• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, DAN KONSEP

B. Buah Rindu (1941)

6. Karya Sastra Berlandaskan Kajian Budaya (Cultural Studies)

5.3 Karya Sastra Angkatan Poedjangga Baroe

5.3.1 Karya Sastra Berpaham Barat

5.3.1.1 Karya-Karya Sutan Takdir Alisjahbana

Sebagai seorang penulis, Sutan Takdir Alisjahbana (1908 – 1994) telah menghasilkan lebih dari empat puluh buku, yang mana di antaranya berupa sepuluh buku kajian budaya (1950 – 1989), sepuluh buku ilmu bahasa (antara tahun 1936 – 1977), tujuh roman (antara tahun 1929 – 1978), enam buku ilmu

1978), lima buku kajian seni (antara tahun 1980 – 1985), lima buku kumpulan puisi (antara tahun 1935 – 1983), dan dua buku ilmu pendidikan (pada tahun 1984 dan 1956).

Dari segi bentuk, karya-karya yang dihasilkan oleh Sutan Takdir Alisjahbana cenderung didominasi oleh jenis prosa. Dikarenakan dominasi prosa pada sebagian besar karya yang dihasilkannya tersebut, ia dijuluki “prosawan”

oleh para pengamat sastra di Indonesia. Karya prosa Sutan Takdir Alisjahbana terbagi ke dalam dua bentuk, yakni roman dan novel. Roman yang paling terkenal berjudul Layar Terkembang (1936), sedangkan novel terpopulernya adalah Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940). Selain prosa, Sutan Takdir Alisjahbana juga aktif menulis puisi dan drama yang bersifat signifikan dan berwarna baru.

Beberapa puisi fenomenal Sutan Takdir Alisjahbana dapat disimak dalam kumpulan sajak Tebaran Mega (1935). Sedangkan pada kategori drama, ia menghasilkan satu jenis drama bersajak dalam Kebangkitan: Suatu Drama Mitos tentang Bangkitnya Dunia Baru (1984).

Untuk menemukan unsur paham Barat dalam karya-karya sastra Sutan Takdir Alisjahbana, maka kegiatan analisis hanya dibatasi pada dua karya yang dianggap paling berpengaruh, yakni: (1) roman Layar Terkembang (1936) dan (2) puisi Menuju ke Laut (1946). Sebagai tambahan, puisi Menuju ke Laut akan dibahas secara utuh, sedangkan roman Layar Terkembang berbentuk sinopsis.

Tuti merupakan kakak kandung dari Maria. Keduanya memiliki sifat yang berbeda; Tuti berpembawaan serius, pendiam, memiliki pemikiran modern serta aktif dalam memperjuangkan hak penyetaraan gender. Sedangkan Maria adalah gadis periang, lincah dan mudah bergaul. Keduanya merupakan anak dari Raden Wiriatmajda, seorang mantan wedana Banten yang telah lama menduda sepeninggalan istrinya.

Ketika sedang berada di gedung akuarium pasar ikan, Maria dan Tuti berkenalan dengan seorang mahasiswa kedokteran asal Martapura, Sumatra Selatan yang bernama Yusuf. Beberapa waktu kemudian, ketiganya menjadi akrab dan menghabiskan hari itu bersama-sama. Pada penghujung pertemuannya, Tuti dan Maria kemudian diantarkan pulang ke rumah oleh Yusuf.

Yusuf diketahui telah menaruh hati terhadap Maria sejak pertama kali bertemu. Beberapa waktu kemudian, keduanya semakin dekat dan memutuskan untuk menjadi sepasang kekasih. Di sisi lain, Tuti cenderung menjauhi segala bentuk hubungan asmara dengan cara selalu menyibukkan dirinya dalam kegiatan membaca serta mengikuti berbagai kongres yang memperjuangkan hak-hak kaum perempuan.

Dikarenakan hubungan asmaranya yang semakin serius, keluarga Maria dan Yusuf akhirnya sepakat untuk mempertunangkan putra-putrinya. Namun demikian, Maria terpaksa harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit

tuberkulosis di hari-hari menjelang pernikahannya.

Semasa menjalani perawatan, kondisi kesehatan Maria terlihat semakin memburuk. Terlebih lagi ketika dirinya mengalami serangan batuk berdarah yang mampu merenggut nyawanya. Setelah menyadari masa-masa kritis tersebut, Maria kemudian berpesan kepada Tuti agar sudi untuk menggantikan posisinya serta menikahi Yusuf sepeninggalannya.

Di penghujung cerita, Maria akhirnya pun meninggal dunia. Sementara itu, Yusuf dan Tuti telah mewujudkan wasiat yang diamanahkan oleh Maria dengan cara menjalani hidup bersama sebagai pasangan suami istri (Layar Terkembang, 1936: sinopsis roman).

Hasil Analisis

Jika dicermati, roman Layar Terkembang sejatinya membahas tentang sifat-sifat dari dua tokoh cerita, yaitu Tuti dan Maria yang diketahui saling bertolak belakang. Karakter Tuti digambarkan pengarang sebagai sosok idealis dan kritis, sedangkan Maria mewakili sosok yang lemah lembut dan bersahaja.

Layar Terkembang diyakini kritikus sastra sebagai bentuk dari representasi simbolis mengenai pertentangan anutan nilai-nilai dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut dijelaskan oleh Tham Seong Chee dalam Essays on Literature and Society in Southeast Asia: Political and Sociological Perspectives

(1981: 105), antara lain sebagai berikut:

“In his novel Layar Terkembang, Takdir Alisjahbana systematically embodies his ideas in the characters and situations created in the novel...

the novel and its characters are symbolic, as it was the intention of the author to convey meanings and values considered to be of dominant concern in resolving the issues of cultural developments through the characters in the novel... lack of agreement between two characters is matched by incompatibility of values between the two, and this in effect suggests a clash of symbols of meaning as well”.

“Dalam novel Layar Terkembang, Takdir Alisjahbana secara sistematis menerapkan gagasan-gagasan ke dalam tokoh-tokoh dan keadaan-keadaan yang diciptakannya... novel dan tokoh-tokohnya bersifat simbolis, yang merupakan tujuan pengarang guna menyampaikan serangkaian makna serta nilai yang dianggap dominan sebagai penyelesaian berbagai masalah perkembangan kultural melalui tokoh-tokohnya... ketidaksepahaman kedua tokoh tersebut dipertandingkan dengan ketidaksesuaian nilai-nilai yang dianut oleh keduanya, dan sebagai hasilnya menyajikan tentang pertentangan simbol-simbol makna”.

Berangkat dari argumen tersebut, tersimak usaha-usaha Sutan Takdir Alisjahbana untuk menggambarkan representasi wawasan modern yang dipertentangkan dengan paham tradisional melalui simbol-simbol yang terkandung di dalam roman. Adapun hal tersebut diterangkan oleh Chee (1981: 106), sebagai berikut:

“Tuti, the elder is... independent, socially confident, articulate, egoistic, the emancipated. She believes in speaking her own mind... To her everything must be weighed rationally, intellectually, and incisively from the viewpoint of the individual. She is extremely active in politics, and participates in debates, forums, and public meetings... On the other hand, there is Maria, symbolic of the traditional ideal woman. Secure in the protection of her family, she is demure, loving (perhaps emotional), caring, gentle, sensitive, and loyal. She has no great ambition to alter the world and not particularly articulate. She desires harmony with the world”.

“Tuti, sang kakak... independen, percaya diri, lugas, egois, yang tak suka dikekang. Ia meyakini pemikiran-pemikirannya... Baginya segala sesuatu

politik, dan mengikuti debat-debat, forum-forum, dan pertemuan-pertemuan publik... Sebaliknya, Maria, sebagai simbol ideal wanita tradisional Indonesia. Aman dalam lindungan keluarganya, ia sopan juga pemalu, penyayang (mungkin gampang terbawa perasaan), peduli, lembut, perasa, dan setia. Ia tidak memiliki ambisi besar untuk merubah dunia dan tidak begitu lugas. Ia menginginkan keselarasan dalam dunia”.

Sutan Takdir Alisjahbana diyakini telah memposisikan tokoh Tuti sebagai cerminan dari wanita berpaham Barat yang berjiwa modern dan mandiri, sedangkan posisi tokoh Maria mencerminkan sifat wanita Indonesia tradisional yang cenderung penurut dan pasif. Lebih lanjut mengenai hal tersebut, disampaikan oleh Chee (1981: 111 – 112) sebagai berikut:

“In Layar Terkembang there was an attempt to present the dilemma of a modern educated Indonesian woman in Tuti, and the psychological urging in her to be a woman, to marry, to settle down to the role of a traditional wife. However, the author tended to allow his ideological inclinations to dominate her and the novel, which results in an unconvincing working out of the confrontation between traditional values and modern (assumed to be western) values... It is the tendency to see one as dominantly Eastern and the other as dominantly Western that had been a major shortcoming of the novel of social criticim during this period”.

“Dalam novel Layar Terkembang terdapat usaha untuk menceritakan dilema yang dialami oleh seorang wanita terdidik Indonesia dalam tokoh Tuti, dan keinginan kerasnya untuk menjadi seorang wanita secara utuh, membiasakan diri sebagai ibu rumah tangga. Walaupun demikian, pengarang cenderung untuk mendominasi Tuti dan novel dengan pengaruh ideologinya, yang mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dalam hal penyelesaian pertikaian antara nilai-nilai tradisional dengan nilai-nilai modern (diyakini berkiblat ke nilai-nilai Barat)... Ini ditekankan untuk melihat seseorang yang dominan ke Barat sementara orang lainnya dominan ke Timur yang menjadi kelemahan terbesar dalam novel kritik sosial periode tersebut”.

Menjelang akhir cerita roman, ditemukan simbol-simbol berupa peralihan

Yusuf dan Tuti. Adapun peristiwa kematian tokoh Maria dianggap telah menggambarkan tentang pengakhiran paham tradisional yang identik dengan sifat lemah, kuno dan dependen, sedangkan pernikahan Yusuf dan Tuti dimaknai sebagai gejala-gejala modernisasi sikap masyarakat. Lebih lanjut mengenai penjelasan tersebut, disampaikan oleh Chee (1981: 106) sebagai berikut:

“Yusuf... is her fiance and she sees herself as eventually becoming his wife, to be his consistent and companion for life, living in the shadow of his protection. However, she contracts tuberculosis and dies, but not before she has made Tuti and Yusuf promise that they would eventually wed each other-a development symbolic of the demise of the old and the inevitable take-over of the new”.

“Yusuf... adalah tunangannya dan ia melihat dirinya (Maria) sebagai calon istrinya, menjadi pendamping hidupnya yang setia, hidup dalam bayang-bayang perlindungannya. Namun demikian, ia terserang penyakit tuberkulosis dan akhirnya meninggal dunia, setelah sebelumnya sempat meminta Tuti dan Yusuf berjanji agar dapat saling menikahi-sebuah perkembangan simbolis mengenai kematian paham lama yang diambil alih oleh paham baru”.

Ditinjau dari segi penggunaan bahasa, roman Layar Terkembang dituliskan dalam sebuah bentuk konstruksi baru, namun masih dipengaruhi oleh adat Melayu Lama. Konstruksi baru yang dimasud adalah berupa jarang terjadinya dialog antara satu tokoh dengan tokoh lainnya (Siregar, 1964: 101). Sedangkan dari segi tendensnya, roman Layar Terkembang, Sutan Takdir Alisjahbana telah berhasil menggiring fokus konflik antara budaya tradisional dan budaya individual menjadi sarana kebangkitan semangat nasionalisme kaum muda, sekaligus pemicu pergerakan kaum feminis Indonesia.

Berikut adalah puisi utuh dari judul yang dimaksud:

Puisi Menuju ke Laut dikenal luas sebagai salah satu karya dari Sutan Takdir Alisjahbana yang ditulis dalam majalah Pembaruan edisi tahun 1946 (Alisjahbana, 1946: 64). Meskipun demikian, ia sejatinya merupakan konten asli dari Madjalah Poedjangga Baru yang telah terbit pada pertengahan tahun 1930-an (Foulcher & Day, 2008: 235).

Menurut jenisnya, Menuju ke Laut termasuk merupakan puisi bebas, yaitu puisi dengan pola persajakan dinamis (tidak tetap). Selain itu, puisi tersebut juga menggunakan jenis rima patah yang diwarnai dengan unsur asonansi (bunyi vokal sebaris) dan aliterasi (bunyi konsonan sebaris). Lebih lanjut, dilakukan analisis intrinsik dan ekstrinsik terhadap puisi yang dimaksud.

Analisis Intrinsik

Ditinjau dari segi tipografi, puisi Menuju ke Laut terdiri dari lima sekstet (sajak enam seuntai) pada bait pertama, kedua, ketiga, keempat, dan keenam dan satu kuintet (sajak lima seuntai) pada bait kelima. Pada bait pertama, bentuk persajakannya adalah a-b-c-d-c-e dengan dominasi asonansi bunyi –i (pada kata kami, dari, sekali, dan mimpi) dan aliterasi bunyi -n (pada kata meninggalkan, rimbun, angin, topan, dan terbangun).

Bait kedua bersajak a-b-c-d-a-e dengan asonansi bunyi -a (pada kata ria, rata, berlomba, mega) dan aliterasi bunyi -ng (pada kata gelanggang, berulang, jurang, ditantang, dan diserang).

bunyi -a (pada kata reda, lama, rasa, segala, dan apa) dan dominasi aliterasi bunyi -ng (pada kata berjuang, penghalang, menyerang, dan menghadang).

Pada bait keempat terdapat persajakan a-b-c-d-e-f dengan asonansi bunyi -a (pada kata bercahaya, suara, dan bahna) dan aliterasi bunyi -r (pada kata terhemaps, berderai, bercahaya), bunyi -l (pada kata keluh, gelak, silih).

Bait kelima menggunakan persajakan a-b-c-d-e dengan asonansi bunyi -a (pada kata betapa, sukarnya, dan tiada) dan aliterasi bunyi -n (pada kata jalan, badan, pikiran, dan ketenangan).

Pada bait keenam, puisi menggunakan pola persajakan a-b-c-c-c-d dengan asonansi bunyi -i (pada kata kami, dari, sekali, dan mimpi) dan aliterasi bunyi -n (pada kata meninggalkan, rimbun, angin, topan, dan terbangun).

Dalam hal penggunaan diksi, puisi Menuju ke Laut menggunakan majas personifikasi pada kata “ombak ria berkejar-kejaran” (dalam bait kedua), “tebing jurang ditantang diserang” (dalam bait kedua), “bergurau bersama angin” (dalam bait kedua), dan “berlomba bersama mega” (dalam bait kedua); majas hiperbola pada “ketenangan lama rasa beku”, ”terhempas berderai bercahaya” (dalam bait ketiga), dan “hati hancur” (dalam bait kelima); majas depersonifikasi pada

“pikiran kusut” (dalam bait kelima); majas pleonasme pada “tasik yang tenang,

tiada beriak” (dalam bait pertama dan terakhir); majas metafora pada “berontak hati hendak bebas” (dalam bait ketiga); dan majas alegori (dalam keenam bait puisi), dan lain-lain.

Puisi Menuju ke Laut berisi tema pembaruan pola pikir masyarakat, yaitu yang terkait dengan usaha perombakan terhadap pola pikir kaum intelektual Indonesia dengan cara meninggalkan ruang tradisi lama untuk kemudian berevolusi mengikuti tradisi baru (Mohamad, 2005: 253). Sutan Takdir Alisjahbana diketahui menggunakan imaji (citraan) dan majas dalam puisi tersebut guna mengkritik kebudayaan lama yang dianggap pasif dan statis.

Dengan kata lain, inti dari puisi tersebut adalah mengenai transisi nilai-nilai tradisional ke arah kehidupan era modern yang penuh kegelisahan. Lebih lanjut mengenai argumen tersebut, dijelaskan Mohamad (2005: 252 – 253) sebagai berikut:

“”KAMI telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak”.

Baris itu dari sajak Menuju ke Laut. Metafora itu kita kenal: dari sebuah tasik yang tanpa gelombang ke sebuah laut yang gemuruh, dari sebuah kehidupan yang teduh (terlindungi “dari angin dan topan”) ke sebuah kehidupan yang didefinisikan sebagai dinamika yang resah. S. Takdir Alisjahbana memasangnya sebagai semacam manifesto dari “Angkatan Baru” di tahun-tahun awal 1930-an Indonesia. Sang penulis Layar Terkembang itu memaklumkan bahwa sebuah generasi intelektual Indonesia telah menyatakan angkat sauh: meninggalkan tradisi. Mereka telah “terbangun dari mimpi yang nikmat”. Pesona dunia lama telah retak. ”Ketenangan lama rasa beku, /gunung pelindung rasa pengalang”... Maka mereka pun berangkat ke kegelisahan modern. Atau, dalam kiasan sajak itu, ke arah laut dengan gelombang buih yang berani”.

Dibahas dari aspek penggunaan imaji, puisi Menuju ke Laut melekatkan simbol-simbol makna pada kata “tasik” (danau) dan kata “laut” sebagai representasi batasan spasial (scope), yakni berhubungan dengan besar kecilnya cakupan wilayah berikut masing-masing sifat yang diwakilinya. Kata “tasik”

mewakili tradisi lama yang dianggap sempit wilayah persebarannya; sedangkan

Selain itu, kata “tasik” dan “laut” dijadikan sebagai analogi suatu wadah muatan air, yakni dimana “tasik” dianalogikan sebagai muatan air berwadah kecil, tidak berombak, dan cenderung tenang; sementara kata “laut” sebagai kiasan muatan air

berwadah besar yang berombak liar. Namun jika dicermati, sesungguhnya fokus makna dari kedua imaji tersebut berada pada arah persebaran airnya; dimana air dimaknai sebagai manifetasi dari suatu anutan paham yang harus diperjuangkan.

Dengan kata lain, Sutan Takdir Alisjahbana berusaha menegaskan bahwa “laut”

bukanlah pencapaian akhir dari sebuah misi tapi justru suatu tantangan dan awal dari perjuangan (Chee, 1981: 34).

Amanat puisi Menuju ke Laut terletak pada bait pertama dan kedua, yaitu ajakan untuk meninggalkan kebudayaan Indonesia lama menuju kebudayaan Indonesia modern yang bersifat lebih dinamis dan menantang. Berkaitan dengan hal tersebut, dijelaskan oleh Chee (1981: 105) sebagai berikut:

“In his poem, “Towards the sea”, dedicated to the New Generation,

...The new society and the new cutural orientation must therefore be like:

Waves rushing ahead of each other in the blue cockpit bounded by the sky.

The spreading sands continuously kissed, steep banks forever assailed and attacked in laughter with the winds

in race with the clouds”.

Kami telah meninggalkan engkau, tasik yang tenang, tiada beriak, diteduh gunung yang rimbun, dari angin dan topan,

Sebab sekali kami terbangun dari mimpi yang nikmat.

...Maka masyarakat baru dan orientasi kultural yang baru harus seperti:

Ombak ria berkejar-kejaran di gelanggang biru bertepi langit pasir rata berulang dikecup, tebing jurang ditantang diserang, dalam bergurau bersama angin, dalam berlomba bersama mega”.

Lebih lanjut, Chee (1981: 105) menambahkan bahwa puisi Menuju ke Laut secara simbolis mengajak bangsa Indonesia untuk membentuk masyarakat sosial dinamis yang bercirikan penganutan sistem nilai intelektualme, egoisme, materialisme, dan individualisme. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa puisi tersebut digunakan Sutan Takdir Alisjahbana sebagai sarana westernisasi.

Dokumen terkait