• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA

C. Alasan Boleh Tidaknya Penggunaan Surat Kuasa Mutlak Dalam

Beli yang diikuti dengan Kuasa Mutlak masih sering dipakai dikarenakan alasan: 88

1. Pihak penjual hendak menunda kewajiban untuk membayar PPh (Pajak Penghasilan) kepada negara sebanyak 5% NJOP apabila NJOP-nya melebihi nilai Rp. 60.000.000 keatas sebelum Akta Jual Beli ditandatangani, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1996.

2. Menunda kewajiban Pihak pembeli untuk membayar lebih dahulu BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) kepada negara sebesar 5% x NJOP Rp. 30.000.000,-. Apabila NJOP melebihi harga Rp. 30.000.000,- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997.

Aspek lain yang menentukan menjadi alasan Perikatan Jual Beli masih digunakan (selalu diikuti dengan kuasa mutlak tentunya) :89

1. Pengecekan bersih sertifikat di Kantor Pertanahan memakan waktu lama tidak ada efisiensi waktu.

2. Pihak penjual sangat membutuhkan uang tunai segera, pembeli sangat membutuhkan objek jual beli segera menjadi miliknya.

3. Pembeli membeli objek jual beli tidak dipakai untuk diri sendiri tetapi dijadikan sebagai investasi untuk dijual kembali dengan mendapat keuntungan besar yang diharapkan.

4. Pembayaran jual beli tersebut dilakukan tidak lunas dan sekaligus, tetapi secara bertahap sesuai perjanjian awal yang telah mereka sepakati.

5. Masyarakat sangat keberatan khususnya pihak penjual/pembeli menaruh keberatan atas nilai jual objek pajak yang tertera di SPPT PBB karena nilainya jauh di atas rata-rata harga pasar.

6. Karena pembeli tidak berani membayar kepada penjual harga tanah/bangunan sebelum penjual menandatangani Akta Jual Beli PPAT.

7. Penjual tidak diperkenankan menandatangani akta jual beli yang definitif sebelum kewajiban pajak yang terhutang yaitu PPh dibayar lebih dulu.

8. Notaris/PPAT dilarang untuk menandatangani Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebelum PPh dan BPHTB dibayar lebih dulu. Jika ini dilanggar maka Notaris/PPAT terkena sanksi.

88 Chairani Bustami, Op,cit. hlm.96.

89 Ibid, hlm.97.

Dalam praktek dan kenyataannya di masyarakat, tidak jarang terjadi suatu keadaan dimana si pemilik hak atas tanah (calon penjual) yang sertifikat tanah haknya belum terbit atau belum terdaftar atas namanya yang mungkin disebabkan oleh karena: 90

1. Masih dalam proses permohonan hak (persertifikatan).

2. Masih dalam proses balik nama menjadi ke atas namanya yang timbul sehubungan dengan adanya pemindahan/peralihan hal, atau

3. Masih terikat sebagai jaminan atas suatu hutang.

Akan tetapi yang bersangkutan bermaksud untuk menjual tanah hak tersebut dan ada orang (calon pembeli) yang mungkin berkeinginan untuk membeli tanah hak tersebut dari calon penjual meskipun (calon) pembeli mengetahui bahwa sertifikat tanah hak yang bersangkutan masih terkendala sebagaimana yang disebutkan di atas sehingga tidak memungkinkan dibuat dan ditandatanganinya Akta Jual Belinya.

Guna mengatasi hal tersebut, maka dibuatlah suatu perjanjian pengikatan jual beli sebagai suatu perjanjian pendahuluan untuk sementara, menantikan dipenuhinya syarat untuk perjanjian pokok yaitu jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang untuk membuatnya.

Perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah dipenuhi. Tentu saja para pihak setelah

90 Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Ali, pada tanggal 2 Juni 2017.

syarat untuk jual beli telah dipenuhi dapat datang kembali untuk melaksanakan jual belinya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akan tetapi ada kemungkinan bahwa calon penjualnya berhalangan untuk datang kembali melaksanakan penandatanganan akta jual belinya.

Banyak orang yang hendak datang untuk membuat perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya jual beli itu, dikarenakan dikemudian harinya pihak penjual dikhawatirkan tidak dapat datang untuk membuat jual belinya sendiri dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.91

Suatu pemberian kuasa tidak selalu memberikan kewenangan untuk mewakili pemberi kuasa. Ada kemungkinan dimana kuasa tidak merupakan bagian dari

Guna mengatasi hal tersebut, maka pembeli diberi kuasa untuk dapat melakukan jual belinya sendiri baik mewakili calon penjual maupun dirinya sendiri selaku calon pembeli untuk dapat mewakili secara umum hak-hak kepengurusan atas tanah tersebut selama belum dilakukan jual beli dihadapan pejabat yang dimaksud. Hal mana perlu diingat, bahwa adanya kemungkinan calon penjual tidak berada di tempat untuk melakukan tindakan hukum yang masih merupakan kewajiban tersebut.

Kuasa-kuasa demikian diberikan dengan ketentuan bahwa kuasa mana tidak dapat ditarik kembali dan kuasa mana baru berlaku apabila syarat tangguh atas jual belinya tidak dipenuhi. Suatu perjanjian pemberi kuasa pada umumnya merupakan suatu perjanjian sepihak, dimana kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja yaitu pada penerima kuasa.

91 Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Lindawani, pada tanggal 24 Mei 2017.

pemberi kuasa, tetapi dapat pula dalam pemberian kuasa tersebut diberikan pula wewenang untuk mewakili. Apabila wewenang tersebut diberikan berdasarkan perjanjian pemberian kuasa, terjadilah perwakilan yang bersumber pada perjanjian.

Pada umumnya penerima kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum adalah untuk kepentingan pemberi kuasa, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa.

Menurut Pasal 1814 KUHPerdata, “pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika hal ini yang terjadi maka akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa dalam hal ini calon pembeli dalam pengikatan jual beli hak atas tanah sangat dirugikan”. Pemberi kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian maka pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari isi perjanjian tersebut yang tanpa adanya kuasa tersebut maka kepentingan penerima kuasa akan sangat dirugikan.

Oleh karena itu pemberian kuasa dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut harus diberikan syarat yang tidak dapat ditarik kembali. Menurut Asser-Scholten-Bregstein : “Hal tidak boleh dicabut (karena itu perwakilan yang jika perlu bahkan berlawanan dengan kehendak yang diwakili) adalah mungkin jika perwakilan tersebut merupakan bahagian dari suatu perjanjian lain yang lebih luas rangkumannya, perwakilan itu dapat berlangsung terus selama perjanjian tersebut masih berjalan.”92

92Ali Sofyan Husein, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 92.

Maka dapat dipertanyakan disini dasar hukum mengenai syarat tidak dapat ditarik kembali dalam kuasa mutlak dapat diperjanjikan kembali oleh para pihak atau dicabut kembali. Pemberian surat kuasa mutlak tidak diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, namun diakui keberadaannya di dalam lalu lintas bisnis dimasyarakat yang oleh beberapa putusan Hakim.93

1. Syarat kuasa tidak dapat ditarik kembali diperjanjikan dengan tegas.

Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan Undang-Undang mengenai perjanjian menganut sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak. Berarti, bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian mengenai apa saja, dengan siapa saja serta memakai syarat dan bentuk yang bebas ditentukan oleh para pihak sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang dan hal tersebut akan mengikat pihak-pihak yang membuat sebagai Undang-Undang. Selain bersifat terbuka, ketentuan Undang-Undang dalam bidang hukum perjanjian juga bersifat mengatur dan tidak memaksa.

Pemberian kuasa mutlak adalah merupakan suatu perikatan yang muncul dari perjanjian, yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang mengakui adanya kebebasan berkontrak, dengan pembatasan bahwa perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus dilandasi dengan itikad baik. Dengan demikian pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali adalah sah apabila :

2. Kuasa diberikan untuk kepentingan penerima kuasa dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian.

93Harifin A. Tumpa, Op,cit. hlm.37.

3. Pemberian kuasa tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang dan Yurisprudensi.

4. Pemberian kuasa tersebut dilandasi dengan itikad baik.

Di samping adanya kuasa tidak dapat ditarik kembali, perlu ditambahkan pula adanya kuasa tidak akan berakhir karena dasar atau sebab yang tercantum dalam Undang-Undang untuk mengakhiri suatu kuasa. Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa beding tersebut bersifat sangat penting mengingat adanya pailissemen atau kematian dari pemberi kuasa atau penerima kuasa, maka kekuasaan tersebut akan berakhir. Demikian pula mengingat bahwa kuasa sedemikian itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian dan adalah tujuan dari pihak-pihak bahwa pemberian kuasa akan terus berlangsung selama perjanjian itu berlaku tidak dapatlah kuasa tersebut ditarik kembali atau berakhir karena meninggalnya si pemberi kuasa.

Pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali sering disalahartikan dan dianggap identik dengan kuasa mutlak. Sebelum membahas lebih lanjut tentang kuasa mutlak ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai perjanjian dengan asas kebebasan berkontrak. Seringkali masyarakat banyak salah mengartikan tentang apa itu kebebasan berkontrak, padahal kebebasan berkontrak itu bukanlah kebebasan tanpa batas.

Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ridwan Khairandy, yang menyatakan bahwa terdapat banyak kritikan atau keberatan terhadap kebebasan berkontrak dan dalam perkembangannya kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah point penting yang harus diperhatikan sebagai pembatasan terhadap

kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan.94

94Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI Pasca Sarjana, 2003,hlm.27.

Maka kuasa mutlak memang menganut sistem kebebasan berkontrak dan bersifat terbuka, tetapi terdapat batasan-batasan yang dianut yang tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban dan kepatutan serta peraturan hukum yaitu perundang-undangan dan Yurisprudensi yang membatasi kuasa mutlak tersebut.

Pada tanggal 6 Maret 1982 keluar Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, yang ditujukan ke semua Gubernur, Bupati, agar melarang Camat dan Kepala Desa atau pejabat yang setingkat dengan itu membuat dan menguatkan pembuatan surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Instruksi tersebut juga melarang pejabat-pejabat Agraria untuk melayani status hak tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak sebagai bahan pembuktian pemindahan hak atas tanah. Meskipun Instruksi tersebut bersifat intern departemental namun efeknya dirasakan sangat meluas keluar. Timbul semacam dilema pada pihak-pihak yang tugasnya sehari-hari melibatkan dirinya dalam masalah tanah, termasuk Notaris/PPAT. Dikhawatirkan akan menimbulkan kemacetan dalam pengurusan dokumen-dokumen tanah.

Kemudian keluar kembali Surat Direktur Jendral Agraria Nomor 594/1492/AGR Tanggal 31 Maret 1982 yang memuat ketentuan sebagai berikut :

“Penggunaan kuasa yang tidak termasuk sebagai Kuasa Mutlak yang dilarang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tersebut adalah:

1. Penggunaan kuasa penuh yang dimaksud dalam Pasal 3 blanko akta jual beli yang bentuk aktanya ditetapkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1961.

2. Penggunaan kuasa penuh sebagai dicantumkan dalam perjanjian Ikatan Jual Beli yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris.

3. Penggunaan kuasa untuk memasang hipotek yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris. Dan penggunaan kuasa-kuasa lain yang bukan dimaksudkan sebagai pemindahan hak atas tanah”.

Perjanjian pengikatan jual beli harus dibuat dihadapan seorang Notaris dengan akta Notaris untuk memberikan kepastian bahwa kuasa tersebut benar diberikan dalam rangka suatu perjanjian untuk melangsungkan jual beli dan bukan perjanjian mengenai pemindahan hak yang terselubung. Jadi, yang dilarang untuk kuasa mutlak ini adalah penggunaan kuasa mutlak yang dimaksudkan sebagai upaya pemindahan hak milik atas tanah dengan maksud-maksud terselubung. Dalam hal kuasa disini masih diperlukan untuk perjanjian pengikatan jual beli, hanya saja bentuknya dalam praktek Notaris/PPAT belum tentu bersifat mutlak.

Kuasa mutlak masih dapat diberlakukan sepanjang kuasa mutlak tersebut bukanlah untuk pemindahan hak dan hak atas tanah. Kuasa mutlak masih dapat diberlakukan sepanjang kuasa mutlak tersebut tidak untuk pemindahan hak atas

tanah, beliau melihat kuasa mutlak ini dari sudut pandang yang sempit. Jadi menurut beliau segala kuasa mutlak yang berkenaan dengan tanah adalah dilarang.95

1. Pembayaran atas jual beli tersebut telah dilunasi oleh pihak pembeli kepada pihak pertama, dan pihak pertama telah menerima sertifikat pernbayaran tersebut, tertulis) akan tetapi (syarat formal sebagai bukti pemilikan yang sah sesuai dengan UUPA, masih dalam proses permohonan hak, dan permohonan tersebut sudah sampai pada Kanwil Pertanahan;

Dapat terlihat bahwa sepanjang kuasa mutlak bukan bersifat pemindahan hak atas tanah yang mempunyai maksud-maksud terselubung, kuasa mutlak ini masih dapat diberlakukan. Sebab-sebab mengapa dipilihnya perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dengan suatu pernbuatan Akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, yang dapat dikatagorikan menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu :

2. Pembayaran atas jual beli tersebut belum dilunasi oleh pihak pembeli dengan angsuran karena sertifikat sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah belum terpenuhi;

3. Pembayaran atas jual beli dilakukan dengan angsuran, meskipun sertifikat sudah ada dan sudah atas nama pihak pertama.

Pemberian kuasa mutlak disini harus tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan, Dalam hal ini mengenai perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah, khususnya perbuatan hukum jual beli, yaitu peraturan perundangan agraria.

Pelaksanaan dalam praktek, mengenai klausul kuasa mutlak dalam akta perjanjian pengikatan jual beli yang merupakan tindakan awal sebelum dibuatnya akta jual beli, dalam hal ini telah ditegaskan bahwa jual beli yang dimaksud dalam hukum tanah nasional kita dan perjanjian pengikatan jual beli sudah jelas mempunyai makna yang berbeda, mungkin tujuannya adalah sama, yaitu bahwa pihak pembeli

95 Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Ali, pada tanggal 2 Juni 2017.

akan menerima obyek jual beli dan memiliki hak atasnya sebagai seorang pemilik yang sah.96

Tindakan yang diambil oleh Notaris atau PPAT, berdasarkan pertimbangan bahwa PPAT-Notaris selain sebagai pejabat pembuat akta tanah juga sebagai penasehat hukum, rnaka alternatif-alternatif tindakan dapat ditempuh, tentunya tetap berada pada garis-garis yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berkaitan.97

Dasarnya manusia dilahirkan sama hak-haknya, mencintai kebebasan dan mempunyai kecenderungan untuk menguasai yang lain apabila tidak dikendalikan.

Kuasa mutlak merupakan kuasa yang permasalahannya sekarang, bagaimana dengan Intinya dari dibuatnya perjanjian pengikatan jual beli dengan perjanjian pemberian kuasa mutlak, padahal hakekatnya ingin melindungi pihak pembeli/pihak kedua. Dengan perkataan lain dalam posisi apapun pemberi kuasa dalam hal ini penjual selalu dirugikan dan dalam kondisi yang lemah. Kondisi seperti ini wajar dapat timbul, karena merupakan akibat dari adanya azas kebebasan membuat perjanjian. Perlu diketahui bahwa dalam perkembangannya ternyata kebebasan berkontrak dapat mendatangkan ketidakadilan karena prinsip ini hanya dapat mencapai tujuannya, yaitu mendatangkan kesejahteraan seoptimal mungkin, bila para pihak memiliki bargaining power yang seimbang. Dalam kenyataannya hal tersebut sering tidak terjadi demikian.

96 Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Ali, pada tanggal 2 Juni 2017.

97 Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Lindawani, pada tanggal 24 Mei 2017.

kepentingan pemberi kuasa, karena dalam praktek pemberian kuasa mutlak tersebut selalu dihubungkan dengan hak pembeli untuk mengambil barang atau obyek dalam perjanjian.

Mengenai permasalahan ini, kepentingan dari pihak penjual berkaitan dengan hak-haknya, dalam kelompok ini sudah terpenuhi, yang tinggal hanya kepentingan dan hak-hak dari pihak pembeli/pihak kedua. Dengan demikian wajarlah kalau pihak penjual memberikan jaminan atau pengamanan atas apa yang harus dilakukan oleh pihak pembeli, sehingga obyek jual beli (tanah) dapat dibalik nama keatas pihak pembeli/pihak kedua.

Mengenai tindakan apa yang boleh atau tidak boleh untuk dilakukan oleh pihak pembeli/pihak kedua, yaitu bahwa kuasa tersebut hanya meliputi tindakan pengurusan, bahwa tindakan pemilikannya hanya kepada pihak kedua sendiri, tidak boleh ada substitusi kepada pihak lain; sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa pihak pembeli dapat bertindak dalam dua kapasitas yaitu pertama sebagai pihak penjual berdasarkan akta PPJB tersebut dan kedua sebagai pihak pembeli sendiri, dalam hal ini tindakan pemilikan yang dimaksud adalah diberi hak substitusi untuk apabila perlu memindahkan/mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak kedua (Pembeli) sendiri.

Pembuatan Akta Jual Beli dicantumkan mengenai kuasa mutlak, dapat berakibat timbulnya berbagai konflik. Adapun konflik tersebut dapat berupa :98

98 Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Lindawani, pada tanggal 24 Mei 2017.

1. Ketidakseimbangan hak dan kewajiban dari para pihak. Seperti diterangkan diatas, bahwa pemberian kuasa mutlak ditujukan untuk kepentingan pihak penerima kuasa dalam hal ini pihak pembeli. Permasalahannya sekarang bagaimana dengan kepentingan pihak penjual, dimana ia belum menerima semua haknya, sedang pihak pembeli dengan kekuatan kuasa yang diterimanya dapat melakukan segala tindakan terhadap obyek perjanjian dalam perbuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli tersebut. Bagaimana apabila pihak pembeli tidak dapat memenuhi kewajibannya melunasi pembayaran atas obyek jual beli tersebut, hal ini dapat merugikan pihak penjual;

2. Penyalahgunaan klausul pemberian kuasa yang yang tidak dapat dicabut kembali. Dengan kekuatan pemberian kuasa, walaupun penerima kuasa belum melunasi pembayaran atas jual beli tersebut, dapat melakukan tindakan pemilikan dan tindakan pengurusan tanpa persetujuan dan pemberi kuasa dalam hal ini penjual, dan ini sangat merugikan pihak penjual, karena pihak penjual tidak dapat berbuat apa-apa. Dan hal ini merupakan perbuatan melanggar hukum dan menerima kuasa karena telah melampaui batas-batas kuasanya. Tindakan yang diambil oleh seorang Notaris dan PPAT dalam menangani peralihan hak atas tanah, berdasarkan pertimbangan, bahwa selain sebagai pejabat pembuat akta tanah juga sebagai penasehat hukum.

Pelaksanaan dalarn praktek, pada saat menghadapi kasus-kasus tersebut, sebagai penasehat hukum, memberikan alternatif-alternatif tindakan yang dapat ditempuh adalah sebagai berikut :99

1. Agar segera melunasi pembayarannya atau melunasi utangnya yang nantinya diperhitungkan sebagal harga jual tanah tersebut. Setelah sertifikat diperoleh, maka keduanya datang menghadap kepada PPAT-Notaris untuk melakukan transaksi jual beli.

2. Agar menunggu sertifikat terbit atas nama pihak penjual, kemudian keduanya datang menghadap ke PPAT/Notaris untuk melakukan transaksi Akta Jual Beli.

3. Dengan menunggu sertifikat diperoleh atas nama pihak penjual (sertifikat dalam proses permohonan hak dan sudah sarnpai kanwil Pertanahan), maka dilakukan perbuatan hukum dengan membuat akta Perjanjian Pengikatan Jual Beli, dengan syarat pembayaran sudah dilunasi. Disinilah terlihat peran PPAT-Notaris terhadap kasus-kasus yang dihadapi, tentunya tetap memperhatikan dan segi positif maupun negatif, karena tindakan

99 Hasil wawancara dengan Notaris/PPAT Ali, pada tanggal 2 Juni 2017.

yang diarnbilnya sekarang, tidaklah selesai sampai disitu saja, tatapi dapat pula berakibat dimasa mendatang.

Mengenai tindakan yang diambil berupa pembuatan akta perjanjian pengikatan jual beli, harus memperhatikan hak dan kewajiban kedua belah pihak (penjual dan/pembeli), peraturan perundangan yang berlaku, serta semua syarat-syarat dan pertimbangan pertimbangan yang telah dijelaskan diatas. Terutama dalam hal ini mengenai penggunaan pemberian kuasa mutlak sebagai klausul dalam akta tersebut. Mengenai akta perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat oleh seorang notaris, tentunya seorang Notaris harus menghindari hal-hal yang dapat merugikan para pihak karena setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak selalu ada kemungkinan berpotensi konflik, karena itu seorang Notaris harus memperhatikan syarat-syarat materiil maupun formil dalam pembuatan aktanya, supaya Akta yang dibuatnya dapat berlaku dan sebagai bukti yang autentik.

Dasar Akta perjanjian pengikatan jual beli tersebut, seorang PPAT melaksanakan kewenangannya dalam membuat Akta jual beli yang mana hal tersebut merupakan tindak lanjut dan perbuatan hukum perjanjian pengikatan jual beli, yang mana hal tersebut sebagai syarat untuk memenuhi ketentuan dan Pasal 37 dan Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, dan hal ini dalam praktek sering terjadi.

Kuasa Mutlak yang tidak diperbolehkan dilarang penggunaannya terhadap pemindahan hak atas tanah tapi ada kuasa mutlak yang diperbolehkan yaitu Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT). Surat Kuasa Mebebankan Hak

Tanggungan (SKMHT) tidak boleh memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum yang lain selain kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam hal pemberian Hak Tanggungan dilakukan melalui SKMHT maka kuasa yang diberikan tersebut tidak dapat ditarik kembali dan tidak dapat berakhir oleh sebab apapun kecuali kuasa tersebut telah dijalankan atau telah habis jangka waktunya. Surat kuasa yang tidak dapat ditarik kembali dan tidak hapus oleh sebab apapun, (bahkan dengan meninggalnya di pemberi kuasa), kecuali telah dilaksanakannya kuasa dan karena telah habis jangka waktunya, disebut dengan kuasa mutlak. SUM

Jangka waktu perjanjian kredit terdapat dalam masa berlaku perjanjian pokok sehingga misalnya perjanjian kredit berjangka waktu 1 (satu) tahun maka SKMHT untuk kredit tersebut berlaku untuk jangka waktu 1 (satu) tahun. Dalam jangka waktu yang telah ditentukan sebagaimana tersebut di atas, SKMHT harus diikuti dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT), jika dalam waktu tersebut SKMHT belum berubah menjadi APHT maka SKMHT batal demi hukum, artinya SKMHT dianggap tidak pernah ada.100

100Adi Krisna, APHT, SKMHT dan Pinjaman Kredit,

http://notariatuns.adikrisna.com/i/52/apht-skmht-dan-pinjaman-kredit, html, diakses pad tanggal 2 Agustus 2017.

BAB IV

DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR PERKARA 104 K/TUN/2013

DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR PERKARA 104 K/TUN/2013