan (duty of loyalty). Pelanggaran terhadap kedua
prinsip tersebut dalam hubungannva dengan Fiduciary Duty dapat menyebabkan
dinyatakan oleh hukum. Sedangkan fiduciary ini adalah seseorang yang memegang peran sebagai suatu wakil (trustee) atau suatu peran yang disamakan dengan sesuatu yang berperan sebagai wakil, dalam hal ini peran tersebut didasarkan kepercayaan dan kerahasiaan (trust and confidence) yang dalam peran rni meliputi, ketelitian (scrupulous); itikad baik (good faith); dan keterusterangan (candor). Fiduciary ini termasuk hubungan seperti, pengurus atau pengelola, pengawas, wakil atau wali, dan pelindung (guardian). Henry Campbell Black, Black's Law Dictionary, hal. 625.
75
Keenan, Denis & Biscare, Josephine; Smith & Keenan's Company Law for Students,(Financial Times, Pitman Publishing,1996), hal. 317.
direktur untuk dimintai pertanggungjawaban hukumnya secara pribadi terhadap
perbuatan yang dilakukannya, baik kepada pemegang saham maupun kepada
pihak lainnya.76
Doktrin atau prinsip fiduciary duty ini dapat dijumpai dalam Pasal 179
ayat (1) yaitu, pengurusan PT dipercayakan kepada Direksi. Lebih jelasnya
Pasal 82 UUPT menyatakan bahwa Direksi bertanggungjawab penuh atas
pengurusan perseroan untuk kepentingan dan tujuan perseroan serta mewakili
perseroan baik di dalam maupun di luar pengadilan. Sedangkan Pasal 85
UUPT menetapkan bahwa setiap anggota Direksi wajib dengan itikad baik dan
penuh tanggungjawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha
Perseroan. Pelanggaran terhadap hal ini dapat menyebabkan Direksi
bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau
lalai menjalankan tugasnya tersebut.
Dalam konteks Direktur, sangat penting untuk mengontrol perilaku dan
para direktur yang mempunyai posisi dan kekuasaan besar dalam mengelola
perusahaan, termasuk menentukan standar perilaku (standar or conduct) untuk
melindungi pihak-pihak yang akan dirugikan apabila seorang direktur berperilaku
tidak sesuai dengan kewenangannya atau berperilaku tidak jujur.
Untuk membebankan pertanggungjawaban terhadap direktur atau pengurus
korporasi, maka harus dibuktikan adanya pelanggaran terhadap kekuasaan
76
Lipton, Philip dan Herzberg, Abraham, Understanding Law, (Brisbane : The Book Law Company Ltd, 1992), hal. 342.
kewajiban kewenangan yang dimilikinya. Pengurus korporasi dalam hal ini harus
dapat dibuktikan telah melanggar good faith yang dipercayakan padanya dalam
menjalankan korporasi atau perusahaan sebagaimana diatur dalam prinsip
fiduciary duty.
Jika dihubungkan dengan identification theory dalam Wacana common
law sebagaimana telah diuraikan di atas, kesalahan yang dilakukan oleh anggota
direksi atau pejabat korporasi lainnya hanya dapat dibebankan pada korporasi jika
memenuhi syarat, yaitu :
1. Tindakan yang dilakukan oleh mereka berada dalam batas tugas atau instruksi yang diberikan pada mereka,
2. Bukan merupakan penipuan yang dilakukan terhadap preusan.
3. Dimaksudkan untuk menghasilkan atau mendatangkan keuntungan bagi korporasi. Dengan kata lain, jika salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka kesalahan tersebut tidak dapat dipikul oleh korporasi, namun harus dipikul secara pribadi oleh organ korporasi yang melakukan tindakan tersebut.77
Kemudian setiap Perseroan Terbatas yang sahamnya telah go public akan
mematuhi ketentuan didalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Pasar
Modal. Dari ketentuan didalam UU Pasar Modal di dalam Pasal 1 angka 25
dinyatakan bahwa :
“Perusahaan Publik adalah perseroan yang sahamnya telah dimiliki
sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor
sekurang-kurangnya 3.000.000.000,00 (tiga milyar rupiah) atau statu jumlah
pemegang saham dan modal yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.”
77
Berbagai peraturan pasar modal mempersyaratkan perusahaan-perusahaan
yang menawarkan saham mereka untuk dijual kepada publik harus menyatakan
informasi dengan keterbukaan yang penuh, bersih dan benar.78 Karena merupakan
syarat mutlak dan konsekuensi dari perusahaan yang go public. Keterbukaan
merupakan syarat karena perusahaan publik harus memenuhi prinsip keterbukaan,
dan merupakan konsekuensi karena semua informasi material perusahaan publik
dapat dengan mudah diketahui oleh masyarakat umum termasuk para pesaing di
dalamnya.79
Namun peraturan pelaksanaan prinsip keterbukaan belum mengatur
secara menyeluruh dan cukup berkenaan dengan perlindungan lingkungan hidup.
Peraturan yang berkenaan dengan perlindungan lingkungan hidup di pasar
modal masih merupakan ketentuan-ketentuan yang bersifat administratif.
Upaya Bapepam untuk meningkat pelaksanaan prinsip keterbukaan berkenaan
dengan masalah perlindungan lingkungan hidup dapat dimulai dari amanat Pasal 6
UUPLH. Amanat UUPLH tersebut merupakan upaya menjaga hak setiap orang untuk
memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak atas informasi
lingkungan hidup dan hak untuk berperan dalam rangka pengelolaan
lingkungan hidup. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UUPLH. Kemudian
Pasal 43 ayat (2) UUPLH mengatur sanksi bagi siapa yang dengan sengaja
78
Fuady, Munir, Pasar Modal Modern, (Jakarta : Citra Aditya Bakti, 2001), hal. 80.
79
Kretarto, Agus, Investor Relations, Pemasaran dan Komunikasi Keuangan Perusahaan Berbasis Kepatuhan, (Jakarta : Grafiti Perss, 2001), hal. 75.
memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau merusak informasi yang
diperlukan.
Dengan demikian keterbukaan perlindungan lingkungan hidup oleh
Perseroan Terbatas disampaikan kepada investor sepanjang masalah lingkungan
hidup tersebut mengandung fakta materil.80 Dan peraturan pelaksanaan prinsip
keterbukaan masalah perlindungan lingkungan hidup di Pasar Modal Indonesia
belum cukup untuk mengatasi masalah perlindungan lingkungan hidup.
Begitu juga tentang perlindungan konsumen di bidang lingkungan hidup
tidak diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, karena telah diatur dalam UUPLH
mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan
hidup, serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup.81
Dalam usaha untuk memahami hubungan antara pembangunan dan tindakan
pemerintah untuk melindungi lingkungan hidup, harus dapat dibedakan antara
peraturan-peraturan mengenai produksi dan peraturan-peraturan mengenai proses
produksi. Untuk membedakan hal ini berdasarkan beberapa alasan berikut ini, yaitu :
1. Hubungan antara perdagangan, persaingan dan variasi peraturan-peraturan perlindungan lingkungan dalam lingkup nasional amat berbeda untuk kedua konteks tersebut. Dalam hubungannya dengan peraturan mengenai produksi, negara yang menganut standar yang relatif ketat dapat mencegah beberapa akibat yang merugikan dalam persaingan industri mereka dengan pembatasan persaingan impor. Dalam hal standar untuk proses produksi negara yang menganut standar
80
Nasution, Bismar, Perlindungan Lingkungan Hidup Melalui Pasar Modal, Dalam 75 Tahun Koesnadi Hardjasoemantri , (Jakarta :, Program Pascasarjana, FH UI, 2001), hal. 370.
81
Widjaja, Gunawan, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : Gramedia Pustaka Umum, 2000), hal. 22.
yang lebih ketat tidak dapat secara unilateral menetralisir ketidakberuntungan industri mereka dalam persaingan internasional.
2. Agar lebih mudah bagi negara-negara untuk mengharmonisasikan peraturan-peraturan mengenai produksi proses produksi, sehingga karena negara-negara mempunyai insentif ekonomi yang lebih kuat untuk melaksanakannya.82
Kemudian dalam rangka menanggulangi masalah pencemaran yang
dilakukan oleh Perseroan Terbatas, ada beberapa hal yang dapat dilakukan, yaitu
mempercayai mekanisme pasar, campur tangan pemerintah dengan mengeluarkan
peraturan dan/atau pelarangan-pelarangan, bahkan pemerintah dapat menerapkan
pajak atau subsidi untuk pengelolaan lingkungan, juga dapat diterapkan standar
kualitas lingkungan, tarif-tarif limbah dan sebagainya.
Karena itu, konsep dalam mendirikan sebuah Perseroan Terbatas tidak
cukup hanya mempertimbangkan perbandingan biaya-keuntungan (cost-benefit
ratio) saja, atau mekanisme pasar saja, tetapi juga harus memperhitungkan
ongkos-ongkos sosial yang timbul (social cost).
Dengan demikian dalam menjalankan kegiatan Perseroan Tebatas harus
melakukan ketentuan mengenai instrumen ekonomi dalam pengelolaan
lingkungan hidup, karena pemberian insentif dan disinsentif, merupakan
konsekuensi logis dari hak atas lingkungan yang baik dan sehat dan adanya
kewajiban bagi setiap orang untuk memelihara lingkungan hidup guna mencegah
dan menanggulangi kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan.
82
Rajagukguk, Erman, Perlindungan Lingkungan Hidup dari Sudut Kepentingan Bisnis, Dalam 75 Tahun Hardjasoemantri, Koesnadi, (Jakarta : Program Pascasarjana FH UI, 2000), hal. 304.
Oleh karena itu, Perseroan Terbatas dalam menjalankan aktivitasnya agar
terjadi keseimbangan harus memperhatikan faktor lingkungan, analisis biaya
keuntungan tradisional tidak lagi memadai, maka harus menggantinya dengan suatu
konsep analisis yang memperhitungkan ongkos-ongkos sosial, yakni ongs-ongkos
yang timbal di luar mekanisme pasar tradisional.
Jika terjadi pelanggaran dalam memberikan izin harus mengandung
klausula yang membebankan tanggungjawab moral bagi Perseroan Tebatas untuk
mempertanggungjawabkan akibat-akibat yang ditimbulkan bersifat strict liability.
Jadi PT harus membuat social cost tersendiri untuk mengantisipasi jika terjadi
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Social cost diperlukan untuk
mengantisipasi jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan terjadi, karena dengan
adanya social cost maka pihak perusahaan dapat dengan segera menyelesaikannya
terjadinya sengketa lingkungan hidup yang mengendaki adanya ganti kerugian.
Kemudian sebagai kewajiban dalam rangka perwujudan tanggungjawab PT
dalam pengelolaan lingkungan hidup adalah wajib melakukan audit lingkungan.
Pelaksanaan audit lingkungan ini akan memberikan manfaat atau keuntungan, baik
secara langsung maupun tidak langsung terutama dalam kaitannya terhadap
kelangsungan operasional dan Perseroan Terbatas dalam jangka panjang.
Dalam melaksanakan audit lingkungan terhadap Perseroan Tebatas dalam
tanggungjawabnya terhadap pengelolaan lingkungan hidup harus memperhatikan
Segala tindakan, kegiatan dan perlindungan hidup didasarkan kepada
peningkatan kesejahteraan dan mutu hidup manusia, sehingga diperlukan
pembangunan yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya alam,
menjadi jaminan bagi kesejahteraan serta mutu hidup generasi kini maupun
generasi masa depan.83
B. Bentuk Pertanggungjawaban Hukum Korporasi Dalam Pengelolaan