• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP, KAJIAN PUSTAKA, DAN LANDASAN TEORI

2.3 Landasan Teori

Penelitian ini menerapkan pendekatan Linguistik Forensik yang digunakan untuk mendeskripsikan bahasa forensik dalam gugatan UU ITE. Rumusan masalah pertama menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungional dalam menganalisis penggunaan bahasa dengan perspektif apraisal. Rumusam masalah kedua dianalisis dengan menerapkan teori semiotik. Apraisal digunakan untuk mendeskripsikan sikap, pemosisian, dan graduasi dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, putusan gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016, dan rekaman percakapan. Dari leksis apraisal dan interpretasi makna semiotk terhadap gugatan UU ITE terungkaplah pola bahasa, aspek linguistik forensik, dan makna semiotik forensik yang terkandung dalam gugatan UU ITE.

2.3.1 Linguistik forensik

Linguistik forensik adalah ilmu yang berkaitan dengan penerapan pengetahuan dan teknik linguistik terhadap fakta-fakta bahasa yang terkandung dalam kasus-kasus hukum, perseteruan pribadi antara pihak-pihak tertentu yang

kemudian hari berujung pada pengambilan tindakan hukum tertentu (Olsson, 2008:4). Fakta bahasa adalah setiap „teks‟ (text) dalam arti luas-baik oral atau tulisan yang terkandung dalam kasus hukum: surat, buku, esei, diari, kontrak, surat dokter, artikel, tesis, bahkan kertas parkir (Olsson, 2008:1).

Maschi dan kawan-kawan menyebut cara kerja forensik interdisipliner, multidisipliner dan multikultural ini sebagai “kerja sosial forensik kolaboratif”

(collaborative forensic social work) yaitu pendekatan terintegrasi yang melibatkan para generalis, spesialis, dan “kolektivis”. Cara kerja ini tak hanya melingkupi kelompok sempit para korban dan pelaku yang terlibat di dalam peristiwa kejahatan, tetapi semua pihak yang relevan: antropolog, sosiolog, ahli linguistik, dan lain-lain (Maschi, dkk., 2009: xiii). Ini karena pekerjaan forensik akan berhadapan dengan individu berbeda, atau komunitas yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan isyu-isyu hukum yang berbeda pula.

Dalam linguistik forensik pengetahuan dan teknik-teknik linguistik diterapkan untuk mengkaji fenomena kebahasaan yang terkait dengan kasus hukum atau pemeriksaan perkara; atau sengketa pribadi antara beberapa pihak yang pada tahap berikutnya berdampak pada pengambilan tindakan secara hukum (Olsson, 2008). Linguistik forensik didefinisikan sebagai penerapan ilmu linguistik dalam suatu ranah sosial khusus, yakni ranah hukum (Olsson, 2008;

Coulthard, 2014; Kusharyadi, 2005; Santoso, 2014).

Linguistik forensik berhadapan dengan variabel kejahatan dan peradilan disamping variabel konsep-konsep linguistik. Hal ini menjadikan linguistik forensik secara induktif dan deduktif memiliki proses analisis yang lebih kompleks dan terkadang membutuhkan intuisi (Sawirman dkk, 2014: 52). Dalam

kajian ini linguistik forensik berhadapan dengan sidang pengadilan gugatan UU ITE yang digugat oleh pemohon SN terkait dengan dugaan pemufakatan jahat.

Perhatian utama dari linguistik forensik adalah (1) bahasa dari dokumen legal, (2) bahasa dari polisi dan penegak hukum, (3) interview dengan anak-anak dan saksi-saksi yang rentan dalam sistem hukum, (4) interaksi dalam ruang sidang, (5) bukti-bukti linguistik dan kesaksian ahli dalam persidangan, (6) kepengarangan dan plagiarisme, serta (7) fonetik forensik dan identifikasi penutur (Coulthard dan Johnson, 2007:5).

Linguistik forensik juga mengkaji bahasa yang digunakan di penjara, pengembangan penerjemahan bahasa yang digunakan dalam konteks peristiwa hukum, penyediaan bukti forensik linguistik berbasis pada kepakaran dan penyediaan kepakaran linguistik dalam penyusunan dokumen legal serta upaya penyederhanaan bahasa hukum (Gibbons, 2007:12). Dari paparan diatas, dapat disimpulkan bahwa ada tiga bidang utama yang menjadi fokus kajian linguistik forensik, yaitu (1) bahasa sebagai produk hukum; (2) bahasa dalam proses peradilan; dan (3) bahasa sebagai alat bukti.

Kajian linguistik forensik juga terkait dengan permasalahan kebinekaan, khususnya di Indonesia, baik kebinekaan bahasa maupun kebinekaan budaya. Hal ini disebabkan interaksi budaya dan bahasa yang berbeda dalam masyarakat Indonesia bukan tidak mungkin menimbulkan kesalahpahaman yang berakibat pada friksi horisontal. Dalam hal ini, kajian linguistik forensik sangat dibutuhkan untuk membantu menyelesaikan permasalahan yang disebabkan oleh situasi multibahasa dan multibudaya (Pedoman Kajian Linguistik Forensik; Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan: 2016). Aspek dalam

kebinekaan yang dapat dikaji linguistik forensik meliputi: (a) permasalahan dialek geografis dan dialek sosial; (b) interpretasi kelas sosial terhadap teks; (c) persepsi kesukuan, dan (d) sikap masyarakat terhadap hukum (Musfiroh, 2014, Eades, 2010 dalam Coulthard dan Johnson, 2010). Ruang lingkup linguistik forensik baik secara praktis maupun teoretis adalah sebagai berikut.

Gambar 2.1 Ruang lingkup cakupan kajian linguistik forensik

(Sumber: Pedoman Kajian Linguistik Forensik; Pusat Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan: 2016)

Aspek-aspek linguistik yang digunakan dalam kajian linguistik forensik antara lain (1) Fonetik dan fonologi; penerapan fonetik dan fonologi forensik salah satunya adalah dalam pembuatan transkripsi fonetis dan fonologis dari suatu tuturan dalam sebuah kasus hukum yang tengah dianalisis secara linguistik forensik (Olsson, 2008).

(2) Morfologi digunakan dalam beberapa analisis, yakni: (a) menelaah kesesuaian proses-proses morfologis kata-kata dalam produk hukum dengan kaidah-kaidah gramatikal sehingga tidak menimbulkan ketaksaan atau kesalahpahaman makna; dan (b) menelaah gaya bahasa perorangan, yakni dengan meneliti kecenderungan penggunaan morfem tertentu dalam gaya bahasa seseorang yang membedakannya dengan gaya bahasa orang lain sehingga dapat digunakan dalam proses analisis identifikasi pengarang.

(3) Sintaksis menganalisis beberapa hal, yakni: (a) kesesuaian susunan kalimat dalam bahasa produk hukum dengan kaidah gramatikal sehingga tidak menimbulkan ketaksaan dan kesalahpahaman; (b) mengidentifikasi pengarang asli sebuah karya; (c) analisis transitivitas dalam analisis wacana kritis; dan (d) menyederhanakan kalimat-kalimat kompleks dalam produk hukum sehingga mudah dipahami.

(4) Semantik digunakan dalam: (a) analisis makna dalam bahasa produk hukum untuk menyelidiki ketaksaan makna yang dapat menimbulkan multitafsir dan produk hukum tersebut; dan (b) analisis wacana, dalam hal ini penyelidikan mengenai pemilihan kata yang memiliki makna tertentu baik makna literal maupun makna kiasan yang menyiratkan maksud-maksud tertentu dari penuturnya.

(5) Pragmatik dan Sosio-pragmatik dalam analisis wacana, baik wacana lisan seperti percakapan antarpelaku sebuah kasus, percakapan dalam proses penyidikan, atau percakapan dalam proses persidangan, maupun wacana tertulis seperti teks-teks sosial media yang berpotensi menimbulkan tindakan hukum.

(6) Gaya bahasa forensik stilistika digunakan untuk analisis suara, terjemahan dan interpretasi, identifikasi dialek, serta analisis wacana (McMenamin, 2010 dalam Coulthard dan Johnson, 2010). Selain itu stilistika forensik juga digunakan untuk mengidentifikasi penulis sebenarnya dari suatu tulisan tanpa nama, misalnya dalam surat kaleng, surat ancaman, surat teror, dan sebagainya (Tiersma dan Solon, 2005 dalam Musfiroh, 2014).

(7) Analisis Wacana merupakan kajian mengenai penggunaan bahasa dalam ruang lingkup penggunaan atau konteksnya (Brown dan yule, 1983).

Analisis wacana mencoba menelaah: (a) penggunaan bahasa yang mempengaruhi sistem kognisi dan interaksi sosial; atau sebaliknya, (b) interaksi sosial mempengaruhi penggunaan bahasa; dan (c) sistem kognisi yang mempengaruhi penggunan bahasa dan interaksi sosial (Van Dijk, 1997). Analisis wacana menganalisis struktur wacana, baik lisan maupun tertulis, dengan mengaplikasikan kriteria linguistik seperti morfologi, sintaksis, semantik, pragmatik, dan sebagainya, termasuk dengan memanfaatkan penanda wacana untuk mendapatkan kesatuan dan kebermaknaan wacana (Crystal, 2008).

(8) Kecakapan berbahasa (linguistic proficiency) membantu mengidentifikasi apakah tersangka sengaja diam atau karena tidak memiliki kecakapan berbahasa sehingga tidak mampu menangkap maksud pertanyaan penyidik atau tidak mampu berbahasa dengan baik untuk mengungkapkan maksudnya. Proses penyidikan selanjutnya dapat dibantu oleh penerjemah, ahli bahasa isyarat (jika tersangka/korban/sanksi tunarungu atau tunawicara), atau ahli bahasa degan kompetensi tertentu untuk membantu tersangka yang tidak mempunyai kecakapan berbahasa agar dapat mengungkapkan maksudnya dengan

baik sehingga penyidikan dapat berlangsung dengan lancar (Tiersma dan solon, 2005 dalaam Musfiroh, 2014).

(9) Dialektologi dimanfaatkan untuk menganalisis data bahasa, terutama berupa ujaran, dalam rangka mengenali dialek penutur yang belum diketahui dan untuk menentukan aksen sosialnya (Tiersma dan solon dalam Musfiroh, 2014).

Selain itu, melalui dialektologi forensik dapat juga ditelusuri dan diidentifikasi asal muasal dan keaslian bahasa dari penutur yang belum diketahui identitasnya.

(10) Kejujuran berbahasa dapat diidentifikasi apakah tersangka berkata yang sebenarnya, mengada-ada atau menutupi kejadian yang sebenarnya melalui penelitian struktur kalimat atau pemilihan kata dari keterangan tersangka (Tiersma dan Solan, 2005 dalam Musfiroh, 2014). Selain itu, dalam rangka mendeteksi kebohongan tersangka/sanksi, penggunaan strategi bertanya yang investigatif yang dipadukan dengan bantuan alat pendeteksi kebohongan merupakan cara yang efektif untuk menunjang keberhasilan penyidikan.

(11) Analisis struktur berbahasa berkaitan dengan bahasa dalam produk hukum, analisis struktur bahasa ini menelaah struktur bahasa dalam produk hukum terebut, apakah sudah sesuai dengan kaidah-kaidah kebahasaan sehingga tidak menimbulkan ketaksaan makna yang berdampak pada penyalahgunaan bahasa hukum dalam proses pengadilan. Selain itu, analisis struktur bahasa dalam kajian produk hukum juga dapat sampai pada rekomendasi penyederhanaan kalimat-kalimat kompleks dalam produk hukum sehingga lebih mudah dipahami.

(12) Kepengarangan (authorship) digunakan dalam kasus plagiarisme atau penyelidikan sebuah teks yang tidak diketahui pengarang sebenarnya (Olsson,2008). Melalui penggunaan gaya bahasa tertentu, dapat diidentifikasi

asal-usul atau ciri-ciri gaya bahasa seseorang yang kemudian dapat menjadi petunjuk untuk mengungkap pelaku sebenarnya dalam penyelidikan sebuah kasus (Olsson, 2008).

Dari aspek linguistik yang digunakan dalam kajian linguistik forensik di atas penelitian ini menggunakan aspek semantik wacana dan semiotik hukum dalam menganalisis produk hukum. Tataran leksikal merupakan aspek penting untuk mengungkap makna dalam berkomunikasi. Tataran ini melibatkan leksis penggunaan leksis dan frekuensinya yang terikat konteks. Salah satu kasus yang berkenaan dengan aspek leksikal pernah didokumentasi oleh McMenamin (Gibbons, 2007:288).

Isu yang dibahas adalah perbedaan makna antara syndrome, accident dan disease di sebuah polis asuransi. Seorang anak dari sebuah keluarga meninggal karena sudden infant death syndrome (SIDS) pada usia 18 bulan. Kehidupan anak tersebut dilindungi oleh asuransi jiwa dan asuransi kecelakaan ayahnya. Pihak asuransi menolak untuk membayarkan asuransi karena polis tersebut tidak mencakup kematian karena penyakit (ilness atau disease). McMenamin kemudian melakukan penelusuran ke literatur medis dan kamus. Ia akhirnya bisa membuktikan bahwa kata syndrome dari sisi makna lebih dekat kepada accident dibandingkan dengan makna kata disease.

Pada tataran wacana, kehadiran ahli linguistik juga diperlukan terutama untuk menguraikan kode-kode dari ungkapan linguistik atau tulisan yang tidak dikenal guna mengidentifikasikan makna berdasarkan konteksnya. Hal ini terjadi pada Gibbons (2007) ketika ia diminta untuk menguraikan pembicaraan yang direkam antara seorang laki-laki dan perempuan, karena polisi tidak

memahaminya. Dengan mengacu pada konteks, Gibbons berhasil menemukan bahwa pembicaraan tersebut merupakan bahasa rahasia yang merupakan hasil modifikasi dari bahasa Inggris sehari-hari. Demikian pula ketika ia diminta untuk mendeskripsikan catatan akhir dari seorang yang melakukan bunuh diri. Makna dalam catatan terakhir pelaku bunuh diri tersebut dapat diungkap dengan melihat konteks situasi yang ada pada pelaku (latar belakang keluarga, kondisi kejiwaan dll).

Dalam penelitian ini penggunaan pola bahasa dan aspek linguistik forensik dalam gugatan UU ITE dalam ruang lingkup penggunaan atau konteksnya. Dalam hal ini teori yang digunakan adalah LSF dengan perspektif apraisal.

2.3.2 Linguistik Sistemik Fungsional

Halliday pada era 60-an mengemukakan pendekatan kajian sosial melalui kajian bahasa yang dikenal dengan Linguistik Sistemik Fungsional (LSF).

Suriyadi (2015) menjelaskan dalam disertainya terdapat beberapa pandangan penting dalam teori LSF sebagai alasan mengapa teori ini digunakan sebagai kerangka apraisal dalam kajian ini.

Pertama, bahasa dalam konteks pendekatan LSF direalisasikan dalam tiga unsur yaitu (wacana) semantik, leksikogramatika, dan fonologi/grafologi. Makna dalam wacana semantik direalisasikan oleh leksikogramatika sebagai bentuk.

Selanjutnya, leksikogramatika dikodekan oleh fonologi (bahasa lisan), grafologi (bahasa tulis), dan bahasa isyarat. Dalam klausa Ririn belajar, misalnya, leksis belajarbermakna berusaha mengetahui sesuatu; berusaha memperoleh ilmu pengetahuan. Wacana semantic belajar ini kemudian direalisasikan oleh

leksikogrammar yang merupakan kaidah bahasa. Dalam klausa Ririnbelajar, mereka belajar, kita belajar, verba belajar tidak mengalami perubahan bentuk, seperti halnya dalam bahasa Inggris verbanya berubah sesuai dengan subjek.

Dengan demikian, verba study mengalami infleksi disebabkan subjek yang menyertainya, seperti Ririn studies, they study, we study. Selanjutnya, leksis belajar dikodekan dengan fonologi jika leksis itu diujarkan dan grafologi jika leksis itu dituliskan.

Kedua, pada konteks pemakaian bahasa, bahasa difungsikan dalam konteks sosial, bahasa kemudian memiliki sifat fungsional dalam konteks sosial yaitu pada tataran konteks situasi, konteks budaya dan ideologi.

Dalam tataran konteks situasi, keberhasilan orang-orang dalam berkomunikasi berkaitan dengan situasi terjadinya interaksi kebahasaan memberi para pelibat banyak sekali keterangan tentang makna yang sedang dipertukarkan dan makna-makna yang kemungkinan besar akan dipertukarkan (Haliday dan Hasan, 1985). Jenis pemerian atau penafsiran konteks situasi yang paling memadai bagi seorang linguis adalah jenis pemerian yang berciri hubungan-hubungan makna yang dimaksud, yaitu hubungan-hubungan-hubungan-hubungan yang dapat membuat orang mampu melakukan perkiraan tentang makna-makna jenis tertentu yang akan membantu menjelaskan cara orang berinteraksi.

Membagi konteks situasi menjadi tiga pokok bahasan yaitu medan wacana (field), pelibat (tenor), dan sarana (mode) (Haliday dan Hasan,1985). Pertama, medan wacana menunjukkan pada hal yang sedang terjadi, pada sikap tindakan sosial yang sedang berlangsung: apa sesungguhnya yang sedang disibukkan oleh para pelibat, yang di dalamnya bahasa ikut serta sebagai unsur pokok tertentu.

Kedua, pelibat wacana menunjukkan pada orang-orang yag ikut ambil bagian, pada sifat para pelibat, kedudukan dan peranan mereka: jenis-jenis hubungan peranan apa yang terdapat di antara para pelibat, termasuk hubungan-hubungan tetap dan sementara, baik jenis peranan tuturan yang mereka lakukan dalam percakapan maupun rangkaian keseluruhan hubungan yang secara kelompok mempunyai arti penting yang melibatkan mereka. Ketiga, sarana wacana menunjukkan pada bagian yang diperankan oleh bahasa dalam situasi itu.

Organisasi simbolik teks, kedudukan yang dimilikinya, dan fungsinya dalam konteks, termasuk salurannya (apakah dituturkan atau dituliskan atau semacam gabungan keduanya?) dan juga mode retoriknya, yaitu apa yang akan dicapai teks berkenaan dengan pokok pengertian seperti bersifat membujuk, menjelaskan, mendidik, dan semacamnya.

Konteks budaya merupakan aktivitas bertahap untuk mencapai suatu tujuan. Konteks ideologi mengacu kepada konstruksi atau konsep sosial yang menetapkan apa seharusnya dilakukan dan seharusnya tidak dilakukan oleh seseorang dalam suatu interaksi sosial. Martin (1985: 34) menyatakan:

Ideology is pervasive in every culture, but like most other types of meaning it is largely unconsciou….ideology has primarily to do with power. Whenever ideology is chalenged, the way in which power is shared by a community come under attack. As this happens, groups whose share in power is implicated by the cricis align themselves. All of this has the effect of making the ideological basis of power much moreclear.

Konteks sosial dengan demikian dapat dikaji dan direalisasikan oleh bahasa.

Sebaliknya, bahasa selalu merujuk konteks. Dengan demikian, bahasa dapat dimengerti dengan merujuk pada konteks sosial (situasi, budaya, ideologi).

Gambar 2.2 Stratifikasi Pemakaian Bahasa (Adaptasi dari Halliday dan Matthiessen, 2004)

Sementara itu, tatabahasa formal belum mampu mengkaji sampai pada tataran konteks sosial karena keterbatasan tata bahasa formal dalam analisis bahasa pada tataran konteks sosial. Tatabahasa tradisional, tatabahasa struktural, ataupun tatabahasa transformasional dalam sistem analisisnya hanya mampu mengkaji bahasa pada tata bahasa dan semantik tidak sampai pada aspek konteks sosial. Padahal faktor bahasa perlu dikaji dari berbagai perspektif termasuk konteks sosial dan semantik wacana.

Ketiga, dalam tataran konteks bahasa, bahasa juga merupakan struktur semiotik (Halliday 1978: 110). Lebih lanjut Halliday menyatakan bahwa the

(Wacana)Semantik

Dokumen terkait