• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnalistik Radio

Dalam dokumen SKRIPSI BUNGA ANALISIS ISI skripsi (Halaman 33-40)

Jurnalistik atau journalisme berasal dari kata journal yang berarti catatan harian atau catatan mengenai kejadian sehari – hari. Journal berasal dari kata latin diurnalis yang berarti harian atau tiap hari. Pernyataan MacDougall (Kusumaningrat: 2007: 15):

Journalisme adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta dan melaporkan peristiwa. Keperluan untuk mengetahui apa yang terjadi merupakan kunci lahirnya jurnalisme selama berabad – abad. Tetapi jurnalisme itu sendiri baru benar – benar mulai digunakan sekitar tahun 1440. Jurnalisme sangat diperlukan dalam suatu negara demokratis. Tidak peduli apapun perubahan – perubahan yang terjadi dimasa depan baik mengenai sosial, ekonomi ataupun politik.

Jika dikaitkan dengan penelitian maka kegiatan sehari – hari para pekerja di Sindo Trijaya FM merupakan kegiatan journalisme. Para pekerja rutin media di Sindo Trijaya FM yang menempatkan diri sebagai radio yang memiliki 80% porsi pemberian informasi menandakan bahwa Sindo Trijaya FM mewujudkannya denga melakukan pengumpulan berita dengan mencari fakta dan melaporkannya kepada pendengarnya.

Astuti (2008: 55) juga menjelaskan, bahwa “Awal mula sejarah jurnalisme radio di Indonesia dimulai ketika negara ini baru akan memulai kemerdekaannya. Gaung Proklamasi Indonesia ditangkap di seluruh Nusantara melalui gelombang siaran radio yang berpusat di Bandung, tepatnya di Palasari Dayeuhkolot Bandung. Fungsi jurnalisme radio dipraktikan oleh Radio Republik Indonesia atau RRI sebagai bagian dari tanggungjawab sosial. RRI mengemban fungsi yang sangat strategis. RRI menjadi bagian dari pendidikan massa dan pemersatu bangsa, disamping tentunya berfungsi untuk menghibur.”

Ketika radio – radio swasta bermunculan, beberapa radio mengambil peran untuk berkiprah dalam dunia jurnalistik. Di Bandung, tercatat Radio Mara yang berupaya menjalankan fungsi radio jurnalistik secara konsisten. Di Jakarta ada radio Trijaya FM dan Elshinta. Di Surabaya, ada Suara Surabaya yang sukses mengembangkan jurnalisme radio di Jawa Timur, bahkan menjadi model bagi aplikasi jurnalisme di wilayah lainnya (Astuti: 2008: 58).

Jurnalisme radio dicirikan oleh kerja jurnalisme pada umumnya. Ada proses pengumpulan berita, produksi atau pengolahan fakta menjadi bentuk – bentuk berita dan penyiaran berita. Yang membedakan hanyalah sifat medianya, sehingga cara kerjanya pun menjadi spesifik dan khas. J.B.Wahyudi membagi karya atau produk berita radio menjadi dua pokok besar, yang masing – masing memiliki kekhasan tersendiri dalam mempelakukan ide (dalam Astuti: 2008: 55) :

Yang pertama adalah Karya artistik, yaitu sesuatu yang diproduksi dengan pendekatan artistik yang berlandaskan fiksi atau fakta yang dalam hal ini boleh diperlakukan sebagai fiksi. Karya artistik mengandalkan dramatisasi. Contohnya: sandiwara radio dan iklan. Kemudian adalah Karya jurnalistik, sesuatu yang diproduksi dengan pendekatan jurnalistik, diikat oleh kaidah, standar, hukum dan kode etik jurnalistik.

Bertitik tolak pada fakta, dramatisasi demi objektivitas dan kesakralan fakta dijaga sebisa mungkin agar tidak membiaskan karyanya. Contohnya bisa dilihat pada berita, dokumenter dan feature.

Menurut Astuti (2008: 57) “Seiring dengan kebutuhan informasi yang kian mendesak, dan jika radio hanya hanyut dalam fungsi hiburan saja maka dirasa radio gagal memenuhi fungsi lengkapnya terhadap publik.”

Pernyataan yang lainnya juga dijelaskan Masduki bahwa sesungguhnya konsep radio for society sesungguhnya sangat ideal jika digunakan sebagai pijakan untuk mengembangkan jurnalisme radio di tanah air. Hal ini disebabkan dengan alasan: (Astuti, 2008: 57)

Pertama, radio sebagai media penyampaian informasi dari satu pihak ke pihak lain. Kedua, radio sebagai sarana mobilisasi pendapat publik untuk mempengaruhi kebijakan. Ketiga, radio sebagai sarana untuk mempertemukan dua pendapat berbeda atau diskusi untuk mencapai solusi bersama yang saling menguntungkan. Keempat, radio sebagai sarana untuk mengikat tali kebersamaan dalam semangat kemanusiaan dan kejujuran.

Menurut peneliti, seiring semakin tingginya kebutuhan pendengar akan informasi dan hiburan dari media radio, menyebabkan semakin banyak bermunculan radio-radio yang menyajikan program-program acara yang dikemas sedemikian rupa secara menarik, agar pendengar lebih tertarik untuk mendengarkan program acara tersebut. Radio yang muncul berlomba-lomba untuk menyajikan acara yang menarik. Banyak radio yang menyajikan program yang ‘beda’ tetapi tetap disukai oleh pendengar. Maraknya jumlah radio siaran yang ada, membuat masyarakat mempunyai banyak pilihan untuk memilih radio mana yang pantas untuk mereka dengar. Hal tersebut kemudian menyebabkan persaingan yang semakin ketat antara radio satu dengan radio lainnya dalam merebut perhatian pendengar.

Masih dalam pendapat peneliti, hal ini menuntut para pekerja radio untuk lebih kreatif dalam menyajikan program-program yang variatif dan ‘menjual’ agar stasiun radio pun memperoleh banyak pendengar, dengan cara mengemas acara sedemikian rupa sehingga dapat menambah jumlah pendengar dan mempertahankan pendengar setia. Berbagai program yang ditawarkan dikemas untuk menarik perhatian pendengar dan menciptakan citra yang baik dan positif dimata pendengar atau masyarakat, mulai dari yang bersifat menghibur, informasi, sampai yang bersifat mendidik. Di Jakarta sendiri mulai banyak bermunculan radio-radio swasta yang menawarkan program-program yang menarik.

Meskipun, munculnya program – program menarik seperti program sport, program musik atau program kuis. Program berita tetap mendapat tempat utama dihati pendengarnya.

Sebab, program berita hampir seluruhnya menyajikan informasi yang dibutuhkan oleh khalayak. Program berita terbagi menjadi dua. Yaitu hard news yang berisakan informasi dari dunia politik, hukum, dan ekonomi serta light news yang memiliki isi informasi ringan seperti olahraga, budaya dan teknologi atau ilmu pengetahuan.

2.8 Kepemilikan Media Berdampak Pada Isi Media

Struktur kepemilikan media baik non – profit, publik atau swasta dipandang memiliki dipandang memiliki pengaruh langsung terhadap isi media. Ada beberapa fokus permasalahan yang terjadi ketika sebuah sturktur kepemilikan media dihubungkan dengan konten media yang dijalani oleh para pekerjanya: (Devereux, 54:2005)

Pertama, pengkonsenterasiaan kepemilikan media massa oleh sejumlah kecil konglomerat multimedia transnasional. Kedua, adanya kontrol atau kepemilikan kepentingan oleh konglomerat pemilik media dalam membangun medianya. Yang ketiga, penyusutan peran media yang menjadi ruang publik demi peningkatan diri terhadap kepentingan yang terkonsentrasi oleh konglomerat. Keempat, terjadi pergeseran minat terhadap sebuah program jurnalisme berita dan hanya memfokuskan pada program yang berisi hiburan dan popularisme semata. Kelima, adanya perubahan makna dari arti penonton menjadi konsumen ketimbang warga. Yang keenam dan terakhir terdapat kekuatan yang saling terkait antara ekonomi dengan politik dari kepemilikan media.

Dari pernyataan Dereux diatas dapat disimpulkan bahwa faktor – faktor yang memberikan dampak terhadap sebuah isi media adalah pemilik, isi dan pekerja media tersebut. Ketika sebuah media dimiliki oleh seseorang yang memiliki tujuan subtansional berupa tujuan politik, maka dapat dipastikan aktivitas dari para pekerja dimedia tersebut sangat dikontrol sehingga nantinya akan berdampak pada sebuah isi dari program atau bahkan berita yang dibuat. Isi dari program atau sebuah berita yang dibuat tak lagi bernilai akurat dan seperti apa yang ingin dilihat, dengar dan baca oleh publik. Isi dari program atau sebuah berita lebih banyak terfokuskan pada nilai – nilai popularisme dari pemilik media.

Pengalaman lain juga menunjukan, media yang terlampau dibebani berbagai misi politik, mengakibatkan kreativitas pelayanannya terkoopitasi oleh berabagai kepentengin diluar kerangka profesionalismenya. Pernyataan ini juga didukung oleh pendapat Muffid yang ditulis dalam bukunya: (Mufid, 2010: 299)

Misi politik dalam kebijakan redaksi, ataupun yang terkait pada pola dan format siaran media massa cetak serta elektronik, akan mempersulit pengelolaan media yang bersangkutan dengan gaya santai, dalam arti tidak membutuhkan berbagai analisis persepsional serius, sebagaimana kecenderungan keinginan rata – rata publiknya.

Fenomena konglomerasi industri media merupakan krisis lain dari demokrasi media yang bisa melemahkan fungsi kontrol media dalam upaya membangun masyarakat mandiri karena berkembang biaknya bisnis industri pers yang rawan menimbulkan konflik kepentingan. Konflik kepentingan perusahaan media yang sudah menggurita bisnisnya itu, antaralain bisa terjadi dengan pemasang iklan, politikus, pimpinan pemerintahan dan pihak lainnya sehingga menyebabkan media tersebut tidak lagi kritis. Karena media tidak lagi kritis, maka semakin sedikit kepentingan publik yang diangkat oleh media massa. Padahal, pers harus meningkatkan fungsi kontrol sosialnya agar penyimpangan – penyimpangan yang merugikan rakyat seperti pemberitaan yang berat sebelah tidak terjadi lagi.

Jika dikaitkan dengan penelitian, Sindo Trijaya FM yang pada dasarnya dimiliki oleh seorang politikus ketika berada didalam medianya sangat terasa aroma persaingan perebutan porsi pemberitaan. Tentu saja hal ini sangat menekan kreativitas dari para reporter ataupun rutin pekerja ditempat ini. Tidak jarang para reporter harus mencari berita yang sangat bertentangan dengan hak politik didalam dirinya. Sudah bukan rahasia umum lagi ketiga pemilik dari perusahaan Sindo Trijaya FM menggencarkan kegiatan politiknya dengan mendeklarasikan diri sebagai calon bakal wakil presiden Indonesia 2014. Tidak juga heran saat partai tempatnya bernaung mengadakan acara. Maka Sindo Trijaya FM sebgai salah satu media massa yang dimilikinya langsung saja berubah fungsi menjadi media kampanye gratisan. Tak jarang ketika partai Hanura ataupun Hari Tanoesoedibjo melakukan kegiatan politik Sindo Trijaya FM harus mengirmkan reporternya untuk meliput agenda acara tersbut. Hal ini tentu saja dipandang tidak etis. Sindo Trijaya FM yang kaidahnya adalah sebuah media siaran publik berubah fungsinya menjadi media siaran private. Maksudnya adalah saat itu Sindo Trijaya FM tidak menjalankan fungsinya untuk memberitakan tentang informasi apa yang sedang dibutuhkan oleh publik. Kepentingan pemilik media untuk mencampuri isi medianya juga dapat terlihat saat Sindo Trijaya FM memberitakan hal – hal negatif tentang roda pemerintahan yang sedang berlangsung saat ini. Tidak jarang porsi pemberitaan negatif seperti korupsi bisa muncul di setiap program Live Report.

Menurut Ashadi Siregar yang pernyataannya disampaikan melalui (www.forum- rektor.org) :

Keberadaan media massa perlu dilihat dalam konteks epistemologis, dengan melihat jurnalisme sebgai suatu susunan pengetahuan dalam menghadapi realitas sosial. Dengan adanya jurnalisme, maka dikenal media jurnalisme yang dapat dibedakan dengan genre media massa lainnya. Media jurnalisme mengutamakan informasi faktual berkonteks kehidupan publik, berbeda dengan media massa hiburan yang mengutamakan informasi fiksional berkonteks kehidupan privat atau pribadi (Mufid, 2010:300).

Jika dikaitkan dengan penelitian maka, ketika Sindo Trijaya FM menempatkan diri sebagai sebuah radio siaran milik publik dengan profilnya sebagai radio berita maka seharusnya berita yang tersaji adalah berita – berita yang memang dibutuhkan publik atau khalayak. Bukan sekedar berita mengenai kehidupan pribadi atau misi politik dari pemilik perusahaan. Berita – berita dalam program Live Report yang diudarakan pada tanggal 1 Maret hingga 31 Maret 2014 yang lalu yang notabene merupakan masa kampanye dalam rangkaian pemilihan umum yang terlebih dahulu dimulai dengan pemilihan legislatif. Sindo Trijaya FM harus tetap berdiri sebagai radio siaran yang memberikan informasi faktual yang memang ditujukan bagi kepentingan publik. Sindo Trijaya FM tidak boeh berada didalamsatu jalur misalnya dengan membuat berita yang berisikan mengenai Partai politik milik Haritanoe Soedibjo yang memang terjun dalam keramain pemilu tahun 2014 sebagai calon presiden yang berasal dari Partai Hanura.

Masih menurut Ashadi Siregar (Muffid, 2010:300):

Media jurnalisme ditandai dengan fungsinya sebagai institusi sosial yang mengangkat fakta – fakta sosial sebagai informasi jurnalisme. Dengan begitu fungsi utamanya adalah untuk menyampaikan berita. Berita ( news- stroy) dapat dibicarakan dalam berbagai definisi, mulai dengan cara mengambil salah satu unsur kelayakan berita ( newssworthy) seperti kebaruan (newness) atau penting (signifincance), atau dengan formula simpel “K” seperti konflik, kantong (uang) dan kelamin (seks). Ini semua adalah hal teknis untuk memproduksi berita itu sementara bisa ditinggalkan, untuk masuk ke subtansi jurnalisme, bahwa berita adalah fakta sosial yang direkonstruksikan untuk kemudia diceritakan. Cerita tentang fakta sosial inilah kemudian ditampilkan di media massa. Motif khalayak dalam menghadapi media massa khususnya media jurnalisme pada dasarnya adalah untuk mendapatkan fakta sosial.

Masih dengan pernyataanya Ashadi:

Orientasi jurnalisme pada dasarnya bertolak dari dua sisi, pertama bersifat teknis yaitu dengan standar kelayakan berita (newsworthy), dan kedua bersifat etis dengan standar normatif dalam menghadapi fakta – fakta. Hal pertama merupakan resultan dari dorongan kepentingan pragmatis khalayak dan pengelola media. Kepentingan pragmatis khalayak dapat bersifat sosial atau psikis. Sementara kepentingan pragmatis pengelola media dapat mewujud dalam kaitan politis dan ekonomis. Dengan kepentingan pragmatis pengelola media, berakibat pada dinamika media jurnalisme yang tidak menjalankan fungsi imperatif bagi publiknya, melainkan bertolak dari kecenderungan subyektifnya sendiri maupun kepentingan subyektif pihak lain yang bukan khalayaknya. Dengan kata lain, media tidak menjalankan fungsi imperatif sosial, tetapi menjalankan fungsi organik dari institusi politik dan bisnis (Muffid, 2010: 301).

Kepentingan media dilihat melalui orientasinya, untuk itu dihipotesiskan dengan menjalankan orientasi sosial, maka fungsi imperatif ini menjadi rendah jika media menjalankan orientasi ekonomi – politik. Hal ini juga akan berhubungan dengan landasan otonomi dan independensi dengan orientasi sosial yanga akan menggerakan fungsinya dalam kebijakan pemberitaan.selain itu, kebijakan dengan orientasi sosial akan melahirkan kecenderungan obyektivikasi untuk mencapai obyektivitas informasi, sedangkan dalam orientasi ekonomi – politik dalam proses komodifikasi yang menghasilkan komoditas ekonomi (bisnis) taupun politik.

Jika dikaitkan dengan penelitian, maka Sindo Trijya FM yang berada pada frekuensi publik harusnya menempatkan diri sebagai media yang menjalankan orientasi sosial. Yaitu dengan memberikan pemberitaan – pemberitaan yang berlandaskan pada berita yang objektif agar tercapainya orientasi atau landasan pemenuhan informasi. Namun jika dilihat dari pemberitaan yang sering muncul apalagi dalam masa kampanye pemilu legislatif dan pemilihan umum tidak jarang pemberitaan yang diudarakan berorintasi hanya pada landasan menegenai ekonomi dan politik dengan melalui komofikasi yang akhirnya berujung pada bisnis ataupun misi politik.

Selain itu Muffid juga menjelaskan adanya orientasi bersifat etis yang berada dalam tataran ideal normatif. “Yaitu cita – cita sosial yang ingin diwujudkan oleh pengelola media dalam kaidah profesionalisme”. Muffid juga menjelaskan bahwa: (2010: 302)

Dalam lingkup masyarakat demokratis, media massa khususnya media jurnalisme menjalankan fungsi imperatif secara obyektif dalam proses yang menghubungkan warga dengan kehidupan publik, dengan tujuan agar warga dapat terlindungi dan penetrasi kekuasaan struktural dari negara, modal dan sosial ( komunalisme ataupun agama). Obyektifitas warga masyarakat terhadap kehidupan publik menjadi landasan dalam kekuatan rasionalitasnya dalam menghadapi kekuasaan struktural. Dari sini keberadaan kerja jurnalisme sebagai suatu profesi dilihat perannya dalam konteks struktur sosial. Sebab suatu profesi tidak sekedar komponen dalam proses manajemen korporasi, tetapi juga bekerja dengan kekuasaan. Inilah yang mendasari perlunya kesadaran etis bagi pelaku profesi untuk berpegangan pada kaidah kebenaran.

Hakikat seorang jurnalis dijelaskan oleh Muffid yaitu: ( 2010: 302 – 303 )

Pada hakikatnya jurnalis adalah pekerjaan kultural karena beururusan dengan wacana. Dia dapat saja menjadi semcam pedagang jika media yang diurusnya sebagai komoditas ekonomi, atau broker kekuasaan jika mengurusi informasi sebagai komoditas politik. Sebagai pkerja dia tentu saja harus bertanggungjawab dalam akuntabilitas sosial kepada publik. Tanggungjawab moral inilah yang membedakan pelaku profesional dengan seorang pekerja umumnya. Pandangan yang menempatkan jurnalis sebagai pekerja dalam manajemen, telah meredusir makna kultural profesi ini sebagai pertukangan. Hal ini pula yang menyebabkan kemudian pekerja jurnalisme dalam kerjanya merasa sudah cukup dengan memahami dan menjalankan jurnalisme pada tataran teknis, tidak berkehendak untuk menempatkannya pada tataran epistemologi.

Masih menurut Muffid “ Dalam tataran teknis, proses kerja seorang jurnalis dalam mengolah fakta publik ke informasi jurnalisme digerakkan oleh politik pemberitaan (newsroom policy) dari organisasi keredaksiannya”. (2010: 303)

Politik pemberitaan dapat berbeda antara satu media dengan media lainnya, tetapi semua dapat dikembalikan pada kaidah universal, yaitu sejauh mana proses pemberitaan dapat mentransformasikan wacana fakta sosial secara identik sebagai wacana fakta media. Untuk itu, prinsip pertama dalam jurnalisme adalah obyektivitas, dengan mengamsusikan bahwa khalayak media menuntut agar wacana yang tertangkap dari suatu berita (fakta media) adalah identik dengan wacana fakta sosial. Kecermatan (accuracy) sebagai landasan kerja jurnalisme dimaksudkan untuk menjaga agar wacana fakta media, persis atau identik dengan fakta sosial.

Jika dikaitkan dengan penelitian dan menurut pendapat peneliti, Sindo Trijaya FM layaknya Media massa lainnya yang juga memiliki redaksi dalam menentukan arah dan kebijakan untuk membuat dan mengudarakan berita maka Sindo Trijaya FM harus mengangkat sebuah gambaran peristiwa – peristiw asosial menjadi gambaran yang nyata yang akan disebarluaskan melalui berita – berita yang ada dimedianya. Maka Sindo Trijaya FM harus menjalankan prinsip utama dalam jurnalisme yaitu obyektivitas. Prinsip obyektivitas dalam jurnalisme sebuah media adalah identik dengan gambaran fakta – fakta yang ada dimasyarakat yang diangkat dengan sebenar – benarnya oleh media. Misalnya saat terjadi gempa bumi, namun disaat yang bersamaan sedang ada siaran langsung mengenai kampanye yang dilakukan oleh partai hanura. Maka disinilah kebijakan redaksi harus menetapkan bahwa Sindo TrijayaFM harus menyiarkan berita mengenai gempa bumi tersebut. Selain nilai beritanya yang menempatkan berita tersebut untuk lebih ingin didengar khalayak hal lain jugamenyangkut mengenai fungsi media yang tidak boleh menjadi alat kampanye. Berita yang diangkat juga harus memiliki prinsip lainnya dalam jurnalisme yaitu kecermatan. Yang dimaksudkan agar tidak ada perbedaan yang signifikana tau terlalu jauh dari peristiwa dimasyarakat yang terjadi dengan apa yang diangkat nantinya oleh Sindo Trijaya FM. Misalnya berita menegenai 3 partai unggulan melalui survey. Sindo Trijaya FM dilarang keras untuk memberitakan atau menyebutkan partai Hanura. Terlebih lagi jika memang tidak ada nama partai Hanura dalam survey yang dibuat.

Dalam dokumen SKRIPSI BUNGA ANALISIS ISI skripsi (Halaman 33-40)

Garis besar

Dokumen terkait