• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji gigit (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekenyalan sosis. Uji ini

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

5) Uji gigit (Nasran dan Tambunan 1974 diacu dalam Purwandari 1999) Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kekenyalan sosis. Uji ini

dilakukan secara subjektif dari 30 panelis. Sampel sosis yang ingin diuji diiris dengan ukuran setebal 5 mm. Pengujian dilakukan dengan cara menggigit sampel antara gigi seri atas dan bawah, kemudian diamati daya lentingnya. Hasil pengamatan pada bagian gigitan dikonversikan dengan score sheet yang telah disediakan yang dapat dilihat pada Lampiran 3 untuk gel ikan lele dumbo dan Lampiran 6 untuk sosis ikan lele dumbo.

6) Rendemen

Rendemen daging dihitung dengan membandingkan antara berat daging dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo utuh ditimbang sebagai berat awal (a). kemudian dilakukan penyiangan dengan membuang kulit, tulang, isi perut dan kepala lalu ditimbang sebagai berat akhir (b). Rendemen daging dihitung dengan persamaan berikut ini.

Rendemen daging = b x 100% a

Rendemen surimi dihitung dengan membandingkan berat surimi dengan berat ikan utuh. Ikan lele dumbo ditimbang sebagai berat awal (a), kemudian daging lele tersebut dilumatkan, dilakukan pencucian dan pemerasan lalu ditimbang sebagai berat akhir (c). Selanjutnya rendemen surimi dihitung dengan persamaan berikut ini.

Rendemen surimi = c x 100% a

3.4.4 Analisis mikrobiologi Total Plate Count (TPC)

Analisis mikrobiologi dilakukan terhadap Total Plate Count menggunakan media PCA (Potato Count Agar). Sampel sebanyak 25 gram disiapkan dan dicampurkan dengan 225 ml Buffered Peptone Water, lalu dihomogenkan. Selanjutnya dinyatakan pengenceran ke 1 (101). Pipet 1 ml dari pengenceran ke 1, dimasukkan ke dalam 9 ml Buffered Peptone Water, dilakukan sampai ke pengenceran 106 (101 s/d 106). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengencer dipipet dalam cawan petri steril secara single dan duplo. Selanjutnya dituangkan 18-20 ml media PCA yang telah dicairkan yang bersuhu 45 ± 1°C ke dalam setiap cawan petri. Campuran diratakan dengan membuat gerakan angka 8 pada tempat yang datar dan dibiarkan hingga membeku. Selanjutnya semua cawan petri dimasukkan dalam lemari pengeram (incubator) dengan posisi terbalik dan inkubasikan pada suhu 35 ± 1°C selama 24 – 28 jam. Pertumbuhan koloni dicatat pada setiap cawan yang mengandung 25 – 250 koloni setelah 48 jam. Kemudian angka lempeng total dalam cawan tersebut dihitung dengan mengalikan jumlah rata-rata koloni pada cawan dengan faktor pengenceran yang digunakan (sesuai).

3.5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian pendahuluan adalah nonparametrik (Kruskal Wallis) sedangkan penelitian utama menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf.

a) Penelitian pendahuluan

Faktor yang dikaji dalam penelitian pendahuluan adalah perbedaan pencucian terhadap daging lumat yaitu sebanyak 1, 2, dan 3 kali. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan analisis statistika nonparametrik menggunakan uji Kruskal-Wallis melalui perangkat lunak Statictical Package for Social Science (SPSS) 13.0. Jika hasil analisis berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Multiple comparison.

b) Penelitian utama

Faktor yang dikaji pada penelitian utama yaitu perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) yaitu 10%, 13%, 16%, dan 19% pada pembuatan sosis ikan. Model umum rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor dengan empat taraf yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yij = μ + τi + εij Keterangan :

Yij = Nilai pengamatan pada taraf ke-i dan ulangan ke-j (j=1,2) μ = Nilai tengah atau rataan umum pengamatan

τi = Pengaruh metode pengolahan pada taraf ke-i (i=1,2,3) εij = Galat atau sisa pengamatan taraf ke-i dengan ulangan ke-j

Hipotesa terhadap data hasil uji fisik pada berbagai penambahan konsentrasi isolat protein kedelai adalah sebagai berikut:

H0 = Penambahan IPK dengan konsentrasi berbeda tidak memberikan pengaruh terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo

H1 = Penambahan IPK dengan konsentrasi berbeda memberikan pengaruh terhadap uji fisik sosis ikan lele dumbo

Jika uji F pada ANOVA memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kekuatan gel, WHC, dan stabilitas emulsi sosis ikan lele dumbo maka dilanjutkan dengan uji Duncan. 

4.1 Penelitian Pendahuluan

Pada penelitian pendahuluan dilakukan penentuan frekuensi pencucian daging lumat yang tepat (1 kali pencucian, 2 kali pencucian dan 3 kali pencucian) dalam menghasilkan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hasil frekuensi pencucian terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik (uji lipat, uji gigit dan kekuatan gel) dan uji sensori (hedonik). Surimi yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan dengan sifat fisika-kimia dan sensori terbaik dijadikan bahan dasar dalam pembuatan produk sosis ikan pada penelitian utama.

4.1.1 Karakteristik fisik surimi

Surimi yang dihasilkan dari perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dilakukan analisis fisik seperti analisis rendemen, uji lipat dan uji gigit.

a) Rendemen

Rendemen dari suatu ikan merupakan rasio berat antara daging dengan berat ikan utuh. Menurut Hadiwiyoto (1993), perhitungan rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa banyaknya bagian dari tubuh ikan yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan. Rendemen yang dianalisis meliputi rendemen daging dan rendemen surimi. Hasil analisis rendemen daging dari berat ikan utuh sebesar 10000 gram didapat daging lumat sebesar 3102 gram dan rendemen daging lumat sebesar 31,02%. Frekuensi pencucian 1 kali bobot surimi yang didapat sebesar 630 gram dan rendemen surimi sebesar 18,9%. Frekuensi pencucian 2 kali bobot surimi yang didapat sebesar 624 gram dan rendemen surimi sebesar 18,72%. Frekuensi pencucian 3 kali bobot surimi yang didapat sebesar 619 gram dan rendemen surimi sebesar 17,7%.

Rendemen daging ikan lele yang didapatkan sebesar 31,02%, sedangkan rendemen surimi yang dihasilkan yaitu 18,9%, 18,72% dan 17,7%. Rendemen surimi tertinggi yaitu pada perlakuan frekuensi pencucian 1 kali. Nilai rendemen surimi ikan lele dumbo ini semakin menurun dengan semakin banyaknya pencucian. Pada frekuensi pencucian 1 kali menurunkan nilai rendemen daging sebesar 12,12 %, pada pencucian 2 kali menurunkan rendemen daging sebesar

12,3% dan pada pencucian 3 kali menurunkan rendemen daging sebesar 13,32%. Rendemen daging yang semakin menurun ini dikarenakan, adanya proses pencucian. Semakin banyak frekuensi pencucian akan menyebabkan semakin banyak komponen yang akan terlarut bersama air antara lain protein sarkoplasma, pigmen, lemak, dan darah (Reynolds et al. 2002).

Hasil dari ketiga perlakuan tersebut, dapat dilihat perbedaan rendemen serta diketahui bahwa pencucian 1 kali memberikan rendemen tertinggi. Pencucian ini dilakukan bertujuan untuk menghasilkan mutu gel yang baik dan kuat namun tetap memperoleh rendemen yang tinggi. Oleh karena itu, frekuensi pencucian yang terpilih yaitu sebanyak 2 kali, dengan asumsi memiliki rendemen yang masih tinggi dan dapat menghasilkan gel yang baik. Menurut penelitian sebelumnya, pencucian yang dilakukan terhadap daging lumat yaitu sebanyak 2 kali. Pencucian pertama dengan air untuk menghilangkan protein sarkoplasma, dan pencucian kedua dengan penambahan 0,3% garam untuk melarutkan protein miofibril dan membentuk sol aktomiosin (Astawan et al. 1996).

b) Uji lipat

Salah satu cara pengujian kualitas gel surimi yang dihasilkan dapat dilakukan dengan uji lipat. Nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 6.

      

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Nilai rata-rata uji lipat pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 3,83-4,70. Penilaian terhadap uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran dan seperempat lingkaran. Hasil analisis

Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 8. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini diduga karena pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel dengan semakin pekatnya protein miofibril, sehingga berpengaruh terhadap uji lipat yang dihasilkan. Hasil uji lipat berkaitan langsung dengan tekstur gel terutama kekuatan gel. Semakin baik hasil uji lipat (makin sukar retak), maka mutu gel ikan yang dihasilkan pun semakin baik (Shaban et al. 1985 dalam Santoso et al. 1997).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan pada Lampiran 9, diperoleh bahwa perlakuan frekuensi pencucian 3 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata dengan pencucian 1 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang berbeda nyata. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel sehingga pada frekuensi pencucian 2 kali menghasilkan nilai rata-rata uji lipat yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan pencucian 1 kali. Nilai rata-rata uji lipat pada pencucian 2 mengalami kenaikan, sedangkan pada pencucian 3 kali mengalami penurunan diduga karena menurunnya kekuatan gel akibat konsentrasi protein miofibril yang juga menurun. Miofibril sangat berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada daging ikan yang diolah (Erdiansyah 2006). Kadar air yang tinggi pun diduga dapat menurunkan kekuatan gel pada pencucian ketiga. Pencucian yang berulang pun dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang membuat penghilangan air menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006).

c) Uji gigit

Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori. Nilai rata-rata uji gigit dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dapat dilihat pada Gambar 7.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 7 Histogram rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,90-7,63. Penilaian terhadap uji gigit gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu dapat diterima hingga agak kuat. Hasil analisis Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 10. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo. Uji gigit digunakan untuk mengukur tingkat elastisitas surimi secara sensori, keelastisan ini berhubungan dengan kekuatan gel surimi. Pencucian dapat meningkatkan kekuatan gel surimi sehingga diduga juga berpengaruh terhadap nilai uji gigit yang dihasilkan. Surimi yang baik adalah surimi yang memiliki kekuatan gel yang tinggi (Park 2000).

Hasil uji lanjut Multiple comparison disajikan padaLampiran11, diketahui bahwa perlakuan pencucian 1 kali berbeda nyata terhadap pencucian 3 kali, sedangkan dengan pencucian 2 kali tidak berbeda nyata. Proses pencucian dapat menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Riesnawaty 2007). Hal ini diduga meningkatkan nilai rata-rata uji gigit gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan pada frekuensi pencucian 2 kali jika dibandingkan pencucian 1 kali. Pada frekuensi pencucian 3 kali pun menghasilkan nilai rata-rata uji gigit yang lebih tinggi dibandingkan frekuensi pencucian 2 kali. Peningkatan frekuensi pencucian secara terus-menerus dapat

menghilangkan residu protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel pada daging lumat (Kaba 2006).

d) Kekuatan gel

Kekuatan gel merupakan salah satu uji fisik yang umumnya dilakukan pada bahan pangan untuk mengetahui tingkat gelasi produk tersebut. Nilai rata-rata kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 8.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 8 Histogram kekuatan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 483,25-683,35 gf. Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 13. Perlakuan perbedaan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai kekuatan gel pada gel ikan lele dumbo. Nilai rata-rata kekuatan gel cenderung menurun dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Pencucian daging ikan tidak mempengaruhi kualitas gel yang dihasilkan, manakala NaCl (garam) digunakan (Astawan et al. 1996). Berdasarkan hasil ini, diketahui bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memenuhi asumsi bahwa dapat memperbaiki kekuatan gel ikan lele dumbo. Kekuatan gel dipengaruhi oleh penggunaan air saat dilakukan pencucian. Pada pencucian sebanyak 2 dan 3 kali nilai kekuatan gel menurun dan diduga dipengaruhi oleh kadar air yang tinggi. Pencucian yang berulang-ulang dapat meningkatkan sifat hidrofilik daging, yang

membuat penghilangan air dalam daging menjadi sulit dan daging mengembang (Kaba 2006).

4.1.2 Karakteristik sensori gel ikan

Analisis sensori merupakan analisis yang dilakukan menggunakan kepekaan indera manusia (panelis). Analisis sensori yang dilakukan adalah uji kesukaan (hedonik), panelis diminta untuk memberikan tanggapan tentang tingkat kesukaan atau ketidaksukaan. Tingkatan-tingkatannya disebut skala hedonik, dalam analisisnya ditransformasikan menjadi skala numerik dengan angka yang semakin naik menurut tingkat kesukaannya (Rahayu 1998).

a) Penampakan

Penampakan merupakan salah satu parameter yang menentukan tingkat penerimaan dari panelis yang dinilai dengan penglihatan antara lain bentuk, ukuran, warna dan sifat-sifat permukaan (halus, kasar, suram, mengkilap, homogen, heterogen dan datar bergelombang). Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dilihat pada Gambar 9.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 9 Histogram rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,53-6,77. Penilaian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis

dapat dilihat pada Lampiran 14. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penampakan gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua penampakan gel ikan lele dumbo. Penampakan secara keseluruhan, dari ketiga hasil gel ikan dengan perbedaan frekuensi pencucian yang dihasilkan tidak terlalu berbeda dari bentuk dan tampilan.

Semakin banyak frekuensi pencucian menyebabkan penampakan akan semakin baik, karena hilangnya pigmen, lemak, darah, serta protein sarkoplasma yang menyebabkan gel ikan pada pencucian sebanyak 3 kali terlihat lebih rapi, putih dan kompak jika dibandingkan dengan gel ikan lele dumbo pada pencucian 1 kali. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya kemampuan daging untuk membentuk gel dengan meningkatkan konsentrasi aktomiosin serta berkurangnya protein sarkoplasma (Astawan et al. 1996).

b) Warna

Warna memegang peranan penting dalam penerimaan makanan bersama-sama dengan bau, rasa, tekstur dan penampakan. Nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 10.

 

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,40-6,90. Penilaian terhadap penampakan gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis

dapat dilihat pada Lampiran 15. Perbedaan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Hal ini menunjukkan bahwa panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua warna gel ikan lele dumbo yang dihasilkan dan memperlihatkan bahwa panelis masih menyukainya pada semua perlakuan berdasarkan hasil uji sensori. Semakin banyak frekuensi pencucian yang dilakukan, terlihat bahwa nilai rata-rata warna gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) semakin meningkat. Hal ini didukung oleh literatur yang didapat, bahwa tujuan dari pencucian surimi adalah untuk meningkatkan kemampuan pengikat gel dan meningkatkan kualitas warna dan aroma (Muhibuddin 2010). Artinya semakin banyak frekuensi pencucian akan menghasilkan warna yang lebih baik terhadap surimi ikan lele dumbo.

c) Aroma

Aroma merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan kualitas bahan makanan. Aroma makanan lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 11.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) yang dihasilkan yaitu 6,10-6,13. Penilaian terhadap aroma gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis

Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 16, menunjukkan bahwa perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata aroma gel ikan lele dumbo. Artinya panelis memiliki tingkat kesukaan yang sama untuk semua aroma gel ikan lele dumbo. Hal ini disebabkan pada proses pembuatan gel ikan ini tidak ada penambahan bumbu lain kecuali garam ke tiap-tiap perlakuan. Garam yang ditambahkan hampir tidak berbau, sehingga ketika diaplikasikan ke dalam produk tidak menimbulkan aroma yang spesifik.

d) Rasa

Rasa merupakan faktor yang sangat menentukan suatu produk dapat diterima atau tidak oleh konsumen. Rasa dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah senyawa kimia, suhu, konsentrasi dan interaksi dengan komponen rasa lain (Winarno 2008). Hasil nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus), dengan perlakuan berbagai frekuensi pencucian dapat dilihat pada Gambar 12.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali

Gambar 12 Histogram rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,00-6,13. Penilaian terhadap rasa gel ikan lele dumbo dengan perlakuan

perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis

dapat dilihat pada Lampiran 17. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Nilai rata-rata rasa gel ikan lele dumbo yang dihasilkan untuk setiap perlakuan relatif sama. Rasa yang dihasilkan dari gel ikan ini diduga lebih dipengaruhi oleh bumbu yang ditambahkan kedalam adonan. Namun karena penggunaan garam dengan konsentrasi yang sama untuk setiap perlakuan, maka panelis cenderung memberikan penilaian yang sama. Garam yang ditambahkan sebesar 2,5% (b/b) pada saat pencampuran berfungsi bukan sebagai bumbu, melainkan untuk meningkatkan kekuatan ionik daging dan mengekstrak aktomiosin sehingga terbentuk sol (Astawan et al. 1996).

e) Tekstur

Tekstur berhubungan dengan tingkat kekerasan atau keempukan suatu produk. Menurut Rompis (1998), tekstur juga dapat diartikan sebagai halus tidaknya suatu irisan pada saat produk disentuh dengan jari panelis. Penilaian terhadap tekstur berasal dari sentuhan oleh permukaan kulit, biasanya menggunakan ujung jari tangan sehingga dapat dirasakan tekstur suatu bahan. Nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) dengan perlakuan frekuensi pencucian daging lumat dapat dilihat pada Gambar 13.

 

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: B1L : Frekuensi pencucian 1 kali A2Y : Frekuensi pencucian 2 kali T3M : Frekuensi pencucian 3 kali 

Nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 6,23-6,83. Penilaian terhadap tekstur gel ikan lele dumbo dengan perlakuan perbedaan frekuensi pencucian yaitu agak suka. Hasil analisis Kruskal-Wallis

dapat dilihat pada Lampiran 18. Perlakuan frekuensi pencucian daging lumat tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata tekstur gel ikan lele dumbo (Clarias gariepinus). Nilai rata-rata tekstur tertinggi pada frekuensi pencucian 3 kali. Hal ini diduga karena proses pencucian dapat memperbaiki tekstur gel ikan yang dihasilkan menjadi lebih kompak dengan menghilangkan senyawa-senyawa pengotor. Proses pencucian dilakukan untuk menghilangkan bau amis, pigmen, lemak dan terutama untuk menghilangkan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel (Toyoda et al. 1992).

4.2 Penelitian Utama

Penelitian utama dilakukan sebagai lanjutan dari penelitian pendahuluan. Frekuensi pencucian yang terpilih berdasarkan uji sensori, uji fisik dan analisis rendemen yang dilakukan yaitu sebanyak 2 kali. Tujuan dari penelitian ini yaitu agar menghasilkan gel yang kuat namun dengan tekstur yang tidak terlalu keras (elastis) dan tetap mementingkan rendemen yang dihasilkan. Penelitian utama ini dilakukan dengan perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) pada produk sosis ikan lele dumbo. Hasil produk sosis ikan terbaik diketahui dengan cara menguji karakteristik fisik meliputi uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, stabilitas emulsi, daya mengikat air (WHC), uji organoleptik (sensori), dan TPC (Total Plate Count).

4.2.1 Karakteristik fisik sosis ikan

Sosis ikan yang dihasilkan dengan perlakuan penambahan IPK (Isolat Protein Kedelai) dengan konsentrasi yang berbeda, diuji secara fisik yang meliputi uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, stabilitas emulsi, dan Water Holding Capacity.

a) Uji lipat

Uji lipat ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis yang dihasilkan (Purwandari 1999). Uji lipat ini dilakukan untuk mengetahui tingkat elastisitas sosis yang dihasilkan. Nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo

(Clarias gariepinus) dengan perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) dapat dilihat pada Gambar 14.

Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscsript yang berbeda menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)

Kode: SA3 : Penambahan IPK konsentrasi 10% VB5 : Penambahan IPK konsentrasi 13% XC3 : Penambahan IPK konsentrasi 16% FD4 : Penambahan IPK konsentrasi 19%

Gambar 14 Histogram rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Nilai rata-rata uji lipat pada sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah 4,00-4,57. Penilaian terhadap uji lipat sosis ikan lele dumbo yaitu sosis tidak retak setelah dilipat menjadi setengah lingkaran. Hasil analisis

Kruskal-Wallis dapat dilihat pada Lampiran 20. Perlakuan perbedaan penambahan konsentrasi IPK (Isolat Protein Kedelai) memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap nilai rata-rata uji lipat sosis ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).