• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengelolaan & Berkelanjutan BUNGA RAMPAI. dengan Melibatkan Masyarakat BOGOR, Penerbit: FORDA PRESS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Pengelolaan & Berkelanjutan BUNGA RAMPAI. dengan Melibatkan Masyarakat BOGOR, Penerbit: FORDA PRESS"

Copied!
116
0
0

Teks penuh

(1)

i

Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat

Lahan Air &

Berkelanjutan

Pengelolaan

dengan Melibatkan Masyarakat BUNGA RAMPAI

&

Berkelanjutan

Pengelolaan

dengan Melibatkan Masyarakat BUNGA RAMPAI

BOGOR, 2017

Penerbit:

FORDA PRESS

Diterbitkan oleh:

FORDA PRESS

Anggota IKAPI No. 257/JB/2014

Jalan Gunung Batu No. 5 Bogor, Jawa Barat Telp./Fax. +62251 7520093

E-mail: fordapress@yahoo.co.id

Penerbitan dan Pencetakan dibiayai oleh:

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor 16118, Indonesia

Telp.: +62-251 8633234/+62-251 7520067; Facs: +62-251 8638111

Bunga Rampai P engelolaan Lahan & Air Berkelanjutan dengan Meliba tkan Masy araka t

FORDA PRESS, 2017

(2)
(3)

BOGOR, 2017

Penerbit:

FORDA PRESS Editor:

Prof. Dr. Budi Mulyanto Dr. I Wayan Susi Dharmawan

Lahan Air &

Berkelanjutan

Pengelolaan

dengan Melibatkan Masyarakat BUNGA RAMPAI

&

Berkelanjutan

Pengelolaan

dengan Melibatkan Masyarakat

BUNGA RAMPAI

(4)

Bunga Rampai Pengelolaan Lahan dan Air Berkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat

Editor:

Prof. Dr. Budi Mulyanto Dr. I Wayan Susi Dharmawan Desain dan tata letak:

Bintoro

Copyright© Penulis

Cetakan Pertama, Desember 2016 Cetakan Kedua, Desember 2017 viii + 104 halaman; 148 x 210 mm ISBN 978-602-6961-11-2 Sitasi:

Mulyanto, B., & Dharmawan, I.W.S. (ed) 2016. Bunga Rampai Pengelolaan Lahan dan Air Berkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat. Bogor, Indonesia: Forda Press.

Penerbit:

Forda Press (Anggota IKAPI)

Penerbitan dan pencetakan dibiayai oleh:

Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

(5)

Perpustakaan Nasional RI., Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Bunga Rampai Pengelolaan Lahan dan Air Berkelanjutan dengan

Melibatkan Masyarakat / editor, Mulyanto, B., & Dharmawan, I.W.S.

-- Bogor : Forda Press, 2017.

viii + 104 hlm. : ill. ; 21 cm. -- ISBN 978-602-6961-11-2

1. Lahan 2. Konservasi Air 3. Daerah Aliran Sungai I. Mulyanto, B.

II. Dharmawan, I.W.S. III. Forda Press

631.7

(6)

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002

tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta

Pasal 2

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi Pencipta atau Pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan Pidana Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/

atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(7)

KATA PENGANTAR

(Cetakan Kedua)

Pengelolaan lahan dan air berkelanjutan harus didukung dengan upaya pemulihan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara intensif dengan melibatkan masyarakat. Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan dan air berkelanjutan telah menjadi keharusan. Keterlibatan masyarakat secara aktif dilakukan melalui berbagai model pengelolaan hutan dan lahan (hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa, dan hutan adat). Upaya ini tentunya dapat bermanfaat dalam meningkatkan kualitas lingkungan, sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan.

Selain itu, manfaat jangka panjang yang diharapkan dari pengelolaan lahan dan air berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat adalah diperolehnya kuantitas dan kualitas air secara optimal untuk mendukung kebutuhan hidup sehari-hari.

Sehubungan dengan hal tersebut, kami menyambut gembira atas terbitnya buku bunga rampai dengan tema “Pengelolaan Lahan dan Air Berkelanjutan Dengan Melibatkan Masyarakat”. Bahkan, buku ini pun sudah memasuki cetakan kedua (2017). Buku ini disusun untuk menyampaikan hasil beberapa penelitian terkait Rencana Penelitian dan Pengembangan Integratif (RPPI) 2 Konservasi Sumber Daya Air yang berhubungan dengan pengelolaan lahan dan air berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat. Oleh sebab itu, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penyusunan dan penerbitan buku bunga rampai ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi untuk pengelolaan lahan dan air secara baik.

Bogor, Desember 2017 Kepala Pusat,

Dr. Ir. Kirsfianti L. Ginoga, M.Sc.

v

Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat

(8)
(9)

Daftar Isi

KATA PENGANTAR ...v Daftar Isi ... vii Bab 1 Pendahuluan ...1 Bab 2 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah

di Kabupaten Banyuasin ...3 Bab 3 Analisis Fluktuasi Curah Hujan dan Debit Aliran DAS Citarum

Bagian Hulu ...21 Bab 4 Persepsi Masyarakat terhadap Sengon dan Jenis Lainnya

di Sub DAS Lesti, Jawa Timur ...35 Bab 5 Analisis Kualitas Air Sungai di DAS Citarum Bagian Hulu ...49 Bab 6 Konservasi Sumber Mata Air berbasis Masyarakat

di Pulau Sumba ...63 Bab 7 Model Pengelolaan Sumber Daya Air Bersama Masyarakat

secara Konservatif dan Mandiri Berbasis Desa ...81 Bab 8 Penutup ...103

vii

Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat

(10)
(11)

Bab 1 Pendahuluan

Meluasnya lahan kritis di Indonesia pada umumnya disebabkan oleh beberapa hal antara lain: tekanan jumlah penduduk yang terus meningkat, perluasan areal pertanian yang tidak sesuai kemampuan lahan, perladangan berpindah yang selalu diabaikan, padang penggembalaan yang berlebihan, perambahan dan pembakaran hutan yang tidak terkendali. Dampak permasalahan tersebut diantaranya adalah: berkurangnya suplai air untuk wilayah hilir, bahaya banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, erosi pada lahan olahan masyarakat dan sedimentasi di badan – badan air, pencemaran air minum dan air sungai, keterbatasan sumber pangan dan energi di wilayah hulu sehingga meningkatkan kemiskinan masyarakat pemukim.

Bencana alam kekeringan maupun banjir selain disebabkan oleh faktor alam, dipengaruhi pula oleh faktor kebijakan pengelolaannya. Pada saat musim hujan, terjadi banjir dan di saat musim kemarau terjadi kekeringan atau kekurangan air. Debit aliran merupakan salah satu parameter penting yang perlu diketahui dalam pengelolaan sumber daya air. Menurut Asdak (2007), debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu (m3/dt). Debit aliran rata- rata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai.

Sektoralisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber air kurang mempertimbangkan aspek konservasi, sehingga berbagai upaya yang telah dilakukan pemerintah belum memberikan hasil yang memuaskan. Tingginya frekuensi pemanfaatan sungai tidak diiringi dengan pelestarian sumberdaya air dan faktor-faktor pendukungnya. Hal tersebut menyebabkan DAS rentan terjadinya erosi, aliran permukaan, banjir dan tingkat pencemaran yang tinggi sehingga DAS menjadi tidak sehat, padahal menurut Farida dan Van Noordwijk (2004) salah satu fungsi utama dari DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas yang baik terutama bagi orang yang di hilir DAS.

Penyediaan sumber air yang layak tidak semata menjadi tanggungjawab pemerintah, tetapi merupakan tanggungjawab semua pihak, salah satunya masyarakat. Kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat diyakini mampu meningkatkan keberhasilan konservasi sumber air. Keterlibatan masyarakat dalam upaya pelestarian sumber air dapat tercermin dalam bentuk partisipasi masyarakat berupa pelestarian keanekaragaman hayati yang mendukung penutupan lahan di sekitar lansekap mata air, penerapan konservasi tanah dan air secara konvensional, termasuk penerapan aturan dan sanksi dalam pengelolaan

PB <Running Header> Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 1

(12)

sumber air, serta kepatuhan dalam mempertahankan kearifan-kearifan lokal terkait pelestarian sumber mata air.

Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lahan dan air berkelanjutan telah menjadi keharusan. Tulisan-tulisan dalam bunga rampai ini memaparkan bagaimana pengelolaan lahan dan air berkelanjutan harus didukung dengan upaya pemulihan melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan secara intensif dengan melibatkan masyarakat sebagaimana yang diuraikan dalam tulisan: 1) Model Pengelolaan Sumberdaya Air Bersama Masyarakat Secara Konservatif Dan Mandiri Berbasis Desa; 2) Konservasi Sumber Mata Air Berbasis Masyarakat Di Pulau Sumba; dan 3) Implementasi Dan Partisipasi Masyarakat Dalam Kegiatan Rehabilitasi Hutan Lahan Basah. Keterlibatan masyarakat secara aktif melalui berbagai model pengelolaan (hutan rakyat, hutan kemasyarakatan, hutan tanaman rakyat, hutan desa dan hutan adat), selain dapat meningkatkan kualitas lingkungan, juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan.

Untuk itu, diperlukan penilaian masyarakat terhadap preferensi jenis tertentu yang memang sesuai untuk pengembangan pendapatan masyarakat sekaligus sebagai jenis untuk rehabilitasi sebagaimana diuraikan dalam tulisan Persepsi Masyarakat Terhadap Sengon Dan Jenis-Jenis Lain Dalam Pengembangan Hutan Rakyat Di Sub DAS Lesti, Jawa Timur. Di samping itu, manfaat jangka panjang yang diharapkan dari pengelolaan lahan dan air berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat adalah diperolehnya kuantitas dan kualitas air secara optimal untuk mendukung kebutuhan hidup sehari-hari. Kajian terkait kuantitas dan kualitas air, dalam hal ini DAS Citarum, diuraikan dalam tulisan: 1) Analisis Fluktuasi Curah Hujan Dan Debit Aliran DAS Citarum Bagian Hulu dan 2) Analisis Kualitas Air Sungai Di DAS Citarum Bagian Hulu.

2 Pendahuluan Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat PB

(13)

Bab 2 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin

Nur Arifatul Ulya, Efendi Agus Waluyo, Bambang Tejo Premono Balai Penelitian dan Pengembangan LHK Palembang Jl. Kol. H. Burlian Km 6,5 Punti Kayu Palembang e-mail : nur_arifa@yahoo.com

ABSTRAK

Degradasi hutan terjadi baik di hutan lahan kering maupun lahan basah.

Penyebab degradasi hutan lahan basah antara lain adalah penebangan, konversi lahan, drainase dan kebakaran yang terjadi berulang. Rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki lahan basah, terutama lahan gambut yang telah rusak, untuk mengembalikan pada keadaan atau fungsi semula. Tulisan ini bertujuan untuk untuk mengkaji implementasi dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan lahan basah di wilayah Kabupaten Banyuasin. Metode studi kasus digunakan untuk menganalisis partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan lahan basah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan rehabilitasi lahan basah di Kabupaten Banyuasin sudah mengimplementasikan aturan-aturan rehabilitasi hutan dan lahan, namun partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin termasuk dalam kategori rendah sampai sedang. Masyarakat juga belum bisa dinyatakan sebagai mitra dalam kegiatan rehabilitasi karena tidak terpenuhinya azas kesetaraan dan keterbukaan.

Kata kunci: Banyuasin, gambut, mangrove, pemberdayaan I. PENDAHULUAN

Kawasan hutan di Indonesia dengan luas mencapai sekitar 134 juta hektar atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia (Departemen Kehutanan, 2009) dihadapkan pada deforestasi dan degradasi yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu. Laju deforestasi dan degradasi di Indonesia pada periode 1985-1997 mencapai 1,8 juta hektar per tahun, mengalami peningkatan signifikan pada periode 1997-2000 (mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar) dan menurun kembali pada periode 2000 sampai 2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar per tahun. Kementerian Kehutanan (2014) menyatakan bahwa laju deforestasi tahun 2011-2012 sebesar 24 ribu hektar.

PB <Running Header> Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 3

(14)

Degradasi hutan terjadi baik di hutan lahan kering maupun lahan basah.

Degradasi hutan lahan basah antara lain disebabkan oleh penebangan, konversi lahan, drainase gambut dan kebakaran yang terjadi berulang (Silvius et al., 1987;

van Eijk dan Leenman, 2004; Hooijer et al., 2006, Miettinen dan Liew, 2010).

Indikasi dari terjadinya degradasi hutan lahan basah adalah hilangnya kurang lebih dari 70% jenis-jenis pohon lokal (indigeneous species) penyusun hutan lahan basah (Barkah, 2009; Tata dan Pradjadinata, 2013; Bastoni, 2014).

Rehabilitasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki lahan gambut yang telah rusak untuk mengembalikan pada keadaan atau fungsi semula.

Wibisono et al. (2005) dan Daryono (2006) merekomendasikan penanaman kembali (reboisasi) dengan jenis-jenis yang cocok untuk rehabilitasi lahan gambut yang kondisinya telah terbuka, baik pada lahan dengan kedalaman gambut kurang dari tiga meter atau lebih.

Pemerintah Indonesia telah menerapkan berbagai program rehabilitasi sejak awal tahun 1950 (Nawir et al., 2008). Rehabilitasi hutan dan lahan melalui program pemerintah ditujukan untuk meningkatkan fungsi dan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk rehabilitasi hutan lahan basah (gambut dan mangrove). Nawir et al. (2008) menambahkan bahwa program rehabilitasi pada masa lalu sebagian besar tergantung pada pendanaan dari pemerintah atau dana internasional, dikendalikan oleh pemerintah dan umumnya lebih terfokus pada aspek-aspek teknis. Pengaturan kelembagaan pelaksanaan program di lapangan belum dikembangkan, sehingga teknik rehabilitasi kurang diadopsi oleh masyarakat (Nawir, et al., 2008).

Kegiatan rehabilitasi pada saat ini, menurut aturan dilakukan dengan pelibatan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut P.9/Menhut-II/2013 bertujuan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam melaksanakan RHL pada lahannya baik secara individu maupun kelompok. Nawir et al. (2008) menyatakan bahwa pelibatan masyarakat seharusnya menjadi dan stimulus partisipasi masyarakat dan pendorong keberhasilan rehabilitasi hutan. Namun dalam kenyataan pelibatan atau partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan basah masih sebatas formalitas. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji aturan, implementasi, dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan lahan basah di wilayah Kabupaten Banyuasin.

II. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian berada di wilayah administrasi Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan. Kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah yang dijadikan

4 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 5

(15)

obyek kajian dalam tulisan ini berada di Hutan Lindung (HL) Telang dan HL Pulau Rimau. Wilayah HL Telang secara administrasi pemerintahan termasuk dalam Desa Muara Telang dan Teluk Payo, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin, sedangkan HL Pulau Rimau termasuk dalam wilayah adminstrasi Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.

Penelitian dilakukan pada bulan Oktober tahun 2015.

B. Metode Penelitian

Metode penelitian studi kasus dengan pendekatan kualitatif digunakan untuk menganalisis implementasi dan partisipasi masyarakat dalam rehabilitasi hutan lahan basah. Metode ini dipilih karena terbatasnya kegiatan rehabilitasi yang berlokasi hutan lahan basah, sementara diharapkan diperoleh hasil kajian yang mendalam.

Metode studi kasus digunakan dengan tujuan untuk memperoleh hasil kajian yang mendalam, terperinci, dan menyeluruh terhadap obyek penelitian yang biasanya relatif kecil (Umar, 2004). Studi kasus digunakan sebagai suatu penjelasan komprehensif yang berkaitan dengan seseorang, suatu kelompok, suatu organisasi, suatu program atau situasi kemasyarakatan yang diteliti, diupayakan dan ditelaah sedalam mungkin (Bogdan dan Biklen, 1982; Yin, 2008). Creswell (2008) menambahkan bahwa studi kasus merupakan strategi penelitian dimana peneliti melakukan penyelidikan secara cermat terhadap suatu program, peristiwa, aktivitas, proses, atau sekelompok individu. Batasan kasus adalah waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi secara lengkap dengan menggunakan berbagai prosedur pengumpulan data berdasarkan waktu yang telah ditentukan.

C. Pengumpulan dan Analisis Data

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dengan berbagai stakeholder (tokoh kunci) yang berkaitan dengan rehabilitasi hutan lahan basah, observasi dan kajian dokumentasi yang relevan dengan penelitian.

Metode yang survey yang digunakan adalah snowball sampling. Data hasil wawancara, observasi dan data hasil dokumentasi ditabulasi dan diolah dengan analisis deskriptif.

Tahapan analisis adalah sebagai berikut : (1) Identifikasi dan analisis peraturan yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan, terutama hutan lahan basah. Identifikasi dilakukan dengan telaah data sekunder;

(2) Analisis implementasi kegiatatan rehabilitasi hutan lahan basah; (3) Analisis partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah.

4 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 5

(16)

III. KAJIAN TEORI A. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat sering diartikan sebagai keikutsertaan dan keterlibatan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adisasmita (2006) menyatakan bahwa partisipasi berarti prakarsa, peran aktif dan keterlibatan semua pelaku pembangunan, termasuk di dalamnya penyedia dan penerima pelayanan, serta lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial. Adisasmita (2006) selanjutnya menyatakan bahwa partisipasi anggota masyarakat didefinisikan sebagai keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program atau proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal. Sedangkan Hall (1986) berpendapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan pendekatan pembangunan yang memandang masyarakat dalam konteks yang dinamis yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada sesuai dengan kepentingan, kemampuan, dan aspirasi yang dimiliki baik secara individu maupun komunal.

Tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) dibagi dalam delapan tingkatan atau tangga. Tingkatan dari yang paling rendah sampai paling tinggi adalah manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegated power dan citizen control. Kedelapan tingkat partisipasi tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) non participation atau partisipasi rendah (manipulation, therapy), 2) degrees of tokenism atau partisipasi sedang (informing, consultation, placation), dan 3) degrees of citizen power atau tingkatan partisipasi tinggi (partnership, delegated power dan citizen control). Tangga partisipasi masyarakat disajikan pada Tabel 1.

B. Kemitraan

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi- organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Adapun prinsip kunci dalam kemitraan yang harus dipahami dalam membangun kemitraan adalah : 1) Kesetaraan (equity), dimana individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati; 2) keterbukaan, yaitu keterbukaan terhadap kekurangan atau kelemahan masing-masing anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki, yang dijalin sejak awal dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan; dan 3) azas manfaat bersama (mutual benefit), dimana individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan kontribusi.

Tabel 1. Tangga partisipasi menurut Arnstein

No. Tangga/tingkatan

partisipasi Hakekat keikutsertaan Kelompok

partisipasi 8 Citizen control Masyarakat mempunyai kekuasaan penuh

mengatur program Degrees of citizen

power 7 Delegated power Masyarakat diberi kekuasaan untuk sebagian atau

seluruh program

6 Partnership Kekuasaan didistribusikan melalui negosiasi antara warga dan pemegang kekuasaan

5 Placation Masyarakat mulai berpengaruh,

ditempatkan di dewan publik meski diikuti strategi ditenangkan/dikalahkan suaranya

Degrees of tokenism

4 Consultation Pendapat masyarakat didengar tetapi ide idenya tidak selalu dipakai

3 Informing Hak-hak masyarakat dan pilihan-pilihannya diidentifikasikan

2 Therapy Pemegang kekuasaan mendidik atau

mengobati masyarakat Non participation

(tidak ada partisipasi) 1 Manipulation Terjadi manipulasi partisipasi masyarakat,

dikenal dengan Komite berstempel

Sumber: Arnstein (1969)

6 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 7

(17)

III. KAJIAN TEORI A. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat sering diartikan sebagai keikutsertaan dan keterlibatan anggota masyarakat dalam suatu kegiatan tertentu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adisasmita (2006) menyatakan bahwa partisipasi berarti prakarsa, peran aktif dan keterlibatan semua pelaku pembangunan, termasuk di dalamnya penyedia dan penerima pelayanan, serta lingkungan sosialnya dalam pengambilan keputusan, perumusan rencana, pelaksanaan kegiatan dan pemantauan dalam rangka peningkatan kesejahteraan sosial. Adisasmita (2006) selanjutnya menyatakan bahwa partisipasi anggota masyarakat didefinisikan sebagai keterlibatan dan pelibatan anggota masyarakat dalam pembangunan, meliputi kegiatan dalam perencanaan dan pelaksanaan (implementasi) program atau proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh masyarakat lokal. Sedangkan Hall (1986) berpendapat bahwa partisipasi masyarakat merupakan pendekatan pembangunan yang memandang masyarakat dalam konteks yang dinamis yang mampu memobilisasi sumberdaya yang ada sesuai dengan kepentingan, kemampuan, dan aspirasi yang dimiliki baik secara individu maupun komunal.

Tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) dibagi dalam delapan tingkatan atau tangga. Tingkatan dari yang paling rendah sampai paling tinggi adalah manipulation, therapy, informing, consultation, placation, partnership, delegated power dan citizen control. Kedelapan tingkat partisipasi tersebut selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1) non participation atau partisipasi rendah (manipulation, therapy), 2) degrees of tokenism atau partisipasi sedang (informing, consultation, placation), dan 3) degrees of citizen power atau tingkatan partisipasi tinggi (partnership, delegated power dan citizen control). Tangga partisipasi masyarakat disajikan pada Tabel 1.

B. Kemitraan

Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa kemitraan adalah suatu kerja sama formal antara individu-individu, kelompok-kelompok atau organisasi- organisasi untuk mencapai suatu tugas atau tujuan tertentu. Adapun prinsip kunci dalam kemitraan yang harus dipahami dalam membangun kemitraan adalah : 1) Kesetaraan (equity), dimana individu, organisasi atau institusi yang telah bersedia menjalin kemitraan harus merasa sama atau sejajar kedudukannya dengan yang lain dalam mencapai tujuan yang disepakati; 2) keterbukaan, yaitu keterbukaan terhadap kekurangan atau kelemahan masing-masing anggota serta berbagai sumber daya yang dimiliki, yang dijalin sejak awal dijalinnya kemitraan sampai berakhirnya kegiatan; dan 3) azas manfaat bersama (mutual benefit), dimana individu, organisasi atau institusi yang telah menjalin kemitraan memperoleh manfaat dari kemitraan yang terjalin sesuai dengan kontribusi.

Tabel 1. Tangga partisipasi menurut Arnstein

No. Tangga/tingkatan

partisipasi Hakekat keikutsertaan Kelompok

partisipasi 8 Citizen control Masyarakat mempunyai kekuasaan penuh

mengatur program Degrees of citizen

power 7 Delegated power Masyarakat diberi kekuasaan untuk sebagian atau

seluruh program

6 Partnership Kekuasaan didistribusikan melalui negosiasi antara warga dan pemegang kekuasaan

5 Placation Masyarakat mulai berpengaruh,

ditempatkan di dewan publik meski diikuti strategi ditenangkan/dikalahkan suaranya

Degrees of tokenism

4 Consultation Pendapat masyarakat didengar tetapi ide idenya tidak selalu dipakai

3 Informing Hak-hak masyarakat dan pilihan-pilihannya diidentifikasikan

2 Therapy Pemegang kekuasaan mendidik atau

mengobati masyarakat Non participation

(tidak ada partisipasi) 1 Manipulation Terjadi manipulasi partisipasi masyarakat,

dikenal dengan Komite berstempel

Sumber: Arnstein (1969)

C. Pemberdayaan

Pemberdayaan menurut Paul (1987) berarti pembagian kekuasaan yang adil (equatable sharing of power), sehingga meningkatkan kesadaran politik atau kekuasaan kelompok yang lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap proses dan hasil-hasil pembangunan. Sedangkan Robert Dahl (1983) mengartikan pemberdayaan sebagai pemberian kuasa untuk mempengaruhi atau mengontrol.

Sumodiningrat (1999) menyatakan bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan.

Pemberdayaan dalam konteks pembangunan masyarakat pada umumya, termasuk pembangunan masyarakat sekitar hutan dikaitkan erat dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan sosial. Pemberdayaan dan partisipasi penting diawali dengan proses pemberdayaan masyarakat lokal (Craig dan Mayo, 1995).

6 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 7

(18)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Kabupaten Banyuasin terletak antara 1,30° - 4,0° Lintang Selatan dan 104°

00’ - 105° 35’ Bujur Timur yang terbentang mulai dan bagian tengah sampai dengan bagian Timur Provinsi Sumatera Selatan (BPS Kabupaten Banyasin, 2016). Wilayah HL Telang secara administratif berada di Kecamatan Banyuasin II, Tanjung Lago dan Sumber Marga Telang. Sedangkan wilayah HL Pulau Rimau berada di Kecamatan Banyuasin II dan Tanjung Lago. HL Telang maupun HL Pulau Rimau merupakan hutan lindung pantai.

Formasi hutan di wilayah Kabupaten Banyuasin yang berada di pesisir pantai timur Sumatera Selatan adalah hutan lindung pantai yang didominasi oleh jenis mangrove. Terdapat hutan rawa gambut di beberapa lokasi yang berada di belakang formasi hutan mangrove. Formasi hutan tanah kering dengan tipe hutan hujan tropika basah berada pada wilayah Hutan Produksi Kemampo. Deskripsi kawasan hutan di pantai timur Kabupaten Banyuasin disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Deskripsi kawasan hutan di pantai timur Kabupaten Banyuasin

No Nama kawasan Kecamatan Keterangan

1 Telang Banyuasin II, Tanjung Lago dan

Sumber Marga Telang Hutan lindung pantai 2 Pulau Rimau Banyuasin II, Tanjung Lago Hutan lindung pantai 3 Muara Musi Banyuasin II, Muara Telang Hutan lindung pantai 4 Upang Banyuasin II, Makarti Jaya Hutan lindung pantai

5 Muara Sugihan Muara Sugihan Hutan lindung pantai

6 Saleh Barat Makarti Jaya, Air Salek Hutan lindung pantai 7 Kemampo Banyuasin III, Rantau Bayur Hutan produksi

8 Muara Sugihan Muara Sugihan Hutan produksi

Data hasil analisis citra BPDAS Wilayah Musi menunjukkan bahwa sebaran tutupan lahan dominasi oleh semak belukar (32,03%), sawah (18,59%), kebun campur (14,51%), perkebunan (10,22%) sedangkan tutupan lahan berupa hutan hanya 5,21 % (KPHL Banyuasin, 2015).

B. Rehabilitasi Hutan Lahan Basah dalam Koridor Aturan

Peraturan yang terkait dengan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) adalah Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:

8 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 9

(19)

P.9/Menhut-II/2013 tentang tata cara pelaksanaan, kegiatan pendukung dan pemberian insentif kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Selain itu juga terdapat Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.26/Menhut-II/2010 tentang perubahan terhadap peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 70/Menhut-II/2008 tentang pedoman teknis rehabilitasi hutan dan lahan. Terdapat juga beberapa aturan lainnya seperti peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P. 12/

Menhut-II/2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTk RHL-DAS), dan lain- lain.

Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.9/Menhut-II/2013 adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Menurut aturan ini, rehabilitasi hutan dan lahan dapat dilakukan di dalam kawasan hutan maupun di luar kawasan hutan. RHL dilakukan melalui kegiatan penanaman RHL dan penerapan teknik konservasi tanah. Penanaman RHL terdiri dari reboisasi, penghijauan, pengayaan tanaman dan atau pemeliharaan tanaman. Reboisasi dilakukan di hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi, sedangkan penghijauan dilakukan pada pembangunan hutan rakyat, penghijauan lingkungan dan pembangunan hutan kota.

RHL lahan basah dapat dilakukan di daerah pesisir atau pantai, rawa maupun bergambut yang bertujuan untuk mengembalikan keberadaan vegetasi daerah pesisir atau pantai sehingga mampu berfungsi sebagai wilayah perlindungan pantai dari abrasi dan intrusi air laut serta bencana alam tsunami.

Rehabilitasi di daerah pesisir atau pantai meliputi rehabilitasi hutan mangrove dan rehabilitasi areal sempadan pantai. Rehabilitasi hutan mangrove atau areal sempadan pantai dilakukan berdasarkan hasil penyusunan RTk RHL DAS pada ekosistem mangrove dan ekosistem pantai yang diidentifikasi mempunyai vegetasi mangrove dengan kerapatan kurang (NDVI -1,00 s/d 0,43) dan wilayah yang berdasarkan peta land system berada pada kondisi vegetasi telah terbuka dan/atau terdeforestasi. Rehabilitasi areal sempadan pantai dilakukan pada areal terbuka atau kritis menurut RTk RHL DAS selebar paling sedikit 100 meter dari titik pasang tertinggi ke arah darat yang bukan termasuk habitat atau ekosistem mangrove (P.9/Menhut-II/2013).

Tahapan kegiatan RHL di daerah pesisir atau pantai terdiri dari persemaian atau pembibitan, pelaksanaan penanaman, pemeliharaan I dan pemeliharaan II.

Selain itu, juga terdapat kegiatan pendukung RHL yang meliputi pengembangan perbenihan, pengembangan teknologi RHL, pencegahan dan penanggulangan

8 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 9

(20)

kebakaran hutan dan lahan, penyuluhan, pelatihan, pemberdayaan masyarakat, pembinaan, dan pengawasan.

Rehabilitasi kawasan bergambut menurut P.12/Menhut-II/2012 adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan pada kawasan bergambut sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.

Rehabilitasi kawasan bergambut yang mempunyai fungsi lindung dan budidaya merupakan bagian dari pengelolaan ekosistem kawasan bergambut yang ditempatkan pada kerangka DAS sebagai unit manajemen. Rehabilitasi kawasan bergambut berfungsi lindung dan budidaya ditujukan untuk memulihkan sumberdaya kawasan bergambut yang kritis sehingga berfungsi optimal dalam memberikan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial kepada seluruh pihak yang berkepentingan, mengelola sumber daya air, dan mengembangkan kelembagaan yang berbasis sumberdaya kawasan bergambut.

Pembiayaan kegiatan RHL berasal dari berbagai sumber. Pembiayaan RHL P.9/Menhut-II/2013 dapat bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan, Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBHDR) dan sumber-sumber lain yang tidak mengikat, sesuai peraturan perundang undangan. Murniati et al. (2008) menyatakan bahwa pendanaan proyek rehabilitasi sebesar 45% berasal dari pemerintah Indonesia, lembaga donor berkontribusi sebesar 23%, badan usaha milik negara dan swasta berkontribusi sebesar 16% dan dana kerjasama sebesar 16%.

Kegiatan RHL menurut aturan seharusnya dilakukan menggunakan prinsip tahun jamak (multiyears). RHL didalam kawasan hutan dapat dilaksanakan secara kontraktual maupun swakelola sesuai dengan peraturan perundang undangan. Kegiatan RHL diluar kawasan hutan dapat dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan. Kegiatan RHL yang berupa penanaman pohon diluar kawasan hutan dapat dilaksanakan secara swakelola melalui Surat Perjanjian Kerjasama (SPKS) dengan kelompok tani. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam melaksanakan RHL pada lahannya baik secara individu maupun kelompok. Kegiatan pemberdayaan antara lain dalam bentuk pemberian akses pengelolaan kegiatan RHL pada lahan milik melalui program bantuan langsung, pendampingan, penguatan kelembagaan, kemitraan.

Aturan-aturan terkait kegiatan RHL pada umumnya berisi ketentuan umum, perencanaan, tata cara pelaksanaan RHL, pembinaan dan pengendalian, penyelenggaraan RHL. Kegiatan RHL secara umum terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Kegiatan RHL dalam pelaksanaannya diharapkan dilaksanakan melalui pemberdayaan masyarakat.

10 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 11

(21)

Aturan-aturan terkait RHL secara teknis sudah mencakup semua aspek, mulai dari perencanaan sampai dari monitoring dan evaluasi. Aturan-aturan tersebut seyogyanya diikuti dengan implementasi yang tepat agar kegiatan rehabilitasi mencapai keberhasilan seperti tujua yang diharapkan.

C. Implementasi Kegiatan Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di KPHL Banyuasin

Kegiatan rehabilitasi lahan basah dilakukan oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuasin pada Tahun 2013 dan 2014, di lokasi rehabilitasi yang sekarang termasuk dalam wilayah KPHL Banyuasin. Kegiatan ini merupakan bagian dari kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) yang dilakukan pada lahan kritis di DAS prioritas. Kegiatan rehabilitasi lahan basah di Kabupaten Banyuasin dilakukan dengan pelibatan masyarakat. Bentuk pelibatan masyarakat diwujudkan melalui pelibatan kelompok tani, dimana kegiatan RHL dilakukan dengan bentuk swakelola kelompok tani.

Kegiatan rehabilitasi lahan basah pada tahun 2013 dilakukan pada kawasan mangrove yang berada di kawasan Hutan Lindung (HL) Telang dengan luas 100 hektar. Wilayah ini menurut adminstrasi pemerintahan termasuk dalam wilayah Desa Muara Telang dan Teluk Payo, Kecamatan Banyuasin II, Kabupaten Banyuasin. Jenis yang ditanam adalah spesies yang biasa tumbuh di areal mangrove.

Kegiatan ini bersumber dari Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi (DBH DR).

Kegiatan RHL di HL Telang diawali dengan kegiatan sosialisasi mengenai keberadaan kawasan HL Telang dan rencana kegiatan RHL dengan melibatkan masyarakat. Sosialisasi ini melibatkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Banyuasin, Perguruan Tinggi (Universitas Sriwijaya) dan masyarakat.

Setelah tahapan sosialisasi, disusun Rancangan Teknis Kegiatan RHL. Langkah selanjutnya adalah pembentukan kelompok tani. Terdapat 5 kelompok tani yang dibentuk dalam rangka kegiatan RHL, yaitu kelompok tani Wana Lestari, Lestari, Pada Elo, Pada Idi dan Sumber Makmur, dengan jumlah anggota per kelompok tani sebanyak 15 orang.

Kegiatan rehabilitasi lahan basah pada tahun 2014 dilakukan di dalam kawasan Hutan Lindung Pulau Rimau yang berupa lahan gambut dengan luas 32 hektar. Meskipun secara hukum lokasi rehabilitasi ini merupakan kawasan hutan, tetapi pada kenyataannya sudah diusahakan oleh masyarakat. Kawasan ini secara administratif berada di wilayah Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin.

Jenis tanaman yang digunakan dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah adalah jelutung. Pendanaan kegiatan ini bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) Bidang Kehutanan.

Kegiatan RHL di HL Pulau Rimau diawali dengan kegiatan sosialisasi mengenai keberadaan kawasan HL Pulau Rimau dan rencana kegiatan RHL

10 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 11

(22)

dengan melibatkan masyarakat. Tahapan setelah sosialisasi adalah pembentukan kelompok tani yang diinisiasi oleh pengelola proyek rehabilitasi. Terdapat 3 kelompok tani yang dibentuk, yaitu kelompok tani Pran Jaya, Pran Makmur, dan Pran Mandiri. Kelompok tani dibentuk dengan anggota per kelompok sebanyak 15 orang.

Kelompok tani yang dibentuk memiliki kewajiban untuk melaksanakan kegiatan rehabilitasi lahan basah, mulai dari kegiatan persiapan dan pembersihan lahan, pemasangan ajir dan pembuatan lubang tanam, penanaman, pemeliharaan, penyiangan dan penyulaman dan pemupukan. Kegiatan RHL ini dilakukan tahun sampai kegiatan tahun berjalan saja, sehingga keberhasilan atau kegagalan belum dapat dilihat.

Kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin pada dasarnya dilaksanakan dengan mengimplementasikan aturan-aturan di dibidang RHL. Aturan yang diimplementasikan antara lain adalah adanya perencanaan, tahapan kegiatan RHL dan kegiatan pendukung RHL. Kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah diawali dengan kegiatan perencanaan. Sesuai dengan aturan, tahapan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi lahan basah di Kabupaten Banyuasin terdiri dari persemaian/pembibitan, pelaksanaan penanaman dan pemeliharaan.

Namun, seperti dikemukanan di atas, kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin tidak mengimplementasikan aturan kegiatan rehabilitasi berupa pemeliharaan, monitoring dan evaluasi selama beberapa tahun (tahun jamak). Kegiatan pemeliharaan, monitoring dan evaluasi hanya dilaksanakan pada tahun penanaman saja, tanpa diikuti dengan kegiatan pemeliharaan dan monitoring sampai beberapa tahun sesudah tanam (multiyears).

Pelibatan masyarakat pada implementasi kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin cenderung menempatkan masyarakat pada posisi pasif. Padahal, partisipasi masyarakat menurut Adisasmita (2006) dan Hall (1986) mengandung pengertian adanya keterlibatan, prakarsa dan peran aktif masyarakat. Peran aktif masyarakat idealnya dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan kegiatan bahkan sampai dengan monitoring dan evaluasi kegiatan.

Bahkan Nawir et al. (2008) menyatakan bahwa pelibatan masyarakat seharusnya menjadi dan stimulus partisipasi masyarakat dan pendorong keberhasilan kegiatan rehabilitasi hutan.

Mencermati interaksi badan pelaksana (pengelola keproyekan), kelompok target, kebijakan yang diidealkan dan faktor lingkungan pada program rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin secara umum belum berjalan dengan baik, dalam artian belum ada interaksi secara timbal balik. Smith (1973) menyatakan bahwa implementasi suatu program (termasuk program rehabilitasi hutan lahan basah) akan berjalan dengan baik akan dipengaruhi 4 (empat) variabel yaitu badan pelaksana, kelompok target, kebijakan yang diidealkan

12 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 13

(23)

dan faktor lingkungan. Keempat variabel tersebut akan saling mempengaruhi dan berinteraksi secara timbal balik yang akan mempengaruhi keberhasilan implementasinya.

Aturan terkait kegiatan rehabilitasi secara umum sudah dikonsepsikan dengan baik, tetapi terdapat kendala pada pelaksanaannya. Pendekatan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi yang bersifat keproyekan mengakibatkan pemeliharaan yang tidak memadai pada bibit yang telah ditanam, tidak adanya kontinuitas pendanaan setelah proyek selesai karena tidak adanya mekanisme reinvestasi, tidak ada mekanisme insentif yang jelas bagi masyarakat selain sebagai pemilik faktor produksi terutama tenaga kerja. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan jangka panjang yang baik dan mekanisme yang mampu mengarahkan kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah sebagai kegiatan pembangunan yang utuh dengan skema multiyears.

Juga diperlukan pembagian hak dan tanggung jawab yang jelas antara pemangku kepentingan terkait, terutama pemerintah pusat, pemerintah daerah termasuk dinas kehutanan dan masyarakat.

D. Partisipasi Masyarakat Dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin

Pembangunan merupakan proses partisipasi dan harus dipahami sebagai suatu proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahan berbagai aspek dalam masyarakat (Rogers, 1989). Kegiatan rehabilitasi, seperti halnya kegiatan pembangunan pada umumnya, merupakan proses berdimensi jamak yang melibatkan perubahan berbagai aspek dalam masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah secara sederhana dapat dinyatakan sebagai peranserta sekelompok masyarakat (kelompok tani) dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah meliputi tahapan perencanaan, pelaksanaan, pemafaatan dan evaluasi (Stephens, 1988; Wardjoyo, 1992). Tingkatan partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) digunakan sebagai teori utama untuk membahas partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin, mulai dari perencanaan sampai monitoring dan evaluasi.

Partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan anggaran dalam kategori Arnstein (1969) tergolong sangat rendah (non participation), karena anggaran ditentukan oleh instansi pemerintah. Partisipasi masyarakat dalam pemilihan jenis tanaman dan pola tanam juga rendah (non participation), karena jenis tanaman dan pola tanaman juga ditentukan oleh pengelola proyek rehabilitasi.

Masyarakat menerima dalam bibit siap tanam yang jenis dan polanya sudah ditentukan pengelola proyek. Partisipasi masyarakat yang tergolong tinggi dalam perencanaan lokasi penanaman. Masyarakat berperan aktif dalam penentuan lokasi penanaman, meskipun lokasi rehabilitasi ini merupakan kawasan hutan, tetapi pada kenyataannya sudah diusahakan oleh masyarakat. Masyarakat mampu

12 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 13

(24)

melakukan negosiasi dan berperan sebagai partner dalam penentuan lokasi penanaman, sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat partisipasinya termasuk dalam kategori partnership.

Kegiatan RHL di HL Telang dan HL Pulau Rimau diawali dengan kegiatan sosialisasi. Sosialisasi memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mendengarkan atau mendapatkan informasi mengenai keberadaan HL Telang, dan diajak berkonsultasi mengenai pelibatan masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah. Adanya kegiatan sosialisasi memberikan kesempatan masyarakat berada pada tahapan informing dan consultation yang termasuk dalam tingkat partisipasi sedang (degree of tokenism).

Bentuk partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan RHL berupa penyediaan sumberdaya tenaga kerja, keahlian dan peralatan. Masyarakat, dalam hal ini anggota kelompok tani, merupakan tenaga kerja dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah, mulai dari kegiatan persiapan lahan sampai pemeliharaan tahun berjalan. Sumberdaya berupa keahlian dan peralatan kerja juga digunakan dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah, mulai dari kegiatan persiapan lahan sampai pemeliharaan pada tahun berjalan. Meskipun demikian, terdapat tingkat partisipasi rendah dalam tahapan pembentukan kelompok tani untuk pelaksanaan kegiatan di lapangan. Kelompok tani baru dibentuk oleh pengelola proyek ketika akan dilaksanakan kegiatan RHL, dengan diinisiasi penuh oleh pengelola proyek. Tidak ada peran aktif masyarakat pada tahapan pembentukan kelompok tani.

Partisipasi masyarakat dalam tahap monitoring dan evaluasi kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin tergolong rendah.

Partisipasi masyarakat hanya dalam sampai pelaksanaan kegiatan saja, kegiatan monitoring dan evaluasi dikelola sepenuhnya oleh pengelola proyek. Kegiatan pemeliharaan yang dilakukan pada kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin hanya dilakukan pada tahun berjalan saja karena tidak berlanjutnya pendanaan pada tahun berikutnya.

Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan basah di Kabupaten Banyuasin pada umumnya termasuk dalam kategori partisipasi rendah sampai partisipasi sedang. Meskipun pada penentuan lokasi masyarakat mampu berperan dengan adanya negosiasi pemilihan lokasi rehabilitasi hutan lahan basah, sebenarnya peran ini semu karena lahan yang ditanami masih merupakan kawasan hutan. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin termasuk dalam jenis partisipasi fungsional. Partisipasi dilakukan secara berkelompok untuk mencapai sasaran yang telah ditetapkan, tetapi masyarakat tidak terlibat aktif dalam seluruh tahapan (Arnstein, 1969).

Masyarakat juga belum bisa dinyatakan sebagai mitra dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di KPHL Banyuasin. Kegiatan rehabilitasi hutan

14 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 15

(25)

lahan basah di Kabupaten Banyuasin belum menempatkan masyarakat sebagai mitra karena tidak dipenuhinya prinsip kunci kemitraan yaitu kesetaraan dan keterbukaan. Azas manfaat dirasakan oleh masyarakat, baik dalam bentuk manfaat finansial dari keberadaan kegiatan maupun manfaat perbaikan lingkungan.

Rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin masih bersifat top-down dan masyarakat masih lemah. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi masih sebatas pada pelaksana kegiatan di lapangan dengan partisipasi rendah sampai sedang. Masyarakat belum mampu berpartisipasi dalam tingkatan partisipasi tinggi (partnership, delegated power dan citizen control). Murniati et al., (2008) menyatakan bahwa peran masyarakat setempat masih lemah dibandingkan pemerintah daerah. Perencanaan partisipatif lebih banyak dirancang dengan pendekatan ‘otoriter’ daripada pendekatan partisipatif, terutama unruk kegiatan yang dilaksanakan melalui program DAK-DR.

Partisipasi masyarakat seharusnya mengandung pengertian adanya prakarsa dan peran aktif masyarakat, yang dimulai dari tahapan perencanaan sampai pelaksanaan program, bahkan sampai dengan monitoring dan evaluasi program.

Partisipasi dalam kegiatan rehabilitasi yang bersifat keproyekan seringkali lebih bersifat formalitas tanpa diikuti oleh adanya hak berpendapat dan keterlibatan aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Akibatnya program seringkali program tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, sehingga berdampak bagi keberhasilan program dalam jangka panjang.

Kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di lokasi penelitian belum mampu berperan sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat, karena belum mampu memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat maupun meningkatkan kegiatan ekonomi kelompok sasaran.

Pemberdayaan masyarakat merupakan serangkaian proses dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Proses ini dilakukan dengan melakukan fasilitasi agar masyarakat mampu menganalisis situasi perikehidupan dan masalah-masalahnya, menperoleh pemecahan masalah berdasarkan kemampuan dan keterbatasan yang dimiiki, dan mengembangkan usaha dengan kemampuan dan sumberdaya yang dimiliki. Masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah lebih berperan pasif, menerima program kegiatan saja. Tidak ada proses pemberdayaan sebagai upaya untuk meningkatkan kegiatan ekonomi berbasis kemampuan masyarakat yang digali dari masyarakat sebagai sasaran kegiatan. Idealnya masyarakat difasilitasi untuk berproses untuk mampu menganalisis peluang dan masalah yang ada (terkait dengan kehidupan sehari-hari dan rehabilitasi hutan lahan basah) serta mencari jalan keluar sesuai dengan sumberdaya yang dimiliki.

Pelibatan masyarakat secara aktif dalam setiap tahapan kegiatan dalam rangka rehabilitasi hutan lahan basah dalam jangka panjang akan menjadi kunci

14 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 15

(26)

keberhasilan program rehabilitasi hutan lahan basah. Rehabilitasi hutan lahan basah sebagai suatu kegiatan pembangunan merupakan proses yang melibatkan perubahan berbagai aspek dalam masyarakat. Partisipasi masyararakat merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan program rehabilitasi. Durlack and DuPre (2008) menyatakan bahwa pengambilan keputusan bersama (partisipasi dan kolaborasi) masyarakat akan meningkatkan keberhasilan dalam implementasi suatu program.

Masyarakat mempunyai peran yang penting serta dalam kegiatan rehabilitasi sebagai suatu proses pembangunan, maka seyogyanya berpartisipasi masyarakat ditingkatkan. Masyarakat tidak hanya diposisikan sebagai penerima program/

proyek, tetapi sebagai mitra dimulai dari tahapan perencanaan sampai monitoring dan evaluasi. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah, terutama di dalam kawasan hutan, perlu ada mekanisme yang jelas serta kesepakatan agar pemerintah dan masyarakat dapat memanfaatkan produk yang dihasilkan dari kegiatan rehabilitasi. Hal ini akan menciptakan insentif untuk mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dan menyediakan pendanaan yang berkelanjutan setelah periode proyek rehabilitasi berakhir. Selain itu, juga perlu ditetapkan mekanisme pembagian biaya dan manfaat antara pihak yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi.

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan

Aturan-aturan terkait kegiatan RHL pada umumnya berisi ketentuan umum, perencanaan, tata cara pelaksanaan RHL, pembinaan dan pengendalian, penyelenggaraan RHL. Kegiatan RHL secara umum terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi.

Kajian implementasi pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin pada dasarnya dilaksanakan dengan mengimplementasikan aturan-aturan di dibidang RHL. Aturan yang diimplementasikan antara lain adalah adanya perencanaan dan tahapan kegiatan RHL, pelibatan masyarakat dalam tahapan kegiatan RHL.

Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin termasuk dalam kategori partisipasi rendah sampai partisipasi sedang. Masyarakat juga belum bisa dinyatakan sebagai mitra dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah di Kabupaten Banyuasin karena tidak terpenuhinya azas kesetaraan dan keterbukaan.

Kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah belum mampu berperan sebagai kegiatan pemberdayaan masyarakat, karena belum mampu memberikan dasar tercapainya suasana yang mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat

16 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 17

(27)

maupun meningkatkan kegiatan ekonomi kelompok sasaran. Padahal partisipasi masyararakat merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan program rehabilitasi.

B. Implikasi Kebijakan

Peningkatan partisipasi masyarakat diharapkan akan menjadi pendorong keberhasilan rehabilitasi hutan lahan basah baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah perlu ditingkatkan dengan peningkatan kapasitas masyarakat dan penguatan kelembagaan masyarakat lokal untuk meningkatkan kesejahteraasn masyarakat dan mendukung kegiatan rehabilitasi hutan lahan basah berkelanjutan.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, R. (2006). Pembangunan pedesaan dan perkotaan. Yogyakarta:

Graha Ilmu.

Arnstein, S.R. (1969). A Ladder of Citizen Participation. American Institute of Planners Journal Vol. 35(4) : 216-224.

Barkah, B.S. (2009). Survei vegetasi dan kerusakan hutan rawa gambut areal MRPP. Laporan Kegiatan Merang REED Pilot Project. Palembang.

Bastoni. (2009). Teknik budidaya jenis-jenis pohon lokal hutan rawa gambut.

Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Palembang “Mengenal Teknik Budidaya Jenis-Jenis Pohon Lokal Sumsel dan Upaya Pembangunannya”, 11 Desember 2008. Puslitbang Hutan Tanaman.

Badang Litbang Kehutanan. Bogor.

Bogdan, R.C dan Biklen, S.K. (1982). Qualitative research for education : an introduction to theory and methods. Boston : Allyn and Bacon, Inc.

Craig, G. dan M. Mayo. (1995). Community empowerment : a reader in participation and development. Zed Books. London.

Creswell, J. W. (2008). Educational research. planing, conducting and evaluating qualitative & quantintative approaches. London. Sage Publications.

Dahl, R. (1983). Democracy and its critics. New Haven Conn. Yale University Press.

Daryono, H. (2006). Pengelolaan hutan rawa gambut secara bijaksana dalam rangka menjaga kelestariannya. Dalam Prosiding Seminar Pengelolaan Hutan dan Lahan Rawa Secara Bijaksana dan Terpadu. Palembang 28 Maret 2006. Puslitbang Hutan Tanaman. Badan Litbang Kehutanan.

Departemen Kehutanan. (2009). Statistik kehutanan Indonesia 2008. Departemen Kehutanan. Jakarta.

____. (2014). Siaran Pers Nomor : S.409/PHM-1/2014 Deforestasi Indonesia pada tahun 2011-2012 hanya sebesar 24 ribu hektar.

16 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 17

(28)

Durlak, J. A. and E. P. DuPre. (2008). Implementation matters: a review of research on the influence of implementation on program outcomes and the factors affecting implementation. American Journal of Community Psychol (2008) 41:327–350.

Hall, A. (1986). Community participation, social development and state. London:

Mathuen.

Hooijer, A. M. Silvius. H. Wosten and S. Page. (2006). Peat-CO2 assesment of CO2 emissions from drained peatlands in SE Asia. Delft Hydraulics report Q3943.

Miettinen, J., S. C. Liew. (2010). Status of peatland degradation and development in Sumatra and Kalimantan. Royal Swedish Academy of Sciences. www.

springerlink.com

Murniati, A.A. Nawir, L. Rumboko, dan T. Gumartini. (2008). Tinjauan nasional sejarah dan karakteristik kegiatan rehabilitasi. Dalam Nawir, A.A., Murniati dan L. Rumboko (Eds.). Rehabilitasi hutan Indonesia: akan ke manakah arahnya setelah tiga dasawarsa. CIFOR. Bogor.

Nawir, A.A., Murniati, dan L. Rumboko. (2008). Rehabilitasi hutan Indonesia:

akan ke manakah arahnya setelah tiga dasawarsa. CIFOR. Bogor.

Notoadmodjo, Soekidjo. (2003). Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Jakarta:

PT. Rineka Cipta.

Paul, S. (1987). Community participation in development projects-the World Bank experience. The Washington DC: The World Bank.

Rogers, E. M. (1989). Komunikasi dan pembangunan : memudarnya model dominan. LP3ES. Jakarta.

Silvius, M.J., APJM Steeman, E.T. Berczy, E. Djuharsa, and A.W. Taufik, (1987).

The Indonesian Wetland inventory; a preliminary compilation of information on Wetlands of Indonesia. PHPA-AWB, Bogor, Indonesia.

Smith,T.B. (1973). The policy implementation process. Policy Sciences Vol 4 pp.

197-209. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam.

Stephens, A. (1988). Participatory monitoring and evaluation : handbook for training field workers. Craftsman. Bangkok.

Sumodiningrat, G. (1999). Pemberdayaan masyarakat dan jaringan pengaman sosial. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Tata, H.L. dan S. Pradjadinata. (2013). Regenerasi alami hutan dan lahan rawa gambut terbakar di Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah dan Implikasinya terhadap Konservasi. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol.

10(3) tahun 2013. Bogor.

Van Eijk, P. and P.H. Leenman. (2004). Regeneration of fire degraded peatswamp forest in Berbak National Park and implementation in replanting programmes. Water for Food & Ecosystems Programme Project

18 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 19

(29)

on: “Promoting the river basin and ecosystem approach for sustainable management of SE Asian lowland peatswamp forest”. Case study Air Hitam Laut river basin, Jambi Province, Indonesia. Alterra Green World Research, Wageningen, the Netherlands.

Wardjoyo. (1992). Pendekatan penyuluhan pertanian untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, dalam penyuluhan pembangunan di Indonesia menyongsong abad XXI. A.V.S. Hubeis, P. Tjitropranoto, dan W. Ruwiyanto (Eds.). Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Jakarta.

Wibisono, I.T.C., Labueni Siboro dan I Nyoman N. Suryadiputra. (2005).

Panduan rehabilitasi dan teknik silvikultur di lahan gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor.

Yin, R.K. (2008). Metodologi penelitian studi kasus. Raja Grafindo. Jakarta https://kphlbanyuasin.wordpress.com/2015/02/11/selayang-pandang-kphl-

model-banyuasin/#more-70.

18 Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Hutan Lahan Basah di Kabupaten Banyuasin Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 19

(30)
(31)

Bab 3 Analisis Fluktuasi Curah Hujan dan Debit Aliran DAS Citarum Bagian Hulu

I Wayan S. Dharmawan dan Andi Gustiani Salim Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Jl. Gunung Batu no.5 Po Box 165 Bogor 16610 Jawa Barat, Indonesia;

Telp. 0251-8633234, Fax 0251-8638111 E-mail : a_gustiani@yahoo.com, salifa03@yahoo.co.id

ABSTRAK

Kondisi DAS (Daerah Aliran Sungai) Citarum saat ini sangat memprihatinkan, terutama ekosistem wilyah hulu DAS sudah sangat terganggu menyebabkan berbagai degradasi lingkungan seperti terjadinya pencemaran, erosi, tingginya aliran permukaan (jumlah aliran air yang lolos lebih tinggi daripada jumlah air yang masuk kedalam tanah), banjir dan kekeringan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fluktuasi curah hujan dan debit aliran DAS Citarum Hulu. Rata-rata curah hujan wilayah hulu DAS Citarum periode 2011-2014 sebesar 2.109,6 mm/th. rata-rata curah hujan meningkat pada Bulan November-Desember, kemudian menurun pada bulan Januari dan Februari lalu kembali terjadi peningkatan pada bulan Maret dan April. Musim kemarau terjadi pada bulan Mei-September dengan rata-rata curah hujan kurang dari 150 mm/bln. Semakin tinggi curah hujan maka semakin tinggi pula aliran permukaan. Beda waktu antara puncak curah hujan dan puncak hidrograf aliran hampir bersamaan atau tidak terlalu lama, ini menunjukkan bahwa curah hujan yang jatuh sebagian besar langsung menjadi aliran permukaan. Koefisien aliran permukaan DAS Citarum bagian hulu selama 4 tahun terakhir berkisar antara sedang dan jelek bahkan dua tahun terakhir termasuk jelek, yaitu lebih dari 0,75 artinya lebih dari 75% air hujan tidak terintersepsi dan terinfiltrasi melainkan melimpas di permukaan tanah, selain berpengaruh terhadap rendahnya air hujan yang terinfiltrasi, hal ini juga dapat menyebabkan tingginya erosi, banjir dan kekeringan. Perbandingan debit maksimum dan minimum DAS Citarum bagian hulu termasuk kategori baik, akan tetapi selama 2 tahun terakhir terjadi peningkatan nilai Koefisien Rejim Sungai (KRS). Temuan-temuan tersebut mengindikasikan telah adanya perubahan vegetasi penutup pada DAS maupun perubahan penggunaan lahan yang memengaruhi kondisi hidrologi dalam DAS.

Kata kunci: Curah hujan, DAS Citarum, debit aliran, fluktuasi

21

Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat

(32)

I. PENDAHULUAN

Daerah Aliran Sungai Citarum merupakan salah satu DAS Prioritas Nasional dan sekaligus juga lokasi DAS yang menjadi target kegiatan Gerakan Nasional Kemitraan Penyelamatan Air tahun 2017 (GNKPA 2017). Wilayah DAS ini secara geografis melintasi beberapa kabupaten di Provinsi Jawa Barat mulai dari hulu DAS di Kota/Kabupaten Bandung sampai hilir di Kabupaten Bekasi. Sungai Citarum merupakan salah satu sumberdaya air yang sangat penting keberadaannya bagi kesejahteraan masyarakat Provinsi Jawa Barat dan sekitarnya. Selain dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air baku untuk air minum, pertanian, peternakan, perikanan dan industri juga untuk PLTA wilayah Jawa dan Bali. Ketersediaan air di 3 waduk (Saguling, Cirata dan Jatiluhur) juga sangat bergantung pada kondisi wilayah tangkapan air, utamanya di hulu DAS Citarum. Kondisi DAS Citarum saat ini sangat memprihatinkan, terutama ekosistem wilayah hulu DAS yang sudah sangat terganggu menyebabkan berbagai degradasi lingkungan seperti terjadinya pencemaran, erosi, tingginya aliran permukaan (jumlah aliran air yang lolos lebih tinggi daripada jumlah air yang masuk kedalam tanah), banjir, dan kekeringan. Menurut Maulani, et al.

(2013), wilayah Kabupaten Bandung, kota Bandung dan kota Cimahi memiliki nilai indeks kemiskinan air berturut-turut 38,79; 42,69 dan 38,13 dari skala 100 (paling baik). Dengan kata lain ketiga wilayah tersebut masuk dalam kategori atau dalam kondisi tidak aman.

Banjir dan kekeringan merupakan 2 hal yang kerap terjadi pada DAS-DAS yang telah mengalami kerusakan seperti DAS Citarum. Pada saat musim hujan, terjadi banjir dan di saat musim kemarau terjadi kekeringan atau kekurangan air. Debit aliran merupakan salah satu parameter penting yang perlu diketahui dalam pengelolaan sumberdaya air. Menurut Asdak (2007), debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu (m3/dt). Debit aliran rata-rata tahunan dapat memberikan gambaran potensi sumberdaya air yang dapat dimanfaatkan dari suatu daerah aliran sungai.

Perubahan penggunaan lahan di wilayah hulu DAS menjadi lahan pertanian, permukiman dan industri mengakibatkan semakin berkurangnya hutan sebagai daerah resapan air. Menurut As-syakur, et al. (2008), semakin banyak area DAS terbangun, maka proses resapan air permukaan menjadi air tanah akan terganggu.

Hal ini berkibat pada tingginya aliran permukaan serta debit sungai pada musim hujan yang dapat menyebabkan banjir serta berdampak pada minimnya debit sungai di musim kemarau yang selanjutnya dapat menurunkan kualitas air sungai.

Pertanian lahan kering berupa tanaman hortikultur sangat cocok ditanam pada wilayah dataran tinggi hulu DAS Citarum. Penanaman pada lahan-lahan berkemiringan lereng curam tanpa teknik konservasi tanah dan air menyebabkan

22 Analisis Fluktuasi Curah Hujan dan Debit Aliran DAS Citarum Bagian Hulu Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 23

(33)

tingginya erosi dan aliran permukaan yang terjadi. Menurut Arsyad (2010), konservasi tanah mempunyai hubungan yang erat dengan konservasi air. Setiap perlakuan yang diberikan pada sebidang tanah akan memengaruhi tata air pada tempat itu dan tempat-tempat di hilirnya. Laju total erosi di DAS Sungai Citarum mencapai 21.691.251 ton/tahun dengan nilai sedimentasi sangat tinggi yaitu mencapai 8.465.174 ton/tahun (Kementan, 2015). Pola aktivitas pertanian yang tidak berwawasan lingkungan menjadi penyebab tidak efektifnya peran pertanian dalam menjaga keseimbangan kualitas air (Rahman et al., 2014).

Kualitas air yang menurun, banjir yang meluas ke wilayah permukiman, industri dan wilayah-wilayah lainnya baik di hulu maupun di tengah dan hilir DAS menyebabkan DAS Citarum dalam kondisi yang sangat memprihatinkan.

Menurut Farida dan Van Noordwijk (2004), salah satu fungsi utama dari DAS adalah sebagai pemasok air dengan kuantitas dan kualitas yang baik terutama bagi orang yang di hilir DAS. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui fluktuasi curah hujan dan debit aliran DAS Citarum Hulu. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan dalam pendugaan potensi banjir maupun potensi air di musim kemarau.

II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada tahun 2015, di DAS Citarum bagian hulu yang secara administratif pemerintahan terletak di wilayah kota Bandung, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak di antara 107o 22’ 50.606”LT-107o 56’ 46.297”LT dan 6o 45’ 40.112”LS-7o 14’

27.018”LS. DAS Citarum bagian hulu meliputi 6 sub DAS, yaitu Cikapundung, Cikeruh, Citarik, Cirasea, Cisangkuy dan Ciwidey. Lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 1.

B. Bahan dan Alat

Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data debit, curah hujan, peta penutupan lahan, peta tanah, peta topografi, alat tulis dan data penunjang lainnya.

C. Cara Pengumpulan Data

Data debit yang digunakan berasal dari outlet DAS Citarum Hulu di Stasiun Nanjung. Data debit yang digunakan diturunkan dari data muka air dengan menggunakan persamaan rating curve yang telah ditetapkan. Data curah hujan dan debit yang digunakan adalah data tahun 2011-2014 yang berasal dari Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Provinsi Jawa Barat.

22 Analisis Fluktuasi Curah Hujan dan Debit Aliran DAS Citarum Bagian Hulu Bunga R ampai Pengelolaan Lahan dan Air erkelanjutan dengan Melibatkan Masyarakat 23

Gambar

Tabel 1.  Tangga partisipasi menurut Arnstein
Tabel 2.  Deskripsi kawasan hutan di pantai timur Kabupaten Banyuasin
Gambar 1.  Peta DAS Citarum bagian hulu (Sumber: Analisis peta batas DAS  dan rupa bumi Indonesia, 2015)
Gambar 4.  Grafik hubungan antara curah hujan dan aliran permukaanTabel 1.  Luas penggunaan lahan DAS Citarum bagian hulu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengguna dari masyarakat dapat melihat hasil produksi, produktivitas dan hasil analisis ketahanan pangan tanaman kedelai pada peta yang disajikan sistem tanpa melakukan

Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya Mahkamah Agung Pembinaan Administrasi dan Pengelolaan Keuangan Badan Urusan Administrasi.. 4.767.257.000

Konvensi setengah tahun digunakan dalam perhitungan depresiasi MACRS, artinya semua aset yang digunakan selama tahun tersebut diperlakukan seolah-olah penggunaanyannya dimulai

dikenal secara internasional sebagai salah satu dari sedikit negara Islam yang telah memperkenalkan dan membentuk sistem keuangan Islam. Dimulai dengan proses

melalui pemberitaan antara lain adalah ancaman lingkungan yang tidak ter-cover secara sempurna, kemudian kedua media daring juga memetakan adanya ancaman korupsi yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penerapan permainan Scrabble dalam pembelajaran Bahasa Inggris siswa kelas III Sekolah Dasar, serta untuk mengetahui peningkatan

terhadap return saham pada perusahaan go publik yang terdaftar di Bursa Efek Surabaya untuk periode tahun 2000 sampai dengan 2004, sebagai sampel, karena.. cukup signifikan

Lebih lanjut hasil penelitian Musta’in (2007) menunjukkan bahwa dusun – dusun dalam radius lebih dari 1 km dan kurang dari 1 km dari TPA Ngronggo telah mengalami