• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

G. Metode Penelitian

4. Analisis Data

Dalam pelaksanaannya, penelitian pedoman wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan PPAT.

Penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisi data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan.39

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

40

Dalam penelitian ini, langkah yang pertama kali dilakukan adalah mengumpulkan data dari bahan hukum primer yaitu berupa putusan perkara, data tersebut kemudian diklarifikasikan sesuai dengan masalah pokok yang diteliti dan diolah kemudian disajikan dengan cara membandingkan dengan konsep-konsep yang

38 Ibid, hlm.137.

39 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2001, hlm.106.

40 Lexy J. Moleong.Metode Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hlm.3.

ada pada bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku dan literatur lainnya.41 Terhadap data tersebut kemudian dilakukan pembahasan dengan membandingkan teori-teori atau aturan-aturan yang mengaturnya, sehingga analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara kualitatif yang artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar. Sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan metode berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum, seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus sehingga diharapkan dapat menjawab semua permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini.42

41 Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Jambi : Mandar Maju, 2008, hlm.174.

42 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm.112

BAB II

KEBERADAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

A. Tinjauan Tentang Surat Kuasa 1. Pengertian Kuasa

Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang mempunyai hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak dapat melakukan perbuatan itu sendiri. Hal tersebut dapat disebabkan karena perbenturan kepentingan pada waktu yang sama atau kurangnya pengetahuan seseorang terhadap seluk beluk pengurusan sesuatu yang menjadi kepentingannya.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, diperlukan jasa orang lain untuk membantu menyelesaikan suatu kepentingan atas nama dari orang yang meminta bantuannya. Dari kenyataan ini terlihat, adanya perwakilan, dimana seseorang melakukan suatu pengurusan suatu kepentingan tetapi bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain yaitu pemilik kepentingan yang sebenarnya.

Dalam bahasa hukum, perwakilan ini disebut juga dengan nama pemberian kuasa.

Pemberian kuasa sudah biasa dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari walaupun dilakukan dalam cara yang sangat sederhana dan tanpa ada perjanjian tertulis. Pasal 1792 KUHPerdata memberikan pengertian pemberian kuasa sebagai berikut : “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Menyelenggarakan suatu urusan yang dimaksud adalah melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Bahwa apa yang dilakukan itu adalah atas tanggungan si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa.43

Pemberian kuasa sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1792 KUHPerdata, adalah persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa; guna melakukan perbuatan/tindakan untuk dapat “atas nama” si pemberi kuasa. Dari pengertian yang tersebut, sifat pemberian kuasa tiada lain dari pada mewakili atau perwakilan.44 Pemberian kuasa itu menerbitkan

“perwakilan”45

1. Pemberian kuasa tersebut merupakan suatu perjanjian;

, yaitu adanya seorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti ini ada yang dilahirkan oleh Undang-Undang dan ada oleh suatu perjanjian.

Ketentuan Pasal 1792 KUHperdata maka dapat diambil kesimpulan bahwa unsur dari pemberian kuasa adalah :

2. Adanya penyerahan kekuasaan atau wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa;

3. Adanya perwakilan, yaitu seseorang mewakili orang lain dalam mengurus suatu kepentingan.

43R.Subekti ,Op.cit, hlm.141.

44M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm.306.

45R.Subekti ,Op.cit, hlm.141.

Aspek yang perlu diperhatikan dari batasan tersebut di atas bahwa pemberian kuasa harus berupa “menyelenggarakan suatu urusan”, dalam arti melakukan suatu perbuatan hukum tertentu yang akan melahirkan akibat hukum tertentu karena perbuatan hukum itulah yang bisa dikuasakan kepada orang lain. Dalam pemberian kuasa, orang yang telah diberikan kepadanya kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum maka apa yang dilakukannya dalam pengurusan adalah atas nama orang yang memberikan kuasa.

2. Jenis-Jenis Surat Kuasa

Pasal 1793 KUHPerdata menyatakan dari cara pemberian kuasa dapat diberikan dan diterima, yaitu dengan memakai:

1. Akta Umum

Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta otentik.

Adapun yang dimaksud dengan Akta Otentik, dinyatakan dalam Pasal 1868 KUHPerdata :

“Suatu Akta Otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat”

2. Tulisan Dibawah Tangan

Pemberian kuasa dengan surat dibawah tangan adalah pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya surat pemberian kuasa itu diletakkan didalam suatu surat diatas segel dan hanya dibuat oleh para

pihak tanpa melalui seorang pejabat umum pemberian kuasa ini. Dengan kekuatan pembuktiannya terletak pada segi pengakuan saja, kalau diakui maka akan menjadi bukti yang sempurna, namun apabila disangkal maka orang yang mempergunakannya harus membuktikan kebenarannya. Tulisan dibawah tangan ini apabila didaftarkan atau dicatat pada pejabat umum/Notaris dapat ditingkatkan menjadi akta otentik.

3. Sepucuk Surat

Pemberian kuasa yang diberikan dengan cara surat biasa adalah surat tidak diatas segel yang juga memuat persetujuan yang dinyatakan antara si pemberi kuasa dengan si penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

4. Lisan

Pemberian kuasa yang dilakukan dengan diucapkan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa dan selanjutnya pemberian kuasa ini diterima baik oleh penerima kuasa.

5. Secara Diam-Diam

Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.

Pasal 1795 KUHPerdata menyatakan dari sifat perjanjiannya, maka pemberian kuasa dapat dengan cara, yaitu :

1. Pemberian Kuasa Khusus

Pasal 1795 KUHPerdata menyatakan : “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa”46

Pemberian kuasa secara khusus ini berisi tugas tertentu.Pemberi kuasa hanya menyuruh si kuasa untuk melaksanakan suatu atau beberapa hal tertentu saja contohnya hanya untuk menjual sebuah rumah, atau untuk menggugat seseorang tertentu saja.47

2. Pemberian Kuasa Umum

Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal.

Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut Pasal 123 HIR.

Pemberian kuasa umum yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa yang isi atau substansi luasnya bersifat umum dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.

Pasal 1796 ayat (1) KUHPerdata menyatakan :

“Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan”48

46 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 1795.

47 M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm.309.

48 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 1796 ayat (1).

Menurut Pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu:

1. Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;

2. Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;

3. Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanyalah meliputi perbuatan dan pengurusan kepentingan pemberi kuasa

Segi hukum dari kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan yang disebut beherder atau manager untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa.

Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab sesuai dengan ketetntuan Pasal 123 HIR untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa khusus.49

3. Pemberian Kuasa Istimewa

Pasal 1796 KUHPerdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa, selanjutnya ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.50

49 Ibid, hlm.6.

50 Ibid, hlm.7.

a. Bersifat Limitatif

Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi, pada dasarnya pembuatan kuasa tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi dapat diwakilkan kepada penerima kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, hanya terbatas :

1) Untuk memindahkan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut;

2) Untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga;

3) Untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.

b. Harus berbentuk akta otentik

Menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah. R. Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik dan pendapatnya diterima secara umum oleh praktisi hukum. Oleh karena itu, agar pemberian kuasa istimewa sah menurut hukum harus dibuat dalam

bentuk akta notaris. Dalam akta itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan kuasa.51

4. Pemberian Kuasa Perantara

Kuasa Perantara disebut juga agen (Agent). Kuasa ini dikontruksi berdasarkan Pasal 1792 KUHPerdata dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen tetapi lazim disebut “perwakilan dagang”. Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai memberi perintah kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga dan yang dilakukan agen langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.

Kuasa menurut hukum maksudnya, Undang-Undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan tersebut tanpa memerlukan surat kuasa.

Ada beberapa kuasa menurut hukum yang dapat bertindak mewakili kepentingan orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari orang atau badan tersebut : 52

1. Wali terhadap anak dibawah umur.

2. Kurator atas orang yang tidak waras.

3. Orang tua terhadap anak yang belum dewasa.

4. BHP sebagai kurator kepailitan.

5. Direksi perusahaan perseroan badan hukum.

6. Direksi perusahaan perseroan (Persero).

7. Pimpinan perwakilan perusahaan asing.

8. Pimpinan cabang perusahaan domestik.

51 Ibid, hlm.8.

52 Ibid, hlm.9.

B. Keberadaan Surat Kuasa Mutlak Dalam Peraturan Perundang- Undangan Yang Berlaku

1. Surat Kuasa Mutlak Menurut KUHPerdata

Hukum yang dihasilkan dalam praktek bisnis sehari-hari yang dilakukan adalah keberadaan surat kuasa mutlak (irrevocable power of attorney). Dasar hukum surat kuasa di Indonesia adalah Pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pengaturan mengenai surat kuasa mutlak ini. Dampak sebuah surat kuasa mutlak adalah pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasanya dari penerima kuasa. Biasanya sebuah surat kuasa akan dianggap sebagai surat kuasa mutlak dengan dicantumkan klausula bahwa pemberi kuasa akan mengabaikan Pasal 1813 jo. Pasal 1814 KUHPerdata mengenai cara berakhirnya pemberian kuasa.

Menurut kedua pasal itu, kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa dari penerima kuasa, pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa, meninggal, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun penerima kuasa, dan penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Pencantuman klausula yang mengabaikan kedua pasal itu, maka pemberi kuasa menjadi tidak dapat lagi menarik kembali kuasanya tanpa kesepakatan pihak penerima kuasa. Dasar pemikiran yang mendukung pengabaian Pasal 1813 jo Pasal 1814 KUHPerdata adalah karena hukum perdata memiliki prinsip sebagai hukum pelengkap atau aanvullen recht. Selain itu tentu saja prinsip inti dari semua perjanjian, yaitu asas konsensualisme, dan asas kebebasan berkontrak.

Banyak sekali contoh pemberian surat kuasa mutlak, terutama dalam transaksi bisnis. Misalnya dalam hubungan hutang piutang, dimana debitur menjaminkan tanah atau bangunan miliknya untuk diletakan hak tanggungan, sedangkan pihak kreditur merasa belum perlu untuk meletakkan hak tanggungan itu. Lazimnya agar tetap merasa aman kreditur akan meminta kuasa untuk meletakkan hak tanggungan atas tanah dan bangunan debitur yang tidak dapat dicabut kembali.

Salah satu bentuk lex mercatoria yang sudah menjadi hukum kebiasaan sehari-hari dalam bisnis, seharusnya praktek pembuatan surat kuasa mutlak tidak perlu dipertanyakan lagi. Bunyi Pasal 1792 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

“Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”.

Berdasarkan ketentuan itu, maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa adalah adanya persetujuan, yang berisi pemberian kekuasaan atau kepada orang lain dimana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Dengan tetap berpegangan pada unsur-unsur itu, maka dapat disimpulkan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa terjadi hubungan seperti layaknya atasan dan bawahan, karena penerima kuasa harus menjalankan tugas dari pemberi kuasa. Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasapun juga mutlak berasal dari dirinya. Mustahil pemberi kuasa dapat melimpahkan kekuasaan yang merupakan milik orang lain.

Kekuasaan pemberi kuasa adalah mutlak, maka dirinya juga memiliki kebebasan penuh untuk mencabut kekuasaan tersebut dari penerima kuasa. Memang masih dimungkinkan pemberi kuasa memperjanjikan untuk tidak menarik kembali kuasa yang telah diberikan. Namun tetap saja praktek semacam ini kedengarannya sangat janggal, karena ada sebuah kekuasaan yang berasal dari pemberi kuasa namun dia tidak diperbolehkan untuk menarik kembali kekuasan tersebut.

Pencantuman persetujuan dari pemberi kuasa untuk mengabaikan Pasal 1813 dan Pasal 1814 KUHPerdata adalah praktek yang tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. Memang benar sebagai hukum pelengkap, maka ada beberapa pasal dalam KUHPerdata yang dapat diabaikan. Namun penyimpangan itu hanya berlaku untuk Pasal-Pasal tentang perjanjian dalam buku III KUHPerdata, itupun tidak semua pasal boleh diabaikan begitu saja. Sedangkan ketentuan pemberian kuasa diletakkan pada Buku IV, sehingga walau ada sifat persetujuan dalam pemberian kuasa. Akan tetapi persetujuan tersebut bukanlah persetujuan bersifat dua arah dan bertimbal balik seperti perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.53

Pasal 1813 KUHPerdata diabaikan, selain karena sifat dan kekuatan hukum dari pasal tersebut yang memang tidak boleh diabaikan, ketentuan pasal tersebut juga tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja, apalagi oleh perjanjian saja, kecuali bila revisi tersebut dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang baru. Pasal 1813 KUHPerdata menyatakan maka salah satu

53 Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Bandung : Sinar Baru, 1985, hlm.247.

mekanisme berakhirnya surat kuasa adalah manakala pemberi kuasa meninggal, dalam pengampuan ataupun pailitnya salah satu pihak, dilihat dari segi apapun, maka syarat berakhirnya kuasa dari pasal a quo sangat logis. Yang tidak dapat diterima akal sehat adalah para pihak yang mengabaikan bunyi pasal tersebut. Karena dengan demikian mereka mengatakan bahwa walaupun salah satu pihak meninggal atau pailit, maka hubungan kuasa tersebut tetap dapat berjalan.

Analisa hukum paling sederhanapun akan mengatakan bahwa mengingat kekuasaan berasal dari pihak pemberi kuasa, dengan meninggalnya pemberi kuasa, maka kekuasaan yang telah diberikan kepada orang lain yang berasal dari dirinyapun akan hilang dengan sendirinya. Sementara apabila penerima kuasa yang meninggal, juga secara otomatis mengakhiri, karena penerima kuasa telah kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kuasa tersebut. Memang dalam sebuah surat kuasa biasanya juga dilampirkan pemberian kuasa substitusi untuk menggantikan penerima kuasa pada saat dirinya kehilangan kemampuan untuk menjalankan kuasa. Tetapi ini adalah masalah yang berbeda.

Pailitnya salah satu pihak juga logis apabila kuasa berakhir. Akibat adanya kepailitan, maka semua pihak yang dipailitkan akan kehilangan kekuasaannya atas harta miliknya, dan dialihkan kepada kurator ataupun balai harta peninggalan. Begitu juga dengan diampunya salah satu pihak yang akan mengalihkan kekuasaan kepada walinya.

Surat kuasa mutlak merupakan surat kuasa yang tidak dapat dan tidak boleh dipraktekkan karena tidak sejalan dengan undang-undang yang berlaku. Pemberi

kuasa yang terlanjur menandatangani surat kuasa semacam ini memiliki posisi kuat di hadapan pengadilan. Namun bagi penerima kuasa yang memiliki status sebagai kreditur dari pemberi kuasa, dilihat dari segi apapun untuk mencegah terjadinya pencabutan kuasa memang lemah, akan tetapi hanya terbatas yang berhubungan dengan surat kuasa tersebut, sebab penerima kuasa boleh saja memegang surat perjanjian dari pemberi kuasa yang sepakat untuk tidak melakukan pencabutan secara sepihak tanpa mempertimbangkan penerima kuasa.

Pemberi kuasa walaupun tetap berhak penuh untuk mencabut kuasanya secara sepihak kapan saja, namun penerima kuasa yang memegang perjanjian dari pemberi kuasa untuk tidak melakukan pencabutan kuasa secara sepihak dapat menggugat dengan dasar ingkar janji pada pihak pemberi kuasa.Perlu dicatat bahwa gugatan tersebut tidak dapat membatalkan pencabutan kuasa.

2. Surat Kuasa Mutlak Menurut Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah

Peralihan maupun pembebanan hak-hak atas tanah, baik hak milik maupun hak-hak atas tanah lainnya yang dapat dialihkan atau dibebani haknya, maka menurut peraturan perundangan-undangan wajib didaftarkan. Peralihan hak yang dimaksudkan terjadi baik karena jual beli, pelepasan hak maupun karena suatu perjanjian pemberian pembebanan sebagai ikutan perjanjian hutang. Kewajiban tersebut dibebankan kepada semua pihak, baik oleh orang perseorangan maupun badan hukum

yang menurut hukum pertanahan/agraria berkedudukan sebagai subyek hak atas tanah.54

Pendaftaran tanah di Indonesia diatur di dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3696) selanjutnya ditulis Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Pasal 1 angka 1 peraturan tersebut merumuskan mengenai pengertian pendaftaran yakni:55

Setiap warga negara Indonesia untuk memudahkan melakukan pendaftaran tanah maka pemerintah menetapkan asas-asas pendaftaran tanah sebagaimana yang diatur pada Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur bahwa dalam suatu pendaftaran tanah dikenal adanya beberapa asas diantaranya adalah asas sederhana, artinya bahwa dalam suatu proses pendaftaran serta prosedurnya agar dapat diberikan secara sederhana agar mudah dipahami dan dilakukan oleh pihak yang berkepentingan. Kemudian Asas Aman, artinya disetiap melakukan pendaftaran maka petugas dituntut untuk dan cermat dalam setiap penerimaan berkas, dalam rangka menjamin kepastian hukum agar

“sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan Hak Milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.”

54 Sudikno Mertokusumo I, Hukum dan Poliik Agraria, Bandung : Alumni, 1986, hlm.209.

55 Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana, 2010, hlm.

298.

sesuai dengan tujuan pendaftaran tanah. Asas terjangkau, artinya pemerintah harus pula memperhatikan tingkat kemampuan golongan masyarakat lemah pada standar operasional.

Asas Mutakhir, artinya ditujukan agar dalam pelaksanaan tanah agar dipersiapkan berupa peralatan yang lengkap dan memadai sehingga kemutahiran penyimpanan datanya setiap saat terjaga, dengan demikian maka data-data yang telah tersimpan pada kantor Pertanahan setiap saat diperlukan dikarenakan adanya suatu perubahan-perubahan atas peralihan seperti jual beli, Hibah, Waris dan sebagainya dapat digunakan secara berkesinambungan.56

Asas terbuka berkaitan dengan upaya memberikan informasi kepada masyarakat agar dapat memperoleh keterangan seluas-luasnya mengenai persoalan pertanahan yang benar setiap saat. Kemutahiran setiap data diikuti dengan lajurnya pendaftaran sehingga data yang ada pada Kantor pertanahan sesuai dengan kenyataan pada fisik.57

Asas terbuka berkaitan dengan upaya memberikan informasi kepada masyarakat agar dapat memperoleh keterangan seluas-luasnya mengenai persoalan pertanahan yang benar setiap saat. Kemutahiran setiap data diikuti dengan lajurnya pendaftaran sehingga data yang ada pada Kantor pertanahan sesuai dengan kenyataan pada fisik.57