• Tidak ada hasil yang ditemukan

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2.2 Komposisi Gizi Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

2.3.2 Komposisi sosis

Sosis merupakan produk olahan makanan sebagai usaha diversifikasi yang terbuat daging lumat ikan maupun daging yang banyak mengandung air, protein, lemak dan mineral-mineral.

a) Protein

Jumlah dan jenis daging serta jumlah bahan pengikat dapat mempengaruhi kadar protein pada sosis. Protein dalam daging dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan kelarutannya, meliputi protein sarkoplasma yang dapat

larut dalam air, protein miofibril dapat larut dalam larutan garam, dan protein stroma yang tidak larut dalam larutan garam.

b) Air

Kadar air merupakan komponen sangat penting dalam bahan pangan, karena dapat mempengaruhi penampakan, tekstur dan citarasa. Kadar air pada sosis dapat dipengaruhi berdasarkan jumlah pati maupun jumlah es yang ditambahkan (Rompis 1998).

c) Abu

Abu yang terdapat dalam daging umumnya terdiri dari fosfor, kalsium, iron, magnesium, sulfur, sodium dan potassium. Kadar abu pada sosis berasal dari daging, tepung, sodium tripolifosfat maupun garam yang ditambahkan.

d) Lemak

Kandungan lemak dalam pembuatan sosis merupakan komponen penting. Kadar lemak dapat dipengaruhi oleh penambahan jenis dan jumlah daging serta lemak dalam pembuatan sosis.

e) Karbohidrat

Kadar karbohidrat daging segar yaitu kurang dari 1% dari berat daging dan umumnya dalam bentuk glikogen dan asam laktat. Kandungan karbohidrat pada sosis dapat berbeda berdasarkan jenis dan jumlah pengisi yang ditambahkan.

Tabel 2 Syarat mutu sosis daging menurut SNI 01-3820-1995

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan :

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna - Normal

1.4 Tekstur - Bulat panjang

2 Air %b/b Maks 67.0 3 Abu %b/b Maks 3.0 4 Protein %b/b Min 13.0 5 Lemak %b/b Maks 25.0 6 Karbohidrat %b/b Maks 8 Sumber: SNI 1995 2.4 Protein Ikan

Senyawa kimia yang kandungannya terdapat dalam jumlah terbesar dalam tubuh ikan setelah kadar air yaitu kadar protein. Protein terdapat dalam ikan

diperkirakan nilainya mencapai 11-27% (Shahidi dan Botta 1994). Protein ikan dapat dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan tingkat kelarutannya, meliputi protein miofibril sebesar 65-75%, protein sarkoplasma sebesar 18-35%, dan jaringan ikat atau stroma (Mackie 1992).

2.4.1 Protein miofibril

Protein miofibril merupakan bagian terbesar dalam jaringan tubuh ikan, Protein miofibril berperan dalam penggumpalan dan pembentukan gel pada saat pengolahan. Sifat protein ini yaitu larut garam atau disebut PLG (Protein Larut Garam). Protein miofibril terdiri dari aktin, miosin dan protein regulasi (tropomiosin, troponin, dan aktinin). Aktin dan miosin bergabung membentuk aktomiosin. Miosin merupakan protein esensial untuk peningkatan elastisitas gel protein. Miosin merupakan fraksi miofibril yang paling berlimpah dalam otot ikan dan memiliki kontribusi sekitar 50-60% dari berat total jumlah protein. Aktin merupakan fraksi miofibril terbesar kedua setelah myosin, menyusun sekitar 20% dari kandungan total jumlah protein. Sedangkan tropomiosin dan troponin jumlahnya 10% dari total protein (Shahidi dan Botta 1994). Protein miofibril akan mengalami denaturasi dengan kisaran nilai pH kurang dari 6,5 yang berdampak pada kemampuan pembentukan gel. Pembentukan gel oleh protein miofibril pada surimi dipengaruhi berbagai faktor diantaranya konsentrasi protein miofibril (PLG), jumlah air yang terkandung, tipe ion dan kekuatannya, pH, dan interaksi yang terjadi antara miofibril dengan bahan lain yang ditambahkan (Lee 1984).

2.4.2 Protein sarkoplasma

Protein terbesar kedua adalah sarkoplasma. Protein sarkoplasma (albumin, mioalbumin, dan mioprotein) merupakan jenis protein yang larut dalam air, protein ini ditemukan dalam plasma sel. Fraksi protein ini jumlahnya 20-30% dari seluruh protein (Shahidi dan Botta 1994). Karakteristik dari protein ini adalah bobot molekul relatif rendah, pH isoelektrik tinggi dan struktur bulat. Hal ini yang menyebabkan protein sarkoplasma memiliki daya larut yang tinggi dalam air. Protein sarkoplasma diperlukan untuk metabolisme anaerob sel otot dan pembawa oksigen. Protein ini tidak berperan sebagai pembentuk gel. Selama pembentukan matriks gel, protein ini dapat mengganggu cross-linking miosin karena protein ini tidak dapat membentuk gel dan rendahnya kapasitas pengikatan air yang dimiliki.

Kandungan protein sarkoplasma pada daging ikan bervariasi berdasarkan spesies ikan. Salah satu jenis protein sarkoplasma yang berkaitan dengan mutu daging adalah mioglobin, yang terdiri dari dua komponen yaitu fraksi protein disebut globin, dan fraksi nonprotein yang disebut heme. Protein tersebut berfungsi dalam memberikan warna merah pada daging segar (Suzuki 1981).

2.4.3 Protein stroma

Protein jaringan ikat (stroma) merupakan protein yang jumlahnya paling sedikit. Protein ini tidak larut dalam air, larutan asam HCl ataupun NaOH dan kontribusinya sebesar 10% dari total protein kasar (Shahidi dan Botta 1994). Protein stroma terdapat pada bagian luar sel otot. Penyusun dari stroma yaitu kolagen dan elastin. Jika jaringan penghubung yang mengandung sebagian besar kolagen dipanaskan dalam waktu yang lama, kolagen tersebut akan berubah menjadi gelatin. Ikan yang memiliki daging merah lebih banyak stromanya lebih banyak jika dibandingkan dengan ikan daging putih (Suzuki 1981). Pada saat pengolahan surimi, protein ini tidak dihilangkan karena mudah larut dalam panas dan merupakan komponen netral pada produk akhir (Hall dan Ahmad 1992).

2.5 Surimi

Surimi merupakan produk antara yang digunakan dalam berbagai macam produk yang telah dikenal di berbagai negara. Surimi dapat dibuat dengan menggunakan ikan air tawar maupun ikan air laut. Untuk jenis ikan air tawar, sebelum diolah terlebih dahulu dilakukan pemberokan agar bau lumpur pada produk akhir dapat dikurangi. Produk komersial surimi dibuat dengan cara memisahkan daging ikan dari tulang dan kulit yang kemudian diikuti proses pencucian (1-3 kali) menggunakan air atau larutan garam. Selanjutnya dilakukan pemerasan dan pencampuran dengan cryoprotectant untuk mecegah denaturasi protein dan kehilangan fungsinya selama penyimpanan beku. Sebagai sumber protein, surimi dari berbagai spesies ikan dapat digunakan di beberapa negara untuk memproduksi produk berbasis surimi seperti kue ikan, bola-bola ikan, burger ikan, sosis ikan, mie ikan dan stik imitasi (Shaviklo 2006).

Jenis ikan yang ideal untuk mendapatkan kualitas surimi yang baik adalah yang mempunyai kemampuan pembentukan gel yang baik, karena dapat

mempengaruhi elastisitas tekstur. Sebaiknya menggunakan ikan yang masih segar karena elastisitas yang terbaik hanya didapatkan dari ikan segar (BPPMHP 1987 diacu dalam Muhibuddin 2010). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kualitas surimi yaitu cara penyiangan, besarnya partikel dari daging lumat, kualitas air, peralatan, serta cara pencucian. Selain itu suhu air pencucian dan suhu saat penggilingan pun dapat mempengaruhi kualitas surimi. Jika suhu air lebih tinggi akan lebih banyak melarutkan protein larut garam (Lee 1984).

Pencucian merupakan tahapan yang paling penting, khususnya untuk ikan-ikan yang memiliki kemampuan pembentukan gel yang rendah. Pencucian surimi bertujuan untuk melarutkan lemak, darah, enzim dan protein sarkoplasma yang dapat menghambat pembentukan gel, serta menghilangkan komponen yang dapat mengurangi kualitas surimi (Park 2005). Selain itu, pengaruh pencucian adalah untuk mendapatkan warna daging yang putih (Suzuki 1981). Air yang digunakan untuk pencucian adalah air dingin dengan suhu antara 5-10 °C. Pencucian sebanyak dua kali dengan rasio air dan daging 3:1 telah dinilai cukup. Protein dapat hilang pada pencucian kedua dan ketiga berturut-turut sebesar 27% dan 38% pada pengolahan surimi (Benjakul et al. 1996 diacu dalam Muhibuddin 2010). Kadar air pada daging akan meningkat dari 82% menjadi 85% menjadi 90% hingga 92% setelah pencucian berulang kali. Untuk mengurangi kadar air ini dapat dilakukan penambahan cryoprotectant dan proses pembekuan (Park 2005).

Kualitas surimi yang baik adalah yang berwarna putih, kuat dan dapat membentuk gel (Winarno 1993). Komponen yang berperan dalam pembentukan gel ini adalah protein miofibril yang dapat diekstrak menggunakan larutan garam. Standar mutu surimi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Standar mutu surimi

Tingkatan mutu (Grade)

Surimi Kadar air (%) pH Impurities

(Score) Kekuatan gel (g cm) tanpa pati 1 75 ± 0,5 >7 10 >680 2 75 ± 0,5 7 >9 >680 3 75 ± 0,5 7 >8 >640 4 75 ± 1,0 7 >6 >520 5 75 ± 1,0 7 >5 >440 6 75 ± 1,0 7 >4 >310 Sumber : Lanier (1992)

2.6 Emulsi Ikan

Sosis adalah produk yang dihasilkan dari emulsi minyak dalam air (o/w). Emulsi merupakan dispersi atau suspensi suatu cairan dalam cairan lain, namun molekul dari kedua cairan tersebut tidak berbaur melainkan saling antagonistik. Air dan minyak merupakan cairan yang tidak saling berbaur tetapi saling ingin terpisah karena mempunyai berat jenis yang bebeda. Tiga bagian utama yang umumnya terdapat pada suatu emulsi, diantaranya bagian yang terdispersi yaitu butir-butir lemak (fase diskontinyu), bagian pendispersi (fase kontinyu) yang terdiri dari air, bagian emulsifier yang berfungsi untuk menjaga agar butir minyak tetap tersuspensi di dalam air (Winarno 1997). Pada emulsi minyak dalam air (O/W), air berperan sebagai fase pendispersi dan minyak sebagai fase terdispersi. Sebaliknya pada emulsi air dalam minyak (W/O), minyak sebagai fase pendispersi dan air sebagai fase terdispersi. Berikut ini merupakan skema tipe emulsi yang dapat dilihat pada Gambar 2.  

(a) (b)   Gambar 2 Skema emulsi (a) O/W dan (b) W/O

Terdapat tiga tipe protein yang berperan dalam pembentukan emulsi sosis, antara lain 1) protein sarkoplasma yang larut dalam air, namun kurang larut dalam garam, 2) aktin dan miosin yang sangat larut dalam larutan garam, 3) protein lainnya misalnya mioglobin yang larut dalam air dan garam. Untuk mendapatkan hasil emulsi yang baik dapat dilakukan dengan cara memecah atau melumatkan daging prerigor bersama-sama dengan es, garam dan baha curing, kemudian disimpan beberapa jam sehingga proses ekstraksi protein lebih efisien.

Protein merupakan senyawa poliionik yang bersifat surface-active. Oleh karena itu, protein dapat membantu proses pembentukan dan penstabilan emulsi minyak-air. Kemampuan protein dalam menstabilkan emulsi didasarkan oleh

adanya gugus polar dan non polar dari gugus asam amino. Emulsifier yang utama dalam emulsi sosis yaitu protein larut garam, meliputi aktin dan myosin yang digabung menjadi aktomiosin (Kramlich et al. 1973).

Stabilitas emulsi menunjukkan kestabilan suatu bahan dalam system emulsi atau terdapat keseragaman molekul fase pendispersi dan fase terdispersi dalam kondisi baik. Untuk mendapatkan emulsi yang pekat dan stabil dari kedua cairan, maka diperlukan komponen ketiga, yaitu bahan pengemulsi. Fungsi dari komponen ketiga yaitu untuk mempercepat terjadinya emulsi dan memberikan atau meningkatkan kestabilan emulsi, karena struktur molekul pengemulsi mengandung dua bagian, satu bagian memiliki sifat polar atau hidrofil, bagian yang lain yaitu bersifat non polar atau hidrofob. Stabilitas emulsi dipengaruhi oleh temperatur selama proses emulsifikasi, ukuran partikel lemak, pH, viskositas emulsi, jumlah dan tipe protein yang larut (Kramlich 1971).

2.7 Bahan Pengikat dan Pengisi

Penambahan bahan pengisi berfungsi untuk memperbesar jumlah produk sosis. Bahan pengisi (filler) yang ditambahkan dalam pembuatan sosis antara lain tepung tapioka yang memiliki kandungan pati yang tinggi namun rendah protein. Bahan pengikat (binder) yang umumnya digunakan dalam pembuatan sosis adalah lemak. Bahan pengikat berfungsi sebagai bahan pengental, memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki hasil irisan, memperbaiki aroma, memperbaiki rasa, menahan lemak, dan membentuk tekstur yang padat dan menarik air (Wilson 1960).

2.7.1 Isolat protein kedelai

Bahan pengikat yang umum digunakan pada pembuatan sosis adalah isolat protein. Isolat soy protein (ISP) dengan nama lain isolat protein kedelai merupakan produk dari protein kedelai yang berlemak rendah, protein ini diolah sedemikian rupa sehingga memiliki kandungan protein yang tinggi. Kandungan protein pada isolat protein kedelai minimum 95 %. Produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat kedelai dan tepung kedelai (Koswara 1992). Isolat protein kedelai sangat dibutuhkan dalam industi pangan, karena banyak

digunakan untuk formulasi berbagai jenis makanan. Sifat yang diunggulkan dari isolat protein kedelai adalah sifat fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk tersebut dalam berbagai produk makanan (Koswarab 2005). Berbagai macam bentuk isolat protein kedelai dengan sifat fungsional yang berbeda dapat diperoleh secara komersil. Sifat fungsional protein yang utama antara lain emulsifikasi, daya serap lemak dan daya serap air (Ulya 2005).

Isolat protein kedelai biasanya digunakan sebagai campuran dalam makanan olahan daging dan susu. Prospeknya sangat luas, bukan hanya sebagai campuran tetapi juga bahan utama dalam industri makanan. Salah satu senyawa yang terdapat pada protein kedelai yaitu lesitin. Lesitin nabati paling baik dari lesitin hewani yang mempunyai sifat superior (dapat berfungsi sebagai peremaja sel tubuh, sehingga vitalitasnya meningkat). Lesitin memiliki sifat emulsif terhadap lemak. Protein kedelai memiliki memiliki dua peran dalam mekanisme emulsifikasi. Pertama, dapat membantu membentuk formasi emulsi O/W (oil in water) dan kedua, dapat menjaga stabilitas emulsi (Wolf 1990).

Isolat protein ini sudah banyak digunakan dalam industri daging karena kemampuannya dalam mengikat air dan lemak serta mampu membentuk gel selama pemanasan. Penambahan dalam jumlah besar dapat menyebabkan warna produk menjadi coklat dan memberikan bau dan cita rasa langu sehingga menurunkan mutu sensori (warna dan rasa) produk akhir (Wulandhari 2007). Produk-produk olahan kedelai tersebut terdapat dalam bentuk tepung kedelai, konsentrat protein, atau protein isolat. Bahan pengikat ini mengandung protein yang tinggi. Jumlah protein yang tinggi ini dapat menstabilkan emulsi sosis yang terbentuk (Soeparno 1994). Komposisi kimia isolat protein kedelai (% bk) dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Komposisi kimia isolat protein kedelai (% berat kering)

Parameter Jumlah % Protein (N x 6,25) 90-92 Lemak 0,5-1,0 Serat kasar 0,1-0,2 Abu 4,0-5,0 Kadar air 0 Karbohidrat (by difference) 3-4

Proses pembuatan isolat protein kedelai, pertama biji kedelai kering direndam 5-8 jam, diikuti pembuatan bubur kedelai (kedelai dikupas kulitnya dan dihancurkan seperti pada pembuatan susu kedelai), kemudian diencerkan hingga perbandingan kedelai kering : air = 1:8. Selanjutnya dilakukan pengaturan pH hingga 8,5-8,7 dan diaduk selama 30 menit. Pengaturan pH dilakukan dengan penambahan larutan NaOH 2N dan dipanaskan hingga suhu 50-55 °C untuk meningkatkan efisiensi ekstraksi protein. Setelah protein terekstrak, maka residu non protein harus dipisahkan dengan sentrifugal. Pada tahap ini sangat penting karena dapat menentukan kemurnian isolat protein kedelai yang dihasilkan. Semakin cepat sentrifugal dilakukan, maka semakin murni isolat yang dihasilkan dan kandungan proteinnya pun makin tinggi serta memiliki sifat fungsional yang semakin baik.

Filtrat yang diperoleh dari tahap pemisahan (berisi protein yang larut), kemudian diturunkan pH-nya sampai 4,5 sehingga protein akan mengendap. Penurunan pH ini dapat dilakukan dengan larutan HCl 2N atau larutan TCA kemudian dipisahkan dengan sentrifugal. Selanjutnya endapan tersebut dicuci (dicampur air lalu disentrifugal lagi ulangi beberapa kali). Endapan dibuat suspensi kental dengan air (1:2) dan dikeringkan dengan spray dryer. Selanjutnya didapatkan hasil berupa isolat protein kedelai. Jika setelah pencucian dilakukan netralisasi dengan NaOH 2N sampai pH 6-8 lalu dikeringkan, maka menghasilkan produk isolat proteinat kedelai. Produk ini lebih awet dibandingkan dengan isolat protein kedelai (Koswara 1992).

Cara diatas sering juga dimodifikasi yakni tanpa mengalami proses netralisasi. Proses ini akan menghasilkan protein kedelai dalam bentuk protein dalam keadaan isoelektriknya. Proses ini merupakan proses yang paling sering digunakan dalam memproduksi isolat protein kedelai secara komersial. Selain cara di atas masih banyak cara lainnya untuk memproduksi isolat protein kedelai, misal pemisahan berdasarkan perbedaan berat molekul, proses membran, ekstraksi dengan air, dan ekstraksi dengan larutan garam (Mervina 2009).

Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai yang dapat dilihat pada Gambar 3.

Tepung : air = 1:8

Gambar 3 Diagram alir proses pengolahan isolat protein kedelai (Sumber: Ulya 2005)

2.7.2 Tapioka

Tepung tapioka merupakan bahan pengisi yang paling umum digunakan dalam pembuatan sosis. Tapioka merupakan pati yang diperoleh dari ubi kayu melalui proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan, dan

Tepung kedelai bebas lemak

Biji kedelai kering

Pencampuran

Perendaman Pengupasan kulit

Pembuatan bubur kedelai/ susu kedelai

Kulit ari Ekstraksi NaoH 2N, pH 8,5-8,7 Pengadukan Suhu 50-55◦C Sentrifuse

Filtrat Residu (polisakarida, pigmen dan komponen nonprotein lain) Pengendapan pada pH 4,5

Filtrat Endapan protein

Pencucian

Pengeringan

Isolat Protein Kedelai

pengeringan. Pati merupakan komponen utama tepung tapioka yang tidak memiliki rasa dan bau sehingga dapat dipergunakan untuk modifikasi rasa. Tapioka sering digunakan dalam pembuatan sosis karena selain harganya yang murah juga memberikan citarasa netral serta warna terang pada produk sosis. Keberadaan granula pati yang mengembang selama gelatinisasi pati tidak meningkatkan elestisitas gel. Berdasarkan uji organoleptik yang telah dilakukan pada penelitian sebelumnya, penambahan tepung tapioka sebanyak 5-10 % tidak berpengaruh nyata terhadap semua karakteristik penampakan, warna, tekstur, aroma, dan rasa produk kamaboko ikan lele dumbo (Hermawan 2002).

2.8 Bahan Tambahan

Bahan tambahan lain yang digunakan dalam penelitian pembuatan sosis ikan ini antara lain garam, gula, air, lada putih, bawang putih, bawang merah, minyak, lemak, jahe dan perasa ayam (kaldu ayam).

2.8.1 Garam

Garam merupakan bumbu yang biasanya ditambahkan pada adonan pembuatan sosis untuk meningkatkan cita rasa dan pembentuk tekstur. Pemakaian garam NaCl biasanya lebih banyak diatur oleh rasa, kebiasaan dan tradisi daripada keperluan. Menurut Winarno (1997), makanan yang mengandung garam kurang dari 0,3% akan terasa hambar sehingga kurang disenangi. Pemakaian garam dengan konsentrasi rendah (1 – 3 %) tidak bersifat membunuh bakteri, melainkan hanya memberikan cita rasa. Garam berfungsi sebagai pengawet karena garam berperan sebagai penghambat mikroorganisme tertentu. Selain itu, pemakaian garam juga dapat mempengaruhi aktivitas air (aw) dari bahan, sehingga dapat mengendalikan pertumbuhan mikroorganisme. Garam dapat mengakibatkan proses osmosis pada sel-sel mikroorganisme sehingga terjadi plasmolisis (kadar air dalam sel bakteri berkurang, sehingga lama kelamaan dapat menyebabkan bakteri mati) (Moeljanto 1992).

2.8.2 Gula

Gula merupakan senyawa kimia yang termasuk karbohidrat dengan rasa manis dan sering digunakan sebagai pemanis, tetapi dalam industri pangan biasanya digunakan untuk menyatakan sukrosa yang diperoleh dari bit atau gula

tebu. Adanya gula, sukrosa, pati dan lain-lain dapat meningkatkan cita rasa pada makanan serta menimbulkan rasa khusus pada makanan (Buckle et al. 1987). Gula tebu dihasilkan dari tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) dan digunakan sebagai bahan pemanis alami. Rendemen tebu maksimal tercapai pada bulan Agustus, selanjutnya berangsur menurun karena tebu merupakan tanaman semusim. Sampai saat ini gula tebu masih dianggap sebagai pemberi rasa manis yang aman untuk kesehatan. Selain memberikan rasa manis, gula juga berfungsi sebagai pengawet karena memiliki sifat higroskopis. Kemampuannya menyerap kandungan air dalam bahan pangan ini bisa memperpanjang masa simpan (Saparinto dan Hidayati 2006).

2.8.3 Air

Air merupakan salah satu komponen penting dalam pembuatan sosis. Kandungan air sekitar 45-55% dari berat total sosis, tergantung dari jumlah cairan yang ditambahkan dan jenis daging (Soeparno 1994). Penambahan air atau es berfungsi menurunkan suhu adonan selama proses cutter, sehingga mencegah denaturasi protein akibat suhu yang meningkat saat cutting, untuk melarutkan garam, dan memudahkan ekstraksi protein serabut otot. Selain itu, air atau es juga berfungsi melarutkan protein miosin yang merupakan pembentuk emulsi sehingga dihasilkan emulsi yang stabil. Protein miosin hanya dapat larut pada suhu 4-5 °C sehingga sangat penting menggunakan air dingin (Kramlich et al. 1973). Air atau es juga berfungsi melarutkan bumbu-bumbu dan garam sehingga dapat tersebar lebih merata. Air akan banyak mempengaruhi tekstur produk, keawetan, dan penampakan.

2.8.4 Lada putih

Lada atau merica merupakan rempah-rempah yang sering digunakan dalam pengolahan makanan. Lada sering ditambahkan pada saat memasak ikan atau daging. Lada mempunyai peranan dalam dehidrasi sehingga dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroba dalam bahan pangan. Lada sangat digemari karena memiliki dua sifat penting yaitu rasanya yang pedas dan aromanya yang khas. Kedua sifat tersebut disebabkan kandungan bahan-bahan kimia organik yang terdapat pada lada. Rasa pedas lada disebabkan oleh adanya zat piperin dan piperanin serta hapisin (Rismunandar 1993).

2.8.5 Bawang putih (Allium sativum)

Bawang putih berfungsi sebagai penambah aroma dan untuk meningkatkan citarasa produk yang dihasilkan. Bawang putih mengandung senyawa allisin, yang dapat menentukan bau khas bawang putih. Bawang putih juga mengandung beberapa vitamin diantaranya thiamin, niasin, riboflavin, asam askorbat, vitamin B, vitamin C dan mengandung β-karoten yang merupakan bentuk vitamin A dalam jumlah yang sedikit (Wibowo 1999). Karakteristik bawang putih akan terlihat apabila dilakukan pemotongan atau perusakan jaringan (Palungkun dan Budiarti 1992).

2.8.6 Bawang merah (Allium ascalonicum L.) 

Bawang merah umumnya digunakan sebagai bumbu masak. Bawang merah memiliki kandungan kimia sebagian besar terdiri dari air sekitar 80-85%, protein sebesar 1,5%, lemak sebesar 0,3% dan karbohidrat sebesar 9,2%. Selain itu, umbi bawang merah juga terdapat suatu senyawa yang mengandung ikatan asam amino yang tidak berbau, tidak berwarna dan dapat larut dalam air. Ikatan asam amino ini disebut dengan allin yang karena sesuatu hal berubah menjadi allicin (Wibowo 1999). Bawang merah berperan sebagai antioksidan, berdasarkan penelitian diketahui bahwa ekstrak bawang merah dapat menurunkan bilangan peroksida dan kadar asam lemak bebas sebagai indikasi tingkat kerusakan minyak (Panagan 2010).

2.8.7 Perasa ayam

Pemicu pengunaan bahan perasa karena langkanya bahan baku yang menjadi dasar pembuatan produk itu sendiri. Misalnya saja pada hasil pertanian, biasanya bahan pangan yang dihasilkan mengalami perubahan mutu dan rasa seiring dengan perubahan musim dan iklim. Padahal perbedaan mutu dan rasa tersebut tidak diinginkan oleh konsumen, sehingga dalam produk industri dipakailah bahan perasa untuk mentabilkan mutu dan rasa.

Berdasarkan segi pembuatannya, perasa dibedakan menjadi dua, yaitu flavor natural (alami) dan sintetis (buatan). Perasa alami diambil dari bahan-bahan alami, misalnya rasa bawang maka diambil dari ekstrak bawang dan rasa ayam diambil dari sari ayam. Sedangkan untuk perasa buatan dihasilkan dari

bahan-bahan sintetis, seperti bahan-bahan kimia yang berasal dari turunan minyak bumi (LPPOM 2010).

Penggunaan perasa dari bahan sintetis pada bahan pangan perlu diperhatikan kadar pemakaiannya, karena pada perasa sintetis terdapat bahan kimia yang sengaja ditambahkan untuk menghasilkan turunan rasa yang diinginkan. Untuk bahan perasa alami tidak dibatasi dalam pemakaiannya. Pemakaian bahan perasa dapat menguntungkan bagi produsen misal dapat