• Tidak ada hasil yang ditemukan

3) Stabilitas emulsi ( AOAC 1995)

4.1 Penelitian Pendahuluan

4.1.1 Karakteristik fisik surimi

Surimi yang dihasilkan dari perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dilakukan analisis fisik seperti analisis rendemen, uji lipat dan uji gigit.

a) Rendemen

Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan berat ikan utuh. Menurut Hadiwiyoto (1993), perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Rendemen yang dianalisis meliputi rendemen daging dan rendemen surimi. Hasil analisis rendemen daging dari berat ikan utuh sebesar 10000 gram didapat daging lumat sebesar 3102 gram dan rendemen daging lumat sebesar 31,02%. Frekuensi pencucian 1 kali bobot surimi yang didapat sebesar 630 gram dan rendemen surimi sebesar 18,9%. Frekuensi pencucian 2 kali bobot surimi yang didapat sebesar 624 gram dan rendemen surimi sebesar 18,72%. Frekuensi pencucian 3 kali bobot surimi yang didapat sebesar 619 gram dan rendemen surimi sebesar 17,7%.

Rendemen daging ikan lele yang didapatkan sebesar 31,02%, sedangkan rendemen surimi yang dihasilkan yaitu 18,9%, 18,72% dan 17,7%. Rendemen surimi tertinggi yaitu pada perlakuan frekuensi pencucian 1 kali. Nilai rendemen surimi ikan lele dumbo ini semakin menurun dengan semakin banyaknya pencucian. Pada frekuensi pencucian 1 kali menurunkan nilai rendemen daging sebesar 12,12 %, pada pencucian 2 kali menurunkan rendemen daging sebesar

12,3% dan pada pencucian 3 kali menurunkan rendemen daging sebesar 13,32%. Rendemen daging yang semakin menurun ini dikarenakan, adanya proses pencucian. Semakin banyak frekuensi pencucian akan menyebabkan semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak, dan darah (Reynolds et al. 2002).

Hasil dari ketiga perlakuan tersebut, dapat dilihat perbedaan rendemen serta diketahui bahwa pencucian 1 kali memberikan rendemen tertinggi. Pencucian ini dilakukan bertujuan untuk menghasilkan mutu gel yang baik dan kuat namun tetap memperoleh rendemen yang tinggi. Oleh karena itu, frekuensi pencucian yang terpilih yaitu sebanyak 2 kali, dengan asumsi memiliki rendemen yang masih tinggi dan dapat menghasilkan gel yang baik. Menurut penelitian sebelumnya, pencucian yang dilakukan terhadap daging lumat yaitu sebanyak 2 kali. Pencucian pertama dengan air untuk menghilangkan protein sarkoplasma, dan pencucian kedua dengan penambahan 0,3% garam untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996).

b) Uji lipat

Salah satu cara pengujian kualitas gel surimi yang dihasilkan dapat dilakukan dengan uji lipat. Nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 6.

      

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Nilai rata-rata uji lipat pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 3,83-4,70. Penilaian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran dan seperempat lingkaran. Hasil analisis

Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 8. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini diduga karena pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin pekatnya protein miofibril, sehingga berpengaruh terhadap uji lipat yang dihasilkan. Hasil uji lipat berkaitan langsung dengan tekstur gel terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Shaban et al. 1985 dalam Santoso et al. 1997).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 9, diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian 3 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata dengan pencucian 1 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel sehingga pada frekuensi pencucian 2 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan pencucian 1 kali. Nilai rata-rata uji lipat pada pencucian 2 mengalami kenaikan, sedangkan pada pencucian 3 kali mengalami penurunan diduga karena menurunnya kekuatan gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Kadar air yang tinggi pun diduga dapat menurunkan kekuatan gel pada pencucian ketiga. Pencucian yang berulang pun dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006).

c) Uji gigit

Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori. Nilai rata-rata uji gigit dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Gambar 7.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 7 Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,90-7,63. Penilaian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu dapat diterima hingga agak kuat. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 10. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori, keelastisan ini berhubungan dengan kekuatan gel surimi. Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan padaLampiran11, diketahui bahwa perlakuan pencucian 1 kali berbeda nyata terhadap pencucian 3 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak berbeda nyata. Proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Riesnawaty 2007). Hal ini diduga meningkatkan nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan pada frekuensi pencucian 2 kali jika dibandingkan pencucian 1 kali. Pada frekuensi pencucian 3 kali pun menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi pencucian 2 kali. Peningkatan frekuensi pencucian secara terus-menerus dapat

menghilangkan residu protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel pada daging lumat (Kaba 2006).

d) Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan salah satu uji fisik yang umumnya dilakukan pada bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai rata-rata kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 8 Histogram kekuatan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 483,25-683,35 gf. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 13. Perlakuan perbedaan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo. Nilai rata-rata kekuatan gel cenderung menurun dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Pencucian daging ikan tidak mempengaruhi kualitas gel yang dihasilkan, manakala NaCl (garam) digunakan (Astawan et al. 1996). Berdasarkan hasil ini, diketahui bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memenuhi asumsi bahwa dapat memperbaiki kekuatan gel ikan lele dumbo. Kekuatan gel dipengaruhi oleh penggunaan air saat dilakukan pencucian. Pada pencucian sebanyak 2 dan 3 kali nilai kekuatan gel menurun dan diduga dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi. Pencucian yang berulang-ulang dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang

membuat penghilangan air dalam daging menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006).