• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEBERADAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM

B. Keberadaan Surat Kuasa Mutlak Dalam Peraturan Perundang-

3. Surat Kuasa Mutlak Menurut Putusan Mahkamah Agung

Dampak sebuah surat kuasa mutlak adalah pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasanya dari penerima kuasa. Kuasa Mutlak dikenal dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung (MA), antara lain pada :

1. Putusan Mahkamah Agung : Tanggal 16 Desember 1976 Nomor 731 K/Sip/

1975

2. Putusan Mahkamah Agung : Tanggal 17 Nopember 1987 Nomor .3604 K/

Pdt/1985 : yang menegaskan kembali norma yang terdapat dalam putusan di atas

Inti dari putusan di atas adalah : Surat kuasa mutlak tidak dijumpai aturannya didalam KUHPerdata, namun demikian Putusan Mahkamah Agung mengakui keberadaannya sebagai suatu kebutuhan hukum.

Putusan Mahkamah Agung tanggal 16 Desember 1976 Nomor 731 K/Sip/1975 yang berbunyi “Dengan demikian maka jual beli tersebut diatas meskipun dilakukan oleh yang diberi kuasa tersebut selaku penjual dengan ia sendiri sebagai pembeli adalah sah menurut hukum (rechtsgelding) dan tidak batal”. Putusan Mahkamah Agung Tanggal 16 Desember 1976 No.731 K/Sip/1975 telah menegaskan bahwa ketentuan Pasal : 1813 KUHPerdata, tidak bersifat limitatif dan tidak mengikat; oleh karena itu, jika sifat perjanjian memang menghendaki, dapat ditentukan pemberian kuasa mutlak tidak dapat dicabut kembali.

Surat kuasa mutlak dibuat berdasarkan atas prinsip kebebasan berkontrak yang diatur dalam pasal 1338 KUHPerdata. Asas ini mengajarkan, para pihak bebas mengatur persetujuan yang mereka kehendaki sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan :64

1. Hukum dan perundang-undangan, 2. Moral, kepatutan, kesusilaan dan agama, 3. Kepentingan umum (van openbare orde).

Pemberian kuasa yang tidak dapat dicabut kembali adalah sah apabila perjanjian yang menjadi dasar dari pemberian kuasa tersebut mempunyai alas hukum yang sah.

Ketentuan dalam KUHPerdata yang terkait adalah Pasal 1813 KUHPerdata :

“Pemberian kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa penerima kuasa; dengan pemberitahuan penghentian kuasanya oleh penerima kuasa; dengan meninggalnya, pengampuan atau pailitnya, baik pemberi kuasa maupun penerima kuasa dengan kawinnya perempuan yang memberikan atau menerima kuasa.” Pendirian ini didasarkan pada ajaran hukum adalah bersifat mengatur.

Demikian juga mengenai meninggalnya pemberi kuasa dikaitkan dengan surat kuasa mutlak, telah diterima penerapannya diIndonesia sebagai janji/syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan/kebiasaan yang lazim berlaku didalam

64 Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001, hlm. 84.

golongan tertentu, hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 1339 dan 1347 KUHPerdata.

Pasal 1339 KUHPerdata : “Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan didalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.”

Pasal 1347 KUHPerdata: “Syarat-syarat yang selalu diperjanjikan menurut kebiasaan, harus dianggap telah termasuk dalam persetujuan, walaupun tidak dengan tegas dimasukkan dalam persetujuan.”

Sisi lain Instruksi Menteri dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Melarang PPAT memberi kuasa mutlak dalam Transaksi Jual Beli Tanah yakni: “Kuasa mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa; Kuasa mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan mempergunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya”.

Meskipun larangan ini hanya dalam bentuk Instruksi Menteri, dalam konstelasi peraturan perundang-undangan tergolong salah satu bentuk hukum positif yang mengandung aturan hukum publik yang bertujuan mengatur ketertiban umum dalam kegiatan transaksi jual beli tanah. Hal ini untuk menghindari penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa untuk pemindahan hak atas tanah dengan menggunakan bentuk kuasa mutlak Sehingga secara konkrit pemberi kuasa boleh ya

atau boleh tidak dalam memberikan kuasa Mutlak, tergantung rasa percaya penuh dan mutlak atau tidak kepada si penerima Kuasa, dengan tetap mengindahkan Instruksi Menteri dalam Negeri diatas.

Ketentuan Instruksi Menteri Dalam Negeri tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah telah dicabut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Perundang-undangan mengenai Pertanahan dan dibuat Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 30/PJ/2014 tentang Pengawasan Atas Transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau melalui Jual Beli.

Sehubungan dengan banyaknya transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atas bangunan melalui jual beli yang atas tanah yang belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli, perlu untuk diberikan penegasan terhadap penghasilan atas transaksi tersebut.

Penetapan surat edaran ini dimaksudkan untuk memberikan acuan dalam rangka pengawas tanah dan/atau bangunan melalui jual beli yang dilakukan oleh wajib pajak pemegang hak penandatanganan Akta Jual Beli. Penetapan surat edaran ini bertujuan agar pengawasan atas transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau oleh wajib pajak pemegang hak atas tanah yang belum dilakukan penandatangan Akta Jual Beli keseragaman dalam pelaksanaannya.

Ruang Lingkup surat edaran Direktur Pajak ini meliputi Wajib Pajak yang melakukan pengalihan hak beli yang belum dilakukan penandatanganan Akta Jual Beli. Surat Edaran Direktur Pajak Nomor SE-30/PJ/2013 tentang Pelaksanaan Pajak

Penghasilan Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang usaha tanah dan/atau Bangunan dan Penentuan Jumlah Bruto Nilai Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan. Berdasarkan kondisi yang terjadi dilapangan terdapat transaksi-transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah terhadap Pengikatan Jual Belinya masih berupa Perjanjian Pengikatan Jual Beli.65

Pelaksanaan surat edaran ini dapat berjalan dengan baik, dengan ini para:

Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan melalui jual beli yang dilakukan atas tanah dan/atau bangunan, baik langsung dilakukan melalui penandatanganan Akta Pengikatan Jual Beli Tanah dan/atau bangunan antara penjual dengan sebagaimana Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau bangunan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1994 tentang pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah.

66

1. Kepala Kantor Wilayah diminta untuk melakukan pengawasan, sosialisasi, dan koordinasi Surat Edaran ini dilingkungan wilayah masing-masing.

2. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dan Kepala Kantor Pelayanan, Penyuluhan dan Konsultasi pengawasan terhadap transaksi Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau bangunan diwilayah kerja masing-masing.

Jika kita berfikir konkrit, kebanyakan surat kuasa mutlak biasanya lahir dari atau akibat dari perjanjian yang telah diadakan sebelumnya, dan bisa jadi muncul

65 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-30/PJ/2014, tentang Pengawasan Atas Transaski Pengalihan Hak Atas dan/atau Bangunan Melalui Jual Beli, hlm.1.

66 Ibid, hlm.2.

dalam kondisi si-pemberi kuasa dalam keadaan terjepit atau tidak memiliki pilihan lain. Misalkan, seorang debitur meminjam uang kepada kreditur disertai dengan objek jaminan. Ketika debitur pailit tidak bisa bayar hutang, maka dalam kondisi terjepit, si debitur bisa saja “menyerah” kepada kreditur, untuk memberikan kuasa mutlak menjual, mengalihkan, menghibahkan dan lain sebagainya yang tujuannya agar hutang debitur lunas terhadap kreditur.

BAB III

PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT

A. Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT 1. Jenis-Jenis Akta PPAT

a. Akta Jual Beli

Akta jual beli dibuat oleh PPAT manakala terjadi kesepakatan perjanjian jual beli terhadap sebidang hak milik atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun antara Pihak Penjual dengan Pihak Pembeli. Dalam perjanjian jual beli adanya pertukaran hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Akibat hukum yang terjadi dengan ditandatanganinya Akta Jual Beli adalah bahwa sejak saat itulah hak atas tanah menjadi milik pembeli dan uang yang dibayarkan oleh pembeli menjadi milik penjual. Pertukaran kepemilikan antara penjual dan pembeli tersebut terjadi bersamaan pada saat ditandatanganinya Akta Jual Beli.67

Pada blanko Akta Jual Beli mengharuskan harga jual beli sudah dibayar lunas pada saat ditandatanganinya Akta tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa peralihan hak atas tanah bukan terjadi pada saat sertipikat hak atas tanah sudah berganti nama menjadi nama pembeli, melainkan pada saat ditanda tanganinya Akta Jual Beli. Atas hal tersebut maka, tentunya pembeli sudah boleh menikmati sepenuhnya apa yang dibelinya sebagai miliknya sendiri.

67 Mustofa, Tuntunan Pembuatan Akta-Akta PPAT, Yogyakarta: Karya Media, 2011, hlm.26.

Akta Jual Beli yang dibuat oleh PPAT ini termasuk dalam jenis Partij Acte (Partai Akta) yang mana akta tersebut dibuat oleh para pihak dihadapan PPAT, bukan PPAT yang membuat berdasarkan kewenangan yang ada padanya, oleh karenanya PPAT hanya menuangkan apa yang dijelaskan dan diakui oleh para pihak ke dalam akta yang dibuatkannya. Atas kebenaran yang disampaikan oleh para pihak adalah tanggung jawab para pihak itu sendiri bukan tanggung jawab PPAT. 68

b. Akta Hibah

Akta Hibah dibuat oleh PPAT manakala terjadi perbuatan hukum dimana Pihak Pertama memberikan suatu hak atas tanah kepada Pihak Kedua secara cuma-cuma. yang dimaksud cuma-cuma disini berarti tanpa adanya pembayaran, sehingga dalam Akta Hibah tidak terdapat pencantuman harga seperti pada akta jual beli. Pada praktik sehari-hari seringnya ditemui bahwa akta hibah paling banyak dibuat atas permintaan orang tua yang ingin menghibahkan hak atas tanah kepada anak atau cucunya, hibah kepada seseorang yang tidak mempunyai hubungan darah sama sekali jarang ditemui dalam praktik. Namun, dalam hibah biasanya juga terdapat risiko, guna menghindari risiko tersebut atau setidaknya untuk mengecilkan kemungkinan tuntutan hukum dikemudian hari maka, biasanya dlam praktik pembuatan Akta PPAT sebaiknya meminta tambahan persyaratan yaitu pernyataan dari calon ahli waris pemberi hibah yang menyatakan bahwa mereka mengetahui serta menyetujui hibah tersebut sehingga berjanji tidak akan

68Ibid, hlm.27.

menuntut apapun dikemudian hari. Jenis hak atas tanah yang dapat dibuatkan Akta Hibah oleh PPAT sama seperti pada Akta Jual Beli.

c. Akta Tukar Menukar

Akta tukar menukar dibuat oleh PPAT manakala terjadi kejadian dimana ada 2 (dua) orang yang sama-sama memiliki sebidang hak atas tanah satu sama lain menginginkan untuk saling menukar hak atas tanah yang mereka miliki sehingga keduanya dapat menghadap PPAT untuk membuat akta tukar menukar.

Maka, dalam hal ini dapat disimpulkan dalam perjanjian tukar menukar adanya pertukaran antara hak milik atas tanah dengan hak atas tanah.69

d. Akta Pemasukan Dalam Perusahaan (APDP)

Akta Pemasukan Dalam Perusahaan dapat dibuat manakala ada seseorang yang ingin memiliki sejumlah saham yang dikeluarkan dari portofolio Perseroan Terbatas (PT) dengan cara menyetorkan / menyerahkan hak atas tanah miliknya untuk menjadi milik Perseroan Terbatas maka, yang disetorkan untuk menjadi milik Perseroan Terbatas bukanlah uang, melainkan adalah hak atas tanah.70

Dengan ditandatanganinya akta pemasukan dalam perusahaan maka, sejak saat itulah tanah tersebut menjadi milik Perseroan Terbatas akta tersebut tetap harus didaftarkan ke kantor pertanahan setempat guna dicatatkan kepemilikannya. Demikian juga, dengan saham yang diperoleh atas pemasukan

69Ibid, hlm.28.

70 Ibid, hlm.29.

tersebut harus dilaporkan ke Kementerian Hukum dan HAM untuk dicatatkan kepemilikannya. Dalam akta ini terdapat persamaan dengan akta tukar menukar yaitu dalam satu blanko akta dapat memuat untuk beberapa bidang tanah sekaligus yang ditukarkan dengan saham. Atas beberapa bidang tanah tersebut pun dapat untuk dibeberapa wilayah kerja PPAT yang berbeda-beda.

e. Akta Pembagian Hak Bersama (APHB)

Pembuatan Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) tidak selalu diikuti dengan pemecahan tanah. Akta Pembagian Hak Bersama (APHB) dibuat manakala ada sebidang tanah yang kepemilikannya adalah milik bersama dari beberapa orang, kemudian akan dibuat menjadi milik satu orang atau lebih (namun jumlah pemiliknya menjadi lebih sedikit daripada jumlah pemilik semula).71

1) Peristiwa hukum, misalnya saja : karena terjadinya pewarisan dan karena terjadinya perkawinan.

Namun, yang nantinya jadi pemilik hak atas tanah tersebut adalah termasuk pemilik semula.

Kepemilikan atas tanah tersebut dapat terjadi karena :

2) Karena keinginan bebas dari mereka yang ingin bersama-sama memiliki hak atas tanah.

f. Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)

Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) adalah Akta PPAT yang memuat mengenai pemberian Hak Tanggungan kepada Kreditur sebagai jaminan untuk pelunasan piutangnya. APHT tidak selalu didasarkan atau didahului dengan

71Ibid, hlm.29.

pembuatan SKMHT. APHT adalah perjanjian asesoir/ikutan, yang merupakan perjanjian pokok adalah Perjanjian Hutang atau Perjanjian lain yang menimbulkan hubungan utang piutang.72 Biasanya dalam praktik sehari-hari perjanjian hutang dapat berwujud dan berjudul : Perjanjian Kredit, Perjanjian Hutang Pengakuan Hutang atau judul yang lainnya.73

Bila para pihak telah saling sepakat untuk membuat APHT namun dalam perjanjian pokoknya tidak ada perjanjian untuk itu maka jalan keluarnya adalah dengan membuat akta perubahan atas Perjanjian Pokok yang isinya menambah satu (atau lebih) pasal tentang adanya janji pemberian Hak Tanggungan sebagai Perjanjian APHT merupakan perjanjian antara pemberi hak tanggungan yang dalam hal ini belum tentu adalah Debitur, dengan penerima hak tanggungan yang dalam hal ini adalah Kreditur dalam Perjanjian Kredit. Karena APHT adalah perjanjian assesoir maka PPAT baru dapat dan boleh membuatkan APHT bila perjanjian pokoknya sudah dibuat. PPAT yang bersangkutan harus memastikan bahwa perjanjian pokok telah ditandatangani oleh Debitur dan Kreditur sebelum dibuatnya APHT, terutama bila perjanjian tersebut dibuat dibawah tangan. PPAT dilarang untuk membuatkan APHT apabila dalam perjanjian pokok tidak ada janji untuk itu, walaupun antara para pihak telah saling setuju. Hal ini karena telah diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.

73Ibid, hlm.30.

jaminan pelunasan hutang debitur, setelah itu barulah PPAT dapat membuatkan APHT nya.

APHT merupakan akta yang mengakibatkan timbulnya pembebanan bukan hak atas tanah, bukan dan tidak menyebabkan terjadinya peralihan hak. Adapun janji-janji yang dibuat dalam APHT, antara lain:

1) Janji yang membatasi kewenangan pemberi hak tanggungan untuk menyewakan obyek hak tanggungan,

2) Janji yang memberi kewenangan kepada pemegang hak tanggungan untuk mengelola obyek hak tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri,

3) Janji bahwa pemegang Hak tanggungan pertama (peringkat pertama) mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri obyek hak tanggungan apabila debitur cedera janji,

4) Janji bahwa pemberi hak tanggungan akan mengosongkan obyek hak tanggungan pada waktu eksekusi hak tanggungan.

g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan

Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik dapat dibuat manakala apabila ada kehendak dari seorang pemilik tanah dengan status hak milik untuk memberikan hak guna bangunan/hak pakai kepada orang lain yang meminta diterbitkannya Hak Guna Bangunan/Hak Pakai diatas tanah hak milik nya tersebut. Dengan dibuatnya dan ditandatanganinya akta tersebut maka, sejak saat itulah muncul HGB/Hak Pakai didalam kawasan tanah hak milik, namun

tanah hak milik tersebut masih tetap ada. Sehingga atas hal tersebut setelah sertipikatnya didaftarkan di kantor Pertanahan setempat terbitlah 2 (dua) sertipikat yaitu seripikat Hak Milik (sebagai kepemilikan awal) dan sertipikat HGB/ Hak Pakai atas tanah hak milik. Kepemilikan atas HGB/Hak Pakai tersebut tidak kekal seperti kepemilikan hak milik. Atas kepemilikan HGB/Hak Pakai tersebut hanya bersifat sementara (memiliki jangka waktu) dimana kepemilikan hanya sepanjang waktu yang diperjanjikan dalam akta Pemberian hak.74

Jadi untuk melakukan suatu perbuatan hukum atas tanah harus menggunakan Akta PPAT dan perbuatan peralihan hak tanpa menggunakan Akta PPAT bukan berarti perbuatannya tidak sah atau batal melainkan untuk proses administrasi pendaftaran peralihan haknya tidak dapat dilayani oleh kantor pertanahan kabupaten/kota setempat karena sesuai Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997. Akan tetapi tidak semua perbuatan peralihan tanah harus dibuatkan Akta PPAT terdapat juga peralihan tanah yang surat atau aktanya dibuat oleh pejabat lain yang dapat dipergunakan sebagai alas hak untuk mencatatkan peralihan hak atas tanah seperti :

Atas kepemillikan HGB/Hak Pakai diatas tanah Hak Milik tersebut tidak dapat diperpanjang melainkan hanya dapat diperbaharui dengan cara membuat akta pemberian HGB/Hak Pakai yang baru dihadapan PPAT. Mengenai hal tersebut maka, pajak PPH dan BPHTB yang dikenakan pun sama seperti pertama kali dibuatnya akta tersebut.

74 Ibid, hlm.31.

1) Akta ikrar wakaf yang dibuat oleh PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) pada Pasal 76 ayat 1 i PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997.

2) Risalah lelang yang dibuat oleh Pejabat Lelang pada Pasal 108 PMNA/KBPN No.3 tahun 1997.

3) Surat penetapan waris yang dibuat oleh Pejabat yang berwenang antara lain seperti : Hakim lembaga peradilan, Pejabat catatan sipil, Notaris, Camat, Lurah. Pada Pasal 111 PMNA/KBPN No. 3 tahun 1997.

2. Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT dan Akibat Hukumnya

Pemberian kuasa adalah perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerima, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.75

Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma, kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir, upahnya tidak ditentukan dengan tegas, maka si kuasa tidak boleh minta upah yang lebih dari pada yang ditentukan dalam Dapat juga dikatakan, kuasa adalah wewenang yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, yang terikat adalah orang yang diwakilinya itu, asal saja antara orang yang bertindak dan yang diwakilinya terdapat suatu hubungan hukum. Bila seseorang menyatakan bertindak untuk dan atas nama orang lain, maka yang terikat adalah orang lain itu (orang yang diwakilinya itu).

Isi Kuasa adalah menyelenggarakan suatu urusan. Yang dimaksud dengan menyelenggarakan suatu urusan adalah melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai suatu akibat hukum.

75 Pasal 1792 KUHPerdata.

Pasal 411 KUHPerdata untuk seorang wali.76

76 Pasal 1794 KUHPerdata.

Ketentuan pasal ini tidak menggambarkan kenyataan, misal seorang pengacara, baru mau mewakili kepentingan kliennya jika jelas mengenai berapa imbalan/upahnya.

Kalau yang dilakukan itu membuat/menutup suatu perjanjian, maka si pemberi kuasalah yang menjadi pihak dalam perjanjian itu. Dengan demikian pemberian kuasa menerbitkan perwakilan, yaitu adanya seseorang yang mewakili oarng lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan dapat lahir dari suatu perjanjian dan ada juga dilahirkan oleh undang-undang, misalnya, mewakili anak di bawah umur. Kekuasaan/wewenang yang diberikan untuk melakukan perbuatan hukum atas nama orang lain itu dinamakan power attorney. Tidak semua perbuatan hukum dapat dikuasakan. Yang tidak dapat dikuasakan itu adalah yang sangat erat hubungannya dengan pribadi seseorang, misal membuat surat wasiat, memberikan suara dalam rapat anggota suatu perkumpulan.

Si Kuasa tidak boleh melakukan sesuatu apapun yang melampaui kuasanya (wewenangnya yang diberikan). Akibat dari tindakannya melampaui batas wewenang yang diberikan kepadanya adalah menjadi tanggungannya sendiri. Si Pemberi kuasa dapat menuntut ganti rugi kepada penerima kuasa, bila tindakannya yang melebihi batas kuasa itu mendatangkan rugi baginya. Begitu pula si pemberi kuasa dapat menggugat secara langsung orang dengan siapa si kuasa bertindak dalam kedudukannya dan menuntut dari padanya pemenuhan perjanjian.

Kuasa dapat diberikan dan diterima dalam suatu akta umum, dalam suatu tulisan di bawah tangan bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerima suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh penerima kuasa.

Berkenaan dengan kuasa mutlak itu, pada tanggal 31 Maret 1982, dikeluarkanlah Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 14 Tahun 1982, tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Dasar pertimbangan dari larangan tersebut adalah bahwa penyalahgunaan hukum yang mengatur pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan hak atas tanah secara terselubung dengan menggunakan bentuk kuasa mutlak, adalah salah satu bentuk perbuatan hukum yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan tanah, sehingga karenanya perlu untuk segera dicegah.77

Pencegahannya itu dilakukan dengan dikeluarkannya peraturan seperti disebutkan pada diktum pertama yang berisi instruksi yang melarang Camat dan Kepala Desa atau pejabat setingkat dengan itu untuk membuat atau menguatkan pembuatan Surat Kuasa Mutlak, yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah kecuali hal itu juga dilarang pejabat agraria untuk melayani penyelesaian hak atas tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak sebagai pembuktian hak atas tanah.78

77Haripin A Tumpa, Surat Kuasa Mutlak, Varia Peradilan No. 142, Juli 1997, hlm.132.

78 Ibid, hlm.133.

Namun demikian perlu diperhatikan, bahwa pemberian kuasa tersebut hanya meliputi tindakan pengurusan saja dan hal ini tersirat pada Pasal 1792 KUHPerdata dan ditegaskan pada Pasal 1797 KUHPerdata bahwa si penerirna kuasa tidak boleh melakukan sesuatu apapun yang melampaui batas kuasanya. Maksudnya disini adalah bahwa penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh si pemberi kuasa dalarn hal ini adalah pemilik/pemegang haknya. Sedangkan jika dikaitkan dengan Pasal 1813 KUHPerdata tentang berakhirnya pemberian kuasa menyebutkan pemberian kuasa berakhir :

a. Dengan ditariknya kembali kuasanya si penerima kuasa;

b. Dengan pernberitahuan penghentian kuasanya oleh si penerima kuasa;

c. Dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya sipemberi kuasa maupun si penerima kuasa;

c. Dengan meninggalnya, pengampuannya, atau pailitnya sipemberi kuasa maupun si penerima kuasa;