• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA TEORETIS, DAN KONSEP

B. Buah Rindu (1941)

6. Karya Sastra Berlandaskan Kajian Budaya (Cultural Studies)

5.3 Karya Sastra Angkatan Poedjangga Baroe

5.3.2 Karya Sastra Berpaham Timur

5.3.2.2 Karya-Karya Tengku Amir Hamzah

Tengku Amir Hamzah (1911 – 1946) merupakan tokoh sastrawan Angkatan Poedjangga Baroe yang paling giat berkarya. Semasa karier kepenyairannya, ia telah menghasilkan seratus enam puluh tulisan; yang di antaranya berupa lima puluh buah puisi (antara tahun 1932 – 1941), delapan belas buah prosa liris (antara tahun 1932 – 1937), empat buah cerpen (antara tahun 1932 – 1934), tiga buah buku kumpulan puisi (antara tahun 1937 – 1941), satu buah

terjemahan (pada tahun 1934 dan 1939), satu buah prosa liris terjemahan (tahun 1933), satu buah buku terjemahan (ditulis mulai tahun 1933 – 1935), serta karya-karya lain yang belum sempat diterbitkannya (Johns, 1963: 422 dan Jassin, 1962:

41).

Karya-karya sastra Tengku Amir Hamzah dapat dibagi ke dalam dua periode penulisan, yaitu periode awal (early) dan periode akhir (later). Pada periode awal kepenyairannya, karya-karya yang dimaksud berbentuk puisi dengan struktur serupa syair dan pantun Melayu Lama, namun tidak sepenuhnya mengikuti aturan persajakan yang lazim (Mohamad, 2005: 411 dan Jassin, 1962:

14 , 22). Sedangkan pada periode akhir, karya-karya sastra tersebut lebih condong kepada bentuk puisi bebas yang menyerupai prosa (Siregar, 1964: 116 dan Jassin, 1962: 12).

Letak keunggulan karya-karya sastra Tengku Amir Hamzah dapat disimak secara jelas dalam dua buku kumpulan sajaknya yang terkenal, yaitu Njanji Sunji (1937) dan Buah Rindu (1941). Sajak-sajak dalam Njanji Sunji doninan mengangkat tema yang berkaitan dengan agama, ketuhanan, dan sufisme.

Adapun pengangkatan tema-tema tersebut diketahui berfungsi sebagai sarana pelarian atas kepahitan hidup yang dirasakan oleh penyair (Jassin, 1962: 30 – 31).

Sementara dalam kumpulan sajak Buah Rindu, puisi-puisi Tengku Amir Hamzah lebih mengarah kepada aliran Romantik yang bertemakan tentang cinta, pencarian, dan kerinduan (Teeuw, 1955: 110).

Tengku Amir Hamzah, maka selanjutnya dipilih masing-masing satu sajak sebagai bahan analisis, yaitu: (1) sajak Barangkali (Njanji Sunji, 1937) dan (2) sajak Kamadewi (Buah Rindu, 1941).

(1) Barangkali (1937)

Berikut merupakan bentuk utuh dari puisi yang dimaksud:

“Engkau jang lena dalam hatiku

Ditinjau berdasarkan jenisnya, sajak Barangkali tergolong sebagai sajak bebas yang terdiri atas lima bait dengan pola persajakan yang sangat bervariasi.

Meskipun secara struktur sajak tersebut menyerupai bentuk puisi Barat modern, namun dalam hal penggunaan diksi dan imaji ia lebih berorientasi kepada budaya Timur.

Dari segi rima, sajak Barangkali dapat dibagi ke dalam empat jenis, yaitu: (1) rima patah, (2) rima awal, (3) rima merdeka, dan (4) rima berangkai.

Selain itu, sajak tersebut juga diperkaya dengan penggunaan asonansi dan aliterasi yang indah.

Analisis Intrinsik

Menurut bentuknya, Barangkali merupakan sajak jenis kuatrain (sajak empat seuntai) yang berjumlah lima bait yang didominasi oleh bunyi konsonan (aliterasi). Bait pertama bersajak a-b-c-b (rima patah) dengan penggunaan empat bentuk aliterasi: (1) aliterasi bunyi -l pada kata lena, dalam, kecil, terlindung, dan alis; (2) aliterasi bunyi -s pada kata nipis-nipis; (3) aliterasi bunyi –ng pada kata jang dan terangkum; serta (4) aliterasi bunyi -r pada kata besar dan terangkum.

Sedangkan penggunaan asonansi -a terletak dalam baris kedua berupa kata akasa dan swarga.

Bait kedua bersajak a-b-a-c (rima patah) dengan rima awal pada kata kudjunjung, kupudji, kupangku, dan kudaduhkan. Selain itu, Barangkali memiliki

bunyi -l pada kata lengan dan lagu; serta (3) aliterasi bunyi -ang pada kata kupangku, seléndang dan déndang. Sedangkan asonansi yang digunakan adalah bunyi –u, yaitu pada kata kudjunjung, hulu, kupudji, putjuk, kupangku, dan lagu.

Pada bait ketiga terdapat penggunaan sajak a-b-c-d (rima merdeka) dengan empat bentuk aliterasi, yakni: (1) aliterasi bunyi -ng pada kata bangkit dan gunung; (2) aliterasi bunyi -t pada kata mata-mutiara; (3) aliterasi bunyi -r pada kata djarimu dan menirus; serta (4) aliterasi bunyi -s pada kata menirus dan halus.

Sedangkan asonansi terbagi menjadi dua bentuk, yaitu: (1) asonansi bunyi -a pada kata buka dan mata-mutiara; serta (2) asonansi bunyi -i pada kata ketjapi dan firdusi.

Bait keempat bersajak a-a-a-b (rima patah) dengan penggunaan dua bentuk aliterasi berupa: (1) bunyi -l pada kata lurus dan lampai, serta (2) bunyi -ah pada kata lemah dan melidah. Sementara penggunaan asonansi dibagi dalam dua bentuk, yaitu: (1) asonansi bunyi -i pada kata biar dan siuman; serta (2) asonansi bunyi -a pada kata halus, harum, mengasap, dan keramat.

Pada bait kelima, sajak Barangkali menggunakan pola a-a-b-b (rima kembar) dengan dua bentuk aliterasi, yaitu: (1) aliterasi bunyi -ar pada kata biar dan terdengar; serta (2) aliterasi bunyi -ang pada kata gelombang dan kenang.

Sedangkan asonansi muncul dalam dua bentuk, yakni: (1) asonansi bunyi -a pada kata mari, menari, dara, dan asmara; serta (2) aliterasi bunyi -i pada kata mari, menari, barangkali, mati, dipantai hati, dan diri.

delapan jenis majas seperti: (1) majas metafora pada baris pertama dalam bait pertama “Engkau jang lena dalam hatiku”, baris keempat dalam bait kedua

“seléndang déndang”, dan baris pertama dalam bait keenam “dara asmara”; (2)

majas alonim pada baris kedua dalam bait pertama “akasa swarga” dan baris kedua dalam bait keenam “swara swarna”; (3) majas hiperbola pada baris ketiga dalam bait pertama “jang besar terangkum dunia”, baris pertama dalam bait kedua

“kudjunjung di atas hulu”, baris ketiga dalam bait ketiga “sentuh ketjapi firdusi”,

dan baris kedua dalam bait keenam “biar terdengar swara swarna”; (4) majas litotes pada baris keempat dalam bait pertama “ketjil terlindung alis”; (5) majas antropomorfisme pada baris kedua dalam bait kedua “putjuk lidah”; (6) majas elipsis pada baris ketiga dalam bait pertama “jang besar terangkum dunia”, baris

keempat dalam bait petama “ketjil terlindung alis”, pada seluruh baris dalam bait kedua “kudjunjung di atas hulu”, “kupudji di putjuk lidah”, “kupangku di lengan lagu”, “Kudaduhkan di seléndang déndang”, baris ketiga dalam bait ketiga

“sentuh ketjapi firdusi”, bait ketiga dalam bait keempat “lemah ramping melidah api”, baris keempat dalam bait keempat “halus harum mengasap keramat”, dan

baris ketiga dalam bait kelima “barangkali mati dipantai hati”; (7) majas personifikasi pada baris ketiga dalam bait kedua “lengan lagu”, baris pertama dalam bait ketiga “bangkit gunung”, dan baris keempat dalam bait kelima

“gelombang kenang membanting diri”; serta (8) majas simbolik pada baris kedua dalam bait ketiga “mata-mutiara-mu”.

Dalam hal diksi, sajak Barangkali banyak menggunakan istilah yang bersumber dari bahasa asing dan bahasa daerah, antara lain: (1) istilah-istilah

(baris kedua dalam bait pertama), kata déwi (baris pertama dalam bait keempat), kata swara (baris kedua dalam bait kelima), dan kata swarna (baris kedua dalam bait kelima); (2) istilah-istilah Bahasa Jawa Kuno pada kata gambuh (baris kedua dalam bait keempat) dan kata keramat (baris keempat dalam bait keempat); (3) istilah-istilah Bahasa Melayu pada kata lena (baris pertama dalam bait pertama), kata lampai (baris kedua dalam bait keempat), dan kata dara (baris pertama dalam bait kelima); (4) Bahasa Sunda pada kata ketjapi (baris ketiga dalam bait ketiga);

dan (5) Bahasa Parsi pada kata siuman (baris pertama dalam bait keempat) dan kata firdusi (baris ketiga dalam bait ketiga).

Analisis Ektrinsik

Sajak Barangkali berisi tentang tema percintaan. Pada sajak tersebut, Tengku Amir Hamzah diyakini menceritakan tentang pengungkapan perasaan cinta terhadap bekas kekasihnya (kasih tak sampai) yang dianalogikan sebagai puji-pujian kepada Tuhan. Sebagai akibatnya, sajak tersebut sering disalahpahami sebagai karya sastra yang bertemakan tentang ketuhanan.

Secara keseluruhan, penggunaan imaji dalam sajak Barangkali merepresentasikan dua sosok dan enam simbol, yaitu: (1) sosok bekas kekasihnya, (2) sosok Tuhan, (3) simbol harapan, (4) simbol semangat, (5) simbol kesadaran, (6) simbol kebahagiaan, (7) simbol doa, dan (8) simbol kebersamaan. Selanjutnya, kedua sosok tersebut dimunculkan dalam setiap awal bait sajak, sementara pada

upaya dan tujuan yang ingin dicapai oleh Tengku Amir Hamzah.

Sosok bekas kekasihnya diwakilkan dengan kata “engkau” (pada awal bait pertama), “akasa swarga” (baris kedua dalam bait pertama), “jang besar”

(baris ketiga dalam bait pertama), “ketjil” (akhir bait pertama), dan “dara asmara”

(awal bait kelima). Melalui kata-kata tersebut, Tengku Amir Hamzah menyampaikan berbagai pujian kepada bekas kekasihnya, yang seakan-akan terkesan sebagai suatu bentuk pujaan kepada Tuhan. Mengenai keterangan tersebut, disampaikan oleh penyair, sebagai berikut:

(Barangkali, 1937: larik pertama dalam bait kelima).

Sosok Tuhan direpresentasikan dengan kata “déwi-njanji” (pada awal bait keempat). Kata tersebut difungsikan Tengku Amir Hamzah sebagai analogi sosok yang dapat menjawab harapan penyair untuk dapat kembali bersatu dengan bekas kekasihnya. Selanjutnya, disampaikan oleh penyair sebagai berikut:

“Biar siuman déwi-njanji”

(Barangkali, 1937: larik pertama dalam bait keempat).

dalam bait pertama). Tengku Amir Hamzah memfungsikan imaji tersebut sebagai sebuah harapan (berasosiasi dengan kata angkasa/akasa dan surga/swarga) yang bersifat mustahil (berasosiasi dengan kata nipis-nipis yang identik dengan rasa masam). Lebih lanjut, disampaikan oleh Tengku Amir Hamzah, sebagai berikut:

“Akasa swarga nipis-nipis”

(Barangkali, 1937: larik kedua dalam bait pertama).

Simbol semangat direpresentasikan melalui kata “Gunung” (pada awal bait ketiga). Tengku Amir Hamzah diyakini berusaha untuk meyakinkan diri dengan cara membangkitkan semangatnya (ditandai dengan kapitalisasi huruf G dalam kata Gunung). Mengenai hal tersebut, disampaikan dalam sajak, sebagai berikut:

“Bangkit Gunung”

(Barangkali, 1937: larik pertama dalam bait ketiga).

Simbol kesadaran penyair tercermin dalam kata “mata-mutiara-mu”

(baris kedua dalam bait ketiga). Simbol tersebut merupakan sambungan dari simbol harapan pada baris sebelumnya; yang dimaknai sebagai penanda timbulnya kesadaran bagi Tengku Amir Hamzah. Selanjutnya, disampaikan oleh penyair sebagai berikut:

“Buka mata-mutiara-mu”

(Barangkali, 1937: larik kedua dalam bait ketiga).

Representasi simbol kebahagiaan terletak pada kata “ketjapi firdusi”

(baris ketiga dalam bait ketiga). Asosiasi makna pada kata tersebut menerangkan

nyaman). Seperti yang disampaikan dalam sajak, sebagai berikut:

“Sentuh ketjapi firdusi”

(Barangkali, 1937: larik ketiga dalam bait ketiga).

Simbolisasi doa direpresentasikan melalui kata “gambuh” (baris kedua dalam bait keempat). Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Gambuh dapat berarti tembang macapat Jawa atau drama tari Bali yang gerak tariannya lebih tenang jika dibandingkan dengan tarian Bali lainnya. Berdasarkan keterangan tersebut, dapat dijelaskan bahwa kata “gambuh” berasosiasi dengan doa cinta yang dipanjatkan (secara lurus dan lampai/tinggi dan ramping) oleh Tengku Amir Hamzah. Selanjutnya, disampaikan oleh penyair sebagai berikut:

“Gambuh asmara lurus lampai”

(Barangkali, 1937: larik ketiga dalam bait ketiga).

Representasi simbol kebersamaan berada pada kata “swara swarna”

(baris kedua dalam bait kelima). Kata tersebut dimaknai sebagai keadaan yang harmonis (suara/swara yang sewarna/swarna). Dengan demikian, kata tersebut berfungsi sebagai penegasan kebersamaan yang direalisasikan dalam sikap seia sekata. Selanjutnya, disampaikan oleh Tengku Amir Hamzah sebagai berikut:

“Biar terdengar swara swarna”

(Barangkali, 1937: larik kedua dalam bait kelima).

Amanat dalam sajak Barangkali berupa rasa optimis penyair. Sajak tersebut berisi solusi untuk mengatasi kesedihan yang dialami oleh Tengku Amir Hamzah, yaitu dengan cara senantiasa memanjatkan doa kepada Tuhan guna

Lebih lanjut, disampaikan oleh penyair dalam tiga bait terakhir sajak antara lain, sebagai berikut:

“Bangkit Gunung Buka mata-mutiara-mu Sentuh ketjapi firdusi

(Barangkali, 1937: larik 1 – 3 dalam bait ketiga).

“Biar siuman déwi-njanji

(Barangkali, 1937: larik 1 – 2 dalam bait kelima).

(2) Kamadewi (1941)

Berikut merupakan bentuk utuh dari puisi yang dimaksud:

“Kembali pula engkau datang

Laguan kasih engkau bisikkan

Kamadewi merupakan sajak urutan ketujuh belas dalam buku kumpulan puisi Njanji Sunji karya Tengku Amir Hamzah. Ia termasuk salah satu dari enam sajak asli yang belum pernah diterbitkannya baik dalam majalah Timboel maupun Madjalah Poedjangga Baroe (Jassin, 1962: 211 – 219). Sajak Kamadewi tidak memiliki tanggal penulisan, namun hanya berisi tentang keterangan lokasi Jakarta – Solo dan Solo-Jakarta antara tahun 1928 dan 1935 (Jassin, 1962: 8 & Husny,

1978: 29).

Menurut jenisnya, sajak Kamadewi adalah sebuah elegi (jenis sajak yang berisi ratapan atau ungkapan dukacita) beraliran Romantik yang berjumlah sembilan bait. Dari segi struktur, sajak Kamadewi diketahui menyerupai bentuk

setiap baitnya (Johns, 1979: 126). Selain itu, sajak tersebut juga dinilai bersifat musikal dikarenakan paduan unsur-unsur asonansi dan aliterasi yang sering ditemukan pada karya sastra Melayu Klasik, Jawa dan India dengan pola rima berangkai dan rima silang.

Analisis Intrinsik

Ditinjau dari bentuknya, sajak Kamadewi adalah sebuah sajak bebas (free verse) yang terdiri dari (1) lima buah kuatrain (sajak empat seuntai) pada bait pertama, keempat, kelima, ketujuh, dan kedelapan; tiga buah terzina (sajak tiga seuntai) pada bait kedua, ketiga, dan keenam; dan satu monostich (sajak satu seuntai) pada bait kesembilan.

Bait pertama berupa kuatrain bersajak a-a-a-a (rima berangkai) dengan satu bunyi asonansi -a pada kata kembali, pula, datang (pada baris pertama), kepadaku, sekarang (pada baris kedua), menjadi, permainan (pada baris ketiga), serta kata dibunga dan karang (pada baris keempat). Selain itu, terdapat juga dua jenis aliterasi, yaitu: (1) aliterasi bunyi -l pada kata kembali dan pula (pada baris pertama), dan (2) aliterasi bunyi -ang pada kata gelombang dan karang (pada baris keempat).

Bait kedua adalah terzina bersajak a-a-a (rima berangkai) dengan rima awal pada kata lah, lah, dan lah (pada awal baris pertama, kedua, dan ketiga).

Selain itu, terdapat dua jenis asonansi: (1) asonansi bunyi -a pada kata lama,

asonansi bunyi -u pada kata kulupakan. Penggunaan aliterasi terbagi dalam dua bentuk, yaitu: (1) aliterasi bunyi -l pada kata lah, lama, kulupakan (pada baris pertama), lah, lampau (pada baris kedua), serta kata lah dan lenjap (pada baris ketiga), dan (2) aliterasi bunyi -k pada kata kau dan kulupakan (pada baris pertama)

Bait ketiga berbentuk terzina dengan persajakan a-a-a (rima berangkai) dengan satu bunyi asonansi -a pada kata tetapi, sekarang, apatah, mula (pada baris pertama), apakah, aduhai, bonda (pada baris kedua), serta kata ia, datang, dan beta (pada baris ketiga). Sedangkan aliterasi berupa bunyi -t muncul pada kata datang dan beta (pada baris ketiga).

Bait keempat berupa kuatrain bersajak a-b-a-b (rima silang) dengan penggunaan rima awal pada kata kau, kau, kau, dan kau (pada seluruh awal baris dalam bait keempat). Selain itu, terdapat juga asonansi bunyi -a pada kata asmara, aku (pada baris pertama), laguan, kasih (pada baris kedua), dari, kelupaan dan aku (pada baris keempat). Sementara aliterasi muncul dalam lima bentuk, yakni: (1) aliterasi bunyi -m pada kata asmara dan permainkan (pada baris pertama), (2) aliterasi bunyi -an pada kata laguan, bisikkan (pada baris kedua), kelupaan dan sentakkan (3) aliterasi bunyi -k pada kata kasih, engkau, bisikkan (pada baris kedua), kenangan, engkau (pada baris ketiga), kelupaan, engkau, dan sentakkan (pada baris keempat), (4) aliterasi bunyi -ang pada kata gendang dan kenangan (pada baris ketiga), dan (5) aliterasi bunyi -en pada kata gendang dan kenangan (pada baris ketiga).

berangkai) dengan asonansi bunyi -a pada kata tetapi, sekarang, apatah, mula (pada baris pertama), apakah, aduhai, bonda (pada baris kedua), ia, datang, dan beta (pada baris ketiga). Sedangkan kemunculan aliterasi bunyi -t dapat disimak pada kata tetapi, apatah (pada baris pertama), datang, dan beta (pada baris ketiga).

Bait keenam berupa terzina bersajak a-a-a (rima berangkai) dengan penggunaan rima tengah berupa kata mana kau dan mana kau (pada baris pertama dan kedua). Selain itu, terdapat juga dua bentuk asonansi, yaitu: (1) asonansi bunyi -a pada kata pudjaan, mana, kehendaki (pada baris pertama), persembahan, mana (pada baris kedua), aduhai, angkara, dan asmara (pada baris ketiga), serta (2) asonansi bunyi -i pada kata ingini (pada baris kedua). Sedangkan penggunaan aliterasi terbagi dalam empat bentuk, yakni: (1) aliterasi bunyi -k pada kata kau dan kehendaki (pada baris pertama), (2) aliterasi bunyi -n pada kata mana dan ingini (pada baris kedua), (3) aliterasi bunyi -d pada kata aduhai dan dewi (pada baris ketiga), dan (4) aliterasi bunyi -r pada kata angkara dan asmara (pada baris ketiga).

Bait ketujuh berbentuk kuatrain dengan persajakan a-a-a (rima berangkai) dengan tiga bentuk asonansi, yakni: (1) asonansi bunyi -u pada kata sudah, tuan, dan putuskan (pada baris kedua), (2) asonansi bunyi -a pada kata apatah, lagi, harapkan (pada baris ketiga), pada, beta, dan duka (pada baris keempat), serta (3) asonansi bunyi -i pada kata lagi dan dewi (pada baris ketiga). Sementara penggunaan aliterasi terbagi dalam enam bentuk, yaitu: (1) aliterasi bunyi -s pada kata sudah dan sembahkan (pada baris pertama), (2) aliterasi bunyi -b pada kata

dan sembahkan (pada baris pertama), (4) aliterasi bunyi -t pada kata cinta, tuan, dan putuskan (pada baris kedua), (5) aliterasi bunyi -an pada kata tuan dan putuskan (pada baris kedua), serta (6) aliterasi bunyi -p pada kata apatah dan harapkan (pada baris ketiga).

Bait kedelapan berupa kuatrain dengan persajakan a-a-a-a (rima berangkai) dengan bunyi asonansi -a pada kata kamadewi!, gendewamu, bermalaikan, seroja (pada baris pertama), puadaimu, padma, seraga (pada baris kedua), tetapi, aku, masa (pada baris ketiga), diatas, hamparan, dan duka! (pada baris keempat). Sedangkan penggunaan aliterasi muncul dalam empat bentuk, yakni: (1) aliterasi bunyi -m pada kata kamadewi!, gendewamu, bermalaikan (pada baris pertama), puadaimu, dan padma (pada baris kedua), (2) aliterasi bunyi -p pada kata puadaimu dan padma (pada baris kedua), (3) aliterasi bunyi -s pada kata sepanjang dan masa (pada baris ketiga), (4) aliterasi bunyi -d pada kata duduk, diatas, dan duka (pada baris keempat).

Bait kesembilan berupa monostich (sajak satu baris seuntai) dengan penggunaan asonansi bunyi -a pada kata kamadewi!, tiadakah, bertanyakan, dan nyawa? (pada seluruh bait keenam). Sementara penggunaan aliterasi bunyi -t terletak pada kata tiadakah, tuan, dan beryanjakan.

Jika dilihat berdasarkan gaya bahasanya, sajak Kamadewi memiliki sepuluh jenis majas seperti: (1) majas elipsis pada baris kedua dalam bait pertama

“kepadaku diwaktu sekarang” dan baris ketiga dalam bait pertama “tengah menjadi permainan gelombang”, (2) majas inversi pada baris ketiga dalam bait

kau kulupakan”, baris keempat dalam bait kelima “dari kelupaan aku, engkau sentakkan”, dan baris ketiga dalam bait keenam “Asmara-dewi” (merupakan pembalikan nama dari dewi Asmara), (3) majas metafora pada baris ketiga dalam bait pertama “menjadi permainan gelombang”, baris keempat dalam bait pertama

“teberai dibunga karang”, baris ketiga dalam bait ketiga “datang menyusupi

beta?”, baris pertama dalam bait keempat “hati jang reda”, baris kedua dalam bait keempat “kau kacau air jang tenang”, baris kedua dalam bait kelima ”laguan kasih engkau bisikkan”, baris ketiga dalam bait kelima “gendang kenangan engkau

palu”, baris pertama dalam bait kedelapan “gendewamu bermalaikan seroja”, dan baris kedua dalam bait kedelapan “puadaimu padma-seraga”, (4) majas aferesis pada seluruh awal baris dalam bait kedua yang berupa kata “lah”, “lah”, dan

“lah”, (5) majas eksklamasio pada baris kedua dalam bait ketiga “aduhai bonda”, baris pertama dalam bait kelima “o, asmara”, baris ketiga dalam bait keenam

“aduhai angkara Asmara-dewi”, baris pertama dalam bait kedelapan

“Kamadewi!”, baris keempat dalam bait kedelapan “duka!”, dan pada monostich

dalam bait kesembilan “Kamadewi!” (6) majas hiperbola pada baris ketiga dalam bait keempat “kau jagakan dewi Asmara”, (7) majas histeron proteran pada baris pertama dalam bait ketujuh “gelak sudah beta sembahkan”, (8) majas enumerasio pada seluruh bait kelima, serta pada baris pertama dan kedua dalam bait kedelapan, (9) majas hipalase pada baris ketiga dalam bait kedelapan “duduk diatas hamparan duka!”, dan (10) majas alonim pada baris ketiga dalam bait ketujuh “dewi” (yang merupakan varian nama dari dewi Asmara).

kata-kata yang bersumber dari Bahasa Melayu Lama, yakni pada kata (1) engkau (awal bait pertama, baris kedua dalam bait kelima, baris ketiga dalam bait kelima, dan baris keempat dalam bait kelima), (2) apatah (awal bait ketiga, baris kedua dalam bait ketiga, dan baris ketiga dalam bait ketujuh), (3) bonda (baris kedua dalam bait ketiga), (4) aduhai (baris kedua dalam bait ketiga dan baris ketiga dalam bait keenam), (5) tengah (baris kedua dalam bait pertama), (6) teberai (baris keempat dalam bait pertama), (7) lampau (baris kedua dalam bait kedua), (8) lenyap (baris ketiga dalam bait kedua), (9) gelak (awal bait ketujuh), (10) tuan (baris kedua dalam bait ketujuh dan monostich dalam bait kesembilan), (11) menyusupi (baris ketiga dalam bait ketiga), (12) kasih (baris kedua dalam bait kelima), dan (13) laguan (bait kedua dalam bait kelima).

Selain didominasi oleh Bahasa Melayu, sajak Kamadewi juga menggunakan kata-kata yang beradaptasi dari Bahasa Sanskerta serta bahasa-bahasa daerah lainnya. Penggunaan Bahasa Sanskerta dapat disimak pada kata asmara (baris ketiga dalam bait keempat, baris pertama dalam bait kelima, dan baris ketiga dalam bait keenam), kata dewi (pada baris ketiga dalam bait keempat, baris ketiga dalam bait keenam, dan baris ketiga dalam bait ketujuh), kata cinta (pada baris kedua dalam bait ketujuh), kata kamadewi (baris pertama dalam bait kedelapan dan monostich dalam bait kesembilan), kata padma (baris kedua dalam bait kedelapan), kata seraga (baris kedua dalam bait kedelapan), kata puadai (baris kedua dalam bait kedelapan), kata gendewa (baris pertama dalam bait kedelapan), kata duka (baris keempat dalam bait kedelapan), dan kata mula (baris pertama dalam bait ketiga). Sementara penggunaan bahasa daerah meliputi: (1) Bahasa

ketiga dalam bait keenam), sampaian (baris keempat dalam bait ketujuh), aku (baris keempat dalam bait kelima dan baris ketiga dalam bait kedelapan), nyawa (monostich bait kesembilan), (2) Bahasa Sunda pada kata katjau (baris kedua dalam bait keempat), (3) Bahasa Minangkabau pada kata kau; yang bermakna

“kamu” bagi kaum perempuan, yakni pada awal bait kedua, seluruh awal baris

dalam bait keempat, awal bait kelima, awal bait keenam, dan baris kedua dalam bait keenam, serta (4) Bahasa Ambon pada kata beta (baris terakhir dalam bait ketiga, baris pertama dalam bait ketujuh, dan baris terakhir dalam bait ketujuh).

Analisis Ektrinsik

Jika dicermati, sesungguhnya sajak Kamadewi bertemakan tentang kerinduan (kasih tak sampai) yang dialami oleh Tengku Amir Hamzah. Penyair berusaha menceritakan tentang rasa rindunya terhadap bekas kekasih yang telah lama ditinggalkannya, sekaligus berupa bentuk pengaduan kepada Tuhannya.

Dengan demikian, maka ia menggunakan sajak tersebut sebagai sarana mempertanyakan mengapa perasaan tersebut dapat muncul kembali sementara penyair semakin fokus dalam mendalami ajaran agamanya.

Sajak Kamadewi menggunakan imaji-imaji yang difungsikan oleh Tengku Amir Hamzah sebagai representasi dari tiga sosok, yaitu: (1) sosok bekas kekasihnya, (2) sosok Tuhan, dan (3) sosok penyair.

Sosok bekas kekasihnya direpresentasikan dengan kata “engkau” (pada awal bait pertama), “kau” (pada baris pertama dalam bait kedua, seluruh bait

dalam bait ketujuh), dan “sampaian” (pada akhir bait ketujuh). Dengan kata lain, Tengku Amir Hamzah berusaha untuk menerangkan tentang kronologi kejadian dari permasalahan yang dihadapinya, yaitu kembali munculnya rasa rindu kepada bekas kekasih yang telah lama dilupakannya. Lebih lanjut, mengenai luapan perasaan yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:

“kembali pula engkau datang”

(Kamadewi, 1941: larik pertama dalam bait pertama).

“lah lama kau kulupakan”

(Kamadewi, 1941: larik pertama dalam bait kedua).

“ia datang menyusupi beta?”

(Kamadewi, 1941: larik ketiga dalam bait ketujuh).

“pada beta duka sampaian”

(Kamadewi, 1941: larik keempat dalam bait ketujuh).

Sosok Tuhan diperlambangkan penyair dengan kata “dewi Asmara”

(pada baris ketiga dalam bait keempat), “Asmara” (pada awal bait kelima), “kau”

(pada baris pertama dalam bait kelima, baris pertama dalam bait keenam dan baris kedua dalam bait keenam), “engkau” (pada baris kedua dalam bait kelima, baris ketiga dalam bait kelima, dan baris keempat dalam bait kelima), “dewi Asmara”

(baris ketiga dalam bait keempat), “Asmara-Dewi” (pada baris terakhir dalam bait

kesembilan), dan “kamadewi” (pada awal bait kedelapan dan monostich bait kesembilan). Melalui kata-kata tersebut, Tengku Amir Hamzah berusaha untuk mengadukan permasalahan cinta yang dihadapinya kepada Tuhan, sekaligus mempertanyakan tentang upaya apa yang harus dilakukannya, yakni sebagai berikut:

“kau jagakan dewi Asmara”

(Kamadewi, 1941: larik ketiga dalam bait keempat).

“O, Asmara kau permainkan aku

(Kamadewi, 1941: larik kedua dalam bait ketujuh).

“Kamadewi! gendewamu bermalaikan seroja”

(Kamadewi, 1941: larik pertama dalam bait kedelapan).

“Kamadewi! tiadakah tuan bertanyakan nyawa?”

(Kamadewi, 1941: bait kesembilan).

Representasi sosok penyair terletak pada kata “beta” (pada akhir bait ketiga, baris pertama dalam bait ketujuh, dan baris terakhir dalam bait ketujuh) dan “aku” (pada awal bait kelima, baris terakhir dalam bait kelima dan baris ketiga dalam bait kedelapan). Peranan kata-kata tersebut memposisikan Tengku Amir Hamzah sebagai subjek sekaligus objek penderita dari permasalahan yang dihadapinya. Mengenai hal tersebut, disampaikan oleh penyair, sebagai berikut:

“O, Asmara kau permainkan aku”

(Kamadewi, 1941: larik pertama dalam bait kelima).

“dari kelupaan aku, engkau sentakkan”

(Kamadewi, 1941: larik keempat dalam bait kelima).

“gelak sudah beta sembahkan”

(Kamadewi, 1941: larik petama dalam bait ketujuh).

“pada beta duka sampaian”

(Kamadewi, 1941: larik keempat dalam bait ketujuh).

“tetapi aku sepanjang masa”

(Kamadewi, 1941: larik ketiga dalam bait kedelapan).

“(aku) duduk diatas hamparan duka”

(Kamadewi, 1941: larik keempat dalam bait kedelapan).

Konten amanat dalam sajak Kamadewi tidak lain berupa keputusasaan (desperation) yang dirasakan oleh penyair. Tengku Amir Hamzah sebenarnya berusaha untuk menyuarakan protes kepada Tuhan atas kemalangan yang menimpa dirinya melalui ungkapan dalam sajak. Sebagai akibatnya, penyair merasa bahwa hidupnya telah kehilangan makna dan berharap agar dapat segera menemui ajalnya. Lebih lanjut mengenai ungkapan tersebut, disampaikan oleh Tengku Amir Hamzah dalam tiga bait terakhir sajak, yakni sebagai berikut:

Konten amanat dalam sajak Kamadewi tidak lain berupa keputusasaan (desperation) yang dirasakan oleh penyair. Tengku Amir Hamzah sebenarnya berusaha untuk menyuarakan protes kepada Tuhan atas kemalangan yang menimpa dirinya melalui ungkapan dalam sajak. Sebagai akibatnya, penyair merasa bahwa hidupnya telah kehilangan makna dan berharap agar dapat segera menemui ajalnya. Lebih lanjut mengenai ungkapan tersebut, disampaikan oleh Tengku Amir Hamzah dalam tiga bait terakhir sajak, yakni sebagai berikut:

Dokumen terkait