• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR PERKARA 104 K/TUN/2013) TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR PERKARA 104 K/TUN/2013) TESIS."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

PERKARA 104 K/TUN/2013)

TESIS

Oleh

TIARA METAMA PUTRI 157011236/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

PERKARA 104 K/TUN/2013)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Fakultas Hukum pada Sekolah

Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

TIARA METAMA PUTRI 157011236/MKn

PROGRAM STUDI MAGISTER KENOTARIATAN FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR PERKARA 104 K/TUN/2013)

Nama Mahasiswa : TIARA METAMA PUTRI Nomor Pokok : 157011236

Program Studi : Magister Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof.Dr.Budiman Ginting, SH, M.Hum)

Pembimbing Pembimbing

(Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum) (Notaris Suprayitno, SH,MKn)

Ketua Program Studi Dekan

(Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum) (Prof.Dr.Budiman Ginting,SH.,M.Hum)

Tanggal Lulus : 25 Agustus 2017

(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 25 Agustus 2017

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum

Anggota : 1. Dr.T.Keizerina Devi A, SH, CN, M.Hum 2. Notaris Suprayitno, SH, MKn

3. Dr. Dedi Harianto, SH, M.Hum 4. Dr. Edy Ikhsan, SH, MA

(5)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : TIARA METAMA PUTRI

NIM : 157011236

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN FH USU

Judul Tesis : ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR PERKARA 104 K/TUN/2013)

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli hasil karya saya sendiri, bukan plagiat. Apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan, Agustus 2017 Yang membuat pernyataan,

NAMA : Tiara Metama Putri NIM : 157011236

(6)

ANALISIS YURIDIS PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT (STUDI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR

PERKARA 104 K/TUN/2013)

ABSTRAK

Kuasa Mutlak merupakan kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa. Surat Kuasa Mutlak dilarang penggunaannya terhadap pemindahan hak atas tanah yang diatur oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982. Dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013 Surat Kuasa Mutlak dibuat oleh penggugat 17 tahun yang lalu tetapi tergugatmembuat Akta Jual Beli, menjual, membeli sendiri dan menetapkan harganya tanpa sepengetahuan penggugat.Keberadaan surat kuasa mutlak tidak ada peraturan khusus yang mengatur dalam Perundang-undangan tetapi didalam penggunaan surat kuasa mutlak dalam Akta PPAT tetapi dalam prakteknya masih ada yang menggunakan surat kuasa mutlak. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013, gugatan yang diajukan oleh penggugat adalah penggunaan surat kuasa mutlak sebagai dasar Pemindahan Hak atas Tanah dimana surat kuasa mutlak yang dibuat selama 17 tahun digunakan tergugat untuk menjual tanah dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 12 di kelurahan Kambu dan jual beli ini tidak melibatkan penggugat sebagai pemilik tanah dan PPAT selaku pembuat Akta tidak mengkonfirmasi kepada Penggugat sehingga PPAT dengan sendirinya membuka jalan untuk terjadinya penyelundupan jual beli tanah.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan normative kualitatif.Bahan Hukum Primer dan Bahan Hukum Sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan.Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keberadaan surat kuasa mutlak terdapat dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri yang mengatur tentang larangan penggunaan surat kuasa mutlak terhadap pemindahan hak atas tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah yaitu pada Pasal 39 huruf d yang melarang PPAT membuat Akta Jual Beli dengan memakai surat kuasa mutlak.Penggunaan surat kuasa mutlak dalam Akta PPAT terjadi karena adanya kepentingan pribadi oleh pemberi kuasa dan penerima kuasa yang dibuat dalamAkta PPAT yang sebenarnya PPAT wajib menolak pembuatan akta yang berisi tentang pemindahan hak atas tanah. Putusan Majelis Hakim Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013, menolak gugatan penggugat karena telah terjadi kesalahan penerapan hukum dan kompetensi Hakim Perdata untuk mengadilinya sehingga berdasarkan pertimbangan tersebut perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan Undang-Undang.

KataKunci: Surat Kuasa Mutlak,Akta, PPAT

(7)

A JURIDICAL ANALYSIS OF THE USE OF AN IRREVOCABLE POWER OF ATTORNEY IN PPAT DEED

(A Study on the Ruling of the Supreme Court Case No. 104 K/TUN/2013) ABSTRACT

Irrevocable power is the power that reserves the element that cannot be revoked by the one who has granted it. It is prohibited to be used for land title transfer as stipulated in the Instruction of the Minister of Internal Affairs No.

14/1982. In the Ruling of the Supreme Court for Case No. 104 K/TUN/2013 is stated that an Irrevocable Power of Attorney was made by the Plaintiff 17 years ago, but the Defendant made a Buy and Sell Deed, sold, bought himself and determined the price unbeknownst to the Plaintiff. The presence of the irrevocable power of attorney to be used in a PPAT (the Officials Empowered to Draw up Land Deeds) Deed is not particularly regulated in the Laws, yet in practice there are people who still use it. In the Ruling of the Supreme Court for Case No. 104 K/TUN/2013, the lawsuit filed by the Plaintiff is the use of an irrevocable letter of attorney which was made 17 years ago as the ground for the Land Title Transfer and used to sell the land using the Title Certificate No. 12 in Kambu Village and this trading did not involve the plaintiff as the land owner; in addition, PPAT as the Deed Maker did not confirm the Plaintiff either that he himself opened the way to a clandestine trade.

This is a normative juridical research with qualitative normative approach.

The Primary and Secondary Legal Materials are obtained through library study. The results show that the presence of an irrevocable power of attorney is stipulated in the Instruction of the Minister of Internal Affairs which prohibits the use of an irrevocable power of attorney for land title transfer, in the Government Regulations No. 24/1997 on Land Registration i.e. Article 39 letter d which prohibits PPAT to make a Buy and Sell Deed by using an irrevocable power of attorney. The use of an irrevocable power of attorney in a PPAT Deed takes place because there is a personal interest of the person who grants the power and the receiver in which PPAT should have refused to make a deed which reserves land title transfer. The Ruling of the Panel of Judges of the Supreme Court for Case No. 104 K/TUN/2013, objected the Plaintiff’s claim because there is a misapplication of the law and of the competency of the Civil Judge to pass judgment considering that the case was not contrary to the law and acts.

Keywords: Irrevocable Power of Attorney, Deed, PPAT

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, atas segala karunia dan ridhoNya untuk mrnyelesaikan penulisan tesis yang berjudul

“Analisis Yuridis Penggunaan Surat Kuasa Mutlak Dalam Akta PPAT (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013” ini. Penulisan tesis dengan judul ini tidak hanya dilakukan Penulis sebagai pemenuhan syarat memperoleh gelar Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tetapi juga karena Penulis memiliki ketertarikan untuk melakukan penelitian ini.

Tesis ini Penulis selesaikan dengan baik dengan adanya bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, sehingga Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr .Runtung Sitepu, S.H, M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing dan memotivasi penulisan tesis ini.

3. Ibu Dr.T.Keizerina Devi, A, S.H, CN, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus sebagai Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memotivasi penulisan dalam tesis ini.

(9)

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, S.H, M.A, selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus Dosen Penguji, yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

5. Bapak Notaris Suprayitno, S.H, M.Kn selaku Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memotivasi penulisan dalam tesis ini.

6. Bapak Dr. Dedi Harianto, S.H, M.Hum, selaku Dosen Penguji, yang telah memberikan masukan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini.

7. Orang Tua saya yang saya sayangi, Ayahanda Dafri, Ibunda Alfianti, S.Pd dan adik-adiku Suci Ramadhani, S.Ked, Citra Annisa dan Wahyu Anggara yang telah memotivasi dan memberikan dukungan moril serta mendoakan penulis agar dapat menyelesaikan studi ini.

8. Rekan-rekan dari Program Studi Magister Kenotariatan Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang selalu memberikan semangat dan dorongan serta bantuan kepada penulis untuk kelancaran menyelesaikan studi pada Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

9. Para Pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah bersedia memberikan informasi maupun bantuan yang diperlukan demi kelancaran pelaksanaan penulisan tesis ini.

(10)

Besar harapan Penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca dan masyarakat yang membutuhkan serta memberikan masukan bagi penyempurnaan penulisan tesis ini.Akhirnya terhadap semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan dalam penulisan tesis ini, sekali lagi diucapkan terima kasih.

Medan, Agustus 2017 Penulis,

TIARA METAMA PUTRI

(11)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama : Tiara Metama Putri

Tempat/Tanggal Lahir : Pekanbaru/29 Mei 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jalan Hibrida No 10 Pekanbaru Kewarganegaraan : Indonesia

Email : Tiara_metamaputri@yahoo.com

II. PENDIDIKAN

Sekolah Dasar : SD Negeri 011 Pekanbaru (1997-2003) Sekolah Menengah Pertama : SMP Negeri 09 Pekanbaru (2003-2006) Sekolah Menengah Atas : SMA Negeri 10 Pekanbaru (2006-2009) Universitas : S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Riau

(2009-2013)

Universitas : S2 Fakultas Hukum Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara (2015-2017)

(12)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR ISTILAH ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 9

C. Tujuan Penelitian ... 10

D. Manfaat Penelitian ... 10

E. Keaslian Penelitian ... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 12

1. Kerangka Teori ... 12

2. Konsepsi ... 14

G. Metode Penelitian ... 15

1. Jenis dan Sifat Penelitian ... 15

2. Sumber Data ... 17

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 18

4. Analisis Data ... 20

BAB II KEBERADAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU ... 22

A. Tinjauan Tentang Surat Kuasa ... 22

1. Pengertian Kuasa ... 22

(13)

2. Jenis-Jenis Surat Kuasa ... 24

B. Keberadaan Surat Kuasa Mutlak Dalam Peraturan Perundang- Undangan yang Berlaku ... 30

1. Surat Kuasa Mutlak Menurut KUHPerdata ... 30

2. Surat Kuasa Mutlak Menurut Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah ... 34

3. Surat Kuasa Mutlak Menurut Putusan Mahkamah Agung .. 41

BAB III PENGGUNAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM AKTA PPAT ... 47

A. Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT ... 47

1. Jenis-Jenis Akta PPAT ... 47

2. Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT dan Akibat Hukumnya ... 54

B. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Penggunaan Surat Kuasa Mutlak Dalam Akta PPAT ... 60

C. Alasan Boleh Tidaknya Penggunaan Surat Kuasa Mutlak Dalam Akta PPAT ... 68

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NOMOR PERKARA 104 K/TUN/2013 ... 82

A. Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013 . 82

1. Duduk Perkara ... 82

2. Pertimbangan Hukum Hakim ... 88

3. Putusan Hakim ... 90

B. Analisis Kasus ... 90

C. Rekomendasi Terhadap Kasus ... 98

(14)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(15)

DAFTAR ISTILAH

Aanvullen Recht : Hukum Pelengkap

Agent : Agen

Directive Interview : Wawancara Terarah

Decisoir eed : Sumpah Penentu

Irrevocable Power Of Attorney : Surat Kuasa Mutlak

Judex Facti : Mahkamah Agung

Lastgever : Pemberi Kuasa

Lastgeving : Pemberian Kuasa

Library Research : Penelitian Kepustakaan Onderhands Geschrift : Akta Bawah Tangan

Overenkomst : Persetujuan

Partij Acte : Partai Akta

Suppletoir eed : Sumpah Tambahan

Van Openbare Orde : Kepentingan Umum

(16)

DAFTAR SINGKATAN

APDP : Akta Pemasukan Dalam Perusahaan APHB : Akta Pembagian Hak Bersama APHT : Akta Pemberian Hak Tanggungan

AJB : Akta Jual Beli

BPN : Badan Pertanahan Nasional

BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan HAM : Hak Asasi Manusia

HGB : Hak Guna Bangunan

KUHPerdata : Kitab Undang-Undang Perdata

MA : Mahkamah Agung

PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah PPJB : Perjanjian Pengikatan Jual Beli

SKMHT : Surat Keterangan Membebankan Hak Tanggunga

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia yang sudah sangat maju sekarang ini, terkadang seseorang sudah sedemikian sibuknya dengan berbagai kepentingan sehingga seringkali untuk menyelesaikan kepentingan-kepentingan tersebut, ia tidak dapat hadir sendiri secara fisik. Oleh karena itu ia memerlukan jasa orang lain didalam menyelesaikan kepentingannya. Agar orang yang diserahi tugas untuk menyelesaikan kepentingannya, dapat bertindak atas namanya, maka ia menyerahkan kekuasaaan atau wewenangnya.

Seseorang dalam melakukan suatu pengurusan dan kepentingan tetapi bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain yaitu pemilik kepentingan yang sebenarnya. Dalam hukum, perwakilan ini disebut juga dengan pemberian kuasa.1

Kuasa adalah kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa. Kuasa merupakan kewenangan dan bukan merupakan suatu perjanjian. Kuasa adalah suatu hak yang melahirkan suatu kewenangan untuk mewakili.2

Penggunaan surat kuasa saat ini sudah sangat umum di tengah masyarakat untuk berbagai keperluan. Awalnya konsep surat kuasa hanya dikenal dalam bidang

1 H.R. Daeng Naja, Hukum Kredit dan Bank Garansi, The Bankers Hand Book, Bandung: PT.

Citra Aditya Bakti, 2005, hlm.390-391.

2 Rachmat Setiawan, Hukum Perwakilan dan Kuasa : Suatu Perbandingan Hukum Indonesia dan Hukum Belanda Saat Ini,cet.1,Jakarta: Tatatnusa,2005, hlm.1.

(18)

hukum dan digunakan untuk keperluan suatu kegiatan yang menimbulkan akibat hukum, akan tetapi saat ini surat kuasa sudah digunakan untuk berbagai keperluan sederhana dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian kuasa adalah daya, kekuatan atau wewenang. Dalam KUHPerdata tidak ada satu pasal pun yang secara jelas menyebutkan definisi dari kuasa, yang ada hanyalah pengertian dari pemberian kuasa.3

Menurut ketentuan Pasal 1792 KUHPerdata, yang dimaksud dengan pemberian kuasa adalah “suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.4

Menyelenggarakan suatu urusan artinya adalah untuk melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Bahwa apa yang dilakukan adalah atas tanggungan si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban dari orang yang memberi kuasa.5 Jadi sifat pemberian kuasa tiada lain dari pada mewakili atau perwakilan.6

Pemberian kuasa dalam prakteknya seringkali digunakan dalam hal suatu perjanjian yang memerlukan adanya suatu pelimpahan kewenangan dalam bertindak, salah satunya adalah pemberian kuasa dalam suatu perjanjian jual beli. Jual beli

3 Wicaksono, Panduan Lengkap Membuat Surat-Surat Kuasa, Jakarta: Visimedia, 2009, hlm.1.

4 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, cet. Ke-33, Jakarta: Pradnya Paramita, 2003, Pasal 1792.

5 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung: Alumni, 1984, hlm.141.

6 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian,cet. ke-2,Bandung: Alumni, 1986, hlm.306.

(19)

menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah “suatu perjanjian bertimbal balik dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut”.7

Pemberian kuasa dalam praktek yang dituangkan dalam Akta PPAT yang berkembang dalam kehidupan masyarakat yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat dalam melakukan suatu perbuatan hukum jual beli khususnya mengenai bidang tanah. Disinilah sering pihak penjual memberikan kuasa yang disebut juga dengan Surat Kuasa Mutlak.

8

Ketentuan yang tercantum dalam Pasal 39 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, sebelumnya diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Surat Kuasa Mutlak, kuasa untuk menjual tidak boleh diberikan dalam bentuk Kuasa Mutlak. Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, PPAT menolak pembuatan Akta jika salah Surat Kuasa Mutlak merupakan surat kuasa yang tidak dapat lagi dicabut dan tidak akan batal atau berakhir karena alasan-alasan apapun sehingga mengesampingkan atau mengabaikan Pasal 1813 dan Pasal 1814 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengenai berakhirnya pemberian kuasa.

7 R. Subekti, Hukum Perjanjian, cet.12, Jakarta: PT. Intermasa, 1990, hlm.1.

8Hamka, Pemberian Kuasa dan Kuasa Mutlak

https://lagowari.wordpress.com/2011/01/03/pemberian-kuasa-dan-kuasa mutlak. html, diakses pada tanggal 12 Februari 2015.

(20)

satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah.9

Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak atas Tanah tertanggal 6 Maret 1982, terdapat surat kuasa yang tidak diperbolehkan lagi untuk dibuat, yaitu kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa, dan Kuasa Mutlak yang pada hakekatnya merupakan Pemindahan Hak atas Tanah, yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa.

Sehubungan dengan hal tersebut oleh karena kuasa untuk menjual tidak boleh diberikan dalam bentuk Kuasa Mutlak maka untuk kuasa yang tidak berkaitan dengan adanya perjanjian pokok yang menjadi dasar pemberiannya, berlaku baginya ketentuan mengenai berakhirnya kuasa yang diatur dalam Pasal 1813 dan Pasal 1814 KUHPerdata.

Klausul Kuasa Mutlak selalu dicantumkan kalimat “kuasa yang tidak dapat dicabut kembali”,sehingga penerima kuasa dapat melakukan perbuatan apa pun, baik tindakan pengurusan maupun tindakan kepemilikan atas tanah yang dimaksud.

10

Pemberian Kuasa Mutlak bersifat tidak dapat dicabut kembali dalam hal jual beli tanah bertujuan untuk mempermudah kepastian hukum bagi pembeli tanah, agar setelah semua persyaratan untuk pembuatan Akta Jual Beli oleh PPAT dipenuhi,

9 Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

10 Republik Indonesia, Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak atas Tanah tertanggal 6 Maret 1982, Diktum Kedua.

(21)

tidak diperlukan lagi persetujuan dan keterlibatan dari pihak penjual untuk urusan Pemindahan Hak atas Tanah tersebut. Pemberian Kuasa Mutlak yang dikaitkan dengan perjanjian pengikatan jual beli atas tanah dianggap tidak identik dengan kuasa yang dilarang sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas Tanah.11

“Kuasa Mutlak yang dimaksud dalam diktum pertama adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa;

Kuasa Mutlak yang pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah Kuasa Mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.”

Larangan Kuasa Mutlak yang dimaksud disini adalah larangan terhadap kuasa sebagaimana diatur dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah yang sekarang telah dimuat di dalam Pasal 39 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Kuasa Mutlak tersebut pada hakikatnya merupakan pemindahan hak atas tanah, dengan ciri-ciri yang disebutkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yaitu :

12

Tujuan dikeluarkannya Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak atas Tanah adalah :

11 R. Subekti, Op.cit, hlm.13.

12 Herlien Budiono ,Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di bidang Kenotariatan, Bandung : PT.

Citra Aditya Bakti, 2007, hlm.2.

(22)

1. Sebagai pengendalian secara efektif terhadap penggunaan penguasaan dan pemilikan tanah sehingga benar-benar sesuai dengan asas adil dan merata.

2. Sebagai usaha peningkatan penertiban status dan penggunaan tanah.

3. Sebagai pencegahan pemberian kuasa dengan mengadakan pemindahan hak atas tanah secara terselubung dengan menggunakan Kuasa Mutlak, yang mana merupakan salah satu bentuk perbuatan hukum yang mengganggu usaha penertiban status dan penggunaan tanah.13

Larangan penggunaan Kuasa Mutlak ini dikarenakan pembuatan Kuasa Mutlak sebagai cara untuk mengadakan Pemindahan Hak atas Tanah banyak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang melakukan jual beli tanah secara terselubung.14

Pemberian kuasa terdapat batasan-batasan seperti Pasal 1792 KUHPerdata, memberikan batasan sebagai berikut: pemberian kuasa adalah “suatu perjanjian,dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya, menyelesaikan suatu pekerjaan”.

15

1. Pemberi kuasa harus mampu

Sahnya Kuasa Mutlak disyaratkan bahwa Pemberi Kuasa harus mempunyai kepentingan terhadap pelaksanaan Kuasa Mutlak tersebut dengan memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

2. Objek pemberi Kuasa Mutlak harus terbatas dan tertentu

3. Harus ada dasar hukum yang sah, artinya perjanjian yang menjadi dasar

13 Ibid.hlm.1.

14 Republik Indonesia, Surat Dirjen Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri tanggal 31 Maret 1982 Nomor 594/1493/AGR tentang Surat Pengantar Sekaligus Penjelasan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

15 Djaja S. Meliala, Penuntun Praktis Perjanjian Pemberian Kuasa menurut Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Bandung : Nuansa Aulia,2008, hlm.2.

(23)

terbitnya Kuasa Mutlak tersebut haruslah sah menurut hukum.16

Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak atas tanah Isi Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tersebut antara lain adalah menginstruksikan kepada semua Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan para Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II Untuk melarang :

1. Camat dan Kepala Desa atau pejabat yang setingkat dengan itu untuk membuat/menguatkan pembuatan yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.

2. Pejabat-pejabat agraria untuk melayani penyelesaian status hak atas tanah yang merupakan sebagai bahan pembuktian pemindahan hak atas tanah.17 Dalam hal ini maka sesungguhnya PPAT mempunyai peranan yang sangat besar, terutama dalam proses pembuatan Akta-akta, terutama berkaitan dengan pemberian Kuasa Mutlak yang dalam hal ini Akta Jual Beli, agar Akta yang dibuatnya tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku dan tidak merugikan para pihak yang membuatnya. Dengan mempertimbangkan tugas dan kewajiban PPAT sebagai pejabat umum yang berwenang membuat Akta otentik, maka Akta yang dibuatnya tersebut harus merupakan juga alat pembuktian formal yang mengandung kebenaran absolut, sehingga seharusnya PPAT juga berperan untuk mengantisipasi secara hukum atas timbulnya hal-hal yang dapat

16 Chairani Bustami, Aspek-aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli Yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Medan :Tesis pada Program Pasca Sarjana USU, 2002, hlm. 31.

17 Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak.Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

(24)

merugikan para pihak yang membuatnya serta akibat hukum dan perjanjian tersebut.18

PPAT seharusnya mengkonfirmasi terdahulu kepada pemberi kuasa karena Surat kuasa yang dijadikan dasar jual beli adalah yang dilarang penggunaannya dalam jual beli tanah dan juga surat kuasa yang sudah berusia 17 tahun sehingga kalau hal ini tidak dilakukan maka PPAT dengan sendirinya membuka jalan untuk terjadinya penyelundupan jual beli tanah dan tentunya Akta yang dibuat juga tidak sah dan tidak Mengenai tindakan penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT, kasus ini pernah terjadi yang diputus oleh Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013.

Kronologis Kasus dari putusan tersebut yaitu Steven (pemberi kuasa) pada Tahun 1994 membuat Surat Kuasa Mutlak kepada Effendy (penerima kuasa) untuk melakukan jual beli tapi setelah 17 tahun Surat Kuasa Mutlak dibuat, baru digunakan Effendy untuk menjual tanah dengan Sertipikat Hak Milik Nomor 12 di kelurahan Kambu atas nama Steven tetapi Effendy yang sebagai penerima kuasa dengan berdasarkan untuk menjual juga bertindak sebagai pembeli, dimana jual beli ini tidak pernah melibatkan Steven selaku pemilik tanah dan pemberi kuasa serta Haji Asbar Imran selaku pembuat Akta dalam kapasitasnya sebagai PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) tidak mengkonfirmasi dan atau mengkroscek kepada Steven (Pemberi kuasa).

18 Hendra Setiawan Boen, Tinjauan Terhadap Surat Kuasa Mutlak, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol16939/tinjauan-terhadap-surat-kuasa-mutlak,html, diakses pada tanggal 14 Juni 2007.

(25)

berdasar hukum tapi Kepala Kantor Pertanahan Kota Kendari menerima permohonan Effendy untuk membuat peralihan hak atas tanah dalam Sertifikat Hak atas Tanah Nomor 12 di kelurahan Kambu atas nama Steven menjadi namanya yaitu Effendy.

Steven selaku menggugat Kepala Kantor Pertanahan Kota Kendari dan Effendy yang sudah bertentangan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 dan Pasal 39 ayat 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang larangan penggunaan Kuasa Mutlak dalam pengurusan status kepemilikan atas tanah.

Berdasarkan pemaparan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dilakukan sebuah penelitian hukum dengan judul “ Analisis Yuridis Penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013)”.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dikemukakan di atas, yang menjadi permasalahan penelitian adalah :

1. Bagaimana keberadaan Surat Kuasa Mutlak dalam peraturan perundang- undangan yang berlaku ?

2. Mengapa terjadi Penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT ?

3. Bagaimana pertimbangan hukum hakim dalam putusan perkara terhadap Penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT pada Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013?

(26)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana yang telah dikemukakan di atas, yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui dan menganalisis keberadaan hukum surat kuasa mutlak dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis terjadinya penggunaan surat kuasa mutlak dalam Akta PPAT

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hukum hakim dalam putusan perkara terhadap Penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT Pada Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, dengan demikian dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Secara teoretis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan tambahan wawasan dan masukan pengetahuan bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang hukum yang berkaitan dengan penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT.

2. Secara praktis, diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang terkait dengan status hukum Surat Kuasa Mutlak. Selain itu juga memberikan wawasan dan pengetahuan kepada masyarakat luas

(27)

supaya mengerti dan mematuhi peraturan hukum yang berkaitan dengan masalah surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada dan sepanjang penelusuran kepustakaan yang ada dilingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya dilingkungan Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul Tesis “Analisis Yuridis Penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013)”, sehingga Tesis dapat dipertanggung jawabkan keasliannya secara akademis.

Adapun beberapa penelitian terdahulu yang pernah melakukan penelitian mengenai permasalahan antara lain :

1. Nelly Sri wahyuni Siregar (NIM.067011059),Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara,dengan judul penelitian “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”,dengan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan?

b. Bagaimana secara yuridis kedudukan Kuasa Mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT?

c. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai Kuasa Mutlak?

(28)

2. Amelia Prihartini (NIM. 037011004), Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul penelitian “Analisis Hukum Terhadap Keberadaan Kuasa Mutlak Dalam Perikatan Jual Beli Hak Atas Tanah”, dengan permasalahan yang diteliti adalah:

a. Bagaimana keberadaan Kuasa Mutlak dalam perikatan jual beli hak atas tanah bila dihubungkan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Kuasa Mutlak?

b. Bagaimana faktor apa yang menyebabkan Kuasa Mutlak dalam Perikatan jual beli hak atas tanah diberlakukan?

c. Bagaimana perlindungan hukum yang dapat diberikan bagi pemegang hak atas tanah yang tanahnya dialihkan berdasarkan Kuasa Mutlak?

Berdasarkan penelitian diatas, tidak ada yang menyangkut dengan penelitian yang berjudul “Analisis Yuridis Penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT (Studi Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013)”. Dengan demikian penelitian ini adalah asli adanya dan dapat dipertanggungjawabkan kemurniannya karena belum ada yang melakukan penelitian ini sebelumnya dan tidak ada kesamaan permasalahan maupun pembahasan dalam penelitian ini dengan yang tersebut di atas.

(29)

F. Kerangka Terori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Kerangka teori dapat diartikan sebagai suatu kerangka pemikiran atau butir- butir pendapat, teori-teori, penelitian mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan.19 Menurut Lili Rasjidi “teori hukum adalah suatu keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan berkenaan dengan sistem konseptual aturan-aturan hukum dan putusan-putusan hukum.”20

M. Solly Lubis mengemukakan bahwa “ Kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis, mengenai sesuatu kasus ataupun permasalahan yang bagi pembaca menjadi bahan perbandingan, pegangan tertulis, yang mungkin ia setuju ataupun tidak. Ini merupakan masukan eksternal bagi pembaca”.21

Teori adalah serangkaian asumsi, definisi dan proposi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep.22 Keberadaan Teori sangat penting karena teori merupakan konsep yang akan menjawab suatu masalah, teori oleh kebanyakan ahli dianggap sebagai sarana yang memberikan rangkuman bagaimana memahami suatu masalah dalam setiap bidang ilmu pengetahuan.23

19 M. Solly Lubis dan Muhammad Yamin, Gadai Tanah Sebagai Lembaga Pembiayaan Rakyat Kecil, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2004, hlm.36.

20 Lili Rasjidi, Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum,Bandung: Citra Aditya Bakti, 2007, hlm.11.

21 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung : Mandar Madju, 1994, hlm.80.

22 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rineka Cipta, 1996, hlm.19.

23 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum,Jakarta : Ghalia Indonesia, 2004, hlm.113.

(30)

Penelitian ini membahas mengenai analisis yuridis penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT maka diharapkan Teori Penyelundupan Hukum merupakan teori yang dianggap paling relevan kepada penelitian ini yang bertujuan untuk dapat menghindarkan suatu akibat hukum yang tidak dikehendaki atau untuk mewujudkan suatu akibat hukum yang dapat dikehendaki. Akibat dari adanya penyelundupan hukum tersebut mengakibatkan batalnya perbuatan hukum yang bersangkutan.24

Penyelundupan hukum terjadi bilamana ada seseorang atau pihak-pihak yang mempergunakan berlakunya hukum dengan cara-cara yang tidak benar dengan maksud dengan menghindari berlakunya hukum atau peraturan-peraturan yang sudah ada.25

Konsepsi adalah bagian yang terpenting dalam teori, yang diterjemahkan sebagai usaha membawa dari abstrak menjadi suatu yang konkrit dan disebut operasional definition. Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama

dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani proses penelitian bersangkutan.

2. Konsepsi

26

Menurut Burhan Ashofa, suatu konsep merupakan abstraksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari jumlah karakteristik kejadian,

24Lisa Desiana, Penyelundupan Hukum, http: //prezi.com/m/hnxfyetn5m-q/penyelundupan- hukum. html, diakses pada tanggal 9 april 2017.

25 Umar Said Sugiarto, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2013, hlm.72.

26 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999, hlm.107.

(31)

keadaan, kelompok atau individu tertentu.27 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar pelaksanaannya sebagian diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu : Kuasa Mutlak adalah kuasa yang didalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa yang tujuannya adalah untuk memindahkan hak atas tanah secara terselubung.28

Akta PPAT adalah Akta tanah yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.29

Metode penelitian merupakan suatu sistem dan suatu proses yang mutlak harus dilakukan dalam suatu kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiataan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisanya, kecuali itu diadakan juga pemeriksaan suatu mendalam terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.

G. Metode Penelitian

30

27 Burhan Ashofa,Op.cit, hlm. 19.

28 Republik Indonesia, Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah,Diktum kedua.

29 Kartini Soedjendro,Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang berpotensi Konflik, Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi Konflik, Yogyakarta : Kanisius,2001, hlm.7.

30 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkatan, Jakarta : Rajawali Pers, 1995, hlm.43.

(32)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Penelitian ini akan dilakukan dengan mengkategorikan sebagai suatu penelitian yang bersifat yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif merupakan suatu penelitian kepustakaan yang dilakukan dengan meneliti data sekunder.31

Maksud dari yuridis normatif adalah penelitian merupakan pengungkapan dari peraturan-peraturan perundang-undangan yang merujuk pada sumber bahan hukum, yakni penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam berbagai perangkat hukum, demikian juga hukum dalam pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan dengan objek.32

Penelitian dengan menggunakan metode yuridis normatif ini diambil dengan mempertimbangkan bahwa pendekatan ini dipandang cukup bisa untuk diaplikasikan dalam topik ini, karena metode penelitian ini akan diperoleh data dan informasi secara menyeluruh yang bersifat normatif, baik dari bahan hukum primer, sekunder,

Untuk penelitian ini, akan dilakukan dengan menguraikan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan menganalisis data-data yang ada secara komprehensif, yang merupakan data-data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik berupa buku-buku, peraturan perundang-undangan mupun informasi dari media massa yang dapat dijamin validitasnya. Sementara itu, pendekatan penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif analitis yang mengacu kepada peraturan perundang-undangan dan dianalisis dengan doktrin dari para sarjana hukum.

31 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983, hlm.24.

32 Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Sinar Grafika, 2011, hlm.106.

(33)

maupun tersier. Data atau informasi yang didapatkan akan diambil perbandingannya dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penggunaan surat kuasa mutlak dalam Akta PPAT.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini, adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dan dokumen, yang merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia dalam bentuk buku-buku atau dokumen yang biasanya disediakan diperpustakaan, atau milik pribadi.33

a. Bahan Hukum Primer

Data sekunder dalam penelitian tesis ini diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu untuk memperoleh bahan-bahan hukum yang digunakan dengan mengumpulkan data-data yang ada di kepustakaan yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, antara lain:

Bahan hukum primer ini sendiri adalah bahan-bahan utama yang akan menjadi dasar untuk membuat penelitian ini melalui bahan hukum primer inilah nantinya akan diolah data-data yang akan dimasukkan menjadi substansi-substansi penelitian.

Adapun bahan-bahan hukum primer yang akan digunakan adalah segenap peraturan perundang-undangan yang ada, antara lain :

1) Kitab undang-undang hukum perdata

33 Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum, Bandung:

Mandar Maju, 1995, hlm. 65.

(34)

2) Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah.

3) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.

4) Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara 104 K/TUN/2013 Tentang Penggunaan Surat Kuasa Mutlak dalam Akta PPAT.

5) Peraturan-peraturan lainnya yang mendukung.

b. Bahan Hukum Sekunder, yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku-buku, makalah-makalah, artikel-artikel, dan tulisan-tulisan yang isinya berkaitan dengan penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat penunjang untuk dapat memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum, ensiklopedia, jurnal hukum jurnal ilmiah, surat kabar, internet, serta makalah-makalah yang berkaitan dengan objek penelitian.34

Data primer yaitu data yang diambil langsung oleh peneliti dengan wawancara yang dilakukan secara terarah

Bahan hukum tersier ini merupakan bahan tambahan yang juga merupakan pelengkap terhadap data-data yang akan dirangkum dalam mengisi penelitian ini sehingga menjadi karya ilmiah yang nantinya tersusun secara terangkai dan berurutan.

35

34 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung :Alfabeta, 2009 hlm.137.

35 Ronny Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri,Jakarta : Ghalia Indonesia, 1988, hlm.55.

, yaitu kepada PPAT untuk menunjang penelitian ini.

(35)

3. Teknik dan Alat Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Penelitian Kepustakaan (Library Research).

Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu mengumpulkan data sekunder yng terkait dengan permasalahan yang diajukan dengan cara mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang terkait. Metode penelitian kepustakaan ini dilakukan untuk mencari konsepsi- konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya yang berkaitan dengan permasalahan penelitian.36

Adapun alat pengumpulan data yang akan digunakan dalam penulisan penelitian ini dilakukan dengan menggunakan studi dokumen dan pedoman wawancara. Studi dokumen merupakan alat atau instrumen yang dikembangkan untuk penelitian dengan menggunakan pendekatan analisis isi.

Dalam teknik pengumpulan data melalui penelitian kepustakaan (Library Research) ini, akan dipelajari, diinventarisi, dikumpulkan, dan diolah data-data yang berupa peraturan-peraturan perundang- undangan, informasi-informasi, karya tulis ilmiah, pendapat para ahli sarjana hukum, media-media cetak dan media elektronik, dan sumber-sumber tertulis lain yang ada guna mendukung penulisan penelitian ini sampai dengan selesai.

37

36 Muis, Pedoman Penulisan Skripsi dan Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2002, hlm.106.

37 Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta : Rake Sarahsin, 1996, hlm.136.

Selain itu digunakan juga dalam penelitian untuk mencari bukti-bukti, landasan hukum dan peraturan-

(36)

peraturan yang pernah berlaku. Subjek penelitiannya dapat berupa buku-buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan.

Pedoman wawancara yaitu sebuah instrumen atau alat yang dilakukan oleh pewawancara untuk memperoleh informasi dari terwawancara dalam bentuk dialog.38

4. Analisis Data

Dalam pelaksanaannya, penelitian pedoman wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dengan PPAT.

Penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisi data merupakan suatu proses mengorganisasikan dan menggunakan data dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan suatu hipotesa kerja seperti yang disarankan.39

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

40

Dalam penelitian ini, langkah yang pertama kali dilakukan adalah mengumpulkan data dari bahan hukum primer yaitu berupa putusan perkara, data tersebut kemudian diklarifikasikan sesuai dengan masalah pokok yang diteliti dan diolah kemudian disajikan dengan cara membandingkan dengan konsep-konsep yang

38 Ibid, hlm.137.

39 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum (Suatu Pengantar), Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2001, hlm.106.

40 Lexy J. Moleong.Metode Kualitatif, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hlm.3.

(37)

ada pada bahan hukum sekunder yang berupa buku-buku dan literatur lainnya.41 Terhadap data tersebut kemudian dilakukan pembahasan dengan membandingkan teori-teori atau aturan-aturan yang mengaturnya, sehingga analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara kualitatif yang artinya penelitian ini akan berupaya untuk memaparkan sekaligus melakukan analisis terhadap permasalahan yang ada dengan kalimat yang sistematis untuk memperoleh kesimpulan jawaban yang jelas dan benar. Sehingga ditarik suatu kesimpulan dengan metode berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang dimulai dari hal-hal yang umum untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus dengan menggunakan ketentuan berdasarkan pengetahuan umum, seperti teori-teori, dalil-dalil, atau prinsip-prinsip dalam bentuk proposisi-proposisi untuk menarik kesimpulan terhadap fakta-fakta yang bersifat khusus sehingga diharapkan dapat menjawab semua permasalahan-permasalahan hukum dalam penelitian ini.42

41 Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, Jambi : Mandar Maju, 2008, hlm.174.

42 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986, hlm.112

(38)

BAB II

KEBERADAAN SURAT KUASA MUTLAK DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

A. Tinjauan Tentang Surat Kuasa 1. Pengertian Kuasa

Semakin meningkatnya kebutuhan atau kepentingan setiap orang, ada kalanya seseorang yang mempunyai hak dan kekuasaan penuh atas harta miliknya tidak dapat melakukan perbuatan itu sendiri. Hal tersebut dapat disebabkan karena perbenturan kepentingan pada waktu yang sama atau kurangnya pengetahuan seseorang terhadap seluk beluk pengurusan sesuatu yang menjadi kepentingannya.

Untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut, diperlukan jasa orang lain untuk membantu menyelesaikan suatu kepentingan atas nama dari orang yang meminta bantuannya. Dari kenyataan ini terlihat, adanya perwakilan, dimana seseorang melakukan suatu pengurusan suatu kepentingan tetapi bukan untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain yaitu pemilik kepentingan yang sebenarnya.

Dalam bahasa hukum, perwakilan ini disebut juga dengan nama pemberian kuasa.

Pemberian kuasa sudah biasa dan sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari walaupun dilakukan dalam cara yang sangat sederhana dan tanpa ada perjanjian tertulis. Pasal 1792 KUHPerdata memberikan pengertian pemberian kuasa sebagai berikut : “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

(39)

Menyelenggarakan suatu urusan yang dimaksud adalah melakukan suatu perbuatan hukum, yaitu suatu perbuatan yang mempunyai akibat hukum. Bahwa apa yang dilakukan itu adalah atas tanggungan si pemberi kuasa dan segala hak dan kewajiban yang timbul dari perbuatan yang dilakukannya itu menjadi hak dan kewajiban orang yang memberi kuasa.43

Pemberian kuasa sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 1792 KUHPerdata, adalah persetujuan seseorang sebagai pemberi kuasa dengan orang lain sebagai penerima kuasa; guna melakukan perbuatan/tindakan untuk dapat “atas nama” si pemberi kuasa. Dari pengertian yang tersebut, sifat pemberian kuasa tiada lain dari pada mewakili atau perwakilan.44 Pemberian kuasa itu menerbitkan

“perwakilan”45

1. Pemberian kuasa tersebut merupakan suatu perjanjian;

, yaitu adanya seorang yang mewakili orang lain untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Perwakilan seperti ini ada yang dilahirkan oleh Undang- Undang dan ada oleh suatu perjanjian.

Ketentuan Pasal 1792 KUHperdata maka dapat diambil kesimpulan bahwa unsur dari pemberian kuasa adalah :

2. Adanya penyerahan kekuasaan atau wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima kuasa;

3. Adanya perwakilan, yaitu seseorang mewakili orang lain dalam mengurus suatu kepentingan.

43R.Subekti ,Op.cit, hlm.141.

44M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm.306.

45R.Subekti ,Op.cit, hlm.141.

(40)

Aspek yang perlu diperhatikan dari batasan tersebut di atas bahwa pemberian kuasa harus berupa “menyelenggarakan suatu urusan”, dalam arti melakukan suatu perbuatan hukum tertentu yang akan melahirkan akibat hukum tertentu karena perbuatan hukum itulah yang bisa dikuasakan kepada orang lain. Dalam pemberian kuasa, orang yang telah diberikan kepadanya kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum maka apa yang dilakukannya dalam pengurusan adalah atas nama orang yang memberikan kuasa.

2. Jenis-Jenis Surat Kuasa

Pasal 1793 KUHPerdata menyatakan dari cara pemberian kuasa dapat diberikan dan diterima, yaitu dengan memakai:

1. Akta Umum

Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta otentik.

Adapun yang dimaksud dengan Akta Otentik, dinyatakan dalam Pasal 1868 KUHPerdata :

“Suatu Akta Otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh dan dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akta dibuat”

2. Tulisan Dibawah Tangan

Pemberian kuasa dengan surat dibawah tangan adalah pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya surat pemberian kuasa itu diletakkan didalam suatu surat diatas segel dan hanya dibuat oleh para

(41)

pihak tanpa melalui seorang pejabat umum pemberian kuasa ini. Dengan kekuatan pembuktiannya terletak pada segi pengakuan saja, kalau diakui maka akan menjadi bukti yang sempurna, namun apabila disangkal maka orang yang mempergunakannya harus membuktikan kebenarannya. Tulisan dibawah tangan ini apabila didaftarkan atau dicatat pada pejabat umum/Notaris dapat ditingkatkan menjadi akta otentik.

3. Sepucuk Surat

Pemberian kuasa yang diberikan dengan cara surat biasa adalah surat tidak diatas segel yang juga memuat persetujuan yang dinyatakan antara si pemberi kuasa dengan si penerima kuasa untuk melakukan suatu perbuatan hukum.

4. Lisan

Pemberian kuasa yang dilakukan dengan diucapkan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa dan selanjutnya pemberian kuasa ini diterima baik oleh penerima kuasa.

5. Secara Diam-Diam

Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.

Pasal 1795 KUHPerdata menyatakan dari sifat perjanjiannya, maka pemberian kuasa dapat dengan cara, yaitu :

(42)

1. Pemberian Kuasa Khusus

Pasal 1795 KUHPerdata menyatakan : “Pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu mengenai hanya satu kepentingan tertentu atau lebih, atau secara umum, yaitu meliputi segala kepentingan si pemberi kuasa”46

Pemberian kuasa secara khusus ini berisi tugas tertentu.Pemberi kuasa hanya menyuruh si kuasa untuk melaksanakan suatu atau beberapa hal tertentu saja contohnya hanya untuk menjual sebuah rumah, atau untuk menggugat seseorang tertentu saja.47

2. Pemberian Kuasa Umum

Bentuk inilah yang menjadi landasan pemberian kuasa untuk bertindak di depan pengadilan mewakili kepentingan pemberi kuasa sebagai pihak principal.

Namun, agar bentuk kuasa yang disebut dalam pasal ini sah sebagai surat kuasa khusus di depan pengadilan, kuasa tersebut harus disempurnakan terlebih dahulu dengan syarat-syarat yang disebut Pasal 123 HIR.

Pemberian kuasa umum yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa yang isi atau substansi luasnya bersifat umum dan segala kepentingan diri pemberi kuasa.

Pasal 1796 ayat (1) KUHPerdata menyatakan :

“Pemberian kuasa yang dirumuskan dalam kata-kata umum, hanya meliputi perbuatan-perbuatan pengurusan”48

46 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 1795.

47 M.Yahya Harahap, Op.cit, hlm.309.

48 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Pasal 1796 ayat (1).

(43)

Menurut Pasal ini, kuasa umum bertujuan memberi kuasa kepada seseorang untuk mengurus kepentingan pemberi kuasa, yaitu:

1. Melakukan tindakan pengurusan harta kekayaan pemberi kuasa;

2. Pengurusan itu, meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan pemberi kuasa atas harta kekayaannya;

3. Dengan demikian titik berat kuasa umum, hanyalah meliputi perbuatan dan pengurusan kepentingan pemberi kuasa

Segi hukum dari kuasa umum adalah pemberian kuasa mengenai pengurusan yang disebut beherder atau manager untuk mengatur kepentingan pemberi kuasa.

Oleh karena itu, ditinjau dari segi hukum surat kuasa umum tidak dapat dipergunakan di depan pengadilan untuk mewakili pemberi kuasa. Sebab sesuai dengan ketetntuan Pasal 123 HIR untuk dapat tampil di depan pengadilan sebagai wakil pemberi kuasa, penerima kuasa harus mendapat surat kuasa khusus.49

3. Pemberian Kuasa Istimewa

Pasal 1796 KUHPerdata mengatur perihal pemberian kuasa istimewa, selanjutnya ketentuan pemberian kuasa istimewa dapat dikaitkan dengan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG. Beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kuasa tersebut sah menurut hukum sebagai kuasa istimewa.50

49 Ibid, hlm.6.

50 Ibid, hlm.7.

(44)

a. Bersifat Limitatif

Kebolehan memberi kuasa istimewa hanya terbatas untuk tindakan tertentu yang sangat penting. Pada prinsipnya perbuatan hukum yang bersangkutan hanya dapat dilakukan oleh pemberi kuasa sendiri. Jadi, pada dasarnya pembuatan kuasa tersebut tidak dapat dilakukan oleh kuasa berdasarkan surat kuasa biasa. Untuk menghilangkan ketidakbolehan itu, dibuatlah bentuk kuasa istimewa sehingga suatu tindakan yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang bersangkutan secara pribadi dapat diwakilkan kepada penerima kuasa. Tentang lingkup tindakan yang dapat diwakilkan berdasarkan kuasa istimewa, hanya terbatas :

1) Untuk memindahkan benda-benda milik pemberi kuasa, atau untuk meletakkan hipotek (hak tanggungan) di atas benda tersebut;

2) Untuk membuat perdamaian dengan pihak ketiga;

3) Untuk mengucapkan sumpah penentu (decisoir eed) atau sumpah tambahan (suppletoir eed) sesuai dengan ketentuan Pasal 157 HIR atau Pasal 184 RBG.

b. Harus berbentuk akta otentik

Menurut Pasal 123 HIR, surat kuasa istimewa hanya dapat diberikan dalam bentuk surat yang sah. R. Soesilo menafsirkannya dalam bentuk akta otentik dan pendapatnya diterima secara umum oleh praktisi hukum. Oleh karena itu, agar pemberian kuasa istimewa sah menurut hukum harus dibuat dalam

(45)

bentuk akta notaris. Dalam akta itu ditegaskan dengan kata-kata yang jelas mengenai tindakan apa yang hendak dilakukan kuasa.51

4. Pemberian Kuasa Perantara

Kuasa Perantara disebut juga agen (Agent). Kuasa ini dikontruksi berdasarkan Pasal 1792 KUHPerdata dan Pasal 62 KUHD yang dikenal dengan agen tetapi lazim disebut “perwakilan dagang”. Dalam hal ini pemberi kuasa sebagai memberi perintah kepada pihak kedua dalam kedudukannya sebagai agen atau perwakilan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu dengan pihak ketiga dan yang dilakukan agen langsung mengikat kepada principal, sepanjang hal itu tidak bertentangan atau melampaui batas kewenangan yang diberikan.

Kuasa menurut hukum maksudnya, Undang-Undang sendiri telah menetapkan seseorang atau suatu badan untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak mewakili orang atau badan tersebut tanpa memerlukan surat kuasa.

Ada beberapa kuasa menurut hukum yang dapat bertindak mewakili kepentingan orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa khusus dari orang atau badan tersebut : 52

1. Wali terhadap anak dibawah umur.

2. Kurator atas orang yang tidak waras.

3. Orang tua terhadap anak yang belum dewasa.

4. BHP sebagai kurator kepailitan.

5. Direksi perusahaan perseroan badan hukum.

6. Direksi perusahaan perseroan (Persero).

7. Pimpinan perwakilan perusahaan asing.

8. Pimpinan cabang perusahaan domestik.

51 Ibid, hlm.8.

52 Ibid, hlm.9.

(46)

B. Keberadaan Surat Kuasa Mutlak Dalam Peraturan Perundang- Undangan Yang Berlaku

1. Surat Kuasa Mutlak Menurut KUHPerdata

Hukum yang dihasilkan dalam praktek bisnis sehari-hari yang dilakukan adalah keberadaan surat kuasa mutlak (irrevocable power of attorney). Dasar hukum surat kuasa di Indonesia adalah Pasal 1792 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dalam KUHPerdata sendiri tidak ditemui pengaturan mengenai surat kuasa mutlak ini. Dampak sebuah surat kuasa mutlak adalah pemberi kuasa tidak dapat mencabut kuasanya dari penerima kuasa. Biasanya sebuah surat kuasa akan dianggap sebagai surat kuasa mutlak dengan dicantumkan klausula bahwa pemberi kuasa akan mengabaikan Pasal 1813 jo. Pasal 1814 KUHPerdata mengenai cara berakhirnya pemberian kuasa.

Menurut kedua pasal itu, kuasa berakhir dengan penarikan kembali kuasa dari penerima kuasa, pemberitahuan penghentian kuasa oleh penerima kuasa, meninggal, pengampuan atau pailitnya pemberi kuasa maupun penerima kuasa, dan penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa. Pencantuman klausula yang mengabaikan kedua pasal itu, maka pemberi kuasa menjadi tidak dapat lagi menarik kembali kuasanya tanpa kesepakatan pihak penerima kuasa. Dasar pemikiran yang mendukung pengabaian Pasal 1813 jo Pasal 1814 KUHPerdata adalah karena hukum perdata memiliki prinsip sebagai hukum pelengkap atau aanvullen recht. Selain itu tentu saja prinsip inti dari semua perjanjian, yaitu asas konsensualisme, dan asas kebebasan berkontrak.

(47)

Banyak sekali contoh pemberian surat kuasa mutlak, terutama dalam transaksi bisnis. Misalnya dalam hubungan hutang piutang, dimana debitur menjaminkan tanah atau bangunan miliknya untuk diletakan hak tanggungan, sedangkan pihak kreditur merasa belum perlu untuk meletakkan hak tanggungan itu. Lazimnya agar tetap merasa aman kreditur akan meminta kuasa untuk meletakkan hak tanggungan atas tanah dan bangunan debitur yang tidak dapat dicabut kembali.

Salah satu bentuk lex mercatoria yang sudah menjadi hukum kebiasaan sehari-hari dalam bisnis, seharusnya praktek pembuatan surat kuasa mutlak tidak perlu dipertanyakan lagi. Bunyi Pasal 1792 KUHPerdata adalah sebagai berikut:

“Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa”.

Berdasarkan ketentuan itu, maka unsur yang harus ada dalam sebuah pemberian kuasa adalah adanya persetujuan, yang berisi pemberian kekuasaan atau kepada orang lain dimana kekuasaan itu diberikan untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberi kuasa. Dengan tetap berpegangan pada unsur-unsur itu, maka dapat disimpulkan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa terjadi hubungan seperti layaknya atasan dan bawahan, karena penerima kuasa harus menjalankan tugas dari pemberi kuasa. Kekuasaan yang dilimpahkan oleh pemberi kuasapun juga mutlak berasal dari dirinya. Mustahil pemberi kuasa dapat melimpahkan kekuasaan yang merupakan milik orang lain.

(48)

Kekuasaan pemberi kuasa adalah mutlak, maka dirinya juga memiliki kebebasan penuh untuk mencabut kekuasaan tersebut dari penerima kuasa. Memang masih dimungkinkan pemberi kuasa memperjanjikan untuk tidak menarik kembali kuasa yang telah diberikan. Namun tetap saja praktek semacam ini kedengarannya sangat janggal, karena ada sebuah kekuasaan yang berasal dari pemberi kuasa namun dia tidak diperbolehkan untuk menarik kembali kekuasan tersebut.

Pencantuman persetujuan dari pemberi kuasa untuk mengabaikan Pasal 1813 dan Pasal 1814 KUHPerdata adalah praktek yang tidak sesuai dengan Undang- Undang yang berlaku. Memang benar sebagai hukum pelengkap, maka ada beberapa pasal dalam KUHPerdata yang dapat diabaikan. Namun penyimpangan itu hanya berlaku untuk Pasal-Pasal tentang perjanjian dalam buku III KUHPerdata, itupun tidak semua pasal boleh diabaikan begitu saja. Sedangkan ketentuan pemberian kuasa diletakkan pada Buku IV, sehingga walau ada sifat persetujuan dalam pemberian kuasa. Akan tetapi persetujuan tersebut bukanlah persetujuan bersifat dua arah dan bertimbal balik seperti perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Buku III KUHPerdata.53

Pasal 1813 KUHPerdata diabaikan, selain karena sifat dan kekuatan hukum dari pasal tersebut yang memang tidak boleh diabaikan, ketentuan pasal tersebut juga tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang dapat diabaikan begitu saja, apalagi oleh perjanjian saja, kecuali bila revisi tersebut dilakukan oleh peraturan perundang- undangan yang baru. Pasal 1813 KUHPerdata menyatakan maka salah satu

53 Muhammad Adam, Ilmu Pengetahuan Notariat, Bandung : Sinar Baru, 1985, hlm.247.

(49)

mekanisme berakhirnya surat kuasa adalah manakala pemberi kuasa meninggal, dalam pengampuan ataupun pailitnya salah satu pihak, dilihat dari segi apapun, maka syarat berakhirnya kuasa dari pasal a quo sangat logis. Yang tidak dapat diterima akal sehat adalah para pihak yang mengabaikan bunyi pasal tersebut. Karena dengan demikian mereka mengatakan bahwa walaupun salah satu pihak meninggal atau pailit, maka hubungan kuasa tersebut tetap dapat berjalan.

Analisa hukum paling sederhanapun akan mengatakan bahwa mengingat kekuasaan berasal dari pihak pemberi kuasa, dengan meninggalnya pemberi kuasa, maka kekuasaan yang telah diberikan kepada orang lain yang berasal dari dirinyapun akan hilang dengan sendirinya. Sementara apabila penerima kuasa yang meninggal, juga secara otomatis mengakhiri, karena penerima kuasa telah kehilangan kemampuan untuk melaksanakan kuasa tersebut. Memang dalam sebuah surat kuasa biasanya juga dilampirkan pemberian kuasa substitusi untuk menggantikan penerima kuasa pada saat dirinya kehilangan kemampuan untuk menjalankan kuasa. Tetapi ini adalah masalah yang berbeda.

Pailitnya salah satu pihak juga logis apabila kuasa berakhir. Akibat adanya kepailitan, maka semua pihak yang dipailitkan akan kehilangan kekuasaannya atas harta miliknya, dan dialihkan kepada kurator ataupun balai harta peninggalan. Begitu juga dengan diampunya salah satu pihak yang akan mengalihkan kekuasaan kepada walinya.

Surat kuasa mutlak merupakan surat kuasa yang tidak dapat dan tidak boleh dipraktekkan karena tidak sejalan dengan undang-undang yang berlaku. Pemberi

(50)

kuasa yang terlanjur menandatangani surat kuasa semacam ini memiliki posisi kuat di hadapan pengadilan. Namun bagi penerima kuasa yang memiliki status sebagai kreditur dari pemberi kuasa, dilihat dari segi apapun untuk mencegah terjadinya pencabutan kuasa memang lemah, akan tetapi hanya terbatas yang berhubungan dengan surat kuasa tersebut, sebab penerima kuasa boleh saja memegang surat perjanjian dari pemberi kuasa yang sepakat untuk tidak melakukan pencabutan secara sepihak tanpa mempertimbangkan penerima kuasa.

Pemberi kuasa walaupun tetap berhak penuh untuk mencabut kuasanya secara sepihak kapan saja, namun penerima kuasa yang memegang perjanjian dari pemberi kuasa untuk tidak melakukan pencabutan kuasa secara sepihak dapat menggugat dengan dasar ingkar janji pada pihak pemberi kuasa.Perlu dicatat bahwa gugatan tersebut tidak dapat membatalkan pencabutan kuasa.

2. Surat Kuasa Mutlak Menurut Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah

Peralihan maupun pembebanan hak-hak atas tanah, baik hak milik maupun hak-hak atas tanah lainnya yang dapat dialihkan atau dibebani haknya, maka menurut peraturan perundangan-undangan wajib didaftarkan. Peralihan hak yang dimaksudkan terjadi baik karena jual beli, pelepasan hak maupun karena suatu perjanjian pemberian pembebanan sebagai ikutan perjanjian hutang. Kewajiban tersebut dibebankan kepada semua pihak, baik oleh orang perseorangan maupun badan hukum

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil pembahasandisimpulkan bahwa tanggung jawab PPAT terhadap penggunaan blanko akta PPAT dalam menjalankan tugasnya berdasarkan pada Surat Edaran Nomor :

Pasal 1867 KUH Perdata yang berbunyi: “Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan (akta) autentik suatu akta autentik jual beli tanah dapat dibatalkan

Praktek pembuatan akta Notaris yang sering memasukkan klausula kuasa mutlak, merupakan kuasa yang sah apabila tidak bertentangan dengan ketentuan Intruksi Menteri Dalam

Hendaknya pihak yang dirugikan atas terbitnya akta jual beli hak atas tanah yang bersertipikat oleh PPAT yang mengandung unsur perbuatan melawan hukum dan cacat

Abdul Rokman, “ Tanggung Jawab Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya”, Skripsi, Fakultas Hukum

Selanjutnya akta jual beli dan persyaratan-persyaratan lainnya yang telah terpenuhi berikut sertipikat hak atas tanahnya didaftarkan dikantor pertanahan setempat, guna

Bertolak dari hal itu, maka persoalan penelitian ini adalah bagaimana kedudukan surat keterangan Notaris yang dikuti kuasa menjual sebagai dasar dibuatnya akta jual beli

Bahwa perbuatan hukum jual beli atas tanah dan bangunan objek perkara a quo terjadi dalam kurun waktu sebagaimana disebutkan dalam Akta Jual Beli Nomor 189/2015 yaitu tanggal