• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Oryctes rhinoceros

PEMBAHASAN UMUM

O. rhinoceros merupakan salah satu hama utama pada tanaman kelapa sawit. Hama ini biasa menyerang tanaman yang masih muda dengan memakan tajuk tanaman dengan menggerek melalui pangkal batang sampai pada titik tumbuh. Kehadiran hama ini akan menjadi masalah untuk kebun-kebun kelapa sawit di provinsi Sumatera Utara yang banyak melakukan proses penanaman kembali (replanting). Tumpukan-tumpukan bahan organik seperti banyaknya batang-batang kelapa sawit yang ditumbangkan atau tunggul-tunggul batang kelapa sawit yang tersisa di kebun menjadi tempat perkembangbiakan hama O.

rhinoceros. Pengendalian-pengendalian yang dilakukan saat ini masih bertumpu pada penggunaan insektisida, yang efek samping dari penggunaannya banyak berdampak buruk untuk lingkungan.

Semut sudah lama digunakan sebagai agens hayati untuk mengendalikan berbagai jenis hama tanaman. Bangsa Cina telah menggunakan semut rangrang Oceophylla smaradigna untuk mengendalikan hama tanaman jeruk mereka sejak tahun 900 M. Spesies-spesies semut yang berperan sebagai predator untuk berbagai hama tanaman telah banyak dilaporkan. Semut-semut dari famili Amblyoponinae sebagian besar adalah merupakan predator untuk banyak serangga herbivor (Gomes et al. 2009; Abera-Kalibata et al. 2006 ). Semut M.

castanea merupakan salah satu semut predator dari famili Amblyoponinae. Semut ini hidup di batang-batang kayu yang melapuk dan juga di tumpukan bahan organik (leaf litter). Di perkebunan kelapa sawit, semut ini banyak ditemukan di

batang-batang kelapa sawit yang telah melapuk karena sudah tua atau mati karena penyakit busuk pangkal batang Ganoderma.

Untuk mendapatkan peran yang optimal dari agens hayati sebagai pengendali populasi hama, maka agens hayati tersebut harus mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: (a) memiliki kemampuan mencari yang baik, (b) memiliki kekhususan mangsa atau inang, (c) memiliki laju reproduksi yang tinggi, (d) memiliki kemampuan adaptasi yang baik di habitat mangsa atau inang, (e) memiliki daur hidup yang sinkron dengan mangsa atau inang, (f) memiliki kemudahan untuk diperbanyak (Jervis 2005). Hasil penelitian eksplorasi keberadaan semut M. castanea di lapangan menunjukkan relung habitat (niche) antara semut M. castanea dan larva O. rhinoceros sebagai mangsanya sudah sama, sehingga terbuka peluang yang besar untuk memanfaatkan semut M.

castanea sebagai agens hayati untuk stadia pradewasa O. rhinoceros. Selain

kesamaan relung antara pemangsa dan mangsa, semut M. castanea termasuk predator yang memiliki kekhususan mangsa, semut ini khusus memangsa larva-larva dari ordo Coleoptera (Ito 2010).

Hasil penelitian analisis GC-MS untuk batang kelapa sawit yang telah melapuk dan membusuk sebagai sarang semut M. castanea didapatkan senyawa decane, napthalen dan tetracosanoic acid sebagai senyawa yang paling dominan.

Senyawa-senyawa yang dominan ini termasuk dalam golongan senyawa hidrokarbon. Kelompok senyawa hidrokarbon kebanyakan merupakan senyawa feromon yang digunakan semut dalam berkomunikasi. Semut dapat mengenali anggota sesama koloninya, mengetahui dan mengenali sarangnya dari aroma

senyawa hidrokarbon yang terpancar dari kutikula semut tersebut (Nowbahari 2007; Sharma et al. 2015; Abril et al. 2018).

Koloni semut M. castanea yang ditemukan di lapangan tidak semuanya mempunyai kasta yang lengkap. Banyak koloni semut yang ditemukan tidak mempunyai ratu yang sebenarnya. Fenomena seperti ini disebut dengan gamergate. Gamergate adalah semut pekerja yang mampu bereproduksi. Biasanya ini terjadi bila ratu yang sebenarnya sudah mati dan tidak ada ratu pengganti di koloni tersebut. Semut pekerja ini bisa saja dikawini oleh semut jantan yang ada di koloni tersebut atau semut jantan dari koloni yang lain. Para peneliti belum bisa mengungkapkan bagaimana mekanisme tentang gamergate ini terjadi pada serangga sosial terutama semut (Monnin dan Peteers 2008; Peteers dan Fisher 2016).

Untuk mengembangkan suatu agens hayati, perlu diketahui aspek-aspek biologis dan ekologis dari agens hayati tersebut. Secara biologi, semut M.

castanea termasuk serangga yang bermetamorfosis sempurna. Hasil penelitian

biologi semut M. castanea di laboratorium didapatkan bahwa fase telur dilalui sekitar 13-14 hari, fase larva rata-rata sekitar 41,9 hari dan fase pupa rata-rata sekitar 17-19 hari. Secara keseluruhan total satu siklus hidup semut M. castanea sekitar 75 hari. Jumlah telur yang diletakkan dalam satu kelompok dapat mencapai 300-350 butir telur, tapi kemampuan survival dari telur hingga menjadi imago hanya berkisar 56,4%. Fase yang paling rentan dalam siklus hidup semut M. castanea adalah pada fase telur dan larva instar awal. Pada fase ini tingkat survivalnya lebih rendah dari pada larva instar akhir. Rendahnya nilai kemampuan

survival ini kemungkinan disebabkan oleh karena mobilitas larva yang bersifat pasif. Hagstrum dan Subramanyam (2010); Schowalter (2011), menjelaskan bahwa faktor mobilitas individu, apakah pasif atau aktif akan berkontribusi untuk menentukan kemampuan bertahan hidupnya. Individu yang mobilitasnya aktif akan lebih mampu untuk menghindarkan dirinya dari berbagai serangan musuhnya ataupun faktor lain yang dapat menghambat perkembangannya.

Efektif atau tidaknya suatu predator dalam mengendalikan populasi mangsa dapat dilihat dari berbagai faktor seperti kemampuan memangsa, preferensi mangsa dan tanggap fungsional predator. Kemampuan memangsa semut M. castanea terhadap larva O. rhinoceros di laboratorium dapat mencapai 4 ekor per hari untuk larva instar 1 dan 2, sedangkan untuk larva instar 3 hanya 1 ekor, sedangkan kemampuan memangsa semut M. castanea terhadap larva instar 2 O. rhinoceros di lapangan rata-rata sekitar 2,8-3,0 ekor dari 6 ekor larva yang diumpankan selama 5 hari pemaparan.

Di laboratorium, mortalitas mangsa larva instar 1 dan 2 dapat mencapai 100% selama 5 hari pemaparan, sedangkan di lapangan hanya mencapai separuhnya (46,87-50,3%). Lebih rendahnya kemampuan memangsa semut predator M. castanea di lapangan disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain adalah kemampuan adaptasi serangga predator, luas areal pencarian, dan faktor lingkungan (Oliveira et al. 2012; El Bokl et al. 2015). Latumahina (2015) menyatakan bahwa semut adalah individu yang sangat responsif terhadap perubahan yang terjadi di lingkungannya.

Selain faktor kemampuan memangsa, faktor preferensi mangsa juga ikut menentukan tingkat keberhasilan predator dalam mengendalikan populasi mangsa.

Pada saat instar mangsa yang tersedia sebagai pakan tersedia dalam berbagai pilihan, predator pasti akan lebih memilih instar mangsa yang paling disukainya sebagai pakan, tetapi bila tidak tersedia, maka predator tetap akan memangsa instar mangsa lain yang tersedia. Semut M. castanea lebih menyukai instar mangsa larva instar 1 dan 2 sebagai mangsanya daripada larva instar 3. Hal ini disebabkan oleh karena ukuran mangsa yang lebih kecil dan kutikula mangsa yang lebih tipis (Marheni, 2012). Preferensi oleh predator dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor fisik seperti cahaya, warna, bentuk dan ukuran mangsa (Tarumingkeng 1994; Xu dan Enkegaard 2010). Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor kimia seperti bau yang dihasilkan oleh mangsa (Yusuf et al.

2014)

Hasil penelitian tanggap fungsional predator semut M. castanea adalah tipe II. Tanggap fungsional tipe II bermakna bahwa laju pemangsaan akan meningkat atau menurun sehubungan dengan penurunan atau peningkatan kepadatan mangsa. Mortalitas mangsa maksimal biasanya terjadi pada saat kepadatan mangsa rendah (Holling 1961). Predator-predator yang memiliki tanggap fungsional tipe II, biasanya efektif digunakan pada saat populasi mangsa rendah, pada saat populasi mangsa tinggi, maka diperlukan tindakan-tindakan lain yang dapat membantu menurunkan populasi hama. Untuk tetap memanfaatkan semut M. castanea sebagai predator larva O. rhinoceros pada saat kepadatan larva O. rhinoceros tinggi, maka perlu dilakukan tindakan introduksi semut M.

castanea. Oleh karena itu, tindakan-tindakan yang dapat mendukung keberadaan

semut M. castanea di lapangan harus dilakukan antara lain dengan menyisakan dan mengatur potongan-potongan batang kelapa sawit yang telah ditumbangkan tersebut sebagai sarang untuk semut M. castanea berkembangbiak.

BAB IX