• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ketika berbicara sastra, maka secara tidak langsung akan dibahas mengenai suatu budaya. Adapun hal tersebut disebabkan oleh konten sastra, yang sering kali menceritakan tentang tindak tanduk sekaligus pola realitas sosial budaya masyarakat tertentu. Sebagai akibatnya, sastra dianggap kerap berkorelasi dengan unsur-unsur peradaban.

Sastra pada hakikatnya merupakan produk pemikiran intelektual (the creations of intellectual minds), yang sering kali bersifat mewakili kenyataan.

Sehubungan dengan hal tersebut, Ratna (2008: 140 – 141) berpendapat bahwa sastra akan bertindak merefleksikan, merefraksikan dan merepresentasikan seluk beluk kehidupan seseorang maupun masyarakat. Maka dari itu, ia seyogianya dikaji dalam batasan wacana kontekstual (wacana yang menceritakan tentang suatu keadaan).

Secara umum, karya sastra terbagi dalam 3 (tiga) bentuk, antara lain (1) puisi, (2) prosa dan (3) drama. Menurut Childs dan Fowler (2006: 53 , 181), puisi adalah sebuah komposisi kata ekspresif yang terikat oleh bait, prosa adalah sebuah karangan bebas berbentuk paragraf mengenai suatu peristiwa, sedangkan drama adalah prosa yang dipentaskan oleh para aktor dan aktris. Meskipun demikian,

Adapun hal tersebut, dijelaskan Barfield (1997: 14 – 15 , 105) sebagai berikut:

“...poetry reacts on the meanings of the words it employs... the figurative language of poetry has no referent, its sole function is to arose emotion and it is therefore without veridical significance... it acts in a divine and unaprrehended manner, beyond and above consciousness; and it is reserved for future generations to contemplate the mighty cause and effect”.

“...puisi bereaksi terhadap makna kata-kata yang digunakannya... bahasa figuratif puisi tidak memiliki acuan, fungsi utamanya adalah untuk membangkitkan emosi, sehingga ia berada di luar makna aslinya... ia bertindak secara agung dan bebas, melampaui kesadaran; serta disimpan sebagai kajian sebab akibat bagi generasi-generasi mendatang”.

Dari segi struktur, puisi diposisikan sebagai suatu sistem ketandaan bermakna kompleks (Pradopo, 2005: 118). Adapun hal tersebut lazim direalisasikan di dalam karya, terutama melalui berbagai bentuk perumpamaan (metafora) serta kata-kata kiasan (konotasi) yang bersifat ambigu. Dengan kata lain, puisi adalah karya sastra yang terbentuk dari permainan bahasa (language games) pengarangnya.

Menurut Nasution (2009: 2), karya sastra merupakan kristalisasi nilai-nilai dari suatu masyarakat, yang sering kali diproyeksikan kepada pembaca melalui ide, gagasan, pengalaman serta amanat pengarang. Sebagai hasilnya, konten puisi cenderung bersifat aspiratif dan memperjuangkan nilai-nilai tertentu terkait kondisi sosial yang dialami oleh sekelompok masyarakat. Untuk itu, sebuah puisi wajib dimaknai sebagai sarana perenungan pembaca.

Dalam praktiknya, sebuah puisi dapat dikaji melalui dua aspek, antara lain: (a) internal wacana dan (b) eksternal wacana. Dari segi internal wacana,

dan seterusnya. Di sisi lain, eksternal wacana akan berfokus pada pengkajian terhadap fungsi dari karya sastra itu sendiri (utile). Lebih lanjut mengenai fungsi yang dimaksud, dijelaskan Siswanto (2008: 88) sebagai berikut:

“sastrawan bisa menggunakan karyanya untuk berbagai keperluan praktis, seperti halnya mencari uang, memperluas pergaulan, untuk dikenal orang, diakui keberadaannya sebagai seorang sastrawan, (bahkan) untuk mempersembahkan sesuatu pada orang atau Tuhan.

Kedua, sastrawan bisa menggunakan karya sastranya untuk melakukan perenungan… untuk memahami dan mencari hakikat hidup manusia;

hakikat dari karya manusia; hakikat hubungan manusia dalam ruang dan waktu; hakikat hubungan manusia dengan alam sekitar; hakikat manusia dengan sesamanya. Ketiga, sastra digunakan sastrawan untuk menyampaikan ide-ide, gagasan, nilai-nilai yang diyakini oleh sastrawan.

Keempat, sastrawan bisa menggunakan sastra untuk propaganda dalam arti yang sempit”.

Seperti yang diketahui, konten karya sastra dipenuhi dengan maksud-maksud tersirat (catch). Selain itu, suatu karya kerap menyuarakan unsur-unsur kepentingan personal dan komunal (Yusra, 1996: 10) serta ideologi yang berawal dari otoritas pengarangnya (poetic authority). Sebagai akibatnya, ia akan menggiring pembaca untuk menginterpretasikan pesan-pesan tersembunyi (hidden messages) di balik struktur (Watkins, 1996: 37).

Dalam rangka menyingkap kandungan makna karya sastra, terlebih dulu perlu untuk diteliti tentang kode-kode yang terletak di luar teks (Barthes dalam Endraswara, 2008: 170). Adapun kode-kode tersebut meliputi pengalaman biografis serta sosial pengarang semasa hidup. Untuk itu, ia seyogianya dikaji sebagai suatu wacana politik dan kekuasaan (power). Lebih lanjut mengenai hal yang dimaksud, dijelaskan Endraswara (2008: 90), sebagai berikut:

melibatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Masalah politik ini akan mendominasi kehidupan masyarakat yang suatu saat akan terekam dalam teks sastra. Bahkan kondisi politik juga sering mempengaruhi kehidupan sastra itu sendiri. Mungkin sekali yang terpantul dalam karya sastra bukan hubungan politik secara detail, melainkan berupa ideologi tertentu.

Ideologi itu yang akan menjadi pijaran sebuah karya sastra mengandung kekuasaan tertentu atau tidak”.

Menjelang akhir abad ke-20, penelitian sastra dikategorikan sebagai salah satu Kajian Budaya (Cultural Studies), yakni sebuah studi interdisipliner yang dipopulerkan oleh Stuart Hall (1932 – 2014) di Inggris mulai tahun 1964 (Lubis, 2006: 139). Adapun Kajian Budaya merupakan analisis interpretasi dan kritik terhadap artefak kebudayaan, yang kerap direfleksikan melalui hubungan epistemologi antara wacana budaya dengan politik serta antara wacana simbolik dengan sosial (Kellner, 2003: 214 , Hall dalam Morley dan Chen, 2006: 396 – 397). Sebagai akibatnya, penelitian tersebut akan berfokus pada pengangkatan isu-isu kekuasaan dan dominasi yang terjadi dalam sebuah masyarakat.

Berdasarkan pengamatan, penelitian sastra dan Kajian Budaya bersifat saling berkaitan. Dalam praktiknya, Kajian Budaya membahas tentang aktivitas manusia dalam batasan sejarah dan antropologi. Di sisi lain, sastra merupakan media fiksi yang mendokumentasikan tentang aktivitas manusia beserta budaya yang dianutnya. Lebih lanjut mengenai hal tersebut, dijelaskan Aldridge (dalam Burszta, 2012: 55) sebagai berikut:

”Both literature and anthropology record the activities of the human race as do history and philosophy. Man himself is the subject of anthropology, whereas literature is a body of writing about man and is the subject of literary history and literary criticism. Anthropology

perspective of other men. Literature exists as residue of cultural activity, whereas anthropology is a methodology or process of investigation”.

“Baik sastra dan antropologi mencatat aktivitas-aktivitas manusia layaknya sejarah dan filsafat. Manusia sendiri adalah subjek dari antropologi, sedangkan sastra adalah kumpulan tulisan tentang manusia dan merupakan subjek dari sejarah sastra dan kritik sastra. Antropologi berusaha untuk menggambarkan spesies manusia secara sains, dimana sastra menyajikan karakter manusia beserta aktivitas-aktivitasnya melalui sudut pandang subjektif manusia-manusia lainnya. Sastra hadir sebagai residu dari kegiatan kultural, sementara antropologi merupakan metodologi atau proses investigasi”.

Maka dari itu, baik sastra dan Kajian Budaya bertindak sebagai sarana dokumentasi atas aspek kehidupan manusia.

Memasuki dasawarsa 1930-an, dunia Kesusastraan Indonesia mengalami perubahan besar dan signifikan. Adapun pada masa tersebut mulai muncul aliran Sastra Romantik Idealistis (Romantic Idealism), yang diperkenalkan oleh kelompok penyair Angkatan Poedjangga Baroe (Alwi & Sugono, 2002: 228).

Pada tahap selanjutnya, dihasilkan puisi, prosa dan drama bergaya baru (dari segi struktur dan konten), sehingga diyakini telah mempelopori lahirnya gerakan Sastra Indonesia modern.

Secara umum, Angkatan Poedjangga mengacu pada kelompok penyair Romantik Indonesia yang dibentuk oleh Sutan Takdir Alisjahbana (1908 – 1994), Sanusi Pane (1905 – 1968), Armijn Pane (1908 – 1970) dan Tengku Amir Hamzah (1911 – 1946) di Kota Batavia (Jakarta) sejak tahun 1933. Dalam realisasinya, kelompok tersebut diketahui telah menerbitkan puisi, esai, cerpen, opini serta kritik berbasis kesatuan budaya dan politik melalui sebuah majalah

(Majalah Pujangga Baru). Dikarenakan konten yang kerap berkaitan erat dengan usaha pembangunan jati diri bangsa, Madjalah Poedjangga Baroe sejatinya dianggap sebagai forum awal gerakan intelektual dan pemandu arah perubahan bagi kaum nasionalis Indonesia (Foulcher, 1991: 5).

Menurut sejarahnya, Madjalah Poedjangga Baroe pertama kali terbit sebagai reaksi kritik atas sensor karya tulis yang dilakukan oleh Balai Pustaka, yakni badan percetakan dan penerbitan milik pihak Kolonial Belanda. Oleh sebab itu, ia sering diasosiasikan sebagai salah satu wacana anti hegemoni (Kontra-Hegemoni). Berkaitan dengan hal tersebut, dijelaskan Sutrisno (2006: 165) sebagai berikut:

”Ketika campur tangan politik kolonial Belanda melalui Balai Pustaka (1908 – 1933) makin mencengkeram kesenian (dalam hal ini sastra), maka bereaksilah Angkatan Pujangga Baru tahun 1933 dengan mendirikan sendiri wahana kesenian mereka lewat majalah Pujangga Baru... Balai Pustaka yang menjadi corong kekuasaan politik Belanda yang mau menyeragamkan sastra dengan sensor pemenangan kepentingan kolonial dan penyuruhan penerjemahan roman kepahlawanan bangsa Belanda yang mau memecah persatuan bangsa Indonesia yang direaksi oleh jalan kesenian Pujangga Baru”.

Menurut Dhakidae (2003: 53), konten Madjalah Poedjangga Baroe tidak hanya terbatas pada hal-hal seputar sastra, namun juga menjurus pada pembahasan tentang budaya, politik dan ekonomi. Selain itu, ia identik dengan usaha-usaha pembebasan dari suatu keadaan yang bersifat membelenggu masyarakat. Sebagai akibatnya, majalah tersebut dianggap berhasil dalam menggiring persoalan kesusastraan dan kebudayaan menjadi sebuah permasalahan bangsa yang harus segera dirumuskan (Mahayana, 2008: 2).

Baroe menyerupai Teori Sosial Kritis yang dibawakan oleh Mazhab Frankfurt (Frankfurt School) di Jerman selama era 1930-an. Pada tahap selanjutnya, kedua kelompok tersebut diketahui kerap menyingkap unsur-unsur kepentingan dan kekuasaan yang terkandung dalam karya sastra berdasarkan prinsip ’revolusi tanpa kekerasan’ (Lubis, 2006: 39 – 40). Maka dari itu, konten sastra telah diposisikan sebagai diskursus (wacana dengan otoritas) yang bersifat emansipatoris.

Kesuksesan Angkatan Poedjangga Baroe sesungguhnya dapat disimak melalui peran dan karya-karya dari penyair Tengku Amir Hamzah. Ditinjau dari segi biografi, Tengku Amir Hamzah merupakan seorang penyair berlatar belakang adat tradisi Melayu dan ajaran sufi, sekaligus Pangeran Langkat yang lahir di Kota Tanjung Pura, Langkat, Sumatra Timur pada tanggal 28 Februari 1911 (Takari &

Zaidan B.S., 2014: 186 – 187). Ia dikenal sebagai pribadi yang idealis, alim, santun, rendah hati dan rajin menuntut ilmu. Meskipun demikian, Tengku Amir Hamzah termasuk tokoh intelektual Indonesia yang aktif terlibat dalam berbagai kegiatan politik serta pendidikan (Mahmud, 1994)..

Tengku Amir Hamzah dikenal juga sebagai tokoh penting Indonesia Moeda, yakni kelompok pemuda intelektual era 1930-an yang bergerak di wilayah Jawa, Hindia Belanda. Adapun pada masa kepemimpinannya tersebut, ia telah berhasil mempersatukan organisasi-organisasi kedaerahan seperti Jong Java dan Jong Sumatra sekaligus menerbitkan media kritis Garuda Merapi dan Madjalah

sebagai salah satu tokoh penting dalam perjuangan intelektual nasional.

Sebagai tokoh intelektual, aktivitas Tengku Amir Hamzah kerap bersinggungan dengan tirani kekuasaan, terutama dalam bentuk tekanan dari pihak Kolonial Belanda. Mengenai peran tokoh intelektual, dijelaskan Dhakidae (2003: xxvvi) sebagai berikut:

…tidak pernah ada pembicaraan tentang kaum cendikiawan tanpa tabrakan dengan kekuasaan, tanpa pertikaian dengan modal, dan tanpa menyaksikan kiprahnya dalam mengobrak-abrik yang disebut sebagai kebudayaan Semuanya ini berawal dari dan berujung pada wacana yang diproduksikannya yaitu budaya wacana kritis yang dalam tahap berikutnya menjadi lingkaran tak berujung menjadi awal-ujung-awal dari wacana baru. Namun di sini tidak diabaikan kemungkinan pembicaraan tentang cendikiawan yang berlangsung tanpa tabrakan karena di sana dibahas mereka yang mengandung negara dengan kukuh, memegang modal dengan erat, dan membela kebudayaan tanpa pamrih secara sepihak.

Berangkat dari keterangan tersebut, Tengku Amir Hamzah diketahui telah melaksanakan suatu gerakan intelektual, yakni dengan cara memposisikan sastra sebagai sarana untuk menggambarkan hal-hal terkait kondisi hidup, ruang lingkup serta berbagai fakta sosial yang terjadi di wilayah Hindia Belanda. Pada tahap selanjutnya, penyair dianggap telah membentuk wacana-wacana baru ke dalam Puisi-Puisi Liris karyanya demi menyuarakan kebenaran di tengah-tengah masyarakat.

Semasa karier kepenyairannya, Tengku Amir Hamzah telah menghasilkan sebanyak 160 karya tulis, yakni berupa 50 sajak asli, 77 sajak terjemahan, 18 prosa liris, 1 prosa liris terjemahan, 13 prosa biasa dan 1 prosa

buku kumpulan sajak Njanji Sunji (1937) dan Buah Rindu (1941). Adapun Puisi Liris tersebut dapat didefinisikan sebagai sajak-sajak bernada musikal (seperti lagu), berkata-kata halus, bertemakan percintaan dan mirip dongeng (Teeuw, 1984: 104 – 105).

Dari segi struktur, karya-karya penyair Tengku Amir Hamzah dinilai memiliki kekhasan yang otentik akibat bahasa yang digunakannya. Adapun sebagian karyanya tersebut ditulis dalam Bahasa Indonesia modern yang dibentuk melalui istilah-istilah bahasa daerah arkais (kuno) serta pengangkatan unsur-unsur akar tradisi masyarakat nusantara, sehingga dinilai sangat berbeda, terutama jika diingat bahwa karya-karya milik penyair-penyair Indonesia era 1930-an lainnya masih didominasi oleh penggunaan Bahasa Belanda. Sebagai hasilnya, ia dianggap telah memberikan kontribusi yang sangat besar bagi pengembangan ekspresi puitika modern Indonesia (Johns dalam Yusra, 1996: 18).

Sebagai seorang penyair, Tengku Amir Hamzah telah menghasilkan karya-karya berbentuk esai, puisi dan prosa yang menyerupai aliran Sastra Romantik Eropa akhir abad ke-18 (Ratna, 2008: 130). Adapun kekhasan dari jenis aliran tersebut identik dengan pengangkatan tema-tema keindahan alam berikut pengalaman sosial budaya penyairnya melalui bahasa yang bersifat liris (musikal).

Menurut Alisjahbana (1996: 9, 32), karya-karya Tengku Amir Hamzah kerap menggunakan bahasa yang padat, logis dan tidak berbelit-belit serta dikenal mahir dalam kegiatan menggubah pola persajakan, aliterasi dan asonansi puisi.

erat dengan permasalahan sosial politik. Oleh sebab itu, kerap ditemukan konten karya ’menusuk kalbu’, yang mengandung unsur-unsur edukasi publik serta emansipasi. Adapun unsur tersebut dapat disimak melalui bait-bait Puisi Liris Berdiri Akoe (Buah Rindu, 1941), sebagai berikut:

“Berdiri aku di senja senyap

Meskipun menggunakan bahasa halus dan indah, Dhakidae (2003: 161–162) berpendapat bahwa ungkapan-ungkapan puisi seperti “senja”, “rindu-sendu mengharu kalbu”, “ingin datang merasa sentosa”, “mencecap hidup” dan

“bertentu tuju” tersebut pada hakikatnya berbicara tentang kegundahan sosial yang dialami oleh Tengku Amir Hamzah.

Setelah menjelaskan tentang kiprah dan keunggulan karya-karya penyair Tengku Amir Hamzah, maka dapat dipahami bahwa ia sejatinya telah menghadirkan suatu wacana kritis (diskursus) dalam wujud Puisi Liris. Selain itu, penyair diyakini telah bertindak secara nyata dalam kegiatan edukasi publik dan usaha emansipasi, sehingga secara praktis telah memposisikan dirinya sebagai garda terdepan dalam gerakan perubahan sosial (Hall dalam Surbakti, 2008: 299 , Sardar & van Loon, 2001: 38).

Tengku Amir Hamzah, yang terbit pada buku kumpulan sajak Njanji Sunji (1937) dan Buah Rindu (1941), dari perspektif Kajian Budaya. Maka dari itu, ia bersifat kualitatif, ditinjau dari sudut pandang ekstrinsik, serta berfokus pada hasil Analisis Konten (analisis makna). Adapun urgensi dalam penelitian tersebut dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor, antara lain: (1) karya-karya Tengku Amir Hamzah belum pernah dikaji secara tuntas, sistematis dan mendalam, bahkan oleh para ahli sastra sekalipun (Mahayana, 2008: 9) dan (2) sebagian besar karya-karya Tengku Amir Hamzah hanya diteliti dari sudut pandang intrinsik (Mahmud, 1994:

5).

Dalam rangka menyingkap kandungan makna pada Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah, terlebih dulu perlu untuk ditinjau mengenai proses yang melatarbelakangi penciptaan karya. Oleh sebab itu, peneliti akan menelusuri letak keterkaitan antara realitas Puisi-Puisi Liris yang dimaksud sesuai aspek biografis serta aktivitas sosial penyair semasa hidup. Sebagai hasilnya, Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah tersebut berasosiasi dengan suatu media sosialisasi politik (Bérubé, 2005: 84),

Menurut perspektif Kajian Budaya, Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah bersinonim dengan diskursus praksis sosial, yakni wacana kritis yang mensinyalir terjadinya gerakan nyata dalam usaha menyamakan hak politik masyarakat melalui peran intektual serta posisi penyair. Maka dari itu, peneliti akan melaksanakan pembongkaran makna teks berdasarkan 5 (lima) teori, antara lain: (1) Teori Fenomenologi, (2) Teori Kontra-Hegemoni, (3) Teori Konstruksi

karya-karya tersebut akan dikaji berdasarkan 5 (lima) konsep, antara lain: (1) Angkatan Poedjangga Baroe, (2) Puisi Liris, (3) Kaum Intelektual, (4) Diskursus Praksis Sosial dan (5) Cultural Studies.

Untuk mengukur keabsahan data, peneliti menerapkan uji realibilitas ideosinkratis dan individualistis terhadap hasil jawaban dari 8 (delapan) orang informan Focus Group Dicussion (FGD). Selain itu, dilaksanakan triangulasi data atas: (a) subjek peneliti (pemahaman peneliti terhadap teori dan konsep penelitian), (b) objek penelitian (Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah) dan (c) subjek penelitian (hasil jawaban dari informan FGD). Dengan demikian, akan diperoleh pemaknaan menyeluruh terhadap konten Puisi-Puisi Liris karya Tengku Amir Hamzah.

Dokumen terkait