• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAḶĀRA KHATTIYA 31 (1) Apa yang Telah Terjad

Dalam dokumen Sang Buddha Terjemahan baru (Halaman 76-90)

Khotbah Berkelompok tentang Sebab-akibat

IV. KAḶĀRA KHATTIYA 31 (1) Apa yang Telah Terjad

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī…. Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta sebagai berikut: “Sāriputta, dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Ajita’ dari Pārāyana

dikatakan:87

‘Mereka yang telah memahami Dhamma, Dan banyak pelajar di sini:

Mempertanyakan perilaku mereka,

Sebagai yang bijaksana, jelaskanlah kepadaku, Yang Mulia.’88

Bagaimanakah makna dari pertanyaan ini, yang dinyatakan secara singkat, dipahami secara lengkap?”

Ketika hal ini dikatakan, Yang Mulia Sāriputta diam. Untuk ke dua dan ke tiga kalinya Sang Bhagavā berkata kepada Yang Mulia Sāriputta sebagai berikut: “Sāriputta, dalam ‘Pertanyaan-pertanyaan Ajita’ dari Pārāyana dikatakan … [48] Bagaimanakah makna dari pertanyaan ini,

yang dinyatakan secara singkat, dipahami secara lengkap?” Untuk ke

dua dan ke tiga kalinya Yang Mulia Sāriputta diam.89

“Sāriputta, apakah engkau melihat: ‘Ini telah terjadi’? Sāriputta,

apakah engkau melihat: ‘Ini telah terjadi’?”

“Yang Mulia, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah terjadi.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah terjadi,’ ia berlatih untuk memperoleh kejijikan terhadap apa yang telah terjadi, untuk peluruhan dan pelenyapannya.90 Ia melihat sebagaimana adanya

dengan kebijaksanaan benar: ‘Asal-mulanya muncul dengan itu sebagai makanan.’91 Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan

benar: ‘Asal-mulanya muncul dengan itu sebagai makanan.’ Ia berlatih untuk memperoleh kejijikan terhadap asal-mulanya melalui makanan, untuk peluruhan dan pelenyapannya. Ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, apa yang telah terjadi juga mengalami pelenyapan.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan itu, apa yang telah terjadi juga mengalami pelenyapan.’ Ia berlatih untuk memperoleh kejijikan terhadap apa yang mengalami lenyapnya, untuk peluruhan dan pelenyapannya. Dengan cara demikianlah seseorang disebut pelajar.

“Dan bagaimanakah, Yang Mulia, seseorang memahami Dhamma? Yang Mulia, seseorang melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah terjadi.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Ini telah terjadi,’ melalui kejijikan terhadap apa yang telah terjadi, melalui peluruhan dan lenyapnya, ia terbebaskan melalui ketidakmelekatan. Ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Asal-mulanya muncul dengan itu sebagai makanan.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Asal-mulanya muncul dengan itu sebagai makanan.’ melalui kejijikan terhadap asal-mula melalui makanan, melalui peluruhan dan lenyapnya, ia terbebaskan melalui ketidakmelekatan. Ia melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan, apa yang telah terjadi juga mengalami pelenyapan.’ Setelah melihat sebagaimana adanya dengan kebijaksanaan benar: ‘Dengan lenyapnya makanan, apa yang telah terjadi juga mengalami pelenyapan,’ melalui kejijikan terhadap apa yang mengalami pelenyapan, melalui peluruhan [49] dan lenyapnya, ia terbebaskan melalui ketidakmelekatan.92 Dengan cara

demikianlah seseorang memahami Dhamma.

“Demikianlah, Yang Mulia, ketika dikatakan dalam ‘Pertanyaan-

pertanyaan Ajita’ dari Pārāyana:

‘Mereka yang telah memahami Dhamma, Dan banyak pelajar di sini:

Mempertanyakan perilaku mereka,

Sebagai yang bijaksana, jelaskanlah kepadaku, Yang Mulia.’— Demikianlah aku memahami secara lengkap makna dari apa yang dinyatakan secara ringkas.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! … (Sang Buddha di sini mengulangi keseluruhan pernyataan Yang Mulia Sāriputta) [50] … demikianlah makna itu, yang dinyatakan secara ringkas, namun harus dipahami secara lengkap.” 32 (2) Kaḷāra

Di Sāvatthī.

(i)

Bhikkhu Kaḷāra seorang Khattiya mendekati Yang Mulia Sāriputta

dan saling bertukar sapa dengannya. Ketika mereka mengakhiri ucapan ramah-tamah, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Yang

Mulia Sāriputta: “Sahabat Sāriputta, Bhikkhu Moḷiyaphagguna telah

meninggalkan latihan dan kembali ke kehidupan rumah tangga.”93

“Pasti Yang Mulia itu tidak menemukan penghiburan dalam Dhamma dan Disiplin ini.”

“Kalau begitu, apakah Yang Mulia Sāriputta telah mencapai

penghiburan dalam Dhamma dan Disiplin ini?” “Aku tidak mengalami kebingungan, Sahabat.” “Tetapi sehubungan dengan masa depan, Sahabat?” “Aku tidak ragu, Sahabat.”

Kemudian Bhikkhu Kaḷāra sang Khattiya bangkit dari duduknya dan mendekati Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, [51] dan berkata kepada

Beliau:

“Yang Mulia, Yang Mulia Sāriputta telah menyatakan pengetahuan

tertinggi sebagai berikut: ‘Aku memahami: kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini.’”94

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada seorang bhikkhu: “Pergilah, bhikkhu beritahu Sāriputta atas namaKu bahwa Sang Guru

“Baik, Yang Mulia,” bhikkhu itu menjawab, dan ia pergi menuju

Yang Mulia Sāriputta dan memberitahunya: “Sang Guru memanggilmu, Sahabat Sāriputta.”

“Baiklah, Sahabat,” Yang Mulia Sāriputta menjawab, dan ia mendatangi Sang Bhagavā, memberi hormat kepada Beliau duduk di satu sisi, kemudian Sang Bhagavā berkata kepadanya: “Benarkah, Sāriputta, bahwa engkau telah menyatakan pengetahuan tertinggi

sebagai berikut: ‘Aku memahami: kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’?”

“Yang Mulia, Aku tidak menyatakan hal itu dalam kalimat seperti itu.”

“Dalam cara apa pun, Sāriputta, seseorang menyatakan pengetahuan

tertinggi, apa pun yang ia nyatakan harus dipahami seperti itu.” “Yang Mulia, tidakkah aku juga mengatakan: ‘Yang Mulia, Aku tidak menyatakan hal itu dalam kalimat seperti itu.’?”

“Jika, Sāriputta, mereka bertanya kepadamu:95 ‘Sahabat Sāriputta,

bagaimanakah engkau mengetahui, bagaimanakah engkau melihat, sehingga engkau menyatakan pengetahuan tertinggi sebagai berikut: ‘Aku memahami: kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, [52] aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Dengan kehancuran sumber yang darinya kelahiran berasal, aku memahami: “Ketika [penyebab] dihancurkan, [akibat] juga hancur.” Setelah memahami ini, aku memahami: kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”96

“Tetapi, Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Tetapi, sahabat Sāriputta, apakah sumber dari kelahiran, apakah asal-mulanya,

ia muncul dan dihasilkan dari apakah?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Kelahiran, Sahabat, memiliki penjelmaan

sebagai sumbernya, penjelmaan sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari penjelmaan.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”

“Tetapi, Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Tetapi, sahabat Sāriputta, apakah sumber dari penjelmaan…?’ – jika ditanya demikian,

bagaimanakah jawabanmu?”

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Penjelmaan, Sahabat, memiliki kemelekatan sebagai sumbernya….’”

“Tetapi, Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Tetapi, sahabat Sāriputta, apakah sumber dari kemelekatan…? Apakah sumber

keinginan, apakah asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari apakah?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?” [53]

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘keinginan, Sahabat, memiliki perasaan sebagai sumbernya, perasaan sebagai asal-mulanya, muncul dan dihasilkan dari perasaan.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”

“Tetapi, Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu: ‘Sahabat Sāriputta, bagaimanakah engkau mengetahui, bagaimanakah engkau

melihat, bahwa kegembiraan dalam perasaan tidak lagi hadir dalam dirimu?’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”97

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: ‘Sahabat, ada tiga jenis perasaan ini. Apakah tiga ini? Perasaan menyenangkan, perasaan menyakitkan, perasaan yang tidak-menyakitkan-dan-tidak-menyenangkan. Ketiga perasaan ini, Sahabat, adalah tidak kekal; apa pun yang tidak kekal adalah penderitaan. Jika ini dipahami, kegembiraan dalam perasaan tidak lagi hadir dalam diriku.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”

“Bagus, bagus, Sāriputta! Itu adalah cara lain dalam menjelaskan

secara singkat hal yang sama: ‘Apa pun yang dirasakan termasuk dalam penderitaan.’98 Tetapi Sāriputta, jika mereka bertanya kepadamu:

‘Sahabat Sāriputta, melalui pembebasan apakah engkau menyatakan

pengetahuan tertinggi sebagai berikut: ‘Aku memahami: kelahiran telah dihancurkan, kehidupan suci telah dijalani, apa yang harus

dilakukan telah dilakukan, tidak ada lagi untuk kondisi makhluk ini’ – jika ditanya demikian, bagaimanakah jawabanmu?”

“Jika mereka menanyakan ini kepadaku, Yang Mulia, aku akan menjawab sebagai berikut: [54] ’Sahabat, melalui pembebasan internal, melalui penghancuran segala kemelekatan, aku berdiam dengan penuh perhatian sedemikian sehingga noda-noda tidak mengalir dalam diriku dan aku tidak merendahkan diriku.’ Jika ditanya demikian, Yang Mulia, aku akan menjawab demikian.”99

“Bagus, bagus, Sāriputta! Itu adalah cara lain dalam menjelaskan

secara singkat hal yang sama: ‘Aku tidak mengalami kebingungan sehubungan dengan noda-noda yang dibicarakan oleh Sang Petapa; aku tidak ragu bahwa semua itu telah kutinggalkan.’”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah

mengatakan ini, Yang Sempurna bangkit dari duduk-Nya dan memasuki tempat kediaman-Nya.

(ii)

Kemudian, segera setelah Sang Bhagavā pergi, Yang Mulia Sāriputta

berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut:

“Teman-teman, pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh Sang

Bhagavā kepadaku belum terpikirkan olehku:100 Karena itu aku enggan

menjawab. Tetapi ketika Sang Bhagavā menyetujui jawabanku, aku berpikir: ‘Jika Sang Bhagavā menanyaiku sehubungan dengan

persoalan itu dalam berbagai istilah dan berbagai metode sepanjang hari, maka selama sepanjang hari aku akan mampu menjawab pertanyaan Beliau dalam berbagai istilah dan berbagai metode. Jika Beliau menanyaiku sehubungan dengan persoalan itu dengan berbagai istilah dan berbagai metode sepanjang malam, selama sehari semalam, [55] selama dua hari dan dua malam, selama tiga, empat, lima, enam, atau tujuh hari tujuh malam - maka selama tujuh hari tujuh malam aku akan mampu menjawab pertanyaan Beliau dalam berbagai istilah dan berbagai metode.’”

Kemudian Bhikkhu Kaḷāra si Khattiya bangkit dari duduknya dan mendekati Sang Bhagavā. Setelah mendekat, ia memberi hormat kepada Sang Bhagavā, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, Yang Mulia Sāriputta telah mengaumkan auman singa

sebagai berikut: ‘Teman-teman, pertanyaan pertama yang ditanyakan

oleh Sang Bhagavā kepadaku belum terpikirkan olehku: Karena itu aku enggan menjawab. Tetapi ketika Sang Bhagavā menyetujui jawabanku, aku berpikir: ”Jika Sang Bhagavā menanyaiku sehubungan dengan

persoalan itu dalam berbagai istilah dan berbagai metode hingga selama tujuh hari tujuh malam, [56] maka hingga selama tujuh hari tujuh malam aku akan mampu menjawab pertanyaan Beliau dalam berbagai istilah dan berbagai metode.”’”

“Bhikkhu, Yang Mulia Sāriputta telah dengan sempurna menembus

unsur Dhamma melalui penembusan saksama yang dengannya, jika Aku menanyainya tentang persoalan itu dalam berbagai istilah dan berbagai metode hingga selama tujuh hari tujuh malam, maka selama tujuh hari tujuh malam ia akan mampu menjawab pertanyaanKu dalam berbagai istilah dan berbagai metode.”101

33 (3) Kasus Pengetahuan (1)

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian empat

puluh empat kasus pengetahuan. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.”

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata

sebagai berikut:

“Para bhikkhu, apakah empat puluh empat kasus pengetahuan? [57] Pengetahuan penuaan-dan-kematian, pengetahuan asal- mulanya, pengetahuan lenyapnya, pengetahuan jalan menuju lenyapnya, pengetahuan kelahiran … pengetahuan penjelmaan … pengetahuan kemelekatan … pengetahuan keinginan … pengetahuan perasaan … pengetahuan kontak … pengetahuan enam landasan indria … pengetahuan nama-dan-bentuk … pengetahuan kesadaran … pengetahuan bentukan-bentukan kehendak, pengetahuan asal- mulanya, pengetahuan lenyapnya, pengetahuan jalan menuju lenyapnya. Inilah, para bhikkhu, empat puluh empat kasus pengetahuan.

“Dan apakah, para bhikkhu, penuaan-dan-kematian? … (definisi seperti pada §2) … Demikianlah penuaan ini dan kematian ini bersama- sama disebut penuaan-dan-kematian. Dengan munculnya kelahiran maka muncul pula penuaan-dan-kematian. Dengan lenyapnya

kelahiran maka lenyap pula penuaan-dan-kematian. Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya penuaan-dan- kematian; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami penuaan- dan-kematian demikian, [58] asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, ini adalah pengetahuan prinsip.102 Melalui prinsip

ini yang terlihat, dipahami, segera dicapai, didalami,103 ia menerapkan

metode ini pada masa lampau dan masa depan sebagai berikut: ‘Para petapa dan brahmana manapun di masa lampau secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, semua ini diketahui secara langsung dengan cara yang sama seperti Aku juga mengetahuinya sekarang. Para petapa dan brahmana manapun di masa depan secara langsung mengetahui penuaan-dan-kematian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, semua ini diketahui secara langsung dengan cara yang sama seperti Aku juga mengetahuinya sekarang.’ Ini adalah pengetahuan kesimpulan.104

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah memurnikan dan menyucikan kedua jenis pengetahuan ini – pengetahuan prinsip dan pengetahuan kesimpulan – maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan, sempurna dalam penglihatan, yang telah sampai pada Dhamma sejati ini, yang melihat Dhamma sejati ini, yang memiliki pengetahuan seorang pelajar, pengetahuan sejati seorang pelajar, yang telah memasuki arus Dhamma, seorang mulia dengan kebijaksanaan penembusan, yang berdiri tegak di depan pintu Keabadian.

“Dan apakah, para bhikkhu, kelahiran? … Apakah bentukan- bentukan kehendak? … (definisi seperti pada §2) [59] … Jalan Mulia Berunsur Delapan ini adalah jalan menuju lenyapnya bentukan- bentukan kehendak; yaitu, pandangan benar … konsentrasi benar.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia memahami bentukan- bentukan kehendak demikian, asal-mulanya, lenyapnya, dan jalan menuju lenyapnya, ini adalah pengetahuan prinsip. Melalui prinsip ini yang terlihat, dipahami, seketika dicapai, didalami, ia menerapkan metode ini pada masa lampau dan masa depan…. Ini adalah pengetahuan kesimpulan.

“Ketika, para bhikkhu, seorang siswa mulia telah memurnikan dan menyucikan kedua jenis pengetahuan ini – pengetahuan prinsip dan pengetahuan kesimpulan – maka ia disebut seorang siswa mulia yang sempurna dalam pandangan … yang berdiri tegak di depan pintu Keabadian.”

34 (4) Kasus Pengetahuan (2)

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, Aku akan mengajarkan kepada kalian tujuh

puluh tujuh kasus pengetahuan. Dengarkanlah dan perhatikanlah, Aku akan menjelaskan.” [60]

“Baik, Yang Mulia,” para bhikkhu menjawab. Sang Bhagavā berkata

sebagai berikut:

“Para bhikkhu, apakah tujuh puluh tujuh kasus pengetahuan? Pengetahuan: ‘Penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Ketika tidak ada kelahiran, maka tidak ada penuaan-dan-kematian.’ Pengetahuan: ‘Di masa lampau juga penuaan-dan-kematian memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Di masa lampau juga, jika tidak ada kelahiran, maka tidak ada penuaan-dan-kematian.’ Pengetahuan: ‘Di masa depan juga penuaan-dan-kematian akan memiliki kelahiran sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Di masa depan juga, jika tidak akan ada kelahiran, maka tidak akan ada penuaan-dan-kematian.’ Pengetahuan: ‘Pengetahuan kestabilan Dhamma itu juga mengalami kehancuran, hilang, memudar, dan lenyap.’105

“Pengetahuan: ‘Kelahiran memiliki penjelmaan sebagai kondisinya … Pengetahuan: ‘Bentukan-bentukan kehendak memiliki kebodohan sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Ketika tidak ada kebodohan, maka tidak ada bentukan-bentukan kehendak.’ Pengetahuan: ‘Di masa lampau juga bentukan-bentukan kehendak memiliki kebodohan sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Di masa lampau juga, jika tidak ada kebodohan, maka tidak ada bentukan-bentukan kehendak.’ Pengetahuan: ‘Di masa depan juga bentukan-bentukan kehendak akan memiliki kebodohan sebagai kondisinya.’ Pengetahuan: ‘Di masa depan juga, jika tidak ada kebodohan, maka tidak akan ada bentukan- bentukan kehendak.’ Pengetahuan: ‘Pengetahuan kestabilan Dhamma itu juga mengalami kehancuran, hilang, memudar, dan lenyap.’

“Ini, para bhikkhu, disebut tujuh puluh tujuh kasus pengetahuan.” 35 (5) Dengan Kebodohan sebagai Kondisi (1)

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, dengan kebodohan sebagai kondisi,

bentukan-bentukan kehendak [muncul]; dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, kesadaran…. Demikianlah asal-mula keseluruhan kumpulan penderitaan ini.”

Ketika Beliau mengatakan hal ini, seorang bhikkhu berkata kepada

Sang Bhagavā: “Yang Mulia, apakah penuaan-dan-kematian, dan

siapakah yang mengalami penuaan-dan-kematian?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab.106 [61]

“Bhikkhu, apakah seseorang mengatakan, ‘Apakah penuaan-dan- kematian, dan siapakah yang mengalami penuaan-dan-kematian?’ atau apakah seseorang mengatakan, ‘Penuaan-dan-kematian adalah satu hal, yang mengalami penuaan-dan-kematian adalah hal lainnya’ – kedua pernyataan ini adalah sama dalam maknanya; hanya berbeda dalam kalimat. Jika ada pandangan, ‘Jiwa dan badan adalah sama,’ maka tidak ada kehidupan suci; dan jika ada pandangan, ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya,’ maka tidak ada kehidupan suci.107

Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang

Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: ‘Dengan kelahiran sebagai

kondisi, maka penuaan-dan-kematian.’”

“Yang Mulia, apakah kelahiran, dan siapakah yang mengalami kelahiran?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Bhikkhu,

apakah seseorang mengatakan, ‘Apakah kelahiran, dan siapakah yang mengalami kelahiran?’ atau apakah seseorang mengatakan, ‘Kelahiran adalah satu hal, yang mengalami kelahiran adalah hal lainnya’ – kedua pernyataan ini adalah sama dalam maknanya; hanya berbeda dalam kalimat …. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini,

Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: ‘Dengan penjelmaan

sebagai kondisi, maka kelahiran.’”

“Yang Mulia, apakah penjelmaan, dan siapakah yang mengalami penjelmaan?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Bhikkhu,

yang mengalami penjelmaan?’ atau apakah seseorang mengatakan, ‘penjelmaan adalah satu hal, yang mengalami penjelmaan adalah hal lainnya’ – kedua pernyataan ini adalah sama dalam maknanya; hanya berbeda dalam kalimat …. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari

ekstrim-ekstrim ini, Sang Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah:

‘Dengan kemelekatan sebagai kondisi, maka penjelmaan …. Dengan keinginan sebagai kondisi, maka kemelekatan …. Dengan perasaan sebagai kondisi, maka keinginan …. Dengan kontak sebagai kondisi, maka perasaan …. Dengan enam landasan indria sebagai kondisi, maka kontak …. Dengan nama-dan-bentuk sebagai kondisi, maka enam landasan indria …. [62] Dengan kesadaran sebagai kondisi, maka nama- dan-bentuk …. Dengan bentukan-bentukan kehendak sebagai kondisi, maka kesadaran.’”

“Yang Mulia, apakah bentukan-bentukan kehendak, dan siapakah yang mengalami bentukan-bentukan kehendak?”

“Bukan pertanyaan yang benar,” Sang Bhagavā menjawab. “Bhikkhu,

apakah seseorang mengatakan, ‘Apakah bentukan-bentukan kehendak, dan siapakah yang mengalami bentukan-bentukan kehendak?’ atau apakah seseorang mengatakan, ‘bentukan-bentukan kehendak adalah satu hal, yang mengalami bentukan-bentukan kehendak adalah hal lainnya’ – kedua pernyataan ini adalah sama dalam maknanya; hanya berbeda dalam kalimat. Jika ada pandangan, ‘Jiwa dan badan adalah sama,’ maka tidak ada kehidupan suci; dan jika ada pandangan, ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya,’ maka tidak ada kehidupan suci. Tanpa berbelok ke arah salah satu dari ekstrim-ekstrim ini, Sang

Tathāgata mengajarkan Dhamma di tengah: ‘Dengan kemelekatan

sebagai kondisi, maka bentukan-bentukan kehendak.’

“Tetapi dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan,

segala jenis bantahan, manuver, dan kebimbangan108 – ‘Apakah

penuaan-dan-kematian, dan siapakah yang mengalami penuaan-dan- kematian?’ atau ‘Penuaan-dan-kematian adalah satu hal, dan yang mengalami penuaan-dan-kematian adalah hal lainnya,’ atau ‘Jiwa dan badan adalah sama,’ atau ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’ – semua ini ditinggalkan, dipotong hingga akarnya, bagaikan tunggul pohon kelapa, dihapuskan sehingga tidak dapat muncul kembali di masa depan.109

“Dengan peluruhan tanpa sisa dan lenyapnya kebodohan, segala

jenis bantahan, manuver, dan kebimbangan – ‘Apakah kelahiran, dan

siapakah yang mengalami kelahiran?’ … [63] … ‘Apakah bentukan- bentukan kehendak, dan siapakah yang mengalami bentukan- bentukan kehendak?’ atau ‘Bentukan-bentukan kehendak adalah satu hal, dan yang mengalami bentukan-bentukan kehendak adalah hal lainnya,’ atau ‘Jiwa dan badan adalah sama,’ atau ‘Jiwa adalah satu hal, badan adalah hal lainnya’ – semua ini ditinggalkan, dipotong hingga akarnya, bagaikan tunggul pohon kelapa, dihapuskan sehingga tidak dapat muncul kembali di masa depan.”

36 (6) Dengan Kebodohan sebagai Kondisi (2)

(Sutta ini identik dengan sutta sebelumnya, hanya berbeda pada bahwa pembicaraan ditujukan kepada para bhikkhu secara kolektif, dan tidak ada lawan bicara yang mengajukan pertanyaan yang tidak sesuai. Sang Buddha hanya mengucapkan jenis pernyataan yang tidak benar oleh-Nya sendiri.) [64]

37 (7) Bukan Milikmu

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, jasmani ini bukan milikmu, juga bukan

milik orang lain.110 [65] Ini adalah kamma masa lalu, terlihat seperti

apa yang terbentuk dan dibentuk oleh kehendak, sebagai sesuatu untuk dirasakan.111 Sehubungan dengan hal ini, para bhikkhu, seorang

siswa mulia yang terlatih memperhatikan dengan saksama dan sungguh-sungguh pada sebab-akibat yang saling bergantungan sebagai berikut: ‘Jika ini ada, maka itu juga ada; dengan munculnya ini, maka muncullah itu. Jika ini tidak ada, maka itu tidak ada, dengan lenyapnya

Dalam dokumen Sang Buddha Terjemahan baru (Halaman 76-90)