• Tidak ada hasil yang ditemukan

(HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "(HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)BIOEKOLOGI Myopopone castanea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros Linn. (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE). DISERTASI. OLEH: WIDIHASTUTY NIM : 148104004. PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020. Universitas Sumatera Utara.

(2) BIOEKOLOGI Myopopone castanea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros Linn. (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE). DISERTASI. Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam Program Doktor Ilmu Pertanian pada Program Pascasarjana Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. OLEH: WIDIHASTUTY NIM : 148104004 Program Doktor (S3) Ilmu Pertanian. PROGRAM STUDI DOKTOR ILMU PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2020. Universitas Sumatera Utara.

(3) LEMBAR PENGESAHAN DISERTASI Judul Disertasi. Bioekologi Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) Sebagai Pemangsa Larva Kumbang Tanduk Orycles rhinoceros Linn. (Coleoptera: Scarabaeidae). Nama Mahasiswa. Widihastuty. NIM. 148104m4. Program Studi. Doktor (S3) Ilmu Pertanian Menyetujui Komisi Pembimbing. Co.Promotor. Tanggal. Lulus;. Co-Promotor. 13. Januari2020. Universitas Sumatera Utara.

(4) Diuji pada Ujian Disertasi Terbuka (Promosi Doktor) Tanggal: 03 September 2020. PANITIA PENGUJI DISERTASI Pemimpin Sidang: Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum. (Rektor USU). Ketua : Prof. Dr. Dra. Maryani Cyccu Tobing, M.S. Anggota : Dr. Ir. Marheni, M.P. Prof. Dr. Ir. Retna Astuti Kuswardani, M.S. Dr. Suputa Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S.. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara Universitas Medan Area Universitas Gadjah Mada Universitas Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara.

(5) PER}IYATAAN BIOEKOL OGI Myapapone castcnea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PE.MANGSA TARVA KUMBANG TANDUK Ory ctes r hinaaetos Linn. (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) Dengan. ini penulis menyatakan bahwa diseftasi ini. sebagai syarat untuk. memperoleh gelar Doktor pada Prograrn Studi Doktor (S3) Ilmu Pertanian pada program Pascasarjana Fakultas Fertanian Universitas Sumatera Utara adalah benar merupakan hasil karya penulis sendiri, Adapun pengutipan-pengutipan yang penulis. lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan disertasi ini, telah penulis canrtumkan surnbernya secara jelas sezuai dengan nomna, kaidah dan etika penulisan ilmiah.. Apabila di kemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian disertasi. ini. bukan hasil karya penulis sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian. tertentu, penulis bersdia menerima sanlffi pencabutan gelar akadennik yang penulis. sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.. Medan,. September 2020. Universitas Sumatera Utara.

(6) i. SUMMARY WIDIHASTUTY. BIOECOLOGY Myopopone castanea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) AS A PREDATOR FOR LARVAE OF COCONUT RHINOCEROS BEETLE Oryctes rhinoceros Linn (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) under the supervision of M. CYCCU TOBING, as promotor, MARHENI and RETNA ASTUTI KUSWARDANI, as co-promotor Oil palm is a superior plantation crop in Indonesia. Oryctes rhinoceros Linnaeus (Coleoptera: Scarabaeidae) is one of the pests that attack oil palm plants, especially young plants. The policy of the plantation management that entered empty fruit bunches from palm oil processing into productive plant and laying the waste with more than one layer, made the place a breeding site for the O. rhinoceros beetle in the of productive plant. Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) is one of the natural enemies (predators) of the pre-adult stage of the O. rhinoceros beetle. In oil palm plantations, these ants live in oil palm trunks that have fallen and decay. Pre-adult of O. rhinoceros lives in oil palm trunks that have decayed too, there are similarity of a niche between the M. castanea and O. rhinoceros ants opens the opportunity to utilize and optimize the role of M. castanea ants as biological agents for the immature stage of O. rhinoceros. But the information about M. castanea ants is still very less, therefore this study aims to explore information about some aspects of the biology and ecology of M. castanea ants so that this information can be used to control pests that are more environmentally friendly The study was conducted from December 2016 to July 2018. Research in the laboratory was conducted in the plant pest laboratory of the Faculty Agriculture, Universitas Sumatera Utara Medan, and field research was conducted in the Adolina PTPN 4 plantation Perbaungan, Serdang Bedagai Regency and smallholder oil palm plantations in Tanah Merah Village, South Binjai District, Binjai City. The results showed that colonies of M. castanea ants found in the smallholder oil palm plantations and PTPN's varied in the size and number of stages of their development. The mean abiotic factors in the microhabitat of M. castanea ant in the PTPN plantation (t = 29.7 0C, Rh = 70%, pH = 6.03 and C / N ratio = 66,18%), while the mean for smallholder plantation (t = 29.1 0C, Rh = 70.9, pH = 6.39 and C / N ratio = 69,01%) and the volatile compounds from the GC-MS analysis for M. castanea wood nest are mostly hydrocarbons. Hydrocarbon compounds play an important role in ant communication systems. The results about the some aspects of biology M. castanea ant found that the eggs were white and oval shaped, the length of the egg stage was 13.8 days. M. castanea ant larvae consist of 5 instars with varying lengths of each stage. Stadia pupae was passed for 17.2 days for pupae workers and 17.9 days for female ant pupae. Average of survival of M. castanea ants completing their life cycle from egg stage to adult was 56.4%. The prey ability of M. castanea in the laboratory showed that 100% mortality of 1st and 2nd instar of O. rhinoceros larvae. Universitas Sumatera Utara.

(7) ii. achieved on the fifth days after exposure, whereas the third larvae prey reached mortality 100% on the seven day after application. The predation on the field for the young plants (immature plants) in PTPN 4 Adolina showed that M. castanea can prey average of 2.8 individuals larvae (46.87%) in a five day exposure and for productive plants at smallholders plantation can prey 3.0 individuals larvae (50.3%). Preference tests on prey instar larvae showed that M. castanea ants preferred to prey on 1st and 2nd instar larvae of O. rhinoceros than third instar if all stages of instar prey were present as feed. The results of functional response studies showed that the ability prey of M. castanea ants changes according to prey density. The ability to prey on low density (5 individuals) was statistically different with high prey density (14 individuals). The results of the functional response type research, M. castanea ants are classified as type II, where predators belonging to this type are usually effective in controlling prey at low densities.. Universitas Sumatera Utara.

(8) iii. RINGKASAN WIDIHASTUTY. BIOEKOLOGI Myopopone castanea Smith (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros Linn (COLEOPTERA: SCARABAEIDAE) (dibawah bimbingan M. CYCCU TOBING, sebagai Promotor, MARHENI dan RETNA ASTUTI KUSWARDANI, sebagai Copromotor). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan unggulan di Indonesia. Kumbang tanduk Oryctes rhinoceros Linnaeus (Coleoptera: Scarabaeidae) adalah salah hama yang menyerang tanaman kelapa sawit, khususnya tanaman yang masih muda. Adanya kebijakan pihak perkebunan yang memasukkan tandan kosong hasil pengolahan kelapa sawit ke kebun-kebun TM dan peletakan limbah tersebut yang lebih dari 1 lapis, membuat tempat tersebut menjadi tempat perkembangbiakan (breeding site) kumbang O. rhinoceros di kebun-kebun TM. Semut Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) adalah salah satu musuh alami (predator) untuk stadium pradewasa kumbang O. rhinoceros. Di perkebunan kelapa sawit, semut ini hidup di batang-batang kelapa sawit yang telah tumbang dan melapuk. Stadia pradewasa O. rhinoceros hidup di batang-batang kelapa sawit yang telah melapuk juga. Adanya kesamaan relung (niche) antara semut M. castanea dan O. rhinoceros membuka peluang untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan peran semut M. castanea sebagai agens hayati untuk stadium predewasa O. rhinoceros. Tetapi informasi tentang semut M. castanea ini masih sangat sedikit, oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk menggali informasi tentang beberapa aspek-aspek biologi dan ekologi semut M. castanea sehingga informasi yang didapatkan nanti dapat memperkaya keilmuan dan menjadi landasan dalam pengendalian hama O. rhinoceros yang lebih ramah lingkungan. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2016 sampai dengan Juli 2018. Penelitian di laboratorium dilakukan di laboratorium Hama Tanaman Fakuktas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dan penelitian lapangan dilakukan di kebun Adolina PTPN 4 Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai dan kebun kelapa sawit rakyat di Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Binjai Selatan Kota Binjai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semut M. castanea yang ditemukan di perkebunan kelapa sawit rakyat dan kebun PTPN bervariasi dalam ukuran jumlah anggota koloninya dan tahapan stadium perkembangannya. Rerata faktorfaktor abiotik yang ada di mikro habitat semut M. castanea di kebun PTPN (t = 29,7 0C, Rh = 70%, pH = 6,03 dan rasio C/N = 66,18% ), sedangkan rerata untuk kebun rakyat (t = 29,1 0C, Rh = 70,9%, pH = 6,39 dan rasio C/N = 69,01% ), dan senyawa volatile hasil analisis GC-MS dari batang kelapa sawit yang melapuk yang merupakan sarang semut M. castanea didominasi oleh senyawa-senyawa hidrokarbon. Senyawa-senyawa hidrokarbon memegang peranan yang penting dalam sistem komunikasi semut. Penelitian tentang biologi semut M. castanea didapatkan bahwa telur berwarna putih dan berbentuk lonjong, lama stadium telur. Universitas Sumatera Utara.

(9) iv. adalah 13,8 hari. Larva semut M. castanea terdiri dari 5 instar dengan lama masing-masing stadium yang bervariasi. Stadium pupa dilalui selama 17,2 hari untuk pupa semut pekerja dan 17,9 hari untuk pupa semut betina. Tingkat keberhasilan semut M. castanea menyelesaikan daur hidupnya dari stadium telur hingga menjadi imago sebesar 56,4%. Kemampuan memangsa semut M. castanea di laboratorium mampu memangsa 6 ekor larva instar 1 dan 6 ekor larva instar 2 O. rhinoceros (100%) 5 hari setelah pemaparan, sedangkan untuk memangsa 6 ekor mangsa larva instar 3 (100%), membutuhkan waktu 7 hari setelah pemaparan mangsa. Kemampuan memangsa semut M. castanea di lapangan selama 5 hari pemaparan mangsa rata-rata adalah sebesar 2,8 ekor (46,87%) dari 6 ekor larva instar 2 yang diumpankan untuk kebun TBM, dan 3,0 ekor (50,3%) dari 6 ekor mangsa yang diumpankan untuk kebun TM. Uji preferensi terhadap larva instar mangsa yang dilakukan menunjukkan hasil bahwa semut M. castanea lebih memilih memangsa larva instar 1 dan 2 O. rhinoceros daripada mangsa larva instar 3 bila semua tahapan instar mangsa hadir sebagai pakan. Hasil penelitian tanggap fungsional menunjukkan bahwa kemampuan memangsa semut M. castanea berubah menurut kepadatan mangsa. Kemampuan memangsa pada kepadatan rendah (5 ekor) berbeda secara statistik dengan kepadatan mangsa tinggi (14 ekor). Dari hasil penelitian tipe tanggap fungsional, semut M. castanea tergolong tipe II, dimana predator yang tergolong pada tipe ini biasanya efektif mengendalikan mangsa pada kepadatan rendah.. Universitas Sumatera Utara.

(10) v. RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 21 Mei 1970. Ayah bernama Drs. H. Suardi Taswi SE, MM dan ibu bernama Hj. Zuraidar. Penulis merupakan anak kedua dari tujuh bersaudara, menikah tahun 2002 dengan Ir. Mohammad Iqbal, M.Si dan dikaruniakan dua orang putra: Mohammad Farhan Alraziq (2005) dan Arief Haikal Hidayatullah (2007). Penulis lulus Sekolah Dasar pada SD Negeri 010083 Kisaran, Kabupaten Asahan tahun 1983, lulus Sekolah Menengah Pertama pada SMP Negeri 2 Kisaran pada tahun 1986, lulus Sekolah Menengah Atas pada SMA Negeri 1 Kisaran tahun 1989, lulus Sarjana Pertanian tahun 1994 pada jurusan Hama Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan, dan lulus Magister Sains Entomologi tahun 2001 dari Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2008-2018, menjadi dosen Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Dian Nusantara Medan. Tahun 2019 sampai dengan saat ini menjadi dosen di Program Studi Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara Medan. Penulis mengikuti Pendidikan Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara sejak tahun 2014 atas biaya Beasiswa Pendidikan Pascasarjana Dalam Negeri (BPPDN) Ristek Dikti.. Universitas Sumatera Utara.

(11) vi. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan karya ilmiah disertasi ini dengan judul “Bioekologi Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) sebagai pemangsa larva kumbang tanduk Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)”. Selama melakukan studi, penelitian dan penulisan disertasi, penulis banyak mendapatkan bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada : 1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara. 2. Bapak Dr. Ir. Hasanuddin M.S., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara. Bapak Prof. Ir. Edison Purba, Ph.D dan Dr. Lisnawita S.P., M.Si., selaku 3. Ketua dan Sekretaris Program Studi Ilmu Pertanian Pascasarjana USU. 4. Ibu Prof. Dr. Dra. M. Cyccu Tobing, M.S., selaku Promotor dan Dr. Ir. Marheni, M.P. serta Prof. Ir. Dr. Retna Astuti Kuswardhani M.S., selaku copromotor. 5. Bapak Dr. Suputa dan Prof. Dr. Ir. Darma Bakti, M.S., selaku dosen penguji luar komisi. Kemenristek Dikti yang telah memfasilitasi studi ini melalui pembiayaan 6. BPPDN. 7. Bapak Dr. Agussani, M.A.P., selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan. 8. Ir. Asritanarni Munar, M.P., selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, Medan. Suami tercinta Ir. Mohammad Iqbal, M.Si dan anak-anakku tersayang 9. Mohammad Farhan Alraziq dan Arief Haikal Hidayatullah, yang telah banyak mendukung penulis untuk menyelesaikan pendidikan ini. 10. Jajaran civitas akademik Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, yang telah banyak memberikan supportnya. 11. Kepala Laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian USU, Ir. Suzanna Sitepu, MS yang telah memfasilitasi penelitian di laboratorium. 12. Manajer kebun Adolina PTPN 4, Bapak Anto dan Joko yang banyak membantu penulis selama melakukan penelitian di lapangan. 13. Teman-teman sesama mahasiswa Program studi Ilmu Pertanian Pasca sarjana USU yang selalu memberikan semangat dan dukungan selama sudi dan penyelesaian disertasi ini. 14. Semua pihak yang telah membantu penulis baik selama masa kuliah, penelitian dan penyelesaian disertasi yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan terima kasih banyak, semoga Allah SWT membalas semua kebaikan yang telah diberikan.. Universitas Sumatera Utara.

(12) vii. Akhirnya penulis berharap, semoga karya tulis ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.. Medan,. September 2020. Widihastuty. Universitas Sumatera Utara.

(13) viii. DAFTAR ISI SUMMARY. i. RINGKASAN. iii. RIWAYAT HIDUP. v. KATA PENGANTAR. vi. DAFTAR ISI. viii. DAFTAR GAMBAR. x. DAFTAR TABEL. xii. DAFTAR LAMPIRAN. xiii. I. II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian. 1 4 7 7. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi O. rhinoceros 2.2 Bioekologi M. castanea 2.3 Perilaku semut mencari makan 2.4 Peranan semut dalam pengendalian hayati. 12 16 19 23. III. EKSPLORASI KEBERADAAN SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Abstrak 32 Pendahuluan 33 Bahan dan metode 35 Hasil dan pembahasan 36 Kesimpulan 46. IV. BIOLOGI SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) SEBAGAI PEMANGSA LARVA KUMBANG TANDUK Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) Abstrak 52 Pendahuluan 53 Bahan dan metode 55 Hasil dan pembahasan 57 Kesimpulan 65. Universitas Sumatera Utara.

(14) ix. V. VI. PEMANGSAAN SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP LARVA Oryctes rhinoceros Linn (Coleoptera: Scarabaeidae) Abstrak Pendahuluan Bahan dan metode Hasil dan pembahasan Kesimpulan. 69 70 72 75 81. PREFERENSI INSTAR MANGSA SEMUT Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP LARVA Oryctes rhinoceros Linn (Coleoptera: Scarabidae) Abstrak Pendahuluan Bahan dan metode Hasil dan pembahasan Kesimpulan. 85 86 89 91 98. VII TANGGAP FUNGSIONAL SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) TERHADAP Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) Abstrak Pendahuluan Bahan dan metode Hasil dan pembahasan Kesimpulan. 101 102 105 107 114. VIII PEMBAHASAN UMUM. 118. IX. 124. KESIMPULAN DAN SARAN. DAFTAR PUSTAKA. 127. LAMPIRAN. 145. Universitas Sumatera Utara.

(15) x. DAFTAR GAMBAR. No. Judul. Hal. 1.1. Kerangka Konseptual Penelitian. 8. 2.1. Siklus Hidup Oryctes rhinoceros. 13. 2.2. Kepala semut M. castanea. 17. 3.1. Sarang semut M. castanea di perkebunan kelapa sawit. 36. 3.2.. Koloni semut M. castanea. 43. 3.3. Senyawa volatile hasil analisa GC-MS dari serbuk kayu Sarang semut M. castanea. 46. 4.1. Siklus hidup semut M. castanea. 57. 4.2. Kelompok telur semut Myopopone castanea. 58. 4.3. Stadium larva semut M. castanea. 59. 4.4. Pupa semut M. castanea. 61. 4.5. Perbedaan ukuran pupa semut pekerja dan semut betina. 62. 4.6. Imago semut M. castanea. 63. 5.1. Perlakuan pemangsaan semut M. castanea di laboratorium. 73. 5.2. Perlakuan pemangsaan semut M. castanea di lapangan. 74. 5.3. Gejala pemangsaan semut M. castanea terhadap larva mangsa. 75. 5.4. Perilaku memangsa semut M. castanea terhadap larva O. rhinoceros. 76. Persentase mortalitas masing-masing instar mangsa O. rhinoceros akibat pemangsaan oleh semut M. castanea. 77. Persentase pemangsaan semut M. castanea di kebun TM dan TBM. 79. 5.5. 5.6. Universitas Sumatera Utara.

(16) xi. Preferensi instar mangsa semut M. castanea pada uji tanpa Pilihan (no choice test). 92. Preferensi instar mangsa semut M. castanea pada uji Pilihan (choice test). 92. 6.3. Nilai indeks preferensi M. castanea pada uji tanpa pilihan. 96. 6.4. Nilai indeks preferensi M. castanea pada uji pilihan. 96. 7.1. Kemampuan memangsa M. castanea pada berbagai kerapatan Mangsa selama 6 jam pemaparan. 108. Kemampuan memangsa semut M. castanea selama jam Pengamatan. 108. 6.1. 6.2. 7.2. Universitas Sumatera Utara.

(17) xii. DAFTAR TABEL No. Judul. Hal. 3.1. Koloni semut M. castanea yang ditemukan di kedua lokasi perkebunan kelapa sawit. 37. Nilai rerata faktor lingkungan abiotik sarang semut M. castanea. 41. 4.1. Deskripsi kelompok telur semut M. castanea. 58. 4.2. Lama stadium larva dan ukuran larva semut M. castanea. 60. 4.3. Tingkat survival semut M. castanea dari telur hingga menjadi imago. 64. Laju pemangsaan semut M. castanea pada berbagai kerapatan mangsa larva instar 2 O. rhinoceros. 112. Tipe tanggap fungsional semut M. castanea pada berbagai Kerapatan mangsa berdasarkan analisis regresi dan nilai R2. 114. 3.2. 7.1. 7.2. Universitas Sumatera Utara.

(18) xiii. DAFTAR LAMPIRAN. No. Judul. Hal. 1. Bukti hasil identifikasi semut dari LIPI Bogor. 146. 2. Hasil analisis rasio C/N. 147. 3. Data suhu dan kelembaban dari BMKG. 149. 4. Data curah hujan kebun Adolina PTPN 4 tahun 2018. 150. 5.. Izin penggunaan foto siklus hidup Oryctes rhinoceros. 151. 6.. Hasil Pengukuran lingkungan abiotik sarang semut M. castanea. 152. 7.. Data pemangsaan M. castanea di lapangan. 153. 8.. Data pemangsaan M. castanea di laboratorium. 154. Universitas Sumatera Utara.

(19) 1. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit termasuk tanaman daerah tropis, umumnya dapat tumbuh di daerah antara 120 lintang utara sampai dengan 120 lintang selatan pada ketinggian 0-500 m dpl, dengan curah hujan optimal antara 2000-2500 mm/tahun yang merata sepanjang tahunnya. Lama penyinaran matahari yang optimum antara 5-7 jam/hari dan suhu optimum berkisar 24-380 C (BBPPTP, 2008). Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia pada akhir tahun 2018 menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 12,76 juta ha dan menghasilkan 36,59 juta ton CPO. Luas areal menurut status pengusahaannya milik rakyat (perkebunan rakyat) seluas 5,70 juta ha dengan produksi 14 juta ton, perkebunan negara seluas 0,64 juta ha dengan produksi 2,10 juta ton, sedangkan perkebunan swasta dengan luas 6,05 juta ha dan produksi 20,49 juta ton. Pada tahun 2013 total volume ekspor produksi CPO (Crude Palm Oil) Indonesia mencapai 22,22 juta ton dengan total nilai sebesar US$ 17,14 milyar, meningkat menjadi 29,07 juta ton pada tahun 2017 dengan total nilai sebesar US$ 20,72 milyar. Pertumbuhan produksi CPO Indonesia yang begitu cepat membuat Indonesia menjadi produsen CPO terbesar dunia sejak tahun 2006 menggeser posisi Malaysia (Ditjen Perkebunan, 2018). Berbagai kendala muncul dalam pengelolaan tanaman kelapa sawit antara lain adalah adanya serangan serangga hama. Hama-hama yang sering ditemukan menyerang tanaman kelapa sawit antara lain ulat pemakan daun kelapa sawit (UPDKS) yang terdiri dari ulat kantung (Clania sp., Metisa plana, Mahasena. Universitas Sumatera Utara.

(20) 2. corbetti dan Crematosphisa pendula) dan ulat api (Setora nitens, Darna trima, Ploneta diducta) (BBPPTP, 2008). Selain hama-hama ulat pemakan daun tersebut,. kumbang. Oryctes. rhinoceros. (Coleoptera:. Scarabaeidae). juga. menyerang tanaman kelapa sawit. Serangga ini merupakan hama penting pada tanaman kelapa sawit dan umumnya menyerang tanaman kelapa sawit yang masih muda. Hama ini biasanya menyerang pucuk tanaman kelapa sawit hingga ke titik tumbuh. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama hingga 60% dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25% (Buana et al. 2006). Areal tanaman yang banyak terserang mengakibatkan pengurangan produksi sekitar 0,2–0,3 ton/ha selama 18 bulan panen tahun pertama (Sudharto et al. 2006). Kumbang dewasa memakan tajuk tanaman dengan menggerek melalui pangkal batang sampai pada titik tumbuh. Daun yang telah membuka memperlihatkan bentuk seperti huruf V terbalik atau karakteristik potongan serrate, gejala ini khas merupakan gejala serangan kumbang tanduk. Tanaman yang sama dapat diserang oleh satu atau lebih kumbang sedangkan tanaman yang didekatnya mungkin tidak diserang. Serangan yang berkali-kali pada tanaman dapat menyebabkan kematian dan menjadi rentan masuknya kumbang Rhyncoporus bilineatus (Coleoptera: Curculionidae), dan mikroorganisme lain yang dapat menyebabkan penyakit pada tanaman (Manjeri et al. 2014). Kerusakan tanaman yang ditimbulkan oleh kumbang O. rhinoceros ini khususnya di areal peremajaan kelapa sawit menjadi meningkat karena banyaknya tumpukan bahan organik yang sedang mengalami proses pembusukan dan. Universitas Sumatera Utara.

(21) 3. menjadi tempat perkembangbiakan hama ini. Imago O. rhinoceros meletakkan telurnya di tumpukan bahan-bahan organik, larva hidup dan berkembang hingga menjadi imago di tumpukan bahan organik tersebut (Bedford 2013; Indriyanti et al. 2017; Nuriyanti et al. 2016). Mulsa tandan kosong kelapa sawit yang diberikan lebih dari satu lapis pada sistem lubang tanam besar pada perkebunan kelapa sawit, membuat hama ini juga menjadi persoalan pada tanaman yang sudah menghasilkan (TM). Tandan kosong kelapa sawit dan onggokan batang kelapa sawit ini menjadi media perkembangbiakan O. rhinoceros (Susanto et al. 2005). Pengendalian hama O. rhinoceros yang paling diandalkan adalah dengan menggunakan insektisida kimia. Pemakaian insektisida kimia sudah mulai dikurangi penggunaannya karena tuntutan program RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil). Program ini bertujuan agar minyak kelapa sawit bebas dari bahan kimia yang merugikan termasuk insektisida kimia. Pengendalian menggunakan insektisida membutuhkan biaya yang cukup mahal, oleh karena itu pengendalian hayati dengan menggunakan entomopatogenik Metarhizium anisopliae (Gopal et al. 2006; Moslim et al. 1999), Baculovirus oryctes ((Huger 2005; Ramle et al. 2005), dan serangga predator (Marheni 2012) merupakan alternatif pengendalian yang tepat untuk mengendalikan hama O. rhinoceros. Marheni (2012) mendapatkan bahwa semut Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) sebagai predator bagi larva O. rhinoceros. Semut ini memakan larva bahkan pupa O. rhinoceros. Semut predator ini dikenal sebagai predator obligat terhadap arthropoda, dan mencari makan di tanah, sampah daun atau kayu yang membusuk. Semut M. castanea menyerang mangsanya dengan. Universitas Sumatera Utara.

(22) 4. cara menyengat dan menggigitnya hingga mati, lalu menghisap cairan hemolimf mangsanya sampai tinggal bagian kutikulanyanya saja bahkan dapat memakan tubuh larva (Marheni 2012; Junaedi et al. 2014; Rini susanti 2016; Widihastuty et al. 2018). Informasi yang tersedia mengenai semut predator ini masih sangat sedikit sekali. Oleh karena itu, perlu digali informasi-informasi terkait keberadaan semut ini di perkebunan kelapa sawit dan aspek-aspek bioekologinya, perilaku pemangsaan dan kemampuan memangsa semut M. castanea terhadap O. rhinoceros pada tanaman kelapa sawit agar dapat memberikan kontribusi sebagai agens hayati dalam upaya pengendalian hama O. rhinoceros yang lebih ramah lingkungan dan mendukung keberlanjutan pertanaman kelapa sawit.. 1.2 Rumusan Masalah Hama O. rhinoceros pada awalnya hanya memakan dan merusak tanaman kelapa sawit yang masih muda dan berumur sekitar 1-2 tahun, atau hanya menyerang pada kebun-kebun yang tanamannya belum menghasilkan (TBM). Pada saat sekarang ini hama O. rhinoceros juga mulai menimbulkan permasalahan pada kebun-kebun yang menghasilkan (TM). Peningkatan serangan O. rhinoceros pada kebun-kebun yang menghasilkan (TM) disebabkan karena tindakan manajemen perkebunan yang memasukkan dan meletakkan tandan kosong kelapa sawit (TKS) ke dalam kebun lebih dari satu lapis sehingga menyebabkan tempat ini menjadi tempat perkembangbiakan (breeding site) bagi O. rhinoceros. Pada kebun-kebun yang sudah tua, serangan akibat O. rhinoceros membuat pihak perkebunan melakukan tindakan peremajaan kebun menjadi lebih cepat (Susanto dan Brahmana 2008).. Universitas Sumatera Utara.

(23) 5. Serangan hama ini pada tanaman memperlihatkan ciri yang khas, yaitu daun yang telah membuka berbentuk seperti huruf V terbalik. Serangan pada tanaman yang masih muda dapat menurunkan hasil hingga 60% pada tahun pertama dan bahkan dapat menimbulkan kematian pada tanaman muda (Buana et al. 2006). Berbagai teknik pengendalian dilakukan oleh perusahaan perkebunan dalam mengendalikan serangan O. rhinoceros seperti penggunaan feromon (Kamarudin et al. 2007; Ragoussis et al. 2007), pengutipan larva (handpicking) dan penggunaan insektisida. Penggunaan feromon sangat baik untuk mengurangi dan menurunkan populasi hama walaupun berbiaya mahal (Lukmana dan Alamudi 2017) sedangkan penggunaan insektisida carbofuran dan cypermetrin berdampak terhadap lingkungan (Bedford 2014). Silaban (2016) melaporkan bahwa biaya yang dikeluarkan oleh perkebunan PTPN IV afdeling III Kebun Laras Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara dengan luasan kebun sekitar 94 ha untuk mengendalikan hama O. rhinoceros dengan insektisida kimiawi dalam kurun waktu 2015-2016 mencapai Rp 240.498.596. Oleh karena itu pengendalian O. rhinoceros difokuskan pada tindakan preventif yaitu dengan melakukan pengendalian pada tingkat pradewasa dari hama tersebut dengan berbagai cara yaitu dengan menghilangkan dan meminimalkan tempat perkembangbiakan (breeding site), mengumpulkan larva dan pupa, pemanfaatan musuh-musuh alami O. rhinoceros serta mengeluarkan kumbang dari lubang gerekan ( Cahyasiwi et al. 2010; Susanto et al. 2010). Produk olahan kelapa sawit harus terbebas dari kandungan zat kimia yang berbahaya seperti tuntutan program RSPO, oleh karena itu pengendalian hama. Universitas Sumatera Utara.

(24) 6. yang menggunakan insektisida kimia harus dikurangi. Mahalnya biaya pengendalian kimiawi dan dampak negatif yang ditimbulkannya dalam pengendalian hama O. rhinoceros, membuka peluang pengendalian hayati sebagai alternatif pengendalian yang lebih ramah lingkungan untuk mengendalikan populasi O. rhinoceros. Pemanfaatan pengendalian hayati untuk O. rhinoceros saat ini kebanyakan adalah dengan memanfaatkan entomopatogen seperti virus Baculovirus oryctes dan jamur Metarhizium anisoplia, walaupun daya patogenitasnya di lapangan belum optimal dalam mengendalikan O. rhinoceros (Gopal et al. 2006). Marheni (2012) mendapatkan semut M. castanea sebagai predator bagi O. rhinoceros. Semut ini memangsa hama pada stadia larva maupun pupa. Di perkebunan kelapa sawit, semut ini hidup di batang-batang kelapa sawit yang tumbang dan melapuk. Stadia pradewasa O. rhinoceros juga hidup dan berkembang di batang-batang kelapa sawit yang melapuk. Adanya kesamaan relung tempat hidup antara semut M. castanea dan stadia pradewasa O. rhinoceros membuka peluang bagi semut M. castanea menjadi agens hayati yang berpotensi untuk dapat menekan perkembangan hama O. rhinoceros, tetapi informasi mengenai semut predator ini masih sedikit sekali. Oleh karena itu berbagai kajian yang terkait keberadaan semut M. castanea seperti bioekologi, kemampuan memangsa, preferensi pemangsaan, tanggap fungsional semut predator ini perlu dilakukan untuk mendukung program RSPO (Rountable Sustainable Palm Oil) dan memberikan landasan pengelolaan hama O. rhinoceros pada perkebunan kelapa sawit.. Universitas Sumatera Utara.

(25) 7. 1.3 Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi dan pengetahuan dasar tentang semut predator M. castanea. 1. Mengeksplorasi keberadaan semut M. castanea di perkebunan kelapa sawit dan memahami karakteristik mikro habitatnya. 2. Mengetahui biologi semut M. castanea pada mangsa O. rhinoceros. 3. Mengetahui dan mendapatkan kemampuan memangsa M. castanea pada larva O. rhinoceros di laboratorium dan di lapangan. 4. Mengetahui preferensi mangsa dan tanggap fungsional semut M. castanea pada mangsa O. rhinoceros.. 1.4 Manfaat Penelitian Informasi dan pengetahuan yang terkumpul tentang bioekologi dan potensi semut predator diharapkan dapat memperkaya informasi yang telah ada tentang semut predator M. castanea dan. memberikan landasan penyusunan strategi. pengelolaan hama O. rhinoceros pada tanaman kelapa sawit.. Universitas Sumatera Utara.

(26) 8. KERANGKA KONSEPTUAL PENELITIAN PERUMUSAN MASALAH     . Kumbang tanduk O. rhinoceros merupakan hama utama pada tanaman kelapa sawit. Sebelumnya hanya bermasalah pada kebun TBM, sekarang juga menjadi masalah pada kebun TM Timbulnya kekhawatiran terhadap dampak buruk penggunaan pestisida Mencoba melakukan pengendalian dengan memanfaatkan musuh alami serangga predator M. castanea Perlunya mempelajari bioekologi dan kapasitas pemangsaan serangga predator terhadap hama kumbang O.rhinoceros. KHASANAH PENGETAHUAN ILMIAH . . . . . Pengetahuan tentang bioekologi semut M. castanea dapat mengoptimalkan peran semut ini sebagai agens hayati. Serangga predator M. castanea berpotensi mengendalikan hama kumbang tanduk pada kelapa sawit dan mengurangi dampak negatif penggunaan pestisida. Ada perbedaan daya pemangsaan serangga predator dan preferensi predator terhadap stadia instar mangsa. Serangga predator mempunyai karakteristik lingkungan tertentu yang dapat mendukung perkembang biakannya di lapangan. Kehadiran serangga predator dapat mengendalikan hama dan meningkatkan hasil tanaman.. PENYUSUNAN KERANGKA BERPIKIR   .  . Mengeksplorasi keberadaan semut M. castanea dan memahami karakteristik mikro habitatnya. Mendapatkan bioekologi predator M. castanea dengan mangsa utama O. rhinoceros Upaya pemanfaatan dan peningkatan peran serangga predator M. castanea untuk mengendalikan hama O. rhinoceros dan mengurangi dampak negatif penggunaan insektisida. Mengetahui tanggap fungsional dan preferensi mangsa predator terhadap berbagai stadia instar mangsa. Mengetahui kemampuan pemangsaan M. castanea di laboratorium dan lapangan.. Bioekologi semut predator M. castanea sebagai pemangsa hama kumbang tanduk O.rhinoceros pada tanaman kelapa sawit. Gambar 1.1 Kerangka Konseptual Penelitian.. Universitas Sumatera Utara.

(27) 9. DAFTAR PUSTAKA [BBPPTP] Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2018. Statistik Kelapa Sawit Indonesia 2017. Jakarta: BPS 100pp Bedford, G.O. 2013. Biology and management of palm dynastid beetles: recent advances. Ann. Rev. Entomol. 58:353-372. ___________ 2014. Advances in the control of rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros in oil palm. J. Oil Palm Res. 26(3):183-194. Buana, L., Siahaan, D. & Adipura S. 2006. Pedoman Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan. Cahyasiwi, L., Wood, B.J., Lubis, F.I. & Caudwell, R. 2010. The economic of Oryctes attack in palm replants, International Oil Palm Conference, Indonesian Oil Palm research Institute (IOPRI). Yogyakarta. Indonesia 13 June 2010. Ditjen Perkebunan. 2018. Statistik Perkebunan Indonesia. 2016-2017 Kelapa sawit. Sekretariat Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian. Jakarta. Gopal, M., Gupta, A. & Thomas, G. V. 2006. Prospects of using Metarhizium anisopliae to check the breeding of insect pest, Oryctes rhinoceros L. in coconut leaf vermicomposting sites. Biores. Technol. 97(15):1801-1806. Huger, A.M. 2005. The Oryctes virus: its detection, identification, and implementation in biological control of the coconut palm rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Invertebrate Pathol. 89(1):78-84. Indriyanti, D. R., Widiyaningrum, P., Slamet, M. & Maretta, Y. A. 2017. Effectiveness of Metarhizium anisopliae and Entomopathogenic Nematodes to Control Oryctes rhinoceros Larvae in the Rainy Season. Pakistan J. Biol. Sci. 20(7):320-327. Ito F. 2010. Notes on the Biologyof the Oriental Amblyoponinae ant Myopopone castanae: Queen-worker dimorphism, worker polymorphism an larval hemolymph feeding y workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol. Sci. 13:199-204.. Universitas Sumatera Utara.

(28) 10. Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabaeidae) di Laboratorium. J. Online Agroekoteknologi. 3(1):112-117. Kamarudin, N.H., Wahid, M.B., Moslim, R. & Ali, S.R.A. 2007. The effects of mortality and influence of pheromone trapping on the infestation of Oryctes rhinoceros in an oil palm plantation. J. Asia-Pacific Entomol. 10(3):239-250. Lukmana, M. & Alamudi, F. 2017. Monitoring Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros L.) Pada Tanaman Kelapa Sawit Belum Menghasilkan Di PT Barito Putera Plantation. Agrisains. 3(02):59-63. Manjeri, G., Muhamad, R. & Tan, S. G. 2014. Oryctes rhinoceros beetles, an oil palm pest in Malaysia. Ann. Res. Rev. Biol. 4(22):3429. Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Moslim, R., Wahid., M. B, Kamarudin, N., Mukesh, S. & Ali, S. R. A. 1999. Impact of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) applied by wet and dry inoculum on oil palm rhinoceros beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Oil Palm Res. 11(2):25-40. Nuriyanti, D.D., Widhiono, I. & Suyanto, A. 2016. Faktor-Faktor Ekologis yang Berpengaruh terhadap Struktur Populasi Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros L.). Biosfera. 33(1):13-21. Ragoussis, V., Giannikopoulos, A., Skoka, E. & Grivas, P. 2007. Efficient synthesis of (±)-4-methyloctanoic acid, aggregation pheromone of rhinoceros beetles of the genus Oryctes (Coleoptera: Dynastidae, Scarabaeidae). J. Agri. Food Chem. 55(13):5050-5052. Ramle, M., Wahid, M.B., Norman, K., Glare, T.R. & Jackson, T.A. 2005. The incidence and use of Oryctes virus for control of rhinoceros beetle in oil palm plantations in Malaysia. J. Invertebrate Pathol. 89(1):85-90. Silaban, M.E. 2016. Kajian Biaya Pengendalian Hama Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Pada Tanaman Belum Menghasilkan Kelapa Sawit Secara Kimia Di Afdeling III Kebun Laras PT. Perkebunan Nusantara IV. Laporan Tugas Akhir. Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Agrobisnis Perkebunan (STIPAP) Medan.. Universitas Sumatera Utara.

(29) 11. Sudharto, P.S., Susanto, A., Purba, R.B. & Drajat, Y.B. 2006. Teknologi pengendalian hama dan penyakit kelapa sawit, siap pakai dan ramah lingkungan. Pusat penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan. Susanto, A. & Brahmana, J. 2008. Serangan Oryctes rhinoceros pada tanaman kelapa sawit menghasilkan (TM). Warta PPKS 16(1):1-7. Susanto, A., Dongoran, A.P., Fahridayanti., Lubis, A.F. & Prasetyo A. 2005. Pengurangan Populasi Larva Oryctes rhinoceros Pada Sistem Lubang Tanam Besar. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. 13(1): 1-9 Susanto, A., Purba, R.Y. & Prasetyo, A.E. 2010. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit Vol. 1. PPKS Press. Medan Susanti, R., 2016. Bionomi Semut Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) sebagai Predator Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabaeidae) pada Onggokan Batang Sawit di Laboratorium. [Tesis]. Universitas Sumatera Utara. Widihastuty, Tobing M.C., Marheni. & Kuswardani, R.A. 2018. Prey preference Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) toward larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 122(1):7pp.. Universitas Sumatera Utara.

(30) 12. BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Oryctes rhinoceros Menurut Kalshoven (1981), kumbang tanduk O. rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) merupakan salah satu serangga hama yang banyak menyerang tanaman kelapa dan kelapa sawit di Indonesia. Serangga ini bermetamorfosis sempurna dan memerlukan waktu yang lama untuk berkembang biak. Total waktu yang diperlukan untuk melengkapi siklus hidupnya lebih dari satu tahun. Siklus hidup kumbang ini bervariasi tergantung pada habitat dan kondisi lingkungannya. Musim kemarau yang panjang dan jumlah makanan yang sedikit akan memperlambat perkembangan larva serta ukuran imago yang lebih kecil dari ukuran normal. Suhu yang sesuai untuk perkembangan larva adalah 27-29 0C dengan kelembapan relatif 85-95% (Bedford 1980; Bedford 2013). Telur kumbang berwarna putih kekuningan dengan diameter 3 mm. Telur diletakkan di dalam material organik di sekitar tanaman sebagai sumber pakan. Bentuk telur biasanya oval kemudian menjadi bulat satu minggu kemudian. Lama stadia telur berkisar 8-12 hari. Kemampuan kumbang betina untuk meletakkan telur bisa mencapai 100 butir (Darwis 2003). Stadia larva terdiri atas 3 instar. Larva berwarna putih kekuningan, berbentuk silinder, gemuk dan berkerut-kerut, melengkung membentuk setengah lingkaran dengan panjang sekitar 60-100 mm atau lebih. Lama stadia larva sekitar 82-207 hari. Prapupa bentuknya mirip dengan larva, hanya saja ukurannya lebih kecil dari larva instar terakhir, bentuknya menjadi berkerut dan kurang aktif bergerak ketika diganggu. Lama stadia prapupa sekitar 8-13 hari. Pupa berwarna coklat kekuningan dengan. Universitas Sumatera Utara.

(31) 13. panjang berkisar 5-8 cm. Waktu perkembangan pupa berlangsung antara 18-23 hari (Gambar 2.1). Kumbang yang baru muncul dari pupa akan tetap tinggal ditempatnya antara 15-20 hari, kemudian baru terbang keluar (Borror 1992; Kalshoven 1981). Imago berwarna cokelat gelap sampai hitam, mengkilap, panjang 35-50 mm dan lebar 20-23 mm dengan satu tanduk yang menonjol pada bagian kepala. Imago jantan memiliki tanduk yang lebih panjang dari betina, sedangkan betina memiliki banyak rambut pada ujung ruas terakhir abdomen sedangkan pada jantan tidak ada. Umur betina lebih panjang dari umur yang jantan. Lama hidup imago adalah sekitar 6-9 bulan (Kalshoven 1981; Norman et al. 2004).. Gambar 2.1 Siklus Hidup Oryctes rhinoceros (Pemakaian gambar telah medapat izin tertulis dari Agus Susanto: Lampiran 5).. Iklim dan faktor kualitas pakan berpengaruh pada ukuran larva dan waktu yang diperlukan untuk mematangkan larva (Marheni 2012; Indriyanti et al. 2017). Imago O. rhinoceros meletakkan telur pada tumpukan bahan-bahan organik di sekitar tanaman inangnya. Pada perkebunan kelapa sawit, kelompok. Universitas Sumatera Utara.

(32) 14. telur O. rhinoceros biasanya ditemukan di batang-batang kelapa sawit yang telah tumbang dan melapuk atau batang kelapa sawit yang membusuk karena penyakit busuk pangkal batang Ganoderma. Limbah tandan kosong kelapa sawit yang dikembalikan ke kebun-kebun, saat ini juga menjadi tempat perkembangbiakan O. rhinoceros (Marheni 2012).. Ketersediaan limbah bahan-bahan organik ini. menjadi faktor yang dapat meningkatkan populasi O. rhinoceros di lingkungan pertanaman. Selain faktor ketersediaan bahan-bahan organik sebagai tempat reproduksi, faktor-faktor fisik yang mempengaruhi perkembangan larva kumbang O. rhinoceros adalah suhu, kelembapan, serta intensitas cahaya. Kombinasi ketersediaan limbah bahan-bahan organik serta ditunjang oleh faktor-faktor abiotik yang sesuai akan mempercepat perkembangbiakan dan meningkatkan kelimpahan populasi O. rhinoceros (Nuriyanti et al. 2016). Liew dan Sulaiman (1993) mendapatkan bahwa tanaman penutup tanah setinggi 0,6–0,8 m dapat mengurangi perkembangbiakan kumbang O. rhinoceros. Southwood (1962) mengelompokkan habitat O. rhinoceros menjadi dua yaitu: habitat permanen dan habitat sementara. Habitat permanen adalah habitat yang mempunyai daya dukung yang tinggi bagi keberlangsungan hidup O. rhinoceros sedangkan habitat sementara adalah habitat yang ephemeral yang berubah-ubah dan mempunyai daya dukung yang rendah. Kebun-kebun yang menghasilkan dikelompokkan sebagai habitat yang permanen karena di kebunkebun yang produktif, besar kemungkinan banyak terdapat pohon-pohon yang tumbang dan melapuk karena penyakit Ganoderma dan juga tumpukan tandan kosong yang dikembalikan ke kebun sebagai bahan organik. Tempat-tempat ini. Universitas Sumatera Utara.

(33) 15. menjadi tempat perkembangbiakan O. rhinoceros, sedangkan kebun-kebun TBM merupakan habitat sementara bagi O. rhinoceros. Bedford (1980) menjelaskan bahwa larva O. rhinoceros tertarik pada suhu 27-29 °C dan menghindari suhu yang lebih rendah. Tingkah laku larva dipengaruhi oleh faktor cahaya. Di lingkungan alami, jika larva ditempatkan pada permukaan medium perkembangbiakan larva akan cepat bergerak turun menjauhi cahaya. Larva bergerak mengikuti fototaktis negatif, hal ini merupakan adaptasi untuk menghindar dari pemangsa. Larva tertarik pada kelembapan yang tinggi (85-95%). Mekanisme ini dapat berjalan tunggal atau kombinasi untuk menuntun larva keluar dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk pertumbuhan atau perkembangan (Bedford 1980; Bedford 2013). Imago aktif dan terbang dari tempat persembunyiannya menjelang senja, sekitar pukul 18.00-21.00 WIB, dan jarang dijumpai pada waktu larut malam. Kemampuan terbang imago dalam keadaan normal dan kelimpahannya tinggi hanya berkisar 50 m (short flights), dan bila pada kondisi lingkungan tidak menguntungkan, kumbang ini mampu melakukan penerbangan jauh (longer flights) yang bisa mencapai 750 yard atau sekitar 685,8 m (Catley 2009). Kamaruddin dan Wahid (2004) menyatakan bahwa kemampuan terbang imago O. rhinoceros bisa mencapai rata-rata 19 m/hari. Curah hujan yang tinggi dapat menurunkan aktifitas terbang imago. Kumbang dewasa terbang ke pucuk pada malam hari, dan mulai bergerak ke bagian dalam melalui salah satu ketiak pelepah bagian atas pucuk. Biasanya ketiak pelepah ketiga, keempat, kelima dari pucuk merupakan tempat masuk yang paling disukai. Setelah kumbang menggerek ke. Universitas Sumatera Utara.

(34) 16. dalam batang tanaman, kumbang akan memakan pelepah daun muda yang sedang berkembang. Kumbang memakan daun yang masih terlipat, sehingga bila daun nanti membuka akan terlihat daun seperti tergunting. Bentuk guntingan ini merupakan ciri khas serangan kumbang kelapa Oryctes (Bedford 2014; Manjeri et al. 2014).. 2.2 Bioekologi Myopopone castanea Semut M. castanea merupakan semut predator dari sub famili Amblyoponinae, biasanya banyak hidup pada kayu-kayu yang melapuk di hutanhutan tropis. Keberadaan semut ini tersebar di wilayah Oriental dan IndoAustralia (Zheng hui dan Qiu-ju 2011). Banyaknya alih fungsi lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, membuat semut ini juga banyak ditemukan di perkebunan kelapa sawit. Secara umum, perkembangan semut termasuk metamorfosis sempurna, dimulai dari telur, larva, pupa, dan imago. Secara taksonomi semut predator M. castanea dapat diklasifikasikan ke dalam ordo Hymenoptera, famili Formicidae, sub famili Amblyoponinae. Semut ini merupakan satu-satunya spesies dalam genus Myopopone (Brown 1960). Imago semut terdiri dari kasta reproduktif (jantan dan betina) serta kasta pekerja. Semut kasta pekerja adalah semut betina yang steril. Semut jantan dan betina mempunyai sayap sedangkan semut pekerja tidak. Semut betina yang bersayap apabila sudah melakukan kopulasi dan mulai meletakkan telurnya akan menanggalkan sayapnya.. Universitas Sumatera Utara.

(35) 17. Zheng hui dan Qiu-ju (2011) mendeskripsikan morfologi semut pekerja M. castanea sebagai berikut: kepala berbentuk hampir persegi panjang, margin oksipitalnya cekung, mandibula sempit dan linier, clypeus sempit dan melintang. Antena pendek dan kokoh, terdiri dari 12 ruas. Dasar antena (antennal sockets) sepenuhnya tertutup oleh lobus frontal. Mata kecil dengan mata facet sekitar 15 buah yang terletak jauh di belakang garis tengah kepala. Ocelli tidak ada. Dorsum alitrunk relatif lurus, sisi lateral hampir vertikal. Mesonotum sangat pendek dan melintang, pronotum panjang, permukaan luar tarsi dan tibia tengah mempunyai duri yang kuat. Warna merah kecokelatan, clypeus, propodeum, petiole, dan gaster dengan rambut yang melimpah yang berwarna kuning keemasan. Penyengat terdapat di ujung abdomen. Semut kasta pekerja hidup dalam tanah dan sampah daun. Semut kasta pekerja berwarna cokelat kemerah-merahan sampai cokelat gelap.. (a) (b) Kepala semut ratu kepala semut pekerja Sumber: digambar ulang dari www.antwiki.org/wiki/Myopopone_castanea Gambar 2.2 Kepala semut M. Castanea Ukuran tubuh semut pekerja bervariasi dengan panjang ukuran tubuh dapat mencapai 5 mm. Lebar kepalanya berkisar 1,48–2,18 mm dan jumlah ovariol. Universitas Sumatera Utara.

(36) 18. antara 6–22. Ukuran tubuh ratu semut M. castanea tergolong besar dengan lebar kepala 3,0 mm dan ovariol berjumlah 24-32. Perbedaan ratu dan semut pekerja selain ukuran tubuh adalah ratu mempunyai ocelli sedangkan semut pekerja tidak (Gambar 2.2) (Ito 2010). Jumlah anggota semut M. castanea dalam satu koloni terbatas, dapat mencapai ukuran puluhan atau ratusan (Masuko 2003; Ito 2010). Semut M. castanea perkembangannya adalah metamorfosa sempurna. Telurnya berbentuk lonjong memanjang dan berwarna putih. Larva terdiri dari lima instar, berwarna putih dan berbentuk vermiform. Pupa semut M. castanea berwarna orange (Susanti 2016). Semut M. castanea merupakan spesies semut yang menyukai kelembapan, dan banyak terdapat di hutan, daerah beriklim sedang, atau di daerah tropis (Wilson 1971). Pada daerah panas, semut ini tinggal di dalam tanah. Kebanyakan semut dari keluarga Amblyopone dikenal sebagai predator obligat terhadap arthropoda (Masuko 2008; Ito 2010). Semut Amblyopone dan kerabatnya berbeda dari semut primitif lainnya dalam perilaku pencarian mangsa. Mereka menyukai arthopods besar sebagai mangsa, dan memiliki kecenderungan yang kuat untuk memindahkan keturunannya ke mangsa yang baru ditemukan dan dibunuh. Dalam pengamatannya pada semut M. castanea di Papua Nugini, Wilson (1971) menemukan bahwa perilaku memangsa semut ini berbeda dari kelompok semut lainnya. Bila semut lain membawa makanan atau mangsanya ke sarangnya, maka semut M. castanea membawa larvanya atau keturunannya ke tempat mangsanya ditemukan dan dibunuh.. Universitas Sumatera Utara.

(37) 19. Hasyim et al. (2009) melaporkan bahwa semut ini juga merupakan predator untuk larva Cosmopolites sordidus yang merupakan hama pada pertanaman pisang di daerah Sitiung, Bukit tinggi dan Batusangkar Provinsi Sumatera Barat. Semut menggunakan rahangnya (mandibula) untuk mengangkat mangsa. Mandibula yang kuat ini juga digunakan untuk memproses pakan dan memotong-motong mangsanya. Kekuatan mandibula ini penting bagi semut untuk berburu mangsa (Silva et al. 2010; Larabee dan Suarez 2014). Semut M. castanea menyerang mangsanya dalam keadaan masih hidup dengan cara menggigit dan menyengatnya hingga mati lalu memakan cairan hemolimfnya. Gejala awal yang ditunjukkan pada larva O. rhinoceros adalah pada kutikula larva yang berubah menjadi warna kecokelatan dan menghitam secara bertahap. Tubuh larva akan menghitam dan rusak tercabik-cabik akibat dari gigitan dan sengatan semut M. castanea sehingga hanya tersisa bagian kutikulanya saja. Semut ini juga bisa memakan tubuh larva instar satu O. rhinoceros sampai habis (Marheni 2012; Junaedi et al. 2014; Widihastuty et al. 2018). Waktu yang diperlukan semut predator ini dalam menangani mangsanya juga tergolong singkat. Berdasarkan hasil penelitian Junaedi (2014) di laboratorium diperoleh bahwa, semut ini mampu membunuh 4-5 ekor larva instar satu O. rhinoceros dalam waktu 1 hari setelah aplikasi.. 2.3 Perilaku semut mencari makan Semut merupakan serangga sosial yang mempunyai banyak peranan penting dalam suatu ekosistem, bisa sebagai dekomposer, penyerbuk, pembuat aerasi tanah, predator dan indikator lingkungan (King et al. 1998; Sanford et al.. Universitas Sumatera Utara.

(38) 20. 2009; Shik dan Kaspari 2010). Sebagai serangga sosial semut memiliki sistem komunikasi untuk berhubungan dengan sesama anggota koloninya. Sistem komunikasi pada semut dapat berupa sentuhan, suara, visual dan kimiawi (Lenoir et a., 2001;. Leonhardt et al. 2016). Sistem komunikasi visual dan kimiawi. (berupa feromon) merupakan hal yang umum dalam menentukan lokasi makanan pada serangga. Perilaku semut mencari makan dapat digambarkan sebagai perilaku kompleks yang dapat diurutkan kronologisnya sebagai berikut yaitu (a) eksplorasi wilayah untuk menemukan sumber pakan, (b) lokalisasi sumber daya, (c) identifikasi dan serangan atau (d) pengumpulan sumber daya (Dejean dan Lachaud 1992). Mangsa yang didapat atau ditemukan dibawa ke sarang, atau semut penjelajah (scout) dapat kembali ke sarang untuk mengajak semut pekerja lainnya (Brady 2003). Semut beraktivitas mencari makan berhubungan dengan daerah teritori yang dapat bersifat absolut dan spatiotemporal. Teritori absolut yaitu daerah yang dipertahankan dari musuh-musuhnya sepanjang waktu, sedangkan teritori spatiotemporal yaitu daerah tertentu yang hanya dipertahankan dari musuh-musuhnya pada waktu tertentu. Aktivitas pencarian pakan dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: a) kebutuhan internal, b) sumber pakan, dan c) lingkungan fisik. Kebutuhan internal dipengaruhi oleh faktor lapar dan produksi larva sedangkan lingkungan fisik dipengaruhi oleh perubahan kelembapan, suhu dan panjang hari (Porter dan Tschingkle 1987).. Universitas Sumatera Utara.

(39) 21. Traniello (1989), Brady (2003), Dornhaus dan Powell. (2010), Lanan. (2014), menjelaskan bahwa strategi perilaku mencari pakan pada semut ada 4 yaitu: 1. Mencari makan sendiri (solitary foraging): dalam strategi ini, semut pekerja akan menemukan, menangkap dan mengangkut pakan tanpa kerja sama atau komunikasi yang sistematis dengan semut pekerja lain yang ada di sarang. Dalam subfamili Amblyoponinae, strategi mencari pakan seperti ini ditemukan pada semut Amblyopone pallipes, A. pluto, A. silvestrii (Ito 1993). 2. Tandem berjalan (tandem running); dalam strategi ini dua semut pekerja saling bekerja sama untuk mengangkut pakan yang ditemukan. Semut penjelajah akan menarik semut pekerja yang lain dengan menggunakan kontak antenna dan mengarahkannya bersama-sama ke sumber pakannya. 3. Mencari pakan berkelompok (group-foraging); dalam strategi ini, semut penjelajah memandu sekelompok semut dalam koloninya (dua atau lebih individu) dengan meletakkan jejak feromon ke sarangnya. Selain sinyal kimiawi, sinyal lain seperti kontak antenna juga digunakan. Ukuran kelompok yang diajak bervariasi antar spesies. Strategi mencari pakan seperti ini dalam subfamili Amblyoponinae ditemukan pada semut Amblyopone australis (Hölldobler dan Palmer 1989), Mystrium rogeri (Hölldobler et al. 1998). 4. Mencari pakan secara kolektif (mass-foraging); Strategi ini dianggap sebagai strategi rekrutmen yang paling kompleks. Semut penjelajah (scout) memandu ratusan atau ribuan semut pekerja sekoloninya ke sumber pakan hanya dengan cara kimiawi. Mencari pakan bersama secara kolektif adalah strategi yang. Universitas Sumatera Utara.

(40) 22. dijelaskan dalam semut tentara, di mana sumber daya pakan tidak pernah ditemukan oleh semut penjelajah tunggal, tetapi oleh kelompok yang akan menemukan, menangkap dan mengambil mangsa. Kelompok ini benar-benar tanpa pemimpin dan hanya jejak feromon yang digunakan untuk orientasi antara area berburu dan sarang. Semut dari famili Amblyoponinae yang menggunakan strategi ini adalah Onychomyrmex doddi, O. hedleyi dan O. mjobergi. Semut mencium bau dengan antenanya yang panjang, tipis, dan bergerak. Sepasang antena tersebut mendeteksi tentang arah dan intensitas bau. Semut yang hidup di tanah akan menggunakan permukaan tanah untuk meninggalkan jejak feromon yang bisa diikuti oleh semut lain. Spesies-spesies semut yang mencari pakan berkelompok, semut penjelajah yang menemukan pakan akan menandai jejak dalam perjalanan kembali ke koloninya. Jejak ini diikuti oleh semut lain, sehingga akan memperkuat jejak ketika mereka kembali dengan pakan untuk koloninya. Ketika sumber pakan habis, dan tidak ada jalan baru yang ditandai, maka semut secara perlahan akan menghilangkan bau jejak. Perilaku ini membantu semut menghadapi perubahan di lingkungan mereka. Misalnya, ketika jalur yang didirikan ke sumber pakan diblokir oleh penghambat, maka semut penjelajah akan meninggalkan jalur tersebut dan mengeksplorasi rute baru. Jika semut berhasil, ia akan meninggalkan jejak baru dan menandai rute terpendek untuk kembali ke sarang. Kesuksesan jejak ini akan diikuti oleh lebih semutsemut yang lain, sehingga akan memperkuat rute yang ada dan secara bertahap mengidentifikasi jalan yang terbaik (Jackson dan Ratnieks 2006).. Universitas Sumatera Utara.

(41) 23. 2.4 Peranan semut dalam pengendalian hayati de Bach (1974) mendefinisikan pengendalian hayati sebagai pengaturan populasi organisme dengan musuh-musuh alami sehingga kepadatan populasi organisme tersebut berada di bawah populai rata-ratanya dibandingkan bila tanpa pengendalian. Pengendalian hayati sebagai komponen utama Pengendalian Hama Terpadu (PHT) pada dasarnya adalah pemanfaatan dan penggunaan musuh alami untuk mengendalikan populasi hama. Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem.. Hubungan. fungsional antara hama dan musuh alaminya akan berlangsung dengan baik apabila memenuhi beberapa persyaratan yaitu: a) musuh alami dapat menemukan inang atau mangsa, b) jumlah minimal populasi musuh alami mampu membunuh inang atau mangsa, c) sinkronisasi dan fenologi antara musuh alami dengan inang atau mangsa, d) selalu tersedia pakan bagi agens hayati untuk dapat bertahan hidup (de Bach 1974). Semut sebagai salah satu serangga yang menghuni suatu ekosistem mempunyai banyak peranan penting, yaitu dapat berperan sebagai polinator dan penyebaran biji, dan juga sebagai predator pada serangga herbivor (Rizal et al. 2011; Konopik et al. 2014). Semut merupakan hewan yang sangat peka terhadap perubahan dan gangguan yang ada pada suatu habitat. Perubahan serta gangguan habitat mampu mengubah komposisi spesies semut yang ada sehingga berpengaruh terhadap perubahan interaksi tropik dan jaring makanan yang ada pada ekosistem tersebut (Philpot et al. 2010). Semut-semut invasif seperti semut. Universitas Sumatera Utara.

(42) 24. A. gracilipes penyebarannya sering mendominasi komunitas semut lain dan mengungguli spesies semut asli dalam perolehan sumber daya. Invasi oleh semut ini secara ekologis dapat merusak dan mempengaruhi berbagai taksa, terutama semut asli yang ada di ekosistem tersebut (Drescher et al., 2011). Hasil penelitian Rubiana (2014) menyatakan bahwa modifikasi dan transformasi habitat dari hutan menjadi perkebunan sawit menyebabkan perubahan terhadap struktur komunitas semut. Fayle et al. (2010) menyatakan bahwa konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, menurunkan keanekaragaman spesies hingga 74%. Keanekaragaman semut pada perkebunan kelapa sawit dinilai lebih tinggi dibanding perkebunan karet, hutan sekunder dan hutan primer serta didominasi oleh semut predator dan omnivor (Rubiana et al., 2015). Pemanfaatan semut sebagai salah satu agens hayati telah dilakukan sejak tahun 300-an M.. Bangsa Cina menggunakan semut rangrang (Oecophylla. smaragdina) untuk melindungi tanaman jeruk Mandarin mereka dari serangan hama. Semut Oecophylla mampu mengurangi populasi hama pada mangga di Australia, jeruk di Vietnam, dan kakao serta kelapa di Asia dan Afrika (Peng dan Christian 2010). Way dan Khoo (1992) menyebutkan bahwa semut rangrang (O. smaragdina) menjadi musuh alami pada sekitar 16 spesies hama yang menyerang tanaman kakao, kelapa, kelapa sawit, mangga, eukaliptus dan jeruk. Perilaku agresif semut rangrang dalam mempertahankan daerah teritorialnya membuat semut ini berpotensi besar sebagai agens hayati. Semut hitam Dolichoderus thoracicus, juga merupakan predator yang potensial menekan serangan hama Helopeltis sp. di perkebunan kakao di Sulawesi. Universitas Sumatera Utara.

(43) 25. (Anshary dan Pasaru 2008). Herlinda et al. (2014) mendapatkan semut Solenopsis germinata dan Polyrhachis sp. sebagai predator yang melimpah pada pertanaman padi di sawah pasang surut di Sumatera Selatan. Semut Solenopsis germinata ini juga merupakan predator yang potensial untuk hama keong mas di Philipina. Dalam waktu dua hari semut ini mampu memakan 50% telur-telur keong mas yang menempel di daun padi. Subagiya (2013) mendapatkan semut S. germinata mampu mematikan larva-larva dari penggerek batang padi sebanyak 34%. Di perkebunan kelapa sawit, semut rangrang juga merupakan predator yang potensial dalam mengendalikan UPDKS (Ulat Pemakan Daun Kelapa Sawit). Falahudin (2013) dan Nurdiansyah (2016) mendapatkan bahwa semut rangrang (Oecophylla smaragdina) mampu memangsa ulat api (Setora nitens) dengan tingkat pemangsaan yang cukup baik. Semut yang paling dominan berada di perkebunan kelapa sawit adalah semut gila (Anoplolepis gracilipes). Semut ini membentuk koloni besar pada perkebunan kelapa sawit dan dapat mempengaruhi sebagian besar arthropoda dan vertebrata yang ada di perkebunan kelapa sawit (Asyifa et al. 2015; Wang dan Foster 2015). Diperkirakan semut yang ada di perkebunan kelapa sawit berjumlah sekitar 110 spesies (Brühl dan Eltz 2010; Fayle et al. 2010). Kelimpahan semut pada tanaman kelapa sawit yang pohonnya tinggi (4 m) lebih berlimpah daripada pohon yang lebih rendah (2 m). Hal ini terkait dengan penggunaan herbisida dalam teknik pengendalian gulma yang dilakukan dan tanaman penutup tanah yang ada di perkebunan kelapa sawit tersebut (Ganser et al, 2016). Keberadaan semut predator dan omnivor pada suatu. Universitas Sumatera Utara.

(44) 26. ekosistem berpotensi untuk menekan populasi serangga hama, karena semut termasuk predator yang mempunyai kisaran mangsa yang cukup luas.. DAFTAR PUSTAKA Anshary, A. & Pasaru, F. 2008. Teknik perbanyakan dan aplikasi predator Dolichoderus thoracicus Smith (Hymenoptera: Formicidae) untuk pengendalian penggerek buah kakao Conomorpha cramerella (Snellen) di perkebunan rakyat. J. Agroland. 15(4): 278-287. Asfiya, W.A.R.A., Lach, L., Majer, J.D., Heterick, B.R.I.A.N. & Didham, R.K. 2015. Intensive agroforestry practices negatively affect ant (Hymenoptera: Formicidae) diversity and composition in southeast Sulawesi, Indonesia. Asian Myrmecol. 7:87-104. Bedford, G.O. 1980. Biology, ecology and control palm of palm Rhinoceros beetle. Ann. Rev. Entomol. 25: 309-339. ______ . 2013. Biology and management of palm dynastid beetles: recent advances. Ann. Rev. Entomol. 58:353-372. ______ . 2014. Advances in the control of rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros in oil palm. J. Oil Palm Res. 26(3):183-194. Borror, D.J., Triplehorn, C.A. & Johnson, N.J. 1992. Pengenalan pelajaran serangga. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Brady, S.G. 2003. Evolution of the army ant syndrome: the origin and long-term evolutionary stasis of a complex of behavioral and reproductive adaptations. Proceedings of the National Academy of Sciences. 100(11):6575-6579. Brühl, C.A. & Eltz, T. 2010. Fuelling the biodiversity crisis: species loss of ground-dwelling forest ants in oil palm plantations in Sabah, Malaysia (Borneo). Biodiversity and Conservation. 19(2):519-529. Brown, W.L Jr. 1960. Contributions toward a reclassification of the Formicidae. 3. Tribe Amblyoponini [J]. Bulletin of the Museum of Comparative Zoology at Harvard College. 122:145-230 Catley, A. 2009. The Coconut Rhinoceros Beetle Oryctes rhinoceros (L) (Coleoptera: Scarabaeidae: Dynastidae). PANS Pest Articles & New Summaries. 15(1):18-30.. Universitas Sumatera Utara.

(45) 27. Darwis, M. 2003. Oryctes rhinoceros L. dan usaha pengendaliannya dengan Metarrhizium anisopliae. Perapektif. 2(2):31-44. de Bach. 1974. Biogical Control by Natural Enemies. London: Cambridge University Press. 323 p Dejean, A. & Lachaud, J.P. 1992. Growth-related changes in predation behavior in incipient colonies of the ponerine ant Ectatomma tuberculatum (Olivier). Insectes Sociaux. 39:129-143. Dornhaus, A. & Powell, S. 2010. Foraging and defense strategies. Ant Ecology. pp 210-230. Drescher, J., Feldhaar, H., & Blüthgen, N. 2011. Interspecific aggression and resource monopolization of the invasive ant Anoplolepis gracilipes in Malaysian Borneo. Biotropica. 43(1):93-99. Falahudin, I. 2013. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618. Fayle, T.M., Turner, E.C., Snaddon, J.L., Chey, V.K., Chung, A.Y., Eggleton, P. & Foster, W.A. 2010. Oil palm expansion into rain forest greatly reduces ant biodiversity in canopy, epiphytes and leaf-litter. Basic Appl. Ecol. 11(4):337-345. Ganser, D., Denmead, L. H., Clough, Y., Buchori, D. & Tscharntke, T. 2017. Local and landscape drivers of arthropod diversity and decomposition processes in oil palm leaf axils. Agric. and Forest Entomol. 19(1):60-69. Hasyim, A., Azwana. & Syafril. 2009. Evaluation of natural enemies in controlling of the banana weevil borer Cosmopolites sordidus Germar in West Sumatera. Indonesian. J. Agric. Sci.10(2):43-53. Herlinda, S., Manalu, H.C.N., Aldina, R.F., Wijaya, A. & Meidalima, D. 2014. Kelimpahan dan keanekaragaman spesies laba-laba predator hama padi ratun di sawah pasang surut. J. Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika. 14(1):1-7. Hölldobler, B. & Palmer, J.M. 1989. Footprint glands in Amblyopone australis (Formicidae, Ponerinae). Psyche. 96:11-121. Hölldobler, B., Obermayer, M. & Alpert, G.D. 1998. Chemical trail communication in the amblyoponine species Mystrium rogeri Forel (Hymenoptera, Formicidae, Ponerinae). Chemoecology. 8:119-123.. Universitas Sumatera Utara.

(46) 28. Indriyanti, D.R., Widiyaningrum, P., Slamet, M. & Maretta, Y. A. 2017. Effectiveness of Metarhizium anisopliae and Entomopathogenic Nematodes to Control Oryctes rhinoceros Larvae in the Rainy Season. Pakistan J. Biol. Sci. 20(7):320-327. Ito, F. 1993. Observation of group recruitment to prey in a primitive ponerine ant, Amblyopone sp.(reclinata group) (Hymenoptera: Formicidae). Insectes Sociaux. 40(2):163-167. ____ . 2010. Notes on the Biologyof the Oriental Amblyoponinae ant Myopopone castanae: Queen-worker dimorphism, worker polymorphism an larval hemolymph feeding by workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol. Sci. 13:199-204. Jackson, D.E. & Ratnieks, F.L. 2006. Communication in ants. Current Biol. 16(15):570-574. Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae)di Laboratorium. J. Agroekoteknologi. 3(1): 112-117. Kalshoven, L.G.E. 1981. The Pest Crop In Indonesia. P.A Van der Laan. Jakarta: PT Ichtiar Baru-Van Hoeve. Kamarudin, N. & Wahid, M. B. 2004. Immigration and activity of Oryctes rhinoceros within a small oil palm replanting area. J. Oil Palm Res. 16(2):64-77. King, J.R., Andersen, A.N. & Cutter, A.D. 1998. Ants as bioindicators of habitat disturbance: validation of the functional group model for Australia's humid tropics. Biodiversity and Conservation. 7(12):1627-1638. Konopik, O., Gray, C.L., Grafe, T.U., Steffan-Dewenter, I. & Fayle, T.M. 2014. From rainforest to oil palm plantations: Shifts in predator population and prey communities, but resistant interactions. Global Ecol. Conservation. 2:385-394. Lanan, M. 2014. Spatiotemporal resource distribution and foraging strategies of ants (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecological news/Osterreichische Gesellschaft fur Entomofaunistik. 20:53. Larabee, F.J. & Suarez, A.V. 2014. The evolution and functional morphology of trap-jaw ants (Hymenoptera: Formicidae). Myrmecol. News. 20:25-36.. Universitas Sumatera Utara.

(47) 29. Lenoir, A., d'Ettorre, P., Errard, C. & Hefetz, A. 2001. Chemical ecology and social parasitism in ants. Ann. Rev. Entomol. 46(1):573-599. Leonhardt, S.D., Menzel, F., Nehring, V. & Schmitt, T. 2016. Ecology and evolution of communication in social insects. Cell. 164(6):1277-1287. Liew, V.K. & Sulaiman, A. 1995. Penggunaan Tanaman Penutup Bumi Dalam Kawalan Pembiakan Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros) di Kawasan Penanaman Semula- Penemuan Masa kini. Kemajuan Penyelidikan, Bil. 22. FELDA. Kuala Lumpur. Manjeri, G., Muhamad, R. & Tan, S. G. 2014. Oryctes rhinoceros beetles, an oil palm pest in Malaysia. Ann. Res. Rev. Biol. 4(22):3429. Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Masuko, K. 2003. Larval oophagy in the ant Amblyopone silvestrii (Hymenoptera, Formicidae). Insectes sociaux. 50(4):317-322. ______ 2008. Larval stenocephaly related to specialized feeding in the ant genera Amblyopone, Leptanilla and Myrmecina (Hymenoptera: Formicidae). Arthropod Structure and Development. 37(2):109-117. Norman, Hj K., Basri, B.W., Ramle,. M, Siti Ramlah, A.A. & Zulkepli, M. 2004. Bagworms, nettle caterpillars and rhinoceros beetle – Biology, life cycle and control on oil palms in Malaysia. International Conference on Pests and Diseases of Importance to the Oil Palm Industry. Malaysian Palm Oil Board (MPOB). Kuala Lumpur, Malaysia 18-19 May 2004. Nurdiansyah, F., Denmead, L. H., Clough, Y., Wiegand, K. & Tscharntke, T. 2016. Biological control in Indonesian oil palm potentially enhanced by landscape context. Agric. Ecosystems. Environ. 232:141-149. Nuriyanti, D.D., Widhiono, I. & Suyanto, A. 2016. Faktor-Faktor Ekologis yang Berpengaruh terhadap Struktur Populasi Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros L.). Biosfera. 33(1):13-21. Peng, R. & Christian, K. 2010. Ants as biological-control agents in the horticultural industry. Di dalam: Lach L, Parr CL, Abbott KL, editor. Ant Ecology. New York (US): Oxford University Press Inc. pp:123-124 Philpott, S.M., Perfecto, I., Ambrecht, I. & Parr, C.L. 2010. Ant diversity and function in disturbed and changing habitats. Di dalam: Lach L, Parr C.L, Abbott K.L, editor. Ant Ecology. New York (US): Oxford University Press Inc. pp:137-156. Universitas Sumatera Utara.

(48) 30. Porter, S.D. & Tschinkel, W.R. 1987. Foraging in Solenopsis invicta (Hymenoptera: Formicidae): effects of weather and season. Environ. Entomol. 16(3):802-808. Rizal, S., Falahudin, I. & Endarsih, T. 2011. Keanekaragaman semut predator permukaan tanah (Hymenoptera: Formicidae) di perkebunan kelapa sawit SPPN Sembawa Banyuasin. Sainmatika 8(1):37-42. Rubiana, R. 2014. Pengaruh transformasi habitat terhadap keanekaragaman dan struktur komunitas semut di Jambi [Tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rubiana, R., Rizali, A., Denmead, L. H., Alamsari, W., Hidayat, P., Pudjianto, Hindayana, D., Clough, Y., Tscharntke, T. & Buchori, D. 2015. Agricultural land use alters species composition but not species richness of ant communities. Asian Myrmecol. 7: 73-85. Sanford, M.P., Manley, P.N. & Murphy, D.D. 2009. Effects of urban development on ant communities: implications for ecosystem services and management. Conservation Biol. 23(1):131-141. Shik, J.Z. & Kaspari, M. 2010. More food, less habitat: how necromass and leaf litter decomposition combine to regulate a litter ant community. Ecol. Entomol. 35(2):158-165. Silva, R.R. & Brandao, C.R.F. 2010. Morphological patterns and community organization in leaf‐litter ant assemblages. Ecol. Monographs. 80(1):107124. Southwood, T.R.E. 1962. Migration of terrestrial arthropods in relation to habitat. Biol. Rev. 37(2):171-211. Subagiya. 2013. Kajian efektifitas pengendalian hama padi secara alami dengan semut predator yang bersarang di tanah (Solenopsis germinata F). J. Ilmu Tanah dan Agroklimatologi. 10(1). Susanti, R. 2016. Bionomi Semut Myopopone castanea Smith (Hymenoptera: Formicidae) sebagai Predator Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabaeidae) pada Onggokan Batang Sawit di Laboratorium. [Tesis]. Medan: Universitas Sumatera Utara. Susanto, A., Prasetyo, A.E., Sudharto. dan Priwiratama, H. & Rozziansha T.A.P. 2012. Pengendalian Terpadu Oryctes rhinoceros di perkebunan kelapa sawit. Medan: Pusat Penelitian Kelapa Sawit.. Universitas Sumatera Utara.

(49) 31. Traniello, J.F. 1989. Foraging strategies of ants. Ann. Rev. Entomol. 34(1):191210. Way, M.J. & Khoo, K.C. 1992. Role of Ants in Pest management. Ann. Rev. Entomol. 37:479-503 Wang, W.Y. & Foster, W.A., 2015. The effects of forest conversion to oil palm on ground‐foraging ant communities depend on beta diversity and sampling grain. Ecol. Evol. 5(15):3159-3170. Wilson, E.O. 1971. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. London. Widihastuty, Tobing M.C., Marheni. & Kuswardani, R.A. 2018. Prey preference Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) toward larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). IOP Publishing: IOP Conference Series: Earth and Environmental Science 122(1):7pp. www.antwiki.org/wiki/Myopopone_castanea. Myopopone castanea. Diakses pada tanggal 20 Maret 2019. Zheng-hui, X.U. & Qiu-ju, H. E. 2011. Description of Myopopone castanea (Smith)(Hymenoptera: Formicidae) from Himalaya Region. 昆虫分类学. 报, 33(3).. Universitas Sumatera Utara.

(50) 32. BAB III EKSPLORASI KEBERADAAN SEMUT Myopopone castanea (HYMENOPTERA: FORMICIDAE) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Abstrak Semut merupakan serangga sosial yang penyebarannya sangat luas dan mempunyai banyak peranan penting dalan suatu ekosistem. Semut Myopopone castanea merupakan predator untuk stadia pradewasa Oryctes rhinoceros yang merupakan satu hama penting pada pertanaman kelapa sawit. Di perkebunan kelapa sawit semut M. castanea dan stadia pradewasa O. rhinoceros hidup di batang-batang sawit yang melapuk. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi keberadaan dan karakteristik lingkungan abiotik semut M. castanea. Eksplorasi sarang semut dilakukan di dua lokasi kebun yaitu kebun kelapa sawit rakyat di kelurahan Tanah Merah Kecamatan Binjai Selatan, Kota Binjai dan kebun PTPN 2 dan PTPN 4 di Kabupaten Deli Serdang dan Serdang Bedagai, Provinsi Sumatera Utara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa koloni semut M. castanea yang ada di perkebunan kelapa sawit sangat bervariasi dalam ukuran jumlah anggota koloninya dan tahapan stadium perkembangannya. Rerata faktor-faktor abiotik yang ada di mikro habitat semut M. castanea di kebun PTPN (t = 29,7 0C, Rh = 70%, pH = 6,03 dan rasio C/N = 66,18%), sedangkan rerata untuk kebun rakyat (t = 29,1 0C, Rh = 70,9%, pH = 6,39 dan rasio C/N = 69,01%). Kata kunci:. lingkungan abiotik, Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, kelapa sawit. Abstract. Ants are social insect which widespread and play many important roles in an ecosystem. Myopopone castanea are predator for the pre-adult stage of pest Oryctes rhinoceros which is one of the important pests in oil palm plantations. At the oil palm plantations, M. castanea and pre-mature stadia from pests O. rhinoceros live on decaying palm oil stems. This study aimed to explore the presence and the microhabitat characteristics of M. castanea in oil palm plantation. The exploration of ant nests was carried out in two plantation locations: smallholder oil palm plantations in Tanah Merah sub-district, Binjai Selatan Subdistrict, Binjai and PTPN 2 and PTPN 4 in Deli Serdang and Serdang Bedagai districts, North Sumatra Province. The results showed that the colonies of M. castanea in both of plantations vary greatly in the size of the number and stage of the ant development stage. Average of abiotic factors in the microhabitat of M. castanea ants in PTPN plantation (t = 29.7 0C, Rh = 70%, pH = 6.03 and C/N ratio = 66.18%), while for smallholder plantation (t = 29.1 0C, Rh = 70.9%, pH = 6.39 and C/N ratio = 69.01%). Keywords: abiotic environment, Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, oil palm.. Universitas Sumatera Utara.

(51) 33. 3.1 Pendahuluan Semut merupakan serangga sosial yang penyebarannya sangat luas, memiliki keanekaragaman dan daya adaptasi yang tinggi sehingga keberadaannya dapat ditemukan di semua habitat. Kehadiran semut dalam suatu ekosistem dapat mengindikasikan tentang baik atau tidaknya suatu ekosistem dan dapat memberikan gambaran tentang keberadaan. organisme lain dalam ekosistem. tersebut (El Bokl et al. 2015; Tiede et al. 2017). Dalam suatu ekosistem semut menempati berbagai relung ekologi dan memainkan peranan yang penting seperti berperan sebagai penyerbuk, predator bagi serangga herbivor maupun pemakan bangkai (scavengers). Peranan semut sebagai predator dalam suatu ekosistem telah banyak dilaporkan (Yamazaki 2010; de Oliveira et al., 2012; Dassou et al. 2015). Berbagai spesies dari kelompok semut banyak digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian hama tanaman perkebunan, diantaranya semut rangrang (Oecophylla smaragdina) mampu memangsa ulat api (Setora nitens) dengan tingkat pemangsaan cukup tinggi 83% (Falahudin 2013; Nurdiansyah 2016). Dolichoderus thoracicus, mampu menekan serangan Helopeltis sp. di perkebunan kakao di Sulawesi (Anshary dan Pasaru 2008). Habitat dan mikro habitat serta faktor-faktor lingkungan mempengaruhi keberadaan semut predator. Semut termasuk organisme yang sangat peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dilingkungannya (Latumahina 2015). Semut Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) merupakan semut dari subfamili Amblyoponinae yang sebagian besar spesiesnya merupakan semut predator (Ito 2010). Di Indonesia semut ini merupakan predator terhadap Oryctes. Universitas Sumatera Utara.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan: 1) Langkah-langkah bimbingan belajar bagi peserta didik yang mengalami kesulitan matematika di SDN Badran Surakarta, 2)

Sementara itu, hasil penelitian dari Aydin (2016) menyatakan bahwa penting untuk memberikan tempat untuk kegiatan dan aplikasi masing-masing strategi pembelajaran

sesuai dengan makna di dalam kamus dan menurut kaidah sintaksisnya. Tindak lokusi merupakan tindakan yang paling mudah diindentifikasi, karena dalam pengidentifikasian

1) Target Program Keluarga Harapan adalah Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM). 2) Rekuitmen Pendampingan dan Operator. Pendamping kemudian melakukan sosialisasi kepada calon

Dalam penelitian ini dilakukan penentuan hubungan antara konsentrasi kalkon dengan arus puncak terhadap larutan standar Co(II) 10 μg/L dan Ni(II) 50 μg/L dengan potensial

1. Sejak berdirinya tahun 1995, BPTP Jawa Barat telah banyak menghasilkan teknologi pertanian tepat guna spesifik lokasi. Oleh karena itu penyebaran adopsi sudah selayaknya untuk

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh modifikasi dan seberapa besar peningkatan hasil belajar siswa dalam materi pembelajaran dribble bola basket

Perempuan usia dewasa awal memang mengalami ketidakpuasan terhadap tubuh, tetapi mereka masih mampu menerima dirinya karena mereka memiliki cara dengan kamuflase-kamuflase