• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. Singkatan 1 Data

2.3 Teori dan konsep

LSF = Linguistik Sistemik Fungsional

LF = Linguistik Forensik

Lampiran 1 Izin Penelitian dari Program Studi Linguistik………….. 304 Lampiran 2 Izin Penelitian dari Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia (Kepaniteraan dan Sekretaris Jenderal)……… 305

BAB I

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Bahasa sebagai salah satu alat mendeskripsikan dan mendokumentasikan hukum mengatur hak dan kewajiban kita sebagai warga negara. Nilai penting bahasa dalam penegakan hukum, setidaknya, dapat dilihat melalui dua alasan berikut: (1) hukum atau norma-norma hukum tidak mungkin dapat hidup tanpa adanya upaya untuk mengartikulasikan atau mendeskripsikannya dengan menggunakan bahasa, dan (2) bahasa adalah alat utama yang digunakan untuk mendokumentasikan hukum (Bachari, 2017).

Dokumen hukum salah satunya adalah Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU ITE dalam penerapannya menjadi dinamika pro dan kontra terhadap beberapa pasal. Beberapa pasal dalam teks UU ITE Nomor 11 tersebut dianggap krusial, misalnya pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik. Terlihat jelas bahwa pasal tentang penghinaan, pencemaran nama baik, berita kebencian, permusuhan, ancaman menakut-nakuti ini cukup mendominasi pada daftar perbuatan yang dilarang menurut UU ITE diperbaharui1.

Pemahaman dan sosialisasi undang-undang nomor 11 tahun 2008 kepada masyarakat yang diakibatkan adanya perubahan sosial, belum cukup efektif.

Sebagaimana terlihat dari masih maraknya pelanggaran-pelanggaran dalam penggunaan teknologi informasi (Sidik, 2013).

Dalam konsiderans fungsi UU ITE terdiri atas (a) bahwa pembangunan nasional adalah suatu proses yang berkelanjutan yang harus senantiasa tanggap

terhadap berbagai dinamika yang terjadi di masyarakat; (b) bahwa globalisasi informasi telah menempatkan Indonesia sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia sehingga mengharuskan dibentuknya pengaturan mengenai pengelolaan informasi dan transaksi elektronik di tingkat nasional sehingga pembangunan teknologi informasi dapat dilakukan secara optimal, merata, dan menyebar ke seluruh lapisan masyarakat guna mencerdaskan kehidupan bangsa; (c) bahwa perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang demikian pesat telah menyebabkan perubahan kegiatan kehidupan manusia dalam berbagai bidang yang secara langsung telah memengaruhi lahirnya bentuk-bentuk perbuatan hukum baru; (d) bahwa penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi harus terus dikembangkan untuk menjaga, memelihara, dan memperkukuh persatuan dan kesatuan nasional berdasarkan peraturan perundang-undangan demi kepentingan nasional; (e) bahwa pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat; (f) bahwa pemerintah perlu mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai-nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia; (g) bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana, dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f, perlu membentuk undang-undang tentang informasi dan transaksi elektronik2.

Sekaitan dengan fungsi UU ITE di atas, UU ITE mengandung

„pemanfaatan teknologi informasi‟ dan „hubungan sosial‟ dengan masyarakat

untuk mengatasi gangguan keamanan dalam penyelenggaraan sistem secara elektronik. Namun, dalam penelitian ini tidak dibahas mengenai sistem elektronik.

Masalah dalam penelitian ini mengenai linguistik forensik bahasa evaluatif gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016 yang memiliki polaritas dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Penggunaan bahasa dalam gugatan UU ITE terdiri atas teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No.

20/PUU-XIV/2016 memiliki makna leksis positif dan negatif. Penggunaan bahasa sebagai wujud isi dalam gugatan UU ITE dan sebagai wujud hubungan sosial dengan masyarakat.

Dari pengorganisasian isi dan hubungan sosial terwujud realisasi tekstual yang memiliki makna positif dan negatif dari pilihan leksis yang ditulis pada teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016. Sebagai contoh pada teks UU ITE Bab II bagian asas dan tujuan, pasal 4 antara lain:

(1) Pemanfaatan teknologi informasi dan transaksi elektronik dilaksanakan dengan tujuan untuk:

a. mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai bagian dari masyarakat informasi dunia;

b. mengembangkan perdagangan dan perekonomian nasional dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

c. meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik;

d. membuka kesempatan seluas-luasnya kepada setiap orang untuk memajukan pemikiran dan kemampuan di bidang penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi seoptimal mungkin dan bertanggung jawab; dan

e. memberikan rasa aman, keadilan, dan kepastian hukum bagi pengguna dan penyelenggara teknologi Informasi.

(DT UU ITE 2008)

Dari teks UU ITE tersebut terdapat leksis positif mencerdaskan kehidupan bangsa, mengembangkan perdagangan, meningkatkan efektivitas, membuka kesempatan, memajukan pemikiran, pemanfaatan teknologi informasi, dan rasa

aman. Leksis tersebut merupakan leksis positif. Jika ditinjau dari segi apraisal leksis positif di atas merupakan apresiasi dan metafora.

Dalam penelitian ini dibahas pola bahasa dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dari perspektif apraisal.

Aspek linguistik forensik dari rekaman percakapan “papa minta saham” dan gugatan UU ITE. Dari cakupan struktur teks UU ITE, proses sidang pengadilan, putusan No. 20/PUU-XIV/2016, dan rekaman percakapan diperoleh pola bahasa, aspek linguistik forensik, makna semiotik forensik, dan faktor penyebab yang mempengaruhi pola bahasa dan makna semiotik forensik gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016.

Sekaitan dengan kasus timbulnya dugaan terjadinya permufakatan jahat dan pencatutan nama presiden dan wakil presiden dalam perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia yang melibatkan pemohon. Maka, pemohon menggugat beberapa pasal dalam UU ITE kepada MKRI. Secara linguistik forensik beberapa pasal tersebut merupakan bahasa evaluatif seperti analisis berikut ini.

Pasal 5

(2) [1] Informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (DT UU ITE 2008) (graduasi>fokus>tajam)

Leksis sah pada pasal 5 ayat (1) memiliki sumber untuk mempertajam.

secara apraisal sah merupakan sumber graduasi yang berfungsi untuk menguatkan frasa informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya. Sah secara hukum tidak melanggar hukum acara yang berlaku di Indonesia.

Untuk mengungkap pola bahasa dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 dibutuhkan suatu alat untuk menentukan makna kata-kata tersebut. Apraisal digunakan dalam penelitian ini untuk mengevaluasi apakah bahasa forensik teks UU ITE, proses sidang pengadilan, dan putusan No. 20/PUU-XIV/2016 mengungkap sikap negatif atau positif 3.

Bahasa merupakan keberagaman yang menarik dikaji dengan menggunakan linguistik forensik dalam perspektif apraisal sehingga dengan struktur teks UU ITE, tema proses sidang pengadilan, putusan No. 20/PUU-XIV/2016, dan rekaman percakapan akan memiliki ciri khas dan pola sikap, pemosisian, dan graduasi. Apraisal dapat digunakan untuk mengekplorasi, memerikan, dan menjelaskan cara bahasa digunakan untuk mengevaluasi, menggunakan pendirian, membangun personal tekstual, dan mengatur pemosisian dan hubungan antarpribadi (Martin and White 2005).

Dari hasil penelitian ini diketahui pola bahasa, aspek linguistik forensik, dan makna semiotik forensik. Penelitian ini tidak hanya sekedar mengungkapkan sistem fungsi bahasa dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, putusan No.

20/PUU-XIV/2016, dan rekaman percakapan tetapi juga secara tidak langsung mengungkapkan sistem sosial dan budaya yang terugkap dari gugatan UU ITE.

Dalam penerapannya, seharusnya UU ITE sudah diuji dan disosialisasi berulangkali dari semua aspek khususnya bahasa agar tidak multitafsir.

Masyarakat kecil akan terkena sanksi dan masyarakat yang memiliki kekuasaan dapat menggugatnya. Hal ini juga dapat mengakibatkan supremasi hukum yang tidak jelas. Dari proses sidang pengadilan gugatan UU ITE perkara No.

20/PUU-XIV/2016 sebagian pasal digugat dan dikabulkan. Sehingga data ini menarik untuk diteliti dengan linguistik forensik. Selain itu, ada yang perlu dipahami bahwa salah satu bentuk kejahatan yang paling berbahaya adalah kejahatan yang dilegalkan dalam kebijakan-kebijakan resmi. Pada umumnya modus lingual yang dikembangkan untuk memenuhi objektif kejahatan level ini adalah menggunakan kata-kata kunci tertentu yang sengaja dibiaskan sehingga bersifat multi-interpretasi (Sawirman dkk, 2015: 71).

Linguistik forensik membahas penggunaan bahasa dalam bidang hukum, yang mencakup identifikasi penutur atau penulis asli sebuah dokumen, interpretasi produk hukum, kesaksian ahli bahasa, bagaimana bahasa dipergunakan dalam proses hukum (peradilan) sejak polisi memeriksa terdakwa dan saksi sampai bahasa oleh hakim, jaksa, dan penasehat hukum dalam ruang sidang pengadilan (Purnomo, 2011).

Setiap orang memiliki interpretasi yang berbeda terhadap produk hukum sehingga muncullah proses hukum (peradilan). Selain interpretasi dalam proses sidang pengadilan, penelitian ini juga dapat mengungkap nilai dan makna yang terkandung dalam teks UU ITE, proses sidang pengadilan, putusan No. 20/PUU-XIV/2016, dan rekaman percakapan. Dengan dikabulkannya gugatan UU ITE perkara No. 20/PUU-XIV/2016, menandakan bahwa UU ITE menjadi layak untuk dievaluasi bahasanya dengan menggunakan linguistik forensik perspektif apraisal dan makna semiotik seperti rumusan penelitian berikut ini.

Dokumen terkait