• Tidak ada hasil yang ditemukan

K ONDISI E KONOMI M AKRO T AHUN 2008 D AN P ERKIRAAN T AHUN

KERANGKA EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN

A. K ONDISI E KONOMI M AKRO T AHUN 2008 D AN P ERKIRAAN T AHUN

Secara garis besar, kondisi ekonomi makro tahun 2008 dan perkiraannya di tahun 2009 adalah sebagai berikut.

Pertama, sebagai dampak dari gejolak eksternal, stabilitas ekonomi mengalami tekanan yang cukup berat. Dalam keseluruhan tahun 2008, rata-rata nilai tukar rupiah mencapai Rp 9.681 per dolar AS atau melemah 5,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya; laju inflasi mencapai 11,1 persen, lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 6,6 persen; serta cadangan devisa mencapai USD 51,6 miliar, atau turun USD 5,3 miliar dibandingkan tahun 2007. Tekanan terhadap stabilitas moneter terus berlanjut hingga memasuki tahun 2009. Pada akhir bulan Maret 2009, nilai tukar rupiah mencapai Rp 11.575 per USD dan laju inflasi setahun (y-o- y) mencapai 7,9 persen.

Kedua, dalam kondisi eksternal yang cukup berat, momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Dalam tahun 2008, ekonomi tumbuh 6,1 persen, lebih rendah dari tahun 2007 yang besarnya 6,3 persen. Pertumbuhan ekonomi didukung oleh investasi yang meningkat, kemampuan ekspor barang dan jasa yang cukup terjaga, serta ditopang oleh daya beli masyarakat yang membaik. Dalam keseluruhan tahun 2008, pembentukan modal tetap bruto tumbuh 11,7 persen; penerimaan ekspor meningkat 9,5 persen; dan konsumsi masyarakat meningkat 5,3 persen.

Ketiga, terjaganya momentum pertumbuhan ikut meningkatkan kualitas pertumbuhan ekonomi. Pada bulan Maret 2008, jumlah penduduk miskin menurun menjadi 35,0 juta orang (15,4 persen) atau berkurang 2,2 juta dibandingkan Maret 2007. Dalam Februari 2008 – Februari 2009 tercipta lapangan kerja baru bagi 2,44 juta orang sehingga pengangguran terbuka menurun dari 9,43 juta orang (8,46 persen) menjadi 9,26 juta orang (8,14 persen).

EKONOMI DUNIA

Dalam keseluruhan tahun 2008, perekonomian dunia mengalami perlambatan dan tumbuh 3,2 persen atau lebih rendah dibandingkan tahun 2007 yang besarnya 5,2 persen. Ekonomi Amerika Serikat pada triwulan IV tahun 2008 tumbuh minus 0,8 persen (y-o-y) atau secara keseluruhan pada tahun 2008 hanya tumbuh 1,1 persen, padahal tahun 2007 tumbuh 2,0 persen. Dari penggerak pertumbuhan ekonominya, konsumsi masyarakat AS tumbuh negatif

sejak triwulan III/2008 dan mencapai minus 1,5 persen pada triwulan IV/2008 (y-o-y). Adapun investasi turun 9,8 persen pada triwulan IV/2008 (y-o-y) dengan investasi non residensial yang terus melemah sejak triwulan II/2006. Demikian pula dengan Jepang sebagai salah satu motor penggerak ekonomi dunia yang tumbuh negatif 0,6 persen (y-o-y) pada tahun 2008 (tahun 2007 tumbuh 2,4 persen). Adapun ekonomi Asia ternyata terpengaruh lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. China dan India, dua negara Asia yang menyumbang besar pada pertumbuhan ekonomi dunia, melambat dibawah perkiraan. Pertumbuhan ekonomi China dan India pada triwulan IV/2008 melambat menjadi 6,8 persen dan 5,3 persen (y-o-y), jauh dibawah perkiraan semula yang masing-masing mencapai 8,0 persen dan 6,2 persen.

Pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, menurunkan permintaan terhadap komoditi dunia termasuk energi. Sejak bulan Agustus tahun 2008 hingga bulan Maret 2009, harga komoditi menunjukkan kecenderungan menurun. Walaupun terdapat perbaikan harga pada bulan Januari dan Maret 2009, namun kenaikan ini lebih disebabkan pengurangan produksi. Pada akhir tahun 2008, harga spot minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencapai USD 41,4 per barel atau 54,7 persen lebih rendah dibandingkan akhir tahun 2007. Pada akhir bulan April 2009, harga spot minyak mentah WTI meningkat hingga mencapai USD 49,7 per barel akibat pembatasan produksi minyak mentah dunia.

Turunnya harga komoditi dunia telah ikut andil dalam melunakkan tekanan inflasi global. Laju inflasi AS turun dari 5,6 persen pada bulan Juli 2008 menjadi 0,0 persen pada bulan Januari 2009 dan terus menurun hingga mencapai deflasi 0,7 persen pada bulan April 2009. Demikian pula inflasi Jepang dan Uni Eropa yang turun masing-masing dari 2,4 persen dan 4,1 persen pada bulan Juli 2008, menjadi minus 0,3 persen pada bulan Maret 2009 dan 0,6 persen pada bulan April 2009.

Guna mengatasi penurunan ekonomi lebih dalam, negara-negara maju menempuh kebijakan moneter yang lebih longgar. Sejak bulan Oktober tahun 2008, suku bunga acuan di berbagai negara di dunia secara bertahap mulai diturunkan. Pada bulan Desember 2008, suku bunga Fed Fund Rate mencapai 0,25 persen turun dibandingkan bulan Desember 2007 yang mencapai 4,25 persen. Demikian pula dengan Japan Official Discount Rate dan Euro Refinancing Rate yang masing-masing mencapai 0,30 persen dan 2,50 persen pada periode yang sama atau turun dibandingkan bulan Desember 2007 yang masing-masing mencapai 0,75 persen dan 4,0 persen. Kecenderungan penurunan kedua suku bunga ini terus berlanjut dan masing-masing mencapai 0,1 persen dan 1,0 persen pada bulan Mei 2009.

Kebijakan menurunkan suku bunga tersebut belum mampu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan global. Indeks harga saham di berbagai pasar bursa dunia masih tertekan. Indeks saham Dow Jones di Amerika Serikat yang mencapai 8.776, pada akhir bulan Desember 2008 melemah menjadi 8.168 pada akhir bulan April 2009. Demikian pula dengan indeks Nikkei 225 di bursa saham Tokyo, yang mencapai 8.860 pada akhir bulan Desember 2008 menjadi 8.828 bulan April 2009.

Melambatnya pertumbuhan ekonomi dan melemahnya indeks harga saham menurunkan kepercayaan masyarakat akan proses pemulihan ekonomi global. Berdasarkan Bloomberg Professional Confidence Index pada bulan Desember 2008 indeks kepercayaan masyarakat dunia mencapai 6,1, turun dibandingkan awal awal tahun 2008 yang mencapai 21,0, dan terus menurun hingga mencapai 5,9 pada bulan Maret 2009.

MONETER,PERBANKAN DAN PASAR MODAL

Tekanan eksternal berupa melemahnya permintaan dan harga komoditas di pasar dunia dan meluasnya dampak krisis keuangan global berpengaruh pada stabilitas dalam negeri. Dengan kebijakan moneter yang melonggar dan berhati-hati, serta pengamanan sektor keuangan di dalam negeri, stabilitas ekonomi dapat dijaga.

Perkembangan nilai tukar Rupiah mengalami fluktuasi. Nilai tukar Rupiah menguat dari Rp9.419,-/USD pada bulan Desember 2007 menjadi Rp9.118,-/USD pada bulan Juni 2008 didorong oleh peningkatan penerimaan ekspor dan pemasukan modal swasta. Nilai tukar kemudian melemah dan menjadi Rp12.151,-/USD pada bulan November 2008 terkait dengan adanya pembalikan dana keluar negeri utuk mencari investasi aman (safe haven) sebagai dampak dari krisis keuangan global. Selanjutnya, nilai tukar menguat kembali menjadi Rp10.400,-/USD pada awal Mei 2009 karena membaiknya neraca perdagangan seiring dengan adanya penurunan impor yang lebih besar dibanding penurunan ekspor, dan pemasukan dana luar negeri.

Selama tahun 2008 inflasi mencapai 11,06 persen. Tingginya inflasi terjadi karena kenaikan harga yang tinggi pada volatile foods dan administered price. Volatile foods meningkat tajam terutama pada awal tahun akibat imported inflation seiring dengan melonjaknya harga komoditas di pasar dunia seperti gandum, kedelai, jagung, dan minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO). Sementara itu administered price meningkat dengan adanya kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata sebesar 28,7 persen pada akhir Mei 2008 untuk menahan lonjakan subsidi BBM dengan meningkatnya harga minyak dunia. Tekanan inflasi administered prices juga berawal dari kenaikan harga minyak tanah dan elpiji terkait dengan program konversi. Inflasi pada bulan Januari 2008 sebesar 7,36 persen (y-o-y) meningkat menjadi 10,38 persen (y-o-y) pada bulan Mei 2008. Inflasi terus meningkat sehingga pada bulan September 2008 mencapai 12,14 persen.

Untuk mengendalikan laju inflasi tersebut telah dilakukan berbagai upaya antara lain kebijakan stabilisasi pangan secara terpadu melalui subsidi bahan pangan dan operasi pasar. Sejalan dengan menurunnya harga minyak mentah dan komoditi lainnya di pasar internasional, inflasi menurun secara bertahap menjadi 11,06 persen pada bulan Desember 2008 dan menjadi 7,31 persen pada bulan April 2009.

Menurunnya inflasi pada akhir tahun 2008 memberikan cukup ruang bagi Bank Indonesia untuk melakukan perubahan kebijakan moneter yang semakin longgar. Kebijakan pengendalian moneter yang sebelumnya mengetat, yaitu dengan menaikkan BI rate naik secara bertahap dari sebesar 8,0 persen pada bulan April 2008 menjadi 9,50 persen pada bulan Oktober 2008, kemudian dilonggarkan melalui penurunan BI rate menjadi 9,25 persen pada bulan Desember 2008, 8,75 persen pada bulan Januari 2009 dan 7,25 persen pada awal Mei 2009. Agar dapat menggerakkan kegiatan ekonomi, penurunan BI rate diharapkan dapat diikuti penurunan suku bunga perbankan. Penurunan BI rate pada awal Desember 2008 belum diikuti oleh penurunan suku bunga perbankan dalam jangka pendek kecuali suku bunga deposito 1 bulan dan suku bunga kredit investasi, karena antara lain disebabkan oleh kehati-hatian perbankan terhadap risiko perbankan.

Sampai dengan Desember 2008 kredit tumbuh sebesar 30,7 persen dengan nilai Rp1.300,2 triliun, jauh lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan tahunan 2007 yang sebesar 26,4 persen (y- o-y). Pada akhir triwulan I-2009 (Maret 2009), pertumbuhan kredit bank umum masih relatif

cukup tinggi yaitu sebesar 26,1 persen (y-o-y). Di sisi penghimpunan dana, simpanan masyarakat pada bank tumbuh sebesar 16,2 persen (y-o-y) dari Rp1.528,2 triliun pada akhir 2007 menjadi Rp1.775,2 triliun pada akhir 2008, lebih lambat dibandingkan akhir tahun 2007 yang tumbuh sebesar 17,7 persen (y-o-y). Terjaganya kepercayaan masyarakat menjadi salah satu faktor pertumbuhan simpanan masyarakat yang tetap tinggi. Tercatat sampai dengan Maret 2009, simpanan masyarakat tumbuh mencapai Rp1.801,1 triliun (meningkat 21,5 persen/y-o-y).

Seiring dengan perkembangan tersebut, rasio pinjaman terhadap simpanan (loan to deposit ratio – LDR) naik dari 66,3 persen pada tahun 2007 menjadi 74,6 persen pada akhir 2008. Memasuki tahun 2009, LDR bank umum relatif stabil dibandingkan dengan akhir 2008 yaitu sebesar 73,1 persen (Maret 2009). Untuk sektor UMKM, kredit bank umum yang berskala mikro, kecil dan menengah (kredit UMKM) meningkat sebesar 26,1 persen (y-o-y) pada akhir 2008 dengan nilai Rp633,9 triliun yang terdistribusi 8,6 persen untuk kredit investasi; 39,0 persen untuk kredit modal kerja, dan 52,4 persen untuk kredit konsumsi. Tingginya penyaluran kredit UMKM di tahun 2008, berlanjut pada tahun 2009. Tercatat sampai dengan bulan Maret 2009 kredit bank umum untuk UMKM tumbuh sebesar 22,9 persen dengan nilai Rp637,2 triliun, dengan komposisi sebesar 38,4 persen kredit modal kerja; 8,5 persen kredit investasi dan 53,0 persen merupakan kredit konsumsi.

Ketahanan sektor perbankan Indonesia tahun 2008 masih cukup kuat. Rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio – CAR) bank umum sebesar 16,8 persen pada tahun 2008 dan terus meningkat menjadi 18,0 persen pada akhir bulan Maret 2009, masih jauh lebih tinggi dibandingkan ketentuan batas minimal 8,0 persen. Terkait dengan potensi kredit macet, tingkat kredit berkinerja buruk (non performing loan – NPL) bank umum kita juga turun menjadi 3,2 persen pada tahun 2008 dari 4,1 persen pada tahun 2007. Namun demikian, memasuki tahun 2009 patut diwaspadai kecenderungan meningkatnya kredit macet, tercermin dari meningkatnya NPL hingga mencapai 3,9 persen pada bulan Maret 2009. Terjadinya krisis keuangan dan moneter internasional yang mempengaruhi perkembangan perdagangan perdagangan dan produksi dunia terutama pada akhir tahun 2008, menghambat perkembangan kredit pada awal tahun 2009 meskipun diperkirakan lebih membaik pada pertengahan atau akhir tahun 2009.

Goncangan pasar modal internasional dengan Wall Street di Amerika Serikat sebagai episentrumnya secara cepat menjalar dan menular ke negara-negara lainnya, termasuk negara- negara anggota Uni Eropa, Jepang dan Cina sehingga berimbas pula kepada Bursa Efek Indonesia (BEI). Indeks harga saham gabungan (IHSG) BEI yang mencapai 2.830,3 pada 9 Januari 2008, menurun secara bertahap menjadi 2.165,9 pada akhir Agustus 2008, dan menurun secara bergejolak menjadi 1.355,4 pada akhir 2008. Penurunan IHSG didorong pula oleh keluarnya sebagian investor asing dari bursa. Pada akhir Februari 2009 IHSG masih mengalami penurunan menjadi 1.285,5 poin. Memasuki awal Mei 2009 IHSG sudah mulai meningkat menjadi 1.729,6 poin. Meskipun masih sulit diprediksi kapan krisis keuangan global ini akan berakhir, namun pada akhir tahun 2009 diharapkan pasar modal berkembang lebih stabil dan mengalami peningkatan jika upaya-upaya intervensi secara terkoordinasi dari seluruh negara- negara di dunia untuk menanggulangi krisis global tersebut terbukti efektif.

NERACA PEMBAYARAN.

Di tengah melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia dan menurunnya harga-harga komoditi dunia kinerja neraca pembayaran tetap terjaga. Pada tahun 2008, total penerimaan ekspor mencapai USD 139,6 miliar, atau naik 18,3 persen dibandingkan tahun 2007 (Sumber: Bank Indonesia). Kenaikan tersebut didorong oleh ekspor migas dan nonmigas yang meningkat masing-masing sebesar 27,5 persen dan 15,8 persen. Sementara itu dalam tahun 2008, impor meningkat menjadi USD 116,7 miliar, atau naik 36,9 persen. Peningkatan ini didorong oleh impor migas dan nonmigas yang masing-masing naik sebesar 24,6 persen dan 40,4 persen. Dengan defisit jasa-jasa (termasuk income dan current transfer) yang mencapai USD 22,6 miliar, surplus neraca transaksi berjalan pada tahun 2008 mencapai sekitar USD 0,3 miliar turun dibandingkan tahun 2007 yang mencapai USD 10,5 miliar.

Investasi langsung asing (neto) mencapai surplus sebesar USD 2,0 miliar didorong oleh investasi langsung asing yang masuk sebesar USD 7,9 miliar. Pada semester I/2008 arus masuk investasi portofolio meningkat, namun pada semester II/2008 cenderung melambat. Hal ini terutama dipengaruhi oleh arus modal keluar dari para investor guna memenuhi kebutuhan konsolidasi keuangan global, yang pada akhirnya berimbas pada pelepasan surat utang negara (SUN) dan surat berharga Bank Indonesia (SBI) yang terjadi selama semester II/2008. Secara keseluruhan tahun 2008, investasi portofolio neto mencapai USD 1,7 miliar turun dibandingkan tahun 2007 (USD 5,6 miliar) dengan investasi portofolio yang masuk sebesar USD 3,0 miliar. Adapun arus modal lainnya pada tahun 2008 mengalami defisit sebesar USD 6,2 miliar didorong oleh investasi lainnya di luar negeri sebesar USD 10,0 miliar. Dengan perkembangan ini neraca modal dan finansial dalam keseluruhan tahun 2008 mengalami defisit USD 1,9 miliar dengan cadangan devisa mencapai USD 51,6 miliar atau cukup untuk membiayai kebutuhan 4,0 bulan impor.

Hingga akhir triwulan I/2009, total penerimaan ekspor mencapai USD 23,9 miliar atau turun dibandingkan dengan triwulan I/2008 yang mencapai USD 34,4 miliar. Penurunan ini terutama disebabkan melemahnya nilai ekspor non-migas sebesar 23,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, kebutuhan impor selama triwulan I/2009 juga melambat dan mencapai USD 17,7 miliar atau lebih rendah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai USD 26,9 miliar. Secara keseluruhan nilai transaksi berjalan pada triwulan I/2009 mencapai surplus USD 1,8 miliar.

Sementara itu, transaksi modal dan finansial hingga akhir triwulan I/2009 mencapai surplus USD 2,4 miliar, terutama didorong oleh arus masuk modal asing langsung neto dan arus masuk modal portfolio yang masing-masing mencapai USD 2,7 miliar dan USD 1,9 miliar. Sedangkan defisit investasi lainnya menurun dan mencapai USD 2,3 miliar. Dengan gambaran tersebut cadangan devisa pada akhir triwulan I/2009 mencapai USD 54,8 miliar atau setara dengan 6,1 bulan impor.

KEUANGAN NEGARA.

Dalam tahun 2008, kebijakan fiskal diarahkan untuk memberi stimulus pada perekonomian dengan tetap menjaga ketahanan fiskal. Hal ini dilakukan untuk mengimbangi tekanan yang sangat berat baik dari sisi internal maupun eksternal terhadap perekonomian Indonesia.

Bentuk dari stimulus fiskal yang dilakukan terlihat dalam peningkatan belanja negara, yang terdiri dari belanja pemerintah pusat dan belanja ke daerah, sebesar 30 persen dibandingkan

tahun 2007. Belanja pemerintah pusat diarahkan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam bentuk belanja pegawai dan barang, mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penyediaan infrastruktur dasar, melindungi hajat hidup masyarakat dalam bentuk subsidi yang lebih terarah, serta memenuhi pembayaran utang baik dalam maupun luar negeri. Adapun kebijakan belanja ke daerah diarahkan untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi dan membiayai kegiatan-kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.

Sementara itu, penerimaan negara diarahkan terutama untuk menggali sumber penerimaan dalam negeri baik penerimaan pajak maupun penerimaan bukan pajak. Pada tahun 2008, penerimaan pajak meningkat menjadi Rp 658,7 triliun atau naik 34,2 persen terutama didorong oleh pajak dalam negeri yang meningkat 32,4 persen. Adapun penerimaan bukan pajak meningkat lebih tinggi, yaitu sebesar 49,2 persen. Hal ini terutama didorong oleh tingginya realisasi penerimaan migas akibat dari tingginya rata-rata harga minyak bumi sepanjang tahun 2008. Penerimaan migas tersebut mencapai sebesar Rp 209,7 triliun atau meningkat 68,1 persen dibandingkan tahun 2007. Dengan perkembangan ini, defisit anggaran pada tahun 2008 dapat ditekan pada tingkat sebesar Rp 3,3 triliun atau 0,1 persen PDB, jauh dibawah target dalam APBN-P yang sebesar 2,1 persen PDB.

Pada tahun 2009, kebijakan fiskal tetap diarahkan untuk memberi stimulus kepada perekonomian namun dengan terus menjaga ketahanannya. Hal ini dilakukan mengingat dampak terberat dari krisis ekonomi global diperkirakan terjadi dalam tahun ini. Oleh karena itu kebijakan fiskal yang ditempuh ditujukan untuk menyelamatkan perekonomian nasional dengan memperluas program stimulus ekonomi melalui APBN 2009; melakukan perubahan asumsi dasar untuk memberikan sinyal yang tepat kepada publik; serta melakukan beberapa penyesuaian terhadap besaran pendapatan negara, belanja negara, defisit, dan pembiayaan anggaran.

Arah kebijakan stimulus fiskal yang ditempuh bertujuan untuk: (i) mempertahankan sekaligus meningkatkan daya beli masyarakat antara lain melalui berbagai insentif perpajakan dan pemberian subsidi, serta bantuan langsung tunai; (ii) mencegah timbulnya PHK secara luas dan meningkatkan daya tahan usaha dalam menghadapi krisis antara lain melalui penurunan berbagai tarif perpajakan dan bea masuk, potongan tarif listrik, subsidi bunga, serta pemberian kredit usaha rakyat; (iii) menangani dampak PHK dan mengurangi tingkat pengangguran dengan meningkatkan belanja infrastruktur padat karya melalui penambahan anggaran untuk infrastruktur; serta (iv) mempercepat laju pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan meneruskan reformasi di seluruh kementerian negara/lembaga (K/L).

Dengan langkah-langkah tersebut diatas, pendapatan negara dan hibah diperkirakan mencapai Rp 848,6 triliun atau 15,5 persen PDB, lebih rendah Rp 137,2 triliun bila dibandingkan dengan sasaran yang ditetapkan dalam APBN 2009 sebesar Rp 985,7 triliun atau 18,5 persen PDB. Penurunan tersebut terutama didorong oleh penurunan penerimaan dalam negeri, baik berupa penerimaan perpajakan maupun penerimaan negara bukan pajak sebagai dampak dari krisis ekonomi global.

Sementara itu, belanja negara diperkirakan mencapai Rp 988,1 triliun atau 18,0 persen PDB, lebih rendah Rp 49,0 triliun bila dibandingkan dengan anggaran belanja negara yang ditetapkan dalam APBN 2009 yang besarnya Rp 1.037,1 triliun atau 19,5 persen PDB. Penurunan anggaran belanja tersebut terutama disebabkan oleh beban belanja subsidi yang menurun menjadi Rp 123,5 triliun atau 2,3 persen PDB dari Rp 166,7 triliun atau 3,1 persen PDB yang ditetapkan dalam APBN 2009. Penurunan subsidi ini disebabkan oleh perubahan asumsi harga minyak yang cukup besar dari US$80 per barel menjadi US$45 per barel.

Perkembangan penerimaan dan belanja negara di atas, mendorong peningkatan defisit anggaran dalam APBN Penyesuaian Tahun 2009 (stimulus fiskal) sebesar 1,5 persen PDB atau meningkat dari 1,0 persen PDB menjadi 2,5 persen PDB. Selanjutnya stok utang pemerintah diperkirakan sebesar 31,3 persen PDB.

PERTUMBUHAN EKONOMI.

Stabilitas ekonomi yang membaik serta langkah-langkah yang ditempuh untuk mendorong kegiatan ekonomi mampu memulihkan kembali momentum pertumbuhan ekonomi. Pada tahun 2008 perekonomian tumbuh sebesar 6,1 persen lebih rendah dari tahun sebelumnya (6,3 persen).

Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 terutama didorong oleh investasi berupa pembentukan modal tetap bruto (PMTB) dan ekspor barang dan jasa yang masing-masing tumbuh sebesar 11,7 persen dan 9,5 persen. Sejak triwulan IV tahun 2007 hingga triwulan III tahun 2008, investasi berupa pembentukan modal tetap bruto tumbuh dua digit dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, konsumsi masyarakat tumbuh sebesar 5,3 persen dan konsumsi pemerintah meningkat sebesar 10,4 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008 terutama didorong oleh sektor pertanian yang tumbuh 4,8 persen. Adapun industri pengolahan nonmigas tumbuh sebesar 4,0 persen. Pertumbuhan ekonomi didorong pula oleh pertumbuhan sektor tersier terutama pengangkutan dan telekomunikasi; listrik, gas dan air bersih; serta konstruksi yang masing-masing tumbuh sebesar 16,7 persen; 10,9 persen, dan 7,3 persen.

Dampak yang ditimbulkan oleh krisis ekonomi global terhadap perekonomian Indonesia mulai dirasakan pada triwulan IV tahun 2008. Pertumbuhan ekonomi triwulan IV tahun 2008 menurun sebesar minus 3,6 persen dibandingkan dengan triwulan III – 2008 (q-to-q), dan dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2007 meningkat 5,2 persen (y-o-y) yang berarti lebih lambat dari pertumbuhan ekonomi pada triwulan-triwulan sebelumnya pada tahun 2008 yaitu 6,2 persen di triwulan I, 6,4 persen di triwulan II, dan 6,4 persen di triwulan III. Melemahnya pertumbuhan ekonomi pada triwulan IV tahun 2008 disebabkan oleh menurunnya pertumbuhan ekspor barang dan jasa yaitu minus 5,5 persen dibandingkan triwulan III-2008 (q- to-q) dan hanya meningkat 1,8 persen dibandingkan dengan triwulan IV tahun 2007 (y-o-y). Melemahnya pertumbuhan ekspor barang dan jasa adalah sebagai akibat dari menurunnya harga minyak serta menurunnya harga dan permintaan komoditas ekspor Indonesia sebagai dampak dari krisis ekonomi global. Di samping pertumbuhan ekspor yang melambat, investasi juga mengalami perlambatan pertumbuhan pada triwulan IV-2008, yaitu hanya meningkat 0,8 persen dibandingkan dengan triwulan III-2008.

Pada triwulan I-2009 pertumbuhan ekonomi mencapai 4,4 persen (y-o-y). Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh pengeluaran pemerintah dan pengeluaran masyarakat yang masing-masing tumbuh 19,2 persen dan 5,8 persen. Sedangkan ekspor mengalami pertumbuhan negatif sebesar 19,1 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh sektor pertanian yang tumbuh 4,8 persen. Dari sektor tersier, pertumbuhan yang tinggi terdapat pada sektor listrik, gas dan air; dan pengangkutan dan telekominikasi yang tumbuh 11,4 persen dan 16,7 persen. Tekanan terhadap perekonomian nasional diperkirakan akan terus berlanjut hingga tahun 2009, sehingga pada tahun 2009 pertumbuhan ekonomi diproyeksikan berkisar antara 4,0 – 4,5 persen.