• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, DAN KONSEP

B. Buah Rindu (1941)

6. Karya Sastra Berlandaskan Kajian Budaya (Cultural Studies)

5.3 Karya Sastra Angkatan Poedjangga Baroe

5.3.1 Karya Sastra Berpaham Barat

5.3.1.2 Karya-Karya Sastra Armijn Pane

Semasa hidupnya, Armijn Pane (1908 – 1970) telah menghasilkan lebih dari dua puluh karya berbentuk buku yang sebagian besar berisi kajian tentang seni dan sastra. Buku-buku yang dimaksud, antara lain berupa sepuluh buah drama (antara tahun 1937 – 1953), tiga karya terjemahan (antara tahun 1953 – 1968), dua buah kumpulan puisi (pada tahun 1939 dan tahun 1960), dua buah kumpulan cerpen (pada tahun 1940 dan 1953), dua buah antologi karya sastra

buah esai kritik sastra (pada tahun 1941), satu buah buku tata bahasa (pada tahun 1950), satu buah buku ilmu sosial budaya (pada tahun 1953) dan satu buah cerpen tunggal pada tahun 1952.

Di antara sejumlah karya sastranya, perhatian terbesar dicurahkan para kritikus sastra kepada roman yang berjudul Belenggu (1940). Roman Belenggu pada awalnya diserahkan Armijn Pane kepada Balai Pustaka untuk diterbitkan pada tahun 1938, namun kemudian ditolak karena dianggap bercerita tentang kegiatan asusila (Jones, 2015: 56). Sebagai reaksi terhadap penyensoran tersebut, roman Belenggu akhirnya diterbitkan pada tahun 1940 oleh Sutan Takdir Alisjahbana melalui perusahaan penerbit miliknya; Dian Rakyat (Mahanaya, 2015: 86).

Sebagai seorang penyair, Armijn Pane telah menerbitkan dua buah buku kumpulan puisi, yakni Djiwa Berdjiwa (1939) dan Gamelan Djiwa (1960).

Kumpulan puisi Djiwa Berdjiwa pertama kali muncul dalam Madjalah Poedjangga Baroe edisi III, nomor 12 tahun 1939 dengan sajak pembuka, yakni puisi Indonesia era pasca Perang Dunia ke-2 yang telah berhasil mengungguli zamannya (Brakel dkk., 1976: 60). Meskipun demikian, Teeuw (1967: 80) cenderung berpendapat bahwa puisi-puisi Armijn Pane tidak bersifat memikat, tidak kuat bentuknya, dan cenderung membosankan dikarenakan jumlah baitnya yang terlalu panjang. Terlebih lagi, ia memperoleh kritikan pedas dari H.B. Jassin (1939) yang mengatakan bahwa sajak-sajaknya gagal menempatkan dirinya sebagai pelopor Angkatan Poedjangga Baroe. Hal tersebut dapat sepenuhnya

perintis cerita pendek modern Indonesia (Rampan, 2000).

Menurut Teeuw (1967: 81), karya-karya Armijn Pane bersifat anti tradisional serta lebih condong ke Barat daripada ke Timur. Untuk menunjukkan realitas tersebut, maka peneliti memilih untuk menganalisis karyanya yang paling terkenal yaitu roman Belenggu (1940) dalam bentuk sinopsis.

Belenggu (1940)

Berikut merupakan sinopsis dari judul roman yang dimaksud:

Sukartono dan Sumartini merupakan sepasang suami istri yang tinggal di Kota Batavia. Kehidupan rumah tangga mereka hampir retak karena keduanya terlalu sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Sebagai seorang dokter yang berpendidikan Belanda, Sukartono selalu bersikap profesional dan workaholic;

sehingga kesehariannya sering dihabiskan hanya untuk merawat para pasiennya.

Sedangkan Sumartini adalah seorang ibu rumah tangga yang menyibukkan diri menjadi aktivis dari berbagai organisasi sosial wanita akibat kurangnya perhatian dari suaminya tersebut. Rumah tangga mereka menjadi semakin renggang setelah Sumartini terlihat mulai mengabaikan perannya sebagai seorang istri tradisional yang seharusnya berada di rumah untuk menyiapkan makanan sepulang suaminya dari pekerjaan.

Pada suatu ketika, Sukartono dipanggil keluar ke sebuah hotel untuk memeriksa pasien yang bernama Nona Eni. Setelah menemui pasien tersebut, ia

kepadanya sejak bersekolah dasar di Bandung. Setelah beberapa kali bertukar rayuan, akhirnya mereka pun mulai sering bertemu secara diam-diam di pelabuhan Tanjung Priok. Keintiman mereka berlanjut ketika Sukartono memutuskan untuk menginap selama seminggu di rumah Rohayah saat Sukartini sedang mengikuti kongres wanita di Surakarta.

Sesampainya di kediaman Rohayah, ia dan Sukartono pun saling menceritakan tentang pengalaman masa lalunya. Pada percakapan tersebut, Sukartono telah mengakui bahwa ia menikahi Sumartini hanya dikarenakan kecantikannya semata. Sementara itu, Rohayah mengaku sempat menetap di Palembang bersama suami berusia paruh baya yang tidak dicintainya. Ia kemudian melarikan diri ke Batavia sebagai wanita simpanan Belanda selama tiga tahun, sampai akhirnya memutuskan diri menjadi seorang wanita penghibur. Meskipun demikian, rasa cinta Sukartono kepada Rohayah justru menjadi semakin besar dan merasa bahwa Rohayah lah sosok istri yang selama ini diidam-idamkannya.

Pada sebuah kesempatan, Sukartono diminta untuk menjadi juri kontes penyanyi lagu Keroncong di Pasar Gambir. Betapa terkejutnya ia setelah mengetahui bahwa Rohayah adalah orang yang selama ini dikenalnya sebagai Siti Hayati, penyanyi Keroncong kesukaannya. Beberapa saat kemudian, Sukartono bertemu dengan Hartono, seorang teman lama yang telah menjadi seorang aktivis politik di partai Partindo. Keduanya pun melanjutkan perbincangan sambil sesekali menanyakan kabar Sukartini.

satu kampus Sukartini. Ia diketahui sebagai pria yang telah merenggut kesucian Sukartini semasa ia masih berkuliah sekaligus orang yang telah mengakhiri hubungannya melalui sebuah surat. Sebagai akibatnya, Sukartini merasa sangat terpukul sehingga menjadi rendah diri serta trauma terhadap kaum pria.

Beberapa tahun setelah Sumartini menikah dengan Sukartono, ia kembali ditemukan oleh Hartono di rumahnya dalam usaha untuk memperbaiki hubungan cinta mereka. Dikarenakan kebenciannya terhadap perbuatan yang pernah dilakukan oleh Hartono di masa lalu, Sukartini kemudian menolak mentah-mentah permintaan pria tersebut.

Pada suatu saat, Sukartini mengetahui perselingkungan yang terjadi antara Sukartono dan Rohayah. Sebagai akibatnya, ia murka dan mendatangi Rohayah untuk menanyakan kebenaran berita tersebut. Namun setelah melakukan perbincangan yang panjang, Sumartini justru mengalah dan merasa bahwa Rohayah merupakan wanita yang tepat untuk Sukartono, sehingga ia pun menyuruh Sumartini untuk menikahi suaminya.

Menjelang akhir cerita, Sukartono ditinggal pulang ke Surabaya oleh Sukartini. Tidak lama kemudian, ia juga ditinggalkan oleh Rohayah yang berangkat menuju Kaledonia Baru. Namun sebelum Rohayah pergi, ia sempat meninggalkan sebuah catatan beserta lagu yang khusus diciptakannya untuk Sukartono. Dalam catatan tersebut Rohayah mengakui bahwa ia sangat mencintai Sukartono. Namun demikian, ia lebih memilih untuk menjauhi Sukartono karena menganggap sejarah kelamnya sebagai wanita penghibur akan memberikan citra

kemudian hidup seorang diri. Meskipun demikian, ia semakin giat bekerja dan terus menyibukkan diri untuk mengisi kehampaan dalam hidupnya (Belenggu, 1940: sinopsis roman).

Dokumen terkait