• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik mikrohabitat semut M. castanea

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Oryctes rhinoceros

(HYMENOPTERA: FORMICIDAE) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Abstrak

3.3 Hasil dan Pembahasan .1 Koloni semut M. castanea

3.3.2 Karakteristik mikrohabitat semut M. castanea

Hasil pengukuran faktor-faktor lingkungan abiotik yang ada di sarang semut M. castanea yang dieksplorasi di kedua kebun yang berbeda dapat dilihat dalam Tabel 3.2. Rata-rata nilai suhu yang didapatkan selama eksplorasi sarang semut M. castanea pada kebun PTPN adalah 29,7 0C dan pada kebun rakyat adalah 29,1 0C (Lampiran 6). Nilai eksplorasi suhu ini tidak berbeda nyata untuk kedua kebun tersebut. Hal ini disebabkan karena kisaran umur tanaman yang ada di kebun PTPN dan di kebun kelapa sawit rakyat hampir sama yaitu berkisar antara 15–20 tahun. Kebun-kebun kelapa sawit yang berumur diantara 15–20 tahun ini kanopi tanaman sudah saling menutupi sehingga suasana di lingkungan perkebunan menjadi lebih teduh. Kisaran suhu lingkungan selama eksplorasi di lingkungan kebun adalah berkisar antara 28-31 0C (lampiran 3). Interval suhu ini termasuk dalam lingkup optimal suhu yang diinginkan serangga untuk kehidupannya.

Dalam suatu ekosistem suhu dapat mengatur pertumbuhan dan penyebaran hewan yang hidup didalamnya (Wang et al. 2001; Aneni et al. 2012; Cardoso dan Schoereder 2014). Interaksi-interaksi yang terjadi antara berbagai organisme

dalam suatu ekosistem dapat dipengaruhi oleh pengaturan faktor-faktor abiotik ekosistem tersebut (Kersch dan Fonseca 2005).

Tabel 3.2 Nilai rerata faktor lingkungan abiotik sarang semut M. castanea

Indikator Kebun Rakyat Kebun PTPN

Suhu (oC) 29,1±0,994 29,7±0,949

Kelembapan (%) 70,9±2,079 70,0±1,247

pH 6,39±0,368 6,03±0,177

C/N Rasio 69,01±22,860 66,18±12,165

Suhu lingkungan dapat mempengaruhi keberadaan semut. Tiede et al.

(2017) menjelaskan bahwa kelimpahan semut semakin menurun pada lingkungan yang suhunya semakin rendah. Fitzpatrick et al. (2014) menjelaskan bahwa temperatur sangat menentukan dalam aktivitas semut Forelius pruinosus, Crematogaster opuntiae, Solenopsis aurea, dan Solenopsis xyloni, dimana semut-semut ini sangat tertarik pada nektar dari tanaman kaktus Ferocactus wislizeni.

Kehadiran semut-semut ini pada tanaman kaktus tersebut dapat melindungi tanaman dari serangan herbivor. Suhu juga dapat mempengaruhi aktivitas semut dalam mencari makan. Hasil penelitian Clemencet et al. (2010) menjelaskan bahwa ukuran semut pekerja Cataglyphis cursor (Hymenoptera: Formicidae), menentukan tingkat ketahanannya mencari makan di lingkungan yang panas.

Semut pekerja yang ukuran tubuhnya lebih besar lebih tahan terhadap suhu yang lebih tinggi daripada semut pekerja yang ukuran tubuhnya lebih kecil.

Kelembapan merupakan faktor penting yang mempengaruhi penyebaran, aktivitas, dan perkembangan serangga. Pada umumnya serangga memiliki kandungan air dalam tubuhnya sekitar 50-90%, kondisi ini dapat dipertahankan jika kelembapan lingkungan berkisar diantara nilai tersebut (Chong dan Lee

2009). Kondisi lembap pada habitat dapat dipengaruhi oleh kondisi curah hujan, material sarang dan naungan di sekitar habitat (William dan Banks 1989). Semut M. castanea termasuk semut yang menyukai tempat yang lembap untuk membuat sarangnya (Wilson 1971). Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kelembapan mikro habitat semut M. castanea yang didapatkan di kebun kelapa sawit milik PTPN adalah 70,0% dan 70,9% untuk kebun kelapa sawit rakyat.

Hasil ini tidak berbeda nyata untuk kedua kebun tersebut. Sarang-sarang semut yang ditemukan selama proses eksplorasi di kedua kebun kelapa sawit tersebut, sebagian besar ditemukan pada batang-batang kelapa sawit yang batangnya terlihat sedikit basah (lembap), dan semut biasanya ditemukan di bagian bawah batang kelapa sawit yang tumbang dan melapuk tersebut (Gambar 3.2).

Ratnasari (2017) menjelaskan bahwa aktivitas semut Paratrechina longicornis yang menjadi hama pada pemukiman lebih aktif mencari makan pada saat udara lembap (cuaca mendung) daripada udara panas (cuaca cerah). Ronque et al. (2018) yang mengamati aktivitas pada semut Camponotus renggeri dan C.

rufipes yang hidup di daerah savana Brasil menyatakan bahwa aktivitas semut ini sangat dipengaruhi oleh kelembapan yang ada di sekitar sarangnya. Semut-semut ini juga ditemukan hidup dan membuat sarang pada batang-batang kayu yang melapuk.

Hasil pengukuran pH yang didapatkan pada eksplorasi sarang semut di kebun PTPN rata-ratanya adalah 6,03 dan untuk kebun rakyat pH rata-ratanya adalah 6,39. Hasil pengukuran untuk kedua kebun tersebut menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Secara umum, nilai pH yang ada di sarang semut

berada pada kisaran pH netral. Hal ini dinyatakan oleh Elahi (2005) yang mendapatkan nilai pH yang ada di sarang semut Paraponera clavata lebih tinggi

Gambar 3.2 Koloni semut M. castanea.

(6,1) daripada nilai pH tanah yang ada di sekitar sarang (5,8). Hal yang sama juga dijelaskan oleh Frouz dan Jilkova (2008) yang mendapatkan nilai pH beberapa sarang semut seperti Formica rufibarbis, F. pratensis, F. obscuripes, Lasius niger, L. flavus berada pada kisaran nilai pH netral yaitu 6,0-8,0.

Kecepatan dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh perubahan imbangan C/N. Hasil rata-rata perimbangan C/N yang didapatkan di kebun kelapa sawit rakyat adalah 69,01 dan untuk kebun PTPN adalah 66,18 (lampiran 2). Hasil ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata diantara kedua kebun tersebut. Umur tanaman kelapa sawit yang ada di kebun rakyat dan di kebun PTPN yang dieksplorasi dalam penelitian ini relatif sama yaitu berkisar antara 15-20 tahun. Nilai perimbangan C/N yang didapatkan ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi batang kelapa sawit belum sempurna, masih banyak menyisakan bagian-bagian yang berkayu. Batang sawit merupakan bahan berlignoselulosa seperti kayu. Kandungan kimia batang sawit adalah selulosa, hemisellulosa dan lignin. Unsur sellulosa berkisar 20-40%, lignin 23-52%; dan unsur-unsur lainnya (Ridwansyah et al. 2007; Shibata et al. 2008; Hermawan et al. 2014).

Laju dekompososisi (C/N) dipengaruhi oleh air, suhu dan faktor lingkungan lainnya. Dalam proses pelapukan batang sawit, mikroorganisme seperti jamur berperan penting dalam penghancuran lignin dan selulosa.

Penguraian selulosa menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana melibatkan banyak peran enzim dan mikroorganisme (Fadzilah et al. 2017, Fadillah et al.

2008). Hasil penelitian Fadzilah et al. (2017) yang menggunakan jamur-jamur seperti Trametes versicolor dan Schizophyllum commune dapat mempercepat proses dekomposisi batang kelapa sawit. Jamur Phanerochete chrysosporium merupakan jamur yang berperan penting dalam proses pelapukan kayu (Fadillah et al. 2008).

Proses penguraian selulosa menjadi senyawa-senyawa gula yang lebih sederhana inilah diduga yang mengundang semut untuk membuat sarang di batang-batang kayu yang melapuk. Zat gula ini sangat dibutuhkan dalam kehidupan semut. Untuk semut-semut yang mikrohabitatnya di pohon (arboreal), sering ditemukan koloni semut tersebut bersimbiosis dengan kutudaun, dimana kutu-kutu ini bisa menyediakan embun madu yang dibutuhkan semut untuk kehidupannya. Rasio C/N yang terlalu rendah menunjukkan proses pelapukan yang sudah lanjut, yang berimplikasi pada penurunan degradasi selulosa dan penurunan senyawa gula yang dibutuhkan semut.