• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUB BAB PERTAMA (Rumput dan Kayu)

Dalam dokumen Sang Buddha Terjemahan baru (Halaman 176-188)

Khotbah Berkelompok tentang Tanpa Awal

I. SUB BAB PERTAMA (Rumput dan Kayu)

1 (1) Rumput dan Kayu

Demikianlah yang kudengar. Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Sāvatthī di Hutan Jeta, Taman Anāthapiṇḍika. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata

sebagai berikut:

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan.254 Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk

yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Misalnya, para bhikkhu, seseorang

memotong semua rumput, kayu, dahan, dan dedaunan di Jambudīpa

ini dan mengumpulkannya semua dalam satu tumpukan. Setelah melakukan itu, ia akan memindahkannya satu demi satu, dengan mengatakan [untuk tiap-tiap potongan]: “Ini adalah ibuku, ini adalah ibu dari ibuku.” Urutan dari ibu dan nenek dari orang itu tidak akan

berakhir, namun rumput, kayu, dahan, dan dedaunan di Jambudīpa

ini sudah habis dipindahkan. Karena alasan apakah? Karena, para

bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan. Titik

pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami

penderitaan, kesedihan, dan bencana, dan meramaikan pekuburan. Cukup untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukup untuk menjadi bosan terhadapnya, cukup untuk terbebaskan darinya.” [179]

2 (2) Bumi

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Misalnya, para bhikkhu, seseorang membentuk bola-bola tanah sebesar biji jujube dari seluruh tanah di bumi ini dan memindahkannya satu demi satu, dengan mengatakan [untuk tiap-tiap butirnya]: “Ini adalah ayahku, ini adalah ayah dari ayahku.” Urutan dari ayah dan kakek dari orang itu tidak akan berakhir, namun seluruh tanah di bumi ini sudah habis dipindahkan.

Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa

awal yang dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk- makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami penderitaan, kesedihan, dan bencana, dan meramaikan pekuburan. Cukup untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukup untuk menjadi bosan terhadapnya, cukup untuk terbebaskan darinya.”

3 (3) Air Mata

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, manakah yang lebih banyak: air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini atau air di empat samudra raya?”255

Sang Bhagavā, Yang Mulia, [180] air mata yang telah kami teteskan

ketika kami berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian memahami

Dhamma yang Ku-ajarkan seperti itu. Air mata yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami kematian ibu; ketika mengalami ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan, tetesan air mata yang telah kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.”

“Sejak lama, para bhikkhu, kalian telah mengalami kematian ayah … kematian saudara laki-laki … kematian saudara perempuan … kematian putra … kematian putri … kehilangan sanak-saudara … kehilangan kekayaan … kehilangan karena penyakit; ketika mengalami ini, menangis dan meratap karena berkumpul dengan yang tidak menyenangkan dan berpisah dari yang menyenangkan, tetesan air mata yang telah kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu,

saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan.... Cukup untuk

mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukup untuk menjadi bosan terhadapnya, cukup untuk terbebaskan darinya.”

4 (4) Susu Ibu

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Bagaimana menurut kalian, para bhikkhu, manakah yang lebih banyak: [181] air susu ibu yang telah kalian minum ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini atau air di empat samudra raya?”

“Seperti yang kami pahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang

Bhagavā, Yang Mulia, air susu ibu yang telah kami minum ketika kami

berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian memahami Dhamma

yang Ku-ajarkan seperti itu. Air susu ibu yang telah kalian minum ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.

Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa

awal yang dapat ditemukan.... cukup untuk terbebaskan darinya.” 5 (5) Gunung

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi

hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, berapa lamakah satu kappa?”256

“Satu kappa adalah sangat lama, bhikkhu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa tahun, atau berapa ratus tahun, atau berapa ribu tahun, atau berapa ratus ribu tahun.”

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Yang Mulia?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Misalnya,

bhikkhu, terdapat gunung batu dengan panjang satu yojana, lebar satu yojana, dan tingginya satu yojana, tanpa lubang atau celah, batu padat yang besar. Di akhir setiap seratus tahun seseorang akan menggosoknya

dengan secarik kain Kāsi.257 Dengan usaha ini gunung batu itu lama-

kelamaan akan terkikis habis tetapi kappa itu masih belum berakhir. Demikian lamanya satu kappa itu, bhikkhu. [182] Dan dari kappa- kappa yang selama itu, kita telah mengembara melalui begitu banyak kappa, ratusan kappa, ribuan kappa, ratusan ribu kappa. Karena alasan

apakah? Karena, bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan…. cukup untuk terbebaskan darinya.” 6 (6) Biji Sawi

Di Sāvatthī. Seorang bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi

“Yang Mulia, berapa lamakah satu kappa?”

“Satu kappa adalah sangat lama, bhikkhu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa tahun, atau berapa ratus tahun, atau berapa ribu tahun, atau berapa ratus ribu tahun.”

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Yang Mulia?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Misalnya,

bhikkhu, terdapat satu kota dengan tembok besi satu yojana panjangnya, satu yojana lebarnya, dan satu yojana tingginya, diisi penuh dengan biji sawi hingga sepadat rambut yang terikat. Di akhir setiap seratus tahun seseorang mengambil sebutir biji sawi dari sana. Dengan usaha ini tumpukan biji sawi itu lama-kelamaan akan habis tetapi kappa itu masih belum berakhir. Demikian lamanya satu kappa itu, bhikkhu. Dan dari kappa-kappa yang selama itu, kita telah mengembara melalui begitu banyak kappa, ratusan kappa, ribuan kappa, ratusan ribu kappa.

Karena alasan apakah? Karena, bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal

yang dapat ditemukan…. cukup untuk terbebaskan darinya.” 7 (7) Para Siswa

Di Sāvatthī. [183] Sejumlah bhikkhu mendekati Sang Bhagavā, memberi

hormat kepada Beliau, duduk di satu sisi, dan berkata kepada Beliau: “Yang Mulia, berapa banyakkah kappa yang telah lewat dan berlalu?”

“Para bhikkhu, banyak kappa telah lewat dan berlalu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa.”

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Yang Mulia?”

“Mungkin saja, bhikkhu,” Sang Bhagavā berkata. “Misalnya,

bhikkhu, terdapat empat siswa di sini yang masing-masing memiliki umur kehidupan selama seratus tahun, hidup selama seratus tahun, dan setiap hari mereka masing-masing mengingat seratus ribu kappa. Masih ada banyak kappa yang belum teringat oleh mereka ketika empat siswa tersebut yang masing-masing memiliki umur kehidupan seratus tahun, hidup selama seratus tahun, meninggal dunia di akhir seratus tahun itu.258 Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya

dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa. Karena alasan apakah? Karena, para

bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan….

cukup untuk terbebaskan darinya.” 8 (8) Sungai Gangga

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di

Hutan Bambu, Taman Suaka Tupai. Kemudian seorang brahmana

mendekati Sang Bhagavā dan saling bertukar sapa dengan Beliau.

Ketika mereka mengakhiri ucapan ramah-tamah, ia duduk di satu sisi dan berkata kepada Beliau: “Guru Gotama, berapa banyakkah kappa yang telah lewat dan berlalu?”

“Brahmana, berapa banyak kappa yang telah lewat dan berlalu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa.” [184]

“Kalau begitu mungkinkah dengan memberikan perumpamaan, Guru Gotama?”

“Mungkin saja, brahmana,” Sang Bhagavā berkata. “Misalnya,

brahmana, butiran pasir dari mulai Sungai Gangga ini bersumber hingga tempat sungai ini memasuki samudra raya; tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa butir, atau berapa ratus butir, atau berapa ribu butir, atau berapa ratus ribu butir. Brahmana, kappa-kappa yang telah lewat dan berlalu adalah jauh lebih banyak dari butiran pasir itu. Tidaklah mudah menghitungnya dan menyebutkannya dalam berapa kappa, atau berapa ratus kappa, atau berapa ribu kappa, atau berapa ratus ribu kappa. Karena alasan

apakah? Karena, brahmana, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan…. cukup untuk terbebaskan darinya.”

Ketika hal ini dikatakan brahmana itu berkata kepada Sang Bhagavā: “Mengagumkan, Guru Gotama! Mengagumkan, Guru Gotama! … Sejak

hari ini, sudilah Guru Gotama mengingatku sebagai seorang pengikut awam yang telah berlindung seumur hidupku.”

9 (9) Tongkat Kayu

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Bagaikan sebatang tongkat kayu yang dilemparkan ke air akan jatuh kadang-kadang pada bagian bawahnya, kadang-kadang pada bagian sisinya, dan kadang-kadang pada bagian atasnya, demikian pula [185] makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan, kadang-kadang pergi dari dunia ini ke dunia lain, kadang- kadang datang dari dunia lain ke dunia ini.259 Karena alasan apakah?

Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan…. cukup untuk terbebaskan darinya.” 10 (10) Seorang

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Puncak Gunung Nasar. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”260

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata

sebagai berikut:

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Seseorang, berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan, akan meninggalkan tumpukan tulang-belulang, timbunan tulang- belulang, gundukan tulang-belulang sebesar Gunung Vepulla ini, jika ada seseorang yang mengumpulkannya dan apa yang dikumpulkan itu tidak akan musnah.261 Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu,

saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan…. cukup untuk

terbebaskan darinya.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah

mengatakan ini, Yang Sempurna, Sang Guru, lebih jauh lagi berkata sebagai berikut:

“Timbunan tulang-belulang yang ditinggalkan oleh seseorang Dengan berlalunya satu kappa

Akan membentuk tumpukan sebesar gunung Demikianlah dikatakan oleh Sang Bijaksana. Ini dikatakan sebagai sebanyak

Dan setinggi Gunung Vepulla Yang berdiri di utara Gunung Nasar Di barisan pegunungan di Magadha.

“Tetapi ketika seseorang melihat dengan kebijaksanaan benar Kebenaran para mulia –

Penderitaan dan asal-mulanya, Penanggulangan penderitaan, Dan Jalan Mulia Berunsur Delapan

Yang menuju pada penenangan penderitaan – Maka orang itu, setelah mengembara

Selama paling banyak tujuh kali lagi, [186] Mengakhiri penderitaan

Dengan menghancurkan segala belenggu.” II. SUB BAB KE DUA (Ketidakberuntungan) 11 (1) Ketidakberuntungan

Pada suatu ketika, saat berdiam di Sāvatthī, Sang Bhagavā berkata sebagai berikut: “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang

dapat ditemukan. Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Kapan saja kalian melihat seseorang dalam ketidakberuntungan, dalam kesengsaraan, kalian dapat menyimpulkan: ‘Kami juga telah mengalami hal yang sama dalam perjalanan panjang ini.’ Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu,

saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan …. cukup untuk

12 (2) Kebahagiaan

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan…. Kapan saja kalian melihat seseorang dalam kebahagiaan dan keberuntungan, [187] kalian dapat menyimpulkan: ‘Kami juga telah mengalami hal yang sama dalam perjalanan panjang ini.’ Karena

alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal

yang dapat ditemukan…. cukup untuk terbebaskan darinya.” 13 (3) Tiga puluh Bhikkhu

Di Rājagaha di Hutan Bambu. Tiga puluh bhikkhu dari Pāvā mendekati Sang Bhagavā – semuanya adalah penghuni hutan, pemakan makanan

persembahan, pemakai jubah potongan-kain, pemakai jubah tiga helai, namun semuanya masih terbelenggu.262 Setelah mendekat,

mereka memberi hormat kepada Sang Bhagavā dan duduk di satu sisi. Kemudian Sang Bhagavā berpikir: “Tiga puluh bhikkhu ini semuanya

adalah penghuni hutan, pemakan makanan persembahan, pemakai jubah potongan-kain, pemakai jubah tiga helai, namun semuanya masih terbelenggu. Aku akan mengajarkan Dhamma sedemikian agar mereka selagi duduk di tempat ini batin mereka akan terbebaskan dari noda melalui ketidakmelekatan.”

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu itu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!”, para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata

sebagai berikut:

“Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan.

Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Bagaimana menurutmu, para bhikkhu, mana yang lebih banyak: darah yang telah kalian teteskan ketika kalian dipenggal saat berkelana dan mengembara melalui perjalanan panjang ini – atau air di empat samudra raya?”

“Seperti yang kami pahami dari Dhamma yang diajarkan oleh Sang

Bhagavā, Yang Mulia, darah yang telah kami teteskan ketika kami

berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja [188] adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya.”

“Bagus, bagus, para bhikkhu! Bagus sekali kalian memahami

Dhamma yang Ku-ajarkan seperti itu. Darah yang telah kalian teteskan ketika kalian berkelana dan mengembara dalam perjalanan panjang ini – ini saja adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Dalam waktu yang lama, para bhikkhu, kalian telah menjadi sapi, dan ketika sebagai sapi kalian dipenggal, darah yang kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudra raya. Dalam waktu yang lama kalian telah menjadi kerbau, domba, kambing, rusa, ayam, dan babi…. Dalam waktu yang lama kalian telah ditangkap sebagai pencuri, penyamun, dan pemerkosa, dan ketika kalian dipenggal, darah yang kalian teteskan adalah lebih banyak daripada air di empat samudra

raya. Karena alasan apakah? Karena, para bhikkhu, saṃsāra ini

adalah tanpa awal yang dapat ditemukan…. cukup untuk terbebaskan darinya.”

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Gembira, para bhikkhu itu bersukacita dalam kata-kata Sang Bhagavā. [189] Dan ketika penjelasan ini dibabarkan, batin ketiga puluh bhikkhu dari Pāvā

itu terbebaskan dari noda-noda melalui ketidakmelekatan. 14 (4) – 19 (9) Ibu, dan seterusnya

Di Sāvatthī. “Para bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat

ditemukan…. Tidaklah mudah, para bhikkhu, menemukan makhluk yang dalam perjalanan panjang ini belum pernah menjadi ibumu sebelumnya … ayahmu … saudara laki-lakimu … saudara perempuanmu … [190] … putramu … putrimu. Karena alasan apakah? Karena, para

bhikkhu, saṃsāra ini adalah tanpa awal yang dapat ditemukan….

cukup untuk terbebaskan darinya.” 20 (10) Gunung Vepulla

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang berdiam di Rājagaha di Puncak Gunung Nasar. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu sebagai berikut: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata

sebagai berikut:

Titik pertama tidak terlihat oleh makhluk-makhluk yang berkelana dan mengembara karena terhalangi oleh kebodohan dan terbelenggu oleh keinginan. Di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini

disebut Pācīnavaṃsa, [191] dan pada saat itu orang-orang ini disebut Tivara. Umur kehidupan Tivara adalah 40.000 tahun.263 Mereka sanggup

mendaki Gunung Pācīnavaṃsa dalam empat hari dan turun dalam

empat hari. Pada saat itu Sang Buddha Kakusandha, seorang Arahanta, Yang Tercerahkan Sempurna, telah muncul di dunia ini. kedua Siswa

Utama-Nya bernama Vidhura dan Sañjīva, pasangan mulia. Lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir. Begitu tidak

kekal segala bentukan, para bhikkhu, begitu tidak stabil, begitu tidak dapat diandalkan. Cukuplah, para bhikkhu, untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukup untuk menjadi bosan terhadapnya, cukup untuk terbebaskan darinya.

“[Di waktu lainnya] di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla

ini disebut Vaṅkaka, dan dan pada saat itu orang-orang ini disebut

Rohitassa. Umur kehidupan para Rohitassa adalah 30.000 tahun.264

Mereka sanggup mendaki Gunung Vaṅkaka dalam tiga hari dan turun dalam tiga hari. Pada saat itu Sang Buddha Koṇāgamana, seorang

Arahanta, Yang Tercerahkan Sempurna, telah muncul di dunia ini. kedua Siswa UtamaNya bernama Bhiyyosa dan Uttara, pasangan mulia.

Lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir.

[192] Begitu tidak kekal segala bentukan…. cukup untuk terbebaskan darinya.

“[Di waktu lainnya lagi] di masa lampau, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Supassa, dan pada saat itu orang-orang ini disebut Suppiya. Umur kehidupan para Suppiya adalah 20.000 tahun. Mereka sanggup mendaki Gunung Supassa dalam dua hari dan turun dalam dua hari. Pada saat itu Sang Buddha Kassapa, seorang Arahanta, Yang Tercerahkan Sempurna, telah muncul di dunia ini. kedua Siswa

UtamaNya bernama Tissa dan Bhāradvāja, pasangan mulia. Lihatlah, para bhikkhu! Nama gunung itu telah lenyap, orang-orang itu telah mati, dan Sang Bhagavā itu telah mencapai Nibbāna akhir. Begitu tidak

“Di masa sekarang, para bhikkhu, Gunung Vepulla ini disebut Vepulla, dan pada saat ini orang-orang ini disebut Magadha. Umur kehidupan para Magadha ini singkat, terbatas, cepat berlalu; seorang yang berumur panjang hidup hingga seratus tahun atau sedikit lebih lama. Para Magadha mendaki Gunung Vepulla dalam satu jam dan turun dalam satu jam. Pada saat ini, Aku muncul di dunia ini, seorang Arahanta, Yang Tercerahkan Sempurna. Dua Siswa UtamaKu bernama

Sāriputta dan Moggallāna, pasangan mulia. Akan tiba masanya, para

bhikkhu, [193] ketika nama gunung ini lenyap, ketika orang-orang

ini mati, dan Aku akan mencapai Nibbāna akhir. Begitu tidak kekal

segala bentukan, para bhikkhu, begitu tidak stabil, begitu tidak dapat diandalkan. Cukuplah, para bhikkhu, untuk mengalami kejijikan terhadap segala bentukan, cukup untuk menjadi bosan terhadapnya,

Dalam dokumen Sang Buddha Terjemahan baru (Halaman 176-188)