• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, DAN KONSEP

B. Buah Rindu (1941)

6. Karya Sastra Berlandaskan Kajian Budaya (Cultural Studies)

5.3 Karya Sastra Angkatan Poedjangga Baroe

5.3.2 Karya Sastra Berpaham Timur

5.3.2.1 Karya-Karya Sanusi Pane

Sebagai seorang penulis, Sanusi Pane (1905 – 1968) telah menghasilkan

lebih dari sepuluh karya berupa tiga buku kumpulan puisi (antara tahun 1926 – 1931), dua lakon drama berbahasa Belanda (pada tahun 1928 dan 1930), tiga lakon drama berbahasa Indonesia (antara tahun 1928 – 1940), dua buku ilmu sejarah (pada tahun 1942 dan 1952), dan dua buku sastra terjemahan (pada tahun 1946 dan 1948).

Sanusi Pane diketahui lebih aktif menghasilkan karya sastra berbentuk lakon drama dibandingkan jenis karya sastra lain seperti puisi dan prosa.

Dikarenakan kemahirannya dalam menghasilkan lakon drama tersebut, ia dianggap sebagai tokoh penulis lakon drama Indonesia terpenting sebelum Perang Kemerdekaan Indonesia (Balfas, 1976: 66).

Dalam hal penulisan puisi, Sanusi Pane banyak mempergunakan bahasa sehari-hari yang dibentuk dari kata-kata serapan asing, berbagai istilah dari Bahasa Batak, maupun kata-kata umum dari Bahasa Indonesia. Selain itu, puisinya memiliki dua jenis struktur yang signifikan. Dimana satu struktur

puisi lainnya disusun dalam bentuk soneta (Siregar, 1964: 115).

Jika dibandingkan dengan karya sastra para rekannya di Angkatan Poedjangga Baroe, Sanusi Pane tergolong sebagai sastrawan yang menghasilkan karya dengan jumlah terkecil. Semasa karier kepenyairannya, ia hanya menghasilkan dua jenis karya sastra, yaitu lima lakon drama seperti Airlangga (1928), Eenzame Garoedavlucht (1930), Kertajaya (1932), Sandhyakala ning Majapahit (1933), dan Manusia Baru (1940), serta tiga buah buku kumpulan puisi yakni Pancaran Cinta (1926), Puspa Mega (1927) dan Madah Kelana (1931).

Meskipun demikian, karya-karya sastranya tersebut memiliki keunikan tersendiri dari segi bentuk dan isinya.

Kekhasan karya-karya sastra Sanusi Pane terletak pada pengangkatan nilai-nilai yang bersumber dari ajaran Hindu dan Budha (Chee, 1981: 106).

Selain itu, banyak di antara puisinya berkiblat pada manifestasi filsafat budaya Timur (Sutherland, 1968: 120 – 122). Sebagai hasilnya, Sanusi Pane dinobatkan menjadi penyair Indonesia pertama yang berhasil melakukan penyingkapan jati diri serta asal usul suatu bangsa melalui puisi (Balfas, 1976: 46).

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, karya-karya sastra Sanusi Pane terpengaruh oleh paradigma Timur. Oleh karena itu, pemilihan karya yang paling representatif akan diarahkan peneliti pada karya dramanya yang berjudul Sandhyakala ning Majapahit (1933). Lebih lanjut, dilakukan analisis drama yang dimaksud dalam bentuk sinopsis.

Berikut merupakan sinopsis dari drama yang dimaksud:

Damar Wulan dididik dan dibesarkan dalam keluarga keturunan kesatria asal Paluh Amba. Ia adalah putra dari Patih Udara dan Nawangsasi, serta cucu dari neneknya, Maharesi. Damar Wulan berwatak bimbang dikarenakan sifatnya yang saling bertolak belakang. Pada satu sisi ia berjiwa pandita; alim dan bijaksana. Namun pada sisi lainnya berjiwa kesatria; pejuang yang pemberani dan tangguh.

Suatu ketika, Damar Wulan akan diutus oleh ibu dan neneknya untuk pergi berjuang sebagai seorang kesatria ke Majapahit. Beberapa saat setelah menerima perintah tersebut, ia merasakan kegelisahan mendalam sehingga berdoa kepada Batara Wisynu agar mendapatkan pencerahan. Tanpa disadari, Batara Wisynu menjawab doanya dan bertemu langsung dalam pikiran Damar Wulan.

Pada akhirnya, ia pun memantapkan tekadnya berangkat ke Majapahit diiringi kedua abdinya; Sabda Palon dan Naya Genggong.

Sesampainya di Majapahit, Damar Wulan menetap di kediaman pamannya, Patih Logender; seorang Patih Amangkubumi, Majapahit. Di tempat rumah ini ia berkenalan dengan seorang anak perempuannya; Anjasmara, dan dua orang anak laki-lakinya; Layang Setera dan Layang Kimitir. Selanjutnya, Damar Wulan harus kecewa karena bukannya ditugaskan sebagai seorang kesatria, ia malah dijadikan sebagai tukang kuda oleh pamannya. Melihat kejadian tersebut,

membencinya, sehingga sering mengganggu dan memukulinya.

Pada suatu hari, Anjasmara berkeinginan agar Damar Wulan dapat berperang melawan Menak Jingga, Adipati Wirabumi yang berkhianat kepada Kerajaan Majapahit. Selanjutnya, keinginan tersebut pun terlebih dahulu disampaikannya kepada kedua abdi Damar Wulan; Sabda Palon dan Naya Genggong. Setelah mendengar penjelasan abdinya tersebut, ia sadar bahwa Damar Wulan sesungguhnya adalah Raden Gajah, kesatria yang sebelumnya pernah melawan Menak Jingga bersama Adipati Tuban. Namun, konon dikabarkan sempat menghilang entah kemana.

Setelah mengetahui keinginan Anjasmara, Damar Wulan pun menolaknya, karena menganggap tidak sepantasnya bagi seseorang yang berjiwa pandita menghabisi nyawa orang lain. Seakan membantah alasan tersebut, muncul lah Batara Wisynu secara tiba-tiba demi meyakinkan Damar Wulan agar mau melakukan tugasnya sebagai seorang kesatria. Tidak lama kemudian, Damar Wulan didatangi oleh Kama Wijaya dan Dewi Ratih; kedua utusan Anjasmara yang meyakinkannya bahwa cinta Anjasmara akan senantiasa mengiringi langkahnya. Sebagai hasilnya, Damar Wulan pun bersedia untuk berangkat ke medan juang.

Sebelum keberangkatannya, Damar Wulan berniat untuk mempersunting Anjasmara. Namun tanpa disangka-sangka, ia kemudian menerima kabar mengenai ibunya yang sedang sakit parah. Menjawab berita tersebut, Damar Wulan pun bergegas kembali ke Paluh Amba.

besar. Menak Jingga yang sebelumnya telah berhasil menaklukkan negeri Perabalingga mengancam akan melakukan penyerangan ke Majapahit bersama tiga puluh ribu prajurit tiga hari mendatang. Menghadapi ancaman tersebut, dikumpulkan lah para Penggawa dan Menak Koncar oleh Dewi Suhita, Prabu Majapahit di Bangsal Witana untuk menanyakan keberadaan Raden Gajah;

kesatria yang mampu menyelamatkan negara.

Kondisi Majapahit semakin parah setelah jalan kotanya berhasil dikepung oleh orang-orang yang berniat menyerang keraton untuk membunuhi para menteri dan adipati. Dikarenakan mencekamnya suasana Majapahit tersebut, Dewi Suhita tidak punya pilihan lain kecuali terpaksa menuruti saran Patih Majapahit agar menyerah serta membiarkan Menak Jingga menjadi ratu sebelah timur Belambangan. Namun secara tiba-tiba, Raden Gajah alias Damar Wulan datang menghadap Prabu Majapahit, sehingga ia segera diangkat menjadi seorang senopati pemimpin laskar perlawanan. Setelah diperkenalkan di hadapan para panewu, Damar Wulan menyimpulkan bahwa pemberontakan rakyat disebabkan oleh tingginya pajak yang diberlakukan oleh para menteri Majapahit.

Damar Wulan memimpin perlawanan dengan sangat baik sehingga berhasil mengalahkan Menak Jingga. Selain itu, ia telah berhasil mengembalikan moral dan agama masyarakat ke posisi yang seharusnya. Sebagai sambutan atas kemenangannya, Damar Wulan dielu-elukan oleh rakyat di jalan-jalan raya Majapahit. Sekembalinya ke Bangsal Witana, ia disambut oleh Dewi Suhita,

Angabhaya sebagai imbalan atas keberhasilannya.

Setelah empat tahun memimpin Angabhaya, muncul fitnah terhadap Damar Wulan. Ia dituduh kepala agama sebagai orang yang menghina dan merendahkan agama, serta memihak kepada penyebaran agama Islam di Majapahit. Selain itu, ia juga dituduh para kesatria sebagai orang yang berniat menurunkan Prabu Majapahit. Sebagai akibatnya, Damar Wulan dipecat oleh Dewi Suhita serta divonis hukuman mati oleh Patih Majapahit dan para panewu istana.

Pada akhir cerita, Damar Wulan dihukum mati. Sebagai reaksi terhadap kejadian tersebut, rakyat Majapahit marah besar, terlebih lagi Menak Koncar. Ia mengutuk perbuatan Prabu dan Patih Majapahit karena dinilai tidak tahu berterima kasih terhadap jasa-jasa pahlawannya. Selanjutnya, Majapahit diserang oleh tentara Bintara sehingga menjadi runtuh dan digantikan oleh kerajaan Islam.

Dokumen terkait