• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Oryctes rhinoceros

(HYMENOPTERA: FORMICIDAE) DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT Abstrak

4.3 Hasil dan Pembahasan

5.3.2 Kemampuan memangsa

a. Kemampuan memangsa M. castanea pada mangsa O. rhinoceros di laboratorium

Hasil penelitian uji pemangsaan di laboratorium (lampiran 8) menunjukkan bahwa M. castanea mampu memangsa larva O. rhinoceros instar 1 dan instar 2 sebanyak 100% pada 5 hari setelah aplikasi (hsa), sedangkan untuk larva instar 3, mortalitas 100% dicapai 7 has (Gambar 5.5). Hal ini sesuai dengan yang didapatkan oleh Marheni (2012) dan Junaedi et al. (2014) bahwa larva instar 1 dan 2 O. rhinoceros, tingkat mortalitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan larva instar 3. Hal ini disebabkan karena ukuran tubuh mangsa lebih kecil dan kutikula mangsa masih tipis sehingga lebih mudah untuk dimangsa.

Gambar 5.5 Persentase mortalitas masing-masing instar mangsa O. rhinoceros akibat pemangsaan oleh semut M. castanea

Morfologi instar mangsa dapat mempengaruhi interaksi antara pemangsa dan mangsa. Jaworski et al. (2013) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi interaksi pemangsa dengan mangsa adalah ukuran tubuh mangsa. Secara umum predator mempertimbangkan efisiensi pemangsaan pada saat memangsa dengan melakukan pemilihan terhadap mangsa yang akan

0,00 50,00 100,00

1 HSA 2 HSA 3 HSA 4 HSA 5 HSA 6 HSA 7 HSA

MORTALITAS MANGSA (%)

HARI PENGAMATAN Instar 1 Instar 2 Instar 3

dimangsa. Bila mangsa berukuran besar, maka predator akan banyak menghabiskan waktu dan tenaga untuk menaklukkan mangsa, sedangkan bila mangsa berukuran lebih kecil, maka energi predator dalam melumpuhkan mangsa lebih sedikit. Hal ini akan terkait dengan rasio energi yang dikeluarkan dan energi yang akan didapatkan predator dari mangsanya. Bennett dan Gratton (2012) menyatakan bahwa dalam memangsa predator akan menggunakan energi untuk mencari dan kemudian mengonsumsi mangsa. Untuk melumpuhkan mangsa yang berukuran besar, predator akan mengeluarkan banyak energi, dan energi ini akan terganti dengan banyaknya nutrisi yang didapatkan dari mangsa yang besar tersebut, sedangkan untuk mangsa yang berukuran kecil, energi yang dikeluarkan sedikit dan nutrisi yang didapatkan dari mangsa juga sedikit. Hal ini akan menyebabkan predator harus memilih mangsa untuk dikonsumsi agar dapat memaksimalkan rasio penerimaan energi dan nutrisi dari proses pemangsaan yang dilakukannya (Roger 1999).

b. Kemampuan memangsa M. castanea pada mangsa O. rhinoceros di lapangan

Hasil uji pemangsaan di lapangan antara kebun TBM dan kebun TM menunjukkan pemangsaan di kebun TM lebih tinggi daripada di kebun TBM (Gambar 5.6). Pada kebun TBM, semut M. castanea mampu memangsa larva instar 2 O. rhinoceros sebesar 46,87% selama 5 hari pemaparan, sedangkan pada kebun TM sebesar 50,3% (Lampiran 7). Perbedaan ini secara umum diduga karena adanya perbedaan lingkungan abiotik (mikro habitat) yang ada pada kedua lokasi tersebut. Perbedaan lingkungan mikro habitat dapat mempengaruhi kinerja musuh alami (Aneni et al. 2012).

Gambar 5.6 Persentase pemangsaan semut M. castanea di kebun TM dan TBM.

Pada kebun TM, tanaman kelapa sawit yang ada rata-rata sudah berumur 15-20 tahun, sehingga kanopi tanaman sudah menutup dan membuat lingkungan di bawah atau di permukaan tanah menjadi lebih teduh sehingga suhu menjadi lebih rendah dan kelembapan menjadi lebih tinggi, sedangkan pada kebun TBM, tanaman yang ada masih termasuk tanaman TBM 1 atau yang berumur sekitar 1 tahun, dimana lingkungan abiotik di kebun TBM lebih terbuka sehingga suhu lebih panas dan kelembapan menjadi rendah. Luskin dan Potts (2011) menjelaskan bahwa suhu di kebun-kebun kelapa sawit yang muda dan yang tua itu berbeda. Suhu pada kebun-kebun yang masih muda rata-rata diatas 32 0C, sedangkan suhu pada kebun-kebun yang sudah tua rata-rata dibawah 30 0C. Lebih rendahnya suhu lingkungan di kebun-kebun yang sudah tua ini disebabkan oleh kanopi tanaman yang sudah saling menutup. Lingkungan abiotik sangat mempengaruhi kelimpahan dan performa semut sebagai predator (de Oliveira et al. 2012; El Bokl et al. 2015). Semut termasuk organisme yang peka terhadap perubahan lingkungan abiotik. Arnan et al. (2014) menyatakan bahwa

faktor-44 46 48 50 52

% Pemangsaan

Kebun TM Kebun TBM

faktor seperti iklim, suhu, hujan merupakan faktor yang sangat mempengaruhi semut dalam merespon lingkungannya.

Suhu merupakan faktor lingkungan yang menentukan dan mengatur aktivitas hidup serangga. Pada suhu tertentu aktivitas hidup serangga tinggi (sangat aktif), sedangkan pada suhu yang lain aktivitas serangga rendah (kurang aktif). Ada zona-zona daerah suhu yang membatasi aktivitas serangga, yaitu: (a) Zona batas fatal atas (> 48 0C): pada zona ini, serangga akan mengalami kematian, (b) Zona dorman atas (38-45 0C): pada zona ini, aktivitas serangga (organ tubuh eksternal) tidak efektif, (c) Zona efektif atas (29-38 0C): pada zona ini, aktivitas serangga efektif, (d) Zona optimum (± 28 0C): pada zona ini, aktivitas serangga paling tinggi, (e) Zona efektif bawah (15-27 0C): pada zona ini, aktivitas organ internal dan eksternal serangga cukup efektif, (f) Zona dorman bawah (4-15 0C):

pada zona ini, tidak ada aktivitas eksternal, (g) Zona fatal bawah ((± 4 0C): pada zona ini, serangga mengalami kematian (Price et a., 2011). Dalam mengeksplorasi keberadaan semut M. castanea di lapangan selama penelitian, diperoleh rata-rata suhu di sarang semut tersebut sekitar 28-31 0C yang berarti berada pada zona optium dan efektif.

Semut M. castanea termasuk semut yang menyukai kelembapan yang tinggi (Wilson 1971), sehingga lingkungan pertanaman kebun TM yang memiliki tanaman-tanaman yang sudah tinggi dan mempunyai kanopi yang saling menutupi membuat lingkungan mikro di atas permukaan tanah menjadi lebih lembap dan disukai semut. Kebun-kebun TM milik rakyat yang ada di daerah Binjai, lingkungan abiotiknya mendukung untuk kehadiran semut M. castanea (lampiran

3). Johnson et al. (2014) menyatakan bahwa kanopi vegetasi yang ada di lingkungan hidup tempat semut berada sangat mempengaruhi kelimpahan dan keragaman semut yang hidup di lingkungan tersebut.

Kesimpulan

Semut M. castanea mampu memangsa 100% larva instar 1 dan 2 O.

rhinoceros di laboratorium 5 hari setelah aplikasi dan 7 hari setelah aplikasi untuk mangsa larva instar 3. Kemampuan memangsa semut M. castanea di kebun TBM rata-rata 2,8 ekor mangsa instar 2 (46,87%) selama 5 hari pemaparan, dan memangsa rata-rata 3,0 ekor mangsa (50,3%) di kebun TM. Kemampuan memangsa yang mencapai 50% ini membuat semut M. castanea berpotensi untuk dikembangkan menjadi agens hayati dalam pengendalian larva O. rhinoceros.

DAFTAR PUSTAKA

Aneni, T.I., Aisagbonhi, C.I., Iloba, B.N. & Adaigbe, V.C. 2012. Influence of microhabitat temperature on Coelaenomenodera elaeidis and its natural enemies in Nigeria. African Crop Sci. J. 20: 517-522

Arnan, X., Cerd, X. & Retana, J. 2014. Ant functional responses along environmental gradients. J. Animal Ecol. 83: 1398-1408.

Bennett, A B. & Gratton, C. 2012. Measuring Natural Pest Suppression at Different Spatial Scales Affects the Importance of Local Variables.

Environ. Entomol. 41(5):1077-1085.

Buana, L., Siahaan, D. & Adipura, S. 2006. Pedoman Pemeliharaan Tanaman Kelapa Sawit. Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan.

Cahyasiwi, L., Wood, B.J., Lubis, F.I. & Caudwell, R. 2010. The economic of Oryctes attack in palm replants, International Oil Palm Conference, Indonesian Oil Palm research Institute (IOPRI). Yogyakarta. Indonesia 1-3 June 2010.

de Olivieira, R.F., Almeida, L.C., Souza, D.R., Munhae, C.B., Bueno, O.C. &

Morini, M.S.C. 2012. Ant diversity (Hymenoptera: Formicidae) and predation by ants on the different stages of the sugarcane borer life cycle Diatrea saccharalis (Lepidoptera: Crambidae). European J. Entomol.

109: 381-387.

El Bokl, M.M., Semida, F.M., Abdel-Dayem, M.S. & El Surtasi, E.I. 2015. Ant (Hymenoptera: Formicidae) diversity and bioindicators in the lands with different anthropogenic activities in new Damietta, Egypt. Int. J.

Entomol. Res. 03 (02) 35-46

Falahudin, I. 2013. Peranan Semut Rangrang (Oecophylla smaradigna) dalam Pengendalian Biologis pada Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Konferensi AICIS XII.2604-2618.

Gopal, M., Gupta, A. & Thomas, G. V. 2006. Prospects of using Metarhizium anisopliae to check the breeding of insect pest, Oryctes rhinoceros L. in coconut leaf vermicomposting sites. Bioresource Technol. 97(15):1801-1806.

Hasyim, A., Azwana. & Syafril. 2009. Evaluation of natural enemies in controlling of the banana weevil borer Cosmopolites sordidus Germar in West Sumatera. Indonesian. J. Agric. Sci. 10(2). 43-53

Huger, A.M. 2005. The Oryctes virus: its detection, identification, and implementation in biological control of the coconut palm rhinoceros beetle, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Invertebrate Pathol. 89(1), 78-84.

Ito, F. & Gobin, B. 2008. Colony composition and behavior of a queen and workers in the Oriental ectatommine ant Gnamptogenys cribrata (Emery) 1990 in West Java, Indonesia. Asian Myrmecol. 2:103-107.

Ito, F. 2010. Notes on the Biologyof the Oriental Amblyoponinae ant Myopopone castanae: Queen-worker dimorphism, worker polymorphism an larval hemolymph feeding y workers (Hymenoptera: Formicidae). Entomol.

Sci. 13: 199-204.

Jaworski, C.C., Bompard, A., Genies, L., Desneux, E.A. & Desneux, N. 2013.

Preference and Prey Switching in a Generalist Predator Attacking Local and Invasive Alien Pests. Plos one J. 8(12):e82231

Johnson, J.T., Adkins, J.K. & Rieske, L.K. 2014. Canopy vegetation influences ant (Hymenoptera: Formicidae) communities in headwater stream Riparian zones of Central Applachia. J. Insect Sci. 14 (237).

Junaedi, D., Bakti, D. & Zahara, F. 2014. Daya Predasi Myopopone castaneae (Hymenoptera: Formicidae) Terhadap Larva Oryctes rhinoceros L (Coleoptera: Scarabidae) di Laboratorium. J.Online Agroekoteknologi.

3(1): 112-117.

Luskin, M.S. & Potts, M.D. 2011. Microclimate and habitat heterogeneity through the oil palm lifecycle. Basic and Appl. Ecol. 12(6):540-551.

Marheni. 2012. Karakteristik Bioekologi Orytes rhinoceros (L.) pada Pertanaman Kelapa Sawit. [Disertasi]. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Masuko, K., 2003. Analysis of brood development in the ant Amblyopone silvestrii, with special reference to colony bionomics. Entomol. Sci.

6(4):237-245.

________. 2008. Larval stenocephaly related to specialized feeding in the ant genera Amblyopone, Leptanilla and Myrmecina (Hymenoptera:

Formicidae). Arthropod structure & development, 37(2):109-117.

Moslim, R., Wahid, M.B., Kamarudin, N., Mukesh, S. & Ali, S. R. A. (1999).

Impact of Metarhizium anisopliae (Deuteromycotina: Hyphomycetes) applied by wet and dry inoculum on oil palm rhinoceros beetles, Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae). J. Oil Palm Res. 11(2):25-40.

Nurdiansyah, F., Denmead, L.H., Clough, Y., Wiegand, K. & Tscharnke, T. 2016.

Biological control in Indonesia oil palm potentially enhanced by landscape context. J. Agri. Eco. Environ. 232:141-149

Peeters, C. & Molet, M. 2010. Evolution of advanced social traits in phylogenetically basal ants: striking worker polymorphism and large queens in Amblyopone australis. Insectes Sociaux. 57(2):177-183.

Pierre, E.M. & Idris, A.H. 2013. Studies on the predatory activities of Oecophylla smaragdina (Hymenoptera: Formicidae) on Pteroma pendula (Lepidoptera: Psychidae) in oil palm plantations in Teluk Intan, Perak (Malaysia). Asian Myrmecol. 5:163-176.

Price, P.W., Denno, R.F., Eubanks, M.D., Finke, D.L. & Kaplan, I. 2011. Insect Ecology: Behavior, Populations and Communities. London: Cambridge University Press. 784pp.

Ragoussis, V., Giannikopoulos, A., Skoka, E. & Grivas, P. 2007. Efficient synthesis of (±)-4-methyloctanoic acid, aggregation pheromone of rhinoceros beetles of the genus Oryctes (Coleoptera: Dynastidae, Scarabaeidae). J. Agri. Food Chemis. 55(13):5050-5052.

Roger, C. 1999. Mechanisms of Prey Selection in the Ladybeetle Coleomegilla maculata lengi Timb. (Coleoptera: Coccinellidae) [Tesis]. Canada (US):

McGill University.

Schmidt, C.A. 2004. Morphological and Functional Diversity of Ant Mandible.

http://tolweb.org/treehouses/?treehouse_id=2482. Diakses tanggal 20 Maret 2016

Sudharto, P.S., Susanto, A., Purba, R.B. & Drajat, Y.B. 2006. Teknologi pengendalian hama dan penyakit kelapa sawit, siap pakai dan ramah lingkungan. Pusat penelitian Kelapa Sawit (PPKS). Medan

Susanto, A., Purba, R.Y. & Prasetyo, A.E. 2010. Hama dan Penyakit Kelapa Sawit Volume 1. PPKS Press. Medan

Widihastuty & Marheni. 2016. Kelimpahan populasi serangga predator permukaan tanah di pertanaman kedelai tumpang sari dengan tanaman kelapa sawit. J. Al Ulum. 4(2):203-208.

Wilson, E.O. 1971. The Insect Societies. The Belknap Press of Harvard University Press. Cambridge, Massachusetts. London.

Zheng-hui, X.U. & Qiu-ju, H.E. 2011. Description of Myopopone castanea (Smith)(Hymenoptera: Formicidae) from Himalaya Region. 昆虫分类学 报, 33(3).

BAB VI

PREFERENSI MANGSA SEMUT Myopopone castanea (Hymenoptera:

Formicidae) TERHADAP MANGSA LARVA Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae)

Abstrak

Semut Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) merupakan predator untuk larva kumbang tanduk Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) yang merupakan hama pada tanaman kelapa sawit. Semut ini mampu memangsa semua stadia larva O. rhinoceros. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui preferensi semut M. castanea terhadap instar mangsa O. rhinocereos. Penelitian dilakukan mulai bulan Desember 2016 - Maret 2017 di laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian USU Medan. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua perlakuan (menggunakan log dan tanpa log) dan lima ulangan. Uji preferensi dilakukan dengan uji pilihan dan tanpa pilihan. Hasil penelitian uji preferensi tanpa pilihan menunjukkan bahwa dari 3 instar yang diuji pada perlakuan menggunakan log, semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 1 O. rhinoceros (X = 2,6 ekor) dengan indeks preferensi 0,194, dan pada perlakuan tanpa log menyukai larva instar 1 dan larva instar 2 dengan kemampuan memangsa masing-masing X = 4,6 ekor dengan nilai indeks preferensi 0,197. Hasil penelitian uji preferensi pilihan pada perlakuan menggunakan log menunjukkan bahwa semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 1 (X = 1,2 ekor) dengan indeks preferensi 0,35, dan pada perlakuan tanpa log, semut M. castanea lebih menyukai memangsa larva instar 2 yaitu ( X = 1,4 ekor) dengan indeks preferensi 0,189.

Kata kunci : Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, preferensi mangsa, indeks preferensi

Abstract.

Myopopone castanea (Hymenoptera: Formicidae) ant is a predator for larvae Oryctes rhinoceros (Coleoptera: Scarabaeidae) which is a pest on oil palm. These ants are able to prey on all stadia of O. rhinoceros larvae. This study was conducted to determine prey preference of M. castanea toward its prey O.

rhinoceros larvae. The research was conducted from December 2016 to March 2017 in the laboratory of Hama Tanaman Fakultas Pertanian USU Medan. The study was conducted using a Complete Random Design with two treatment (using log and no log) and five replications. Preferences test was done by choice test and no choice test. The results of no choice preference test on the log treatment, M.

castanea prefer preyed on first instar larvae of O. rhinoceros (X = 2.6 individual) with a preference index was 0.194 and on no log treatment, M.

castanea prefer for both first instar larvae and second instar larvae (X = 4,6

individual) with a preference index 0,197. The results of the choice preference test using logs, showed that M. castanea prefer the first instar larvae of O. rhinoceros (X = 1,2 individual), with a preference index (0.35), and on no log treatment, M.

castanea prefer the second instar larvae (X =1.4 individual) with a preference index 0.189.

Key words: Myopopone castanea, Oryctes rhinoceros, prey preference, preference index

6.1 Pendahuluan

Semut mempunyai peranan penting dalam ekosistem, yaitu dapat berperan sebagai penyerbuk, penyebar biji, dan juga sebagai predator pada serangga herbivor (Choate dan Drummond 2011; Rizal et al. 2011). Berbagai spesies dari kelompok semut telah banyak digunakan sebagai agens hayati untuk pengendalian hama tanaman perkebunan, diantaranya adalah semut rangrang (Oecophylla smaragdina) mampu memangsa ulat api (Setora nitens) dengan tingkat pemangsaan yang cukup tinggi 83% (Falahudin 2013), Dolichoderus thoracicus, mampu menekan serangan Helopeltis sp. di perkebunan kakao di Sulawesi (Anshary dan Pasaru 2008). Kehadiran semut Azteca instabilis F. Smith, Camponotus textor Forel dan Crematogaster spp. pada agroekosistem tanaman kopi mampu mengurangi kehadiran hama-hama yang biasa menyerang tanaman kopi dibandingkan tanpa kehadiran semut (Philpott 2008).

Marheni (2012) menemukan bahwa semut M. castanea (Hymenoptera:

Formicidae) merupakan predator untuk O. rhinoceros (Coleptera: Scarabaeidae) yang merupakan salah satu hama pada tanaman kelapa sawit. Semut ini biasa hidup di tanah dan di batang-batang kayu yang sudah melapuk. Di perkebunan kelapa sawit, semut ini bisa ditemukan di batang-batang sawit yang tumbang dan

sudah melapuk karena sudah tua ataupun karena penyakit busuk pangkal batang.

Larva O. rhinoceros di perkebunan kelapa sawit biasanya juga hidup di batang-batang kelapa sawit yang melapuk dan di tumpukan bahan organik. Adanya kesamaan relung tempat hidup antara semut M. castanea dan larva O. rhinoceros membuka peluang yang besar untuk memanfaatkan semut predator ini sebagai agens hayati yang potensial untuk hama O. rhinoceros. Berdasarkan pengamatan Marheni (2012) kemampuan memangsa semut M. castanea terhadap larva instar 2 O. rhinoceros di laboratorium dengan menggunakan 20 ekor semut pekerja dapat mencapai 4-5 ekor mangsa/hari. Semut M. castanea menyerang mangsanya dalam keadaan masih hidup dengan cara menggigit dan menyengatnya hingga mati lalu memakan cairan hemolimfnya. Gejala awal yang ditunjukkan pada larva O.

rhinoceros adalah kutikula larva yang berubah menjadi warna kecokelatan dan menghitam secara bertahap. Tubuh larva akan menghitam dan rusak tercabik-cabik akibat gigitan dan sengatan semut M. castanea sehingga hanya tersisa bagian kutikulanya saja. Semut ini juga bisa memakan tubuh larva instar satu O.

rhinoceros sampai habis (Marheni 2012; Junaedi 2014; Widihastuty et al. 2018).

Menurut Holling (1959) ada lima faktor utama yang dapat memepengaruhi proses pemangsaan oleh predator, yaitu (1) kerapatan populasi mangsa, (2) kerapatan populasi predator, (3) perilaku mangsa seperti reaksi terhadap predator, (4) jumlah dan kualitas pakan pengganti yang tersedia untuk predator, dan (5) sifat predator seperti jenis pakan yang disukai dan efsiensi dalam menyerang.

Predator umumnya bersifat generalis (mempunyai banyak mangsa).

Meskipun bersifat generalis, predator akan melakukan seleksi terhadap

mangsanya dan seleksi ini berlangsung secara alami (Jaworski et al. 2013). Rasool et al. (2015) menyatakan bahwa preferensi merupakan seleksi terhadap proporsi mangsa yang tersedia dalam satu lingkungan tertentu. Beberapa karakteristik mangsa dapat mempengaruhi preferensi predator seperti kualitas gizi mangsa dan kemudahan menyerang mangsa. Pemangsaan pada mangsa yang mempunyai kualitas gizi yang baik dapat meningkatkan kebugaran predator, keperidian dan kelangsungan hidup yang lebih baik (Chaneton dan Bonsall 2000; Eubanks dan Denno 2000).

Preferensi pemangsaan terhadap suatu mangsa dapat disebabkan oleh dua faktor. Faktor pertama adalah berdasarkan pada ketersediaan mangsa menurut kuantitas atau yang paling banyak tersedia (urutan preferensi/dapat tersubtitusi).

Faktor kedua adalah berdasarkan paduan campuran dan keseimbangan diet (keseimbangan preferensi/pelengkap). Akan tetapi, alaminya, ketersediaan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan, sehingga pemangsa menunjukkan preferensi kombinasi antara urutan dan keseimbangan. Terlebih lagi, preferensi campuran lebih disukai karena dua alasan: (1) kecenderungan pemangsa untuk memakan mangsa yang ada dengan mengabaikan dan kemudian melanjutkan pencarian; (2) keuntungan bagi pemangsa karena kandungan senyawa racun akan berbeda-beda pada tipe mangsa yang berbeda. Pemangsa juga dapat saja mengalihkan preferensinya (switching) jika:

1. Meningkatnya peluang orientasi kepada tipe mangsa yang ada, search image pemangsa terhadap mangsa yang berlimpah.

2. Meningkatnya peluang mengejar tipe mangsa yang ada.

3. Meningkatnya peluang menangkap tipe mangsa yang ada.

4. Meningkatnya efisiensi dalam penanganan tipe mangsa yang ada (van Baalen 2001)

Preferensi dapat diduga dengan menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Strauss (1979). Indeks linier pemilihan mangsa atau indeks preferensi (Li) merupakan selisih antara proporsi mangsa yang dimangsa oleh predator (ri) dan proporsi mangsa yang tersedia (pi). Komponen yang dapat mempengaruhi preferensi terhadap mangsa adalah ketertarikan dan kesesuaian terhadap mangsa, pengenalan terhadap mangsa, keputusan menyerang atau tidak, dan kemampuan menangkap serta mengkonsumsi mangsa.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui preferensi semut M. castanea terhadap instar mangsa larva O. rhinoceros.

6.2 Bahan dan Metode

Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2016 sampai dengan Maret 2017 di Laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara Medan.

6.2.1 Pengumpulan Serangga Uji

Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan mengumpulkan semua stadia semut predator M. castanea dari batang-batang kelapa sawit yang telah membusuk di perkebunan kelapa sawit rakyat yang ada di Kelurahan Tanah Merah, Kecamatan Binjai Selatan Kota Binjai. Semut M. castanea yang didapat dari lapangan dipelihara di laboratorium Hama Tanaman Fakultas Pertanian Unversitas Sumatera Utara. Koloni semut dipelihara dalam kotak kaca dengan ukuran 70 x 30

x 30 cm. Rata-rata jumlah semut yang dipelihara berikut larva dan pupanya berkisar 85-138 individu. Di dalam kotak kaca tersebut diletakkan dua potongan batang sawit yang melapuk dengan ukuran 20 x 20 x 3 cm dan dibuat setangkup sebagai tempat semut membuat sarangnya. Pada bagian tengah batang sawit tersebut dibuat sedikit lubang dengan ukuran 5 x 5 cm untuk tempat meletakkan mangsa larva O. rhinoceros. Setiap hari log tersebut disemprot dengan air untuk menjaga kelembaban sarang semut. Pemberian mangsa larva O. rhinoceros diberikan sesuai dengan kebutuhan pemangsaan semut. Apabila dilihat mangsa sudah mati dan mulai mengering maka segera diberikan mangsa larva O.

rhinoceros yang baru.