• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Hutan Rakyat di Sub DAS Lesti 1. Luas Lahan

Bab 4 Persepsi Masyarakat terhadap Sengon

C. Karakteristik Hutan Rakyat di Sub DAS Lesti 1. Luas Lahan

Berdasarkan hasil survei diketahui bahwa petani yang mengelola lahannya sendiri (pemilik) sebesar 87,10% dan yang menyewa lahan sebesar 12,90%. Luas kepemilikan lahan yang dikelola untuk tanaman kehutanan maupun campuran cukup bervariasi berkisar antara 0,025 - 3 ha. Sebanyak 38,71% petani memiliki luas lahan yang cukup kecil berkisar antara 0,1-0,5 ha dan 29,03% petani hutan rakyat memiliki lahan kurang dari 0,1 ha. Petani yang memiliki lahan seluas lebih dari 1 ha sebanyak 22,58%. Berdasarkan laporan BPKH IX (2009), bahwa luas kepemilikan lahan setiap keluarga di Jawa umumnya sempit, kurang dari 1,0 ha bahkan di beberapa desa kurang dari 0,25 ha. Luasan sekecil itu tidak cukup untuk menghidupi keluarga, apalagi kalau akan ditanami pohon yang hasilnya harus menunggu sampai umur tertentu.

40 Persepsi Masyarakat terhadap Sengon dan Jenis Lainnya di Sub DAS Lesti, Jawa Timur Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 41

2. Pola Tanam

Hutan rakyat di Sub DAS Lesti ada yang dikelola sendiri oleh pemilik ada pula yang dikelola oleh penyewa. Petani pemilik lahan biasanya mengelola lahannya dengan pola campuran baik antara tanaman kayu maupun dengan tanaman pertanian (tumpangsari), Multi Purpose Tree Species (MPTS) maupun dengan tanaman perkebunan seperti tebu, kopi, cengkeh dan lain-lain (77,42%).

Petani penyewa lahan biasanya menanami lahan dengan tanaman kayu murni (monokultur) seperti sengon (22,58%). Di beberapa tempat masyarakat menanami lahannya dengan tanaman perkebunan seperti tebu (kebanyakan di Desa Pagak), kopi (utamanya Desa Tirtoyudo dan beberapa desa lainnya) serta cengkeh, pisang dan singkong yang dikombinasikan dengan tanaman kayu dengan jarak tanam yang tidak beraturan maupun dalam bentuk trees along border atau di pematang atau pinggir atau pembatas lahan. Menurut Cahyono dan Kusumedi (2010), struktur dan komposisi hutan yang berbentuk monokultur dengan tujuan optimalisasi dan keseragaman produk lebih banyak dilakukan oleh petani yang berorientasi komersial sedangkan petani subsisten cenderung menanam secara campuran.

Namun, struktur campuran atau agroforestri tidak menghambat orientasi komersial pengelolanya, sebaliknya pula ada pola monokultur yang berorientasi subsisten.

3. Pembibitan

Cara memperoleh bibit tanaman kayu umumnya adalah dengan membeli (93,55%), hanya 6,45% petani yang bibitnya berasal dari persemaian sendiri.

Bibit sengon umumnya diperoleh dari membeli dengan harga bervariasi mulai dari Rp 1.000- 3.000,- bergantung pada tinggi bibit. Ketersediaan bibit cukup berlimpah, pada akhir musim kemarau atau menjelang musim penghujan para pedagang bibit yang kebanyakan berasal dari Kecamatan Wajak berkeliling menjual bibit sengon. Harga bibit tergantung dari ukuran bibit, semakin tinggi bibit semakin tinggi pula harganya. Meskipun menurut petani, bibit yang terlalu tinggi (sekitar 1 meter) pertumbuhannya tidak sebaik bibit yang lebih pendek. Bibit yang ditanam umumnya belum berasal dari benih unggul maupun bersertifikat, sehingga tanaman yang diusahakan hasilnya belum maksimal karena mudah terserang hama dan penyakit. Menurut Adinugraha (2012), pertumbuhan tanaman kehutanan yang berasal dari bibit berkualitas rendah umumnya lambat dan sangat rentan terhadap serangan penyakit. Bibit-bibit tanaman lain seperti mahoni, mindi dan suren umumnya diperoleh dari bantuan yang diberikan pada saat kegiatan penghijauan, Gerhan maupun sumbangan dari partai.

4. Pemeliharaan

Berdasarkan hasil survey, 83,87% petani melakukan pemupukan terhadap tanaman kayu yang ditanam, meskipun ada yang hanya memupuk di awal saja

40 Persepsi Masyarakat terhadap Sengon dan Jenis Lainnya di Sub DAS Lesti, Jawa Timur Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 41

dengan pupuk dasar berupa pupuk kandang. Pupuk anorganik yang digunakan antara lain campuran urea dan ZA serta adapula yang menggunakan pupuk ponska. Pupuk anorganik biasanya diberikan sekali dalam setahun sampai tanaman berumur 2 tahun bahkan ada yang sampai 3 tahun. Ada 16,13% petani yang tidak melakukan pemupukan, hal ini menunjukkan bahwa pemahaman petani tentang pemupukan bagi tanaman kayu sudah cukup baik. Adapun yang tidak melakukan pemupukan biasanya terkendala biaya. Kegiatan pemeliharaan tanaman seperti pendangiran, pembersihan gulma, pemangkasan cabang dilakukan sebanyak 51,61% petani utamanya pada saat tanaman berumur 1 sampai 2 tahun. Sementara itu, sebanyak 48,39% petani tidak melakukan pemeliharaan. Pemeliharaan utamanya dilakukan oleh petani yang melakukan penanaman campuran dengan tanaman perkebunan dan pertanian seperti tebu, tanaman semusim dan lain-lain.

5. Hama dan Penyakit

Kendala yang dihadapi para petani dalam menanam pohon utamanya sengon adalah serangan hama dan penyakit seperti ulat pada tanaman muda dan akar serta karat tumor. Karat tumor merupakan salah satu penyakit yang banyak menyerang tanaman sengon. Menurut Corryanti dan Novitasari (2015), dalam kurun waktu sekitar 15 tahun belakangan, karat tumor atau disebut juga karat puru pada sengon mulai menjadi perhatian petani sengon, karena penyakit ini dapat menyebabkan kerusakan bahkan kematian tanaman hingga 90 persen. Pola distribusi sebaran intensitas penyakit karat tumor terlihat acak, baik pada hutan murni maupun hutan campuran, akan tetapi, penyebaran intensitas penyakit pada hutan murni cenderung intensif dibandingkan hutan campuran.

Beberapa petani melakukan pengendalian dengan menyemprot dan mengaplikasikan cara-cara tradisional lainnya serta ada pula yang tidak melakukan kegiatan pengendalian atau pencegahan apapun. Menurut Corryanti dan Novitasari (2015), jika terjadi serangan karat tumor pada saat di persemaian, sebaiknya bibit yang bergejala terserang segera dipisahkan atau dimusnahkan (dibakar). Upaya mengendalikan serangan karat tumor pada tanaman sengon dapat dilakukan dengan memberantas gall atau bagian tanaman yang terserang sedini mungkin, sebelum gall membengkak besar dan berwarna coklat, yang menandakan siap menularkan sporanya. Langkah selanjutnya adalah mematikan sel-sel penyakit karat tumor di bagian yang terserang dengan menggunakan spiritus, campuran kapur dan garam serta campuran belerang dan kapur yang dioles/semprotkan pada bagian tanaman yang diserang dan sudah dibersihkan.

Jika hal ini diterapkan maka akan meningkatkan volume bahkan kualitasa atau nilai kayu, sehingga harganyapun akan tinggi atau meningkat.

42 Persepsi Masyarakat terhadap Sengon dan Jenis Lainnya di Sub DAS Lesti, Jawa Timur Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 43

6. Pemanenan dan Pemasaran

Tiap jenis tanaman memiliki umur panen yang berbeda-beda. Umumnya tanaman sengon dipanen pada saat berumur 4 atau 5 tahun. Sistem pemanenan yang dilakukan umumnya sama dengan model hutan rakyat lainnya, yaitu sistem

“tebang butuh”. Petani akan melakukan penebangan utamanya sengon pada saat petani membutuhkan uang. Jika keadaan ekonomi petani medesak, sengon akan dipanen pada umur 3 tahun meskipun dengan harga yang relatif rendah. Pemasaran hasil panen tidak mengalami kendala karena pengumpul selalu berkeliling mencari pohon-pohon yang akan dijual. Harga kayu dihitung berdasarkan harga tegakan yang ditentukan oleh pembeli. Harga tegakan dipengaruhi oleh beberapa hal seperti ukuran keliling, tinggi, cacat kayu dan letak tanaman pada lahan (terkait biaya pengangkutan). Sistem pemasaran seperti ini umumnya tidak terlalu menguntungkan bagi petani karena harga tegakan akan lebih murah jika dibandingkan dengan harga sortimen dalam m3 seperti yang dikemukakan oleh Ardelina et al. (2015) bahwa pada sistem penjualan batangan maupun borongan atau tebasan, harga kayu tidak ditentukan berdasarkan volume melainkan taksiran harga per batang pohon maupun total tegakan yang biasanya ditentukan secara sepihak oleh tengkulak.

Sistem ini berpotensi merugikan petani karena sangat mungkin terjadi kesalahan dalam pendugaan volume kayu yang dapat mengakibatkan kehilangan keuntungan petani hutan rakyat. Menurut Wiyono dan Oktalina (2013) di Gunungkidul petani hutan rakyat menjalin jaringan dengan pedagang kayu yang sifatnya hubungan bisnis antara penjual dan pembeli. Petani hutan rakyat menjalin komunikasi dengan banyak pedagang kayu baik yang berasal dari Gunungkidul maupun daerah lain seperti Yogyakarta, Klaten dan Solo. Dengan demikian, petani dapat memperoleh harga yang kompetitif sesuai dengan harga pasar pada saat menjual kayu hasil hutan rakyat. Cara ini dapat diadopsi oleh petani hutan rakyat di Sub DAS Lesti untuk menjaga kestabilan harga kayu atau bahkan meningkatkan nilai/harga kayu.

Tanaman lain seperti jati, suren, mahoni dan kayu lain yang nilai ekonominya lebih tinggi sebagian besar digunakan sendiri untuk pembangunan rumah atau pembuatan perabot rumah tangga. Untuk tanaman lain seperti jati, suren dan mahoni biasanya dipanen setelah tanaman berumur lebih dari 10 tahun.

Sistem pemanenan ini masih berdasarkan pemenuhan kebutuhan mendesak petani sehingga kelestarian hasil produksi belum tercapai karena belum adanya pengaturan hasil panen. Menurut Hindra (2006), penguatan kelembagaan pengelolaan hutan rakyat diperlukan untuk menjamin kelestarian hutan rakyat.

D. Persepsi Masyarakat Mengenai Sengon dan Jenis-Jenis Lain yang