• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP, KAJIAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI

2.2 Kajian Pustaka

Penelitian ini merujuk beberapa artikel penelitian dan disertasi yang berhubungan dengan linguistik forensik, apraisal, semiotik, dan undang-undang.

Beberapa kajian pustaka yang relevan dengan penelitian ini memberikan kontribusi kepada penelitian ini.

Udina (2016) menyimpulkan perkembangan linguistik hukum atau linguistik forensik, sebagaimana diketahui, adalah contoh nyata perkembangan integratif sains modern. Linguistik menjadi terlibat dalam berbagai penelitian aktivitas manusia, hukum menjadi bidang penggunaan bahasa tertentu. Linguistik hukum melacak hubungan erat antara bahasa dan hukum yang baik oleh para ahli bahasa dan ahli hukum.

Institusionalisasi linguistik forensik yang ditandai dengan pembentukan International Forensic Linguists Association menghasilkan interaksi yang lebih erat antara ahli bahasa dan pengacara dan telah membangkitkan minat yang besar dalam pendidikan. Banyak universitas di dunia beralih ke masalah bahasa dan

hukum, memperkenalkan program dan kursus yang berbeda. Spesialis hukum dan ahli bahasa di banyak negara bekerja sama dalam isu-isu yang sangat penting untuk pengembangan sistem hukum dan komunikasi dalam lingkup hukum.

Pendidik bahasa asing di sekolah hukum, merancang kursus LSP dengan mempertimbangkan bahasa dan hubungan hukum. Pendekatan interdisipliner untuk belajar memberikan cara belajar bahasa yang lebih efektif, memperkenalkan siswa dengan masalah nyata pengembangan bahasa hukum dan komunikasi dalam pengaturan profesional.

Bahasa dan hukum adalah bidang studi interdisipliner yang menarik bagi ahli bahasa, spesialis hukum dan pendidik. Mengajar LSP membutuhkan konteks khusus yang mengungkap berbagai fitur penggunaan bahasa profesional. Dari sudut pandang ini bahasa dan hukum memberikan wawasan tentang perkembangan bahasa hukum dan fungsi dan kekuatan spesifiknya.

Perkembangan teknologi komputer memberikan pendekatan baru dalam metodologi pembelajaran bahasa. Penggunaan e-textbook Forensic English telah digunakan untuk mengembangkan kemampuan berbicara yang reseptif dan produktif, kemampuan berbicara argumentatif, membaca dan menulis, meningkatkan kompetensi multimedia dan semiotik.

Kontribusi artikel adalah mengenai pemahaman perkembangan linguistik hukum atau linguistik forensik. Linguistik hukum melacak hubungan erat antara bahasa dan hukum yang baik oleh para ahli bahasa dan ahli hukum. Perbedaan artikel dengan penelitian ini adalah pada objek kajian dan teori yang digunakan.

Persamaannya adalah sama-sama menganalisis linguistik forensik.

Breeze (2016) memaparkan dalam tulisannya bahwa semua komunitas profesional terlibat dalam praktik diskursif menarik pengetahuan ke bentuk komunikasi sesuai dengan jenis tindakan profesional tertentu (Bhatia, 2004).

Seorang profesional yang handal mampu mengoperasikan secara terlatih, mengelola wilayah sumber daya linguistik untuk memperoleh ujung komunikatif yang khusus. Pilihan bahasa yang tersedia dalam situasi tertentu terpaksa secara sosial yang dikenal dengan kecocokan, pada level wacana yang berhubungan dan register, dan dari konsensus profesional apa yang berterima, pada level nilai dan sikap.

Dalam kasus ketetapan internasional yang bertentangan, para analis wacana fokus pada material di wilayah publik, seperti penghargaan (Giner, 2009;

Martinez, 2009) tetapi sedikit riset yang terpublikasi pada bahasa yang digunakan dibalik pintu tertutup pengadilan arbitrasi. Opini sepakat dan tidak setuju merupakan teks yang muncul dari konflik seorang arbitrator dengan mayoritas, untuk mempertahankan jejak wacana dari proses arbiterasi.

Artikel ini menyimpulkan analisis apraisal yang dilakukan di sini membawa sejumlah rangkaian nilai yang membentuk kemungkinan diskursif arbiterasi. Ekspresi affect jarang dan sering, tetapi kadang-kadang digunakan untuk efek retoris tertentu. Judgement cenderung menjadi pusat nili-nilai kunci normalitas, verasitas, dan proprietas. Dua yang disebut terakhir menjadi indexed baik dalam sense negatif maupun positif. Apresiasi fokus pada valuasi penting atau signifikan, tetapi juga terpusat pada aspek komposisi, seperti kejelasan serta argumen logis yang muncul menjadi nilai-nilai kunci dalam wacana arbitrasi.

Ekstrapolasi dari studi adjectiva dan adverbia, menegaskan bahwa sistem nilai arbitrasi yang mendasarinya adalah suatu argumen kualitas yang jelas dan konsistensinya juga kemampuannya untuk membujuk. Normalitas atau kewajaran sebuah nilai, sejauh ini artinya mengikuti standar cara memahami legislasi atau melaksanakan prosedur. Proprietas penting dalam artian melakukan hal dengan wajar, mengikuti proses yang tepat, bertindak dan berdebat dengan cara yang dianggap benar, dalam profesi tersebut. Verasitas dianggap sebagai sebuah nilai kunci, karena kebanyakan proses legal penting membangun sebuah kebenaran dan meragukan tentang masalah fakta akan merusak keseluruhan kasus.

Dipandang dari sudut wewenang, jelas bahwa para arbitrator berharap memposisikan diri mereka sebagai perwakilan kejujuran, kebenaran, dan kewajaran. Sebagai perlawanan ketidakpastian, kebohongan, dan praktik yang sesat dan tidak wajar. Terlebih lagi, para arbitrator juga menempati suatu posisi wacana yang kuat sebagai arbiter kepentingan. Memberikan peringkat pada isu yang berkenaan dengan signifikan ataupun kekurangannya.

Kontribusi artikel ini terhadap penelitian ini pada analisis apraisal yang dilakukan berfungsi sebagai contoh investigasi perselisihan di sidang pengadilan UU ITE. Perbedaan artikel dengan penelitian ini terletak pada penyajian data.

Artikel menyajikan bukti studi kontrastif yang didesain untuk mengukur kesamaan dan kontras antara bahasa arbitrasi dan juga litigasi. Penelitian ini menyajikan bukti gugatan UU ITE dari rekaman percakapan dan seluruh proses sidang pengadilan. Kajian ini sama-sama menggunakan apraisal sebagai kerangka kerja. Analisis ini menerapkan linguistik forensik pada kasus gugatan UU ITE sedangkan Breeze menerapkan analisis wacana dalam arbitrasi internasional.

Suriyadi (2015) mengkaji apraisal bahasa evaluatif dari teks editorial surat kabar di Medan dengan menerapkan teori LSF. Penelitian tersebut bertujuan untuk (1) mendeskripsikan pola apraisal sikap dalam teks editorial surat kabar di Medan, (2) mendeskripsikan pola apraisal pemosisian dalam teks editorial surat kabar di Medan, (3) mendeskripsikan pola apraisal graduasi dalam teks editorial surat kabar di Medan, dan (4) mendeskripsikan mengapa apraisal dipolakan dengan cara seperti itu dalam teks editorial surat kabar di Medan.

Metode yang digunakan dalam penelitian tersebut metode deskriptif analitis. Data dianalisis dengan menggunakan perangkat lunak program konkordansi Simple Concordance Program (SCP). Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kecenderungan pola penggunaan leksis apraisal sikap negatif ditunjukkan dalam unsur afek, unsur penilaian, dan unsur apresiasi yang negatif oleh para penulis teks editorial surat kabar di Medan. Ini menunjukkan bahwa para penulis teks editorial surat kabar di Medan cenderung menceritakan peristiwa sensitif atau masalah yang menimbulkan keprihatinan terhadap peristiwa yang terjadi pada masyarakat, (2) kecenderungan pola penggunaan leksis apraisal pemosisian negatif oleh para penulis teks editorial surat kabar dengan mewartakan cerita tentang peristiwa negatif atau pengingkaran terhadap peristiwa yang diwartakan kepada masyarakat atau para pembaca setia surat kabar tersebut, (3) kecenderungan pola penggunaan leksis apraisal graduasi yang negatif oleh para penulis teks editorial surat kabar dengan mewartakan dominasi penggunaan leksis metafora dalam peristiwa yang terjadi di masyarakat, dan (4) kecenderungan penggunaan pola apraisal dalam teks editorial surat kabar di Medan adalah Graduasi ^ Pemosisian ^ Sikap.

Penelitian Suriyadi memberi kontribusi kepada penelitian ini dari segi teori dan analisis. Perbedaannya dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu (1) data yang akan dianalisis adalah data linguistik forensik teks perundang-undangan yaitu gugatan UU ITE, (2) pendekatan yang digunakan linguistik forensik.

Metode pengumpulan data penelitian dengan rekaman suara dan proses sidang pengadilan di lapangan.

Correa (2013) menyimpulkan hukum tidak dapat dibayangkan tanpa bahasa: tanpa bahasa tidak akan ada hukum, tidak ada persidangan, dan dalam beberapa kasus, tidak ada bukti. Meskipun bidang linguistik forensik masih dalam tahap awal, kontribusinya pada sistem peradilan pidana tetap signifikan.

Dari beberapa kasus hukum yang paling terkenal dan dibahas menguraikan perpotongan antara linguistik terapan (terutama pragmatik, analisis wacana, dan sosiolinguistik) dan bidang yang muncul dalam tiga bidang yang saling terkait: (1) bahasa sebagai media komunikasi antara penegak hukum dan tersangka/saksi atau sebagai media argumentasi hukum di ruang sidang, (2) bahasa hukum (isu kejelasan, interpretasi dan konstruksi bahasa hukum), dan (3) kejahatan bahasa dan bukti linguistik (penggunaan, validitas, dan reliabilitas di ruang sidang).

Dari kajian tersebut menunjukkan bagaimana linguistik terapan dapat berkontribusi, tidak hanya untuk kodifikasi hukum yang lebih dimengerti, tetapi juga untuk pemeliharaan hak-hak dari populasi yang rentan bahasa. Seperti disiplin yang muncul lainnya, linguistik forensik menghadirkan banyak keterbatasan yang tidak boleh diabaikan.

Pertama, bukti linguistik saja sering tidak cukup untuk menghukum atau membebaskan seseorang, meskipun itu mungkin berkontribusi pada bukti yang

lebih besar. Kedua, sementara analisis linguistik menjadi semakin akurat dengan bantuan teknologi, ini masih belum 100% sempurna dan masih tunduk pada interpretasi. Akhirnya, ketidakmungkinan manipulasi eksperimental di ruang sidang membuat beberapa asumsi tentang apa yang terjadi di sana sulit untuk ditunjukkan. Meskipun hal ini mungkin terjadi, yang perlu jelas bahwa ketika para ahli bahasa berfungsi sebagai saksi ahli, tujuan mereka adalah untuk membantu hakim dalam memahami bukti dengan menyoroti isu-isu yang mungkin tidak jelas sebaliknya.

Kontribusi artikel Correa bagi penelitian ini memberi gambaran umum persimpangan antara linguistik forensik dan bidang linguistik terapan lainnya (terutama sosiolinguistik, pragmatik, dan analisis wacana) di tiga bidang yang saling terkait: bukti linguistik, bahasa dan hukum, dan bahasa selama prosedur hukum dan diskursus ruang sidang. Perbedaan kajian ini adalah pada objek undang-undang. Objek kajian Correa interaksi prosedur hukum dan diskursus ruang sidang. Persamaan kajian ini pada subbab rumusan masalah kedua membahas interaksi dalam ruang sidang.

Wolcher (2006) menyimpulkan apa yg dimaksud dengan objek hukum adalah identitasnya atau esensi yang ditentukan oleh modus eksistensinya atau cara memanifestasikan dirinya dalam waktu sebagai fenomena hidup. Dengan demikian, setiap upaya yang serius berpikir tentang lembaga manusia yang kita sebut "hukum" memerlukan filosofi bagaimana hukum bahasa (statuta, preseden, kontrak, dll) yg terkait dengan peristiwa hukum seperti interpretasi dan penegakan hukum.

Artikel ini dimulai dengan menggambarkan filosofi filsafat; kemudian mengembangkan enam ide yang jelas membangun perbedaan antara aturan implisit yang membentuk sistem bahasa (sebuah "permainan bahasa" tertanam dalam "bentuk kehidupan") dan pernyataan yang dibuat, dengan cara aturan dalam sistem. Wolcher kemudian menyatakan bahwa fenomena terakhir sebenarnya hal utama dari bentuk hukum kehidupan. Dua bagian yang mengikuti diskusi ini membongkar perbedaan yang ditemukan dalam filsafat bahasa antara magis dan pandangan logis dari bahasa. Pandangan ajaib membayangkan bahwa bahasa hukum harus selalu "berarti" sesuatu. Pandangan ini mengarah ke dalam pemikiran ketidakjelasan, kebingungan, dan kadang-kadang bahkan ke absurditas.

Sebaliknya, pandangan logis dari bahasa mencoba untuk mengidentifikasi teknik deskriptif yang berbeda (metode perbandingan dan metode aplikasi) bahwa orang-orang menggunakan berbagai bentuk kehidupan dan berusaha kejelasan filosofis tentang "teori" atau "penjelasan" dari banyak cara bahasa hukum benar-benar digunakan oleh pengacara dan hakim.

Akhirnya, artikel ini berusaha untuk menunjukkan bahwa kejelasan bukanlah milik tanda-tanda linguistik seperti itu, melainkan merupakan fungsi dari perbedaan antara bentuk kehidupan yang konstitusi dan kontinuitas diproduksi oleh sejarah dalam arti terbesar dari kata. Hal ini juga menyampaikan bahwa permintaan untuk kejelasan dalam bahasa hukum pada akhirnya permintaan untuk masuk ke dalam bentuk yang kuat secara politik kehidupan yang dihuni oleh pengacara, hakim, dan anggota legislatif.

Kontribusi artikel ini dalam hal gambaran bagaimana bahasa hukum bekerja. Perbedaan artikel ini dengan kajian yang akan dilakukan adalah dalam

hal teori yang digunakan dan persamaannya adalah sama-sama menginterpretasi bagaimana bahasa hukum bekerja.

Susanto (2005) menjelaskan semiotika hukum berada dalam proses menentukan bentuk kajiannya, yaitu banyak istilah baru dan kompleks yang diperkenalkan dengan kegunaan dan definisi yang berbeda. Sementara sudut pandang lainnya mencoba menyatukan elemen-elemen analisis semiotik dalam analisis hukum.

Pada bagian keempat tentang semiotika hukum sebagai pendekatan kritis menyimpulkan hasil kajiannya suatu pendekatan semiotik kritis hanya awal untuk memberikan pengaruh dalam sosiologi hukum. Beberapa konsep penting mulai muncul. Telah dijelaskan bahwa beberapa sistem koordinat linguistik benar-benar eksis. Untuk berkomunikasi secara bermakna seseorang harus menempatkan dirinya dalam wacana yang relevan. Kata-kata menyampaikan ideologi yang dikandungnya. Jadi penggunaan wacana tertentu terikat oleh sifat-sifat bentuk linguistik.

Kajian tersebut juga secara singkat telah menyatakan bahwa untuk memahami proses linguistik yang lebih baik, seseorang harus dapat mengkonseptualisasi suatu domain dimana proses itu dihasilkan, bidang produk linguistik dan suatu domain dimana proses itu bersirkulasi disebut dengan bidang sirkulasi linguistik. Telah dijelaskan adanya ketegangan antara wacana-wacana pluralis di satu sisi dan sistem koordinat linguistik yuridis disisi lain. Dapat diindikasikan bahwa, hegemoni dan reifikasi dapat terjadi oleh penggunaan terus menerus wacana sistem koordinasi linguistik yuridis. Pendekatan semiotik kritis menyatakan bahwa formalitas represif merupakan sifat hukum dalam mode

produksi kapitalis pengadilan lebih tinggi secara aktif mengembangkan suatu ideologi yang mendukung sistem ekonomi tertentu.

Kontribusi penelitian ini terhadap penelitian yang dilakukan adalah dalam hal pemaknaan semiotik hukum. Perbedaan penelitian susanto dengan penelitian yang dilakukan adalah pada objek penelitian dan teori semiotik yang digunakan.

Persamaannya adalah sama-sama menggunakan semiotik.

Tiersma (1999) mengatakan sistem hukum secara keseluruhan juga memiliki tujuan yang dapat bertentangan dengan tujuan komunikasi yang jelas.

Sebagai contoh, ia berusaha untuk menyatakan hukum sebagai otoritatif mungkin.

Bahasa formal, kuno, dan ritualistis membantu mencapai tujuan ini dengan menyampaikan aura tanpa batas waktu yang membuat hukum tampak hampir abadi dan dengan demikian lebih kredibel dan layak dihargai.

Pengadilan meningkatkan rasa legitimasi mereka dengan menggambarkan diri mereka sebagai institusi yang hampir tidak berubah dari garis keturunan kuno.

Bahasa ritualistik memisahkan proses hukum dari kehidupan biasa, menandai mereka sebagai istimewa dan penting. Lebih jauh lagi, sistem hukum ingin agar undang-undang itu muncul secara maksimal obyektif. Perintah pengadilan biasanya dalam bentuk pasif, menciptakan kesan bahwa tindakan semacam itu dilakukan tanpa campur tangan agen manusia yang bisa salah. Objektivitas hukum diperkuat oleh penggunaan orang ketiga yaitu hakim.

Pernyataan aturan hukum yang luas dan impersonal (Siapa pun yang melakukan X akan bersalah karena pelanggaran) membuat undang-undang tampak tidak memihak. Tentu saja, pernyataan impersonal seperti itu sekali lagi mengurangi komunikasi yang jelas. Generalisasi yang luas dan luas jauh kurang

efektif daripada peringatan bahwa jika Anda melakukan hal-hal berikut, saya akan melemparkan Anda ke penjara.

Dalam artikel ini disebutkan bahwa pengacara juga termasuk pelanggar bahasa terburuk. Renungkanlah sifat berbelit-belit dan berlebihan, sebuah dokumen yang sangat penting sehingga hanya efektif jika ditandatangani di hadapan saksi. Mengapa pengacara tidak bisa menulis dengan lebih jelas, ringkas, dan komprehensif? Kami tahu mereka dapat berkomunikasi dengan baik ketika mereka menginginkannya. Jadi mengapa harus begitu banyak dokumen hukum yang penting-dokumen yang mengatur hak dan kewajiban kita sebagai warga negara, memungkinkan bank untuk mengambil kembali rumah kita, atau yang menentukan siapa yang bertanggung jawab atas kerusakan pada mobil sewaan-berada dalam hukum yang benar-benar tidak dapat dimengerti? Mungkin bahasa pengacara begitu berbelit-belit hanya karena konservatisme profesi dan pemujaan sejarah dan tradisinya. Sampai taraf tertentu, bahasa Inggris hukum memang merupakan produk dari sejarahnya. Dalam undang-undang mengharuskan bahwa untuk selanjutnya semua permohonan harus dimohon, dibuktikan, dibela, dijawab, diperdebatkan, dan dihakimi dalam Bahasa Inggris.

Bahwa pengacara benar-benar menciptakan bahasa Inggris hukum, atau berpegang teguh pada kebiasaan lama, untuk menjaga publik dalam kegelapan dan melindungi monopoli mereka atas layanan hukum tentu saja dibesar-besarkan.

Namun, para pengacara tampaknya mencoba mengeluarkan frase mereka yang paling kuno, berlebihan, dan berbelit-belit ketika menulis dokumen langsung untuk klien, terutama surat wasiat. Namun para pengacara bisa mengenakan biaya

ratusan dolar untuk menyusunnya. Seringkali, kerumitan bahasa menutupi kesederhanaan konten.

Kontribusi kajian Tiersma terhadap penelitian ini adalah membuka cakrawala, sejarah, dan bagaimana sifat bahasa hukum baik dalam proses hukum dan dokumen hukum. Perbedaan kajian Tiersma dengan kajian ini yaitu pada objek yang diteliti dan persamaan kajian ini adalah sama-sama membahas tentang bahasa hukum dalam dokumen hukum dan proses hukum.

Dokumen terkait